Friday, March 8, 2019

Dia adalah Carol Denvers-Ku, 1995 (Minor Spoilers Review)

Oleh : Kanzia Rahman



Captain Marvel, tokoh yang telah ditunggu-tunggu para penggemar Marvel, apalagi sejak post-credits scene terakhir dari Avengers: Infinity War. Dalam post-credits scene kedua, Nick Fury menggunakan pagernya, menunjukkan sebuah gambar —atau, logo, yang didominasi warna merah-biru dengan sebuah bintang.

Kita mengenali bintang itu sebagai lambang Kree dalam Captain Marvel.

Captain Marvel dimulai dengan sederhana. Debu, pasir, kilatan matahari, awan, sisa-sisa perang. Pikir penonton. Lalu sang Captain kita terbangun, kita dapat mengetahui namanya adalah 'Vers' dalam beberapa adegan kemudian, dan menemukan dirinya di sebuah kota metropolitan dengan level teknologi yang tinggi. Hala. Kota tempat tinggal peradaban Kree.


Kita lalu melihat pertarungan demi pertarungan. Blast demi blast, pelarian demi pelarian, penyamaran demi penyamaran. Semua dilakukan dalam waktu yang sangat cukup, padat, dan memenuhi seluruh durasinya dengan materi film.

Di awal film, kita melihat Captain Marvel sebagai prajurit yang tangguh, kuat, namun tetap rentan. Ada kelemahan-kelemahan yang diperlihatkan film dalam karakternya,  kita melihat seseorang yang dibungkus dengan rapih dan super-cool, namun terasa kosong di dalam.

Ada kekosongan, ada yang hilang dari Vers, entah apa, tapi cukup untuk membuat penonton merasa bagian awal film seperti film action dengan minim emosi. Seperti film-film pertarungan kebanyakan yang hanya mempertontonkan aksi tanpa perasaan dari tiap karakter.

Ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh Skrull, sebutan untuk ras musuh Kree dalam Captain Marvel.


Memasuki pertengahan film, pencarian jati diri Vers pun semakin dalam. Karakter Vers yang kita lihat sebagai mesin pembunuh di awal perlahan-lahan berkembang menjadi seorang manusia yang rapuh, bingung, bahkan frustasi dengan keadaannya sendiri. (clue: adegan walk-out Vers dari rumah kayu Maria Rambeau)

Dalam beberapa adegan, penonton lalu diajak meloncat ke bagian akhir film. Pertarungan terakhir, blast-blast lagi, dan bagaimana Vers, dengan mudah, lagi-lagi meng-knock out musuh yang menghalangi jalannya.

Captain Marvel pun ditutup. Meninggalkan penonton tercengang sebab pahlawan yang disaksikannya sekuat itu, sejauh itu, sehebat itu. Higher, further, faster.

Pertama, kita harus jelas-jelas mengapresiasi gambaran tahun 1995 yang dibuat oleh Captain Marvel. Settingnya, tone yang diberikan Captain Marvel. Kalo digambarkan dengan VSCO, mungkin efek fade adalah kebanyakan efek dominan yang ditunjukkan. Dan jangan lupa soundtrack-soundtrack yang memang membawa kita ke tahun 1995. Bahkan untuk penonton yang lahir setelah tahun 1995 pun dapat merasakaan suasana vintage yang dibuat dengan baik.

Kedua, sound effects yang tepat sasaran. Kita dapat merasakan tensi yang dibangun saat kapal-kapal akan terbang, ketegangan saat Vers harus melawan hukum alam, atau bahkan saat-saat membingungkan Vers yang dibalut dengan cukup baik oleh musik yang mendukung. Sound effects ini juga yang banyak menyerap kita, seolah kita ikut bertarung dalam pertarungan futuristik ala Captain Marvel. Kudos!

Ketiga, tentu pengambilan gambar yang luar biasa. Pada beberapa kesempatan, angle yang tersedia dimanfaatkan dengan baik oleh Captain Marvel untuk memperkuat latarnya. Adegan Vers menelpon terasa sangat detail dengan poster-poster yang bertumpukan satu sama lain di dinding.

Keempat, sayangnya penyampaian emosi yang coba diantarkan ke penonton, kurang kena. Pada beberapa adegan, kita dapat melihat bahwa Vers adalah seseorang yang coba dijatuhkan berkali-kali, namun tetap kembali bangkit. Physically and emotionally. Melelahkan? Jelas. Untuk Vers.

Image from Captain Marvel

Kenapa adegan buang-buang emosi ini terasa kurang ngena? Sebab dalam beberapa menit setelahnya, kita selalu akan melihat Vers sudah kembali bangkit dan bertarung. Kalaupun ada satu segmen yang cukup menggambarkan kebingungan Vers, jeda yang ada kurang cukup untuk menggambarkan bagaimana emosinya dikuras dan diputarbalikkan.

Hal ini terasa menganggu sebab perkembangan karakter Vers, yang sebenarnya inti dari cerita, terasa mengalir begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang benar-benar berarti bagi penonton.

Sebab, tentu saja, pertarungan lainnya sudah menunggu di adegan selanjutnya. Dan kita akan segera melihat seseorang yang baru saja bersedih, sudah siap kembali ke medan perang. (Atau mungkin ini akibat latihannya di Hala yang menerapkan prinsip emosi menganggu pertarungan?)

Sebenarnya hal ini cukup dimengerti karena memang genre dari film ini bukanlah drama. Namun ketika kita melihat seseorang dihancurkan secara tanggung-tanggung, lalu harus kembali bertarung dengan jeda waktu yang singkat, rasanya agak terlalu padat dan terburu-buru.

Hal lain yang agak sedikit menganggu adalah karakter Nick Fury, yang kita tahu teramat sangat karismatik dan misterius di film-film Avengers sebelumnya, kini diubah sedemikian rupa. Hilangkan seluruh penggambaran Fury dalam The Avengers 1 yang take control out of everything, hadirkan Will Smithnya Men In Black atau Bad Boys dalam bentukan Samuel L. Jackson, kalian sudah bertemu Nick Fury dalam Captain Marvel.

Dalam beberapa adegan, Fury terlihat terlalu naif dan terlalu banyak bercanda. Dengan pangkat-pangkat yang disebutkan Vers, Fury justru digambarkan sebagai satu-satunya jokes yang bisa ditertawakan dari Captain Marvel.

Diperlukan dalam beberapa adegan, namun terasa berlebihan dalam beberapa lainnya. Hal ini terlihat tentu saja dalam bagaimana keintimannya bersama Goose, flerken, the cat.

Lalu, apa kesimpulannya?

Kutipan untuk judul diambil dari tweet Fiersa Besari, namun memang ditemukan kesamaan. Dilan selalu melindungi Milea, Dilan dibanting emosinya dan Milea merasa diacak-acak oleh keadaan Dilan, Dilan selalu menjadi pahlawan yang kuat dan mendadak lupa kalau dirinya manusia tiap kali ada kesempatan bertarung.

Captain Marvel selalu melindungi jalan cerita, penonton yang mengharapkan good ending, Captain Marvel dibanting emosinya dan penonton merasakan kegelisahan karena kerentanan yang ditunjukkan Captain Marvel, Captain Marvel selalu menjadi pahlawan yang kuat, selalu ada, dan mendadak lupa kalau dirinya manusia juga tiap kali ada kesempatan bertarung.

Dia adalah Carol Denvers-Ku, 1995.

Image from Captain Marvel

.
.
.
.

No comments:

Post a Comment