Wednesday, April 24, 2019

Demagogi Waktu

  1. Jangan terperangkap, kau tahu kau selalu lebih baik daripada aku.
  2. Jangan memperlihatkan kelemahan dan ketakutan-ketakutan. Isi pikiranmu adalah sepertiga dari diriku. Aku membagi diri dari masa lalu, sekarang, dan masa depan
  3. Jangan pernah berpikir dan memikirkanku sedikitpun sebab aku adalah bencana sekaligus wahana, anugerah sekaligus penyakit, dan aku berjalan tanpa pernah benar-benar melihat siapa saja yang hancur
Kita terperangkap sempurna. Kita selalu berharap lebih besar daripada waktu, nyatanya waktu lebih agung dan ia menelan kita.
Kita selalu berpikir lebih luas daripada waktu, nyatanya ia mencakup masa lalu dan masa depan, — sementara kita hanya mampu mengingat dan mengira-ngira.
Kita selalu menganggap kita abadi dan waktu itu fana. Waktu nyatanya jauh lebih abadi dan kita jauh lebih paradoksial.
Kita bermain 'Tuhan' dengan mempermainkan waktu, nyatanya waktu yang sedang mempermainkan kita. Kekalahan kita sempurna. Kemenangan kita diraih oleh kumpulan kekalahan.
Paradoks waktu terhadap kita dan sebaliknya; kita selalu memikirkan masa depan, namun di satu sisi tak ingin lekas menua.
2019, h-1 UN
Kanzia.

Friday, March 8, 2019

Dia adalah Carol Denvers-Ku, 1995 (Minor Spoilers Review)

Oleh : Kanzia Rahman



Captain Marvel, tokoh yang telah ditunggu-tunggu para penggemar Marvel, apalagi sejak post-credits scene terakhir dari Avengers: Infinity War. Dalam post-credits scene kedua, Nick Fury menggunakan pagernya, menunjukkan sebuah gambar —atau, logo, yang didominasi warna merah-biru dengan sebuah bintang.

Kita mengenali bintang itu sebagai lambang Kree dalam Captain Marvel.

Captain Marvel dimulai dengan sederhana. Debu, pasir, kilatan matahari, awan, sisa-sisa perang. Pikir penonton. Lalu sang Captain kita terbangun, kita dapat mengetahui namanya adalah 'Vers' dalam beberapa adegan kemudian, dan menemukan dirinya di sebuah kota metropolitan dengan level teknologi yang tinggi. Hala. Kota tempat tinggal peradaban Kree.

Tuesday, March 5, 2019

Bagaimana rasanya memiliki rasa yang tepat di waktu yang salah

"Jadi, bagaimana?" tanyamu? Semuanya sudah jelas. Aku mencintaimu dan menginginkanmu. Kau tak perlu pertanyakan apapun lagi sebab rasanya semua pertanyaanmu sudah kujawab. Yang harus aku, kita, maksudnya. Yang harus kita jawab adalah, bagaimana perasaanmu?

Friday, January 18, 2019

Aku tak mau berakhir sebagai seorang yang sekadar pernah mampir di dunia.

Beberapa hal yang saya pelajari selama tiga tahun; dalam bentuk cerita.


Saya suka melempar diri saya secara sembarangan ke lautan ingatan yang diciptakan Tuhan sedikit lebih deras dan mengalir di kepala saya. Saya suka tetiba mengingat. Malam ini, sebelum kita terlalu jauh nantinya, saya ingin melemparkan diri saya sendiri untuk menuliskan kesimpulan-kesimpulan.

Monday, December 31, 2018

Samara, Ani, Jiyana

Samara, Ani, dan Jiyana.
Oleh : Kanzia Rahman


Samara, mendengar lagu ini secara perdana di salah satu acara musik di Depok ini membuat gue merasakan sesuatu yang lain. Sejak mendengar reff-nya, gue paham betul kalo lagu ini adalah salah satu jenis lagu yang bakal gue jadikan tulisan.

Milly & Mamet: (Extra)Ordinarily Lovable!

Milly & Mamet: (Extra)Ordinarily Lovable!
Oleh: Kanzia Rahman

Hasil gambar untuk milly mamet movie

Lima menit memasuki studio, gue masih berada dalam state tidak ingin tahu apapun tentang film ini. Tanpa trailer, sinopsis, atau segala jenis teaser lainnya. Jadilah gue menonton Milly & Mamet tanpa persiapan sama sekali (kecuali tweets wochmendotID di twitter), sama seperti One Cut Of The Dead sebelumnya.

Tuesday, December 18, 2018

Est-ce que tu m'aimes?



Logika.

Kau tahu? Aku tak pernah paham arti kata logika. Orang-orang bilang, laki-laki menggunakan logikanya sementara perempuan menggunakan perasaannya. Aku tak pernah paham arti kata-kata itu, tapi setidaknya, aku paham bahwa manusia punya dua hal yang perlu diseimbangkan dalam hidupnya; logika dan perasaan.