Friday, January 18, 2019

Aku tak mau berakhir sebagai seorang yang sekadar pernah mampir di dunia.

Beberapa hal yang saya pelajari selama tiga tahun; dalam bentuk cerita.


Saya suka melempar diri saya secara sembarangan ke lautan ingatan yang diciptakan Tuhan sedikit lebih deras dan mengalir di kepala saya. Saya suka tetiba mengingat. Malam ini, sebelum kita terlalu jauh nantinya, saya ingin melemparkan diri saya sendiri untuk menuliskan kesimpulan-kesimpulan.



Saya — dan teman-teman saya, sebentar lagi akan kembali merasakan kehilangan. Atau justru melepaskan? Entahlah. Ada hal-hal yang selama ini sudah kami semua genggam begitu erat hingga perpisahan kelak terasa teramat sangat menyakitkan.

Tapi, apalah arti perpisahan jika tak memberikan pelajaran? Jadi saya menuliskan hal-hal yang saya dapatkan selama tiga tahun berorganisasi. Saya tak bisa menuliskannya secara runtut, dan kebetulan saya seseorang yang suka bercerita. Jadi, selamat membaca.

-----////-----

Tiga tahun lalu, saya bukanlah siapa-siapa. Polos, naif dan kebingungan. Datang tanpa ekspektasi apapun dan mendaftarkan diri saya secara sadar dalam dua organisasi yang ada di sekolah saya. Tanpa harapan, tanpa ekspektasi. Dan sayapun memulai perjalanan saya di kedua organisasi tersebut.

Awalnya saya sempat kebingungan sekaligus penasaran. Saya tak tahu kenapa dulu saya secara konstan merasa kebingungan — atau sebenarnya penasaran, kenapa hal ini bisa menjadi begini, kenapa itu menjadi begitu.

Saya yang dulu mungkin benar-benar tak mengerti apa-apa. Yang saya tahu, selesaikan tugas, selesai. Saya tak pernah repot-repot mempertanyakan lagi, sebab syukurnya, mereka-mereka yang lebih tua daripada saya saat itu banyak memberikan pelajaran tanpa diminta.

Alasannya sederhana; mereka pernah merasakan di posisi yang sama. Saya diam, tak banyak bertanya dan hikmat mendengarkan. Tentu saja saya juga mengeluh, namun sebenarnya mengeluh itu manusiawi dan tanda dari seseorang sedang berkembang.
Jangan tanya keluhan seperti apa yang pernah saya keluarkan maupun saya dapatkan. Saya pernah menjadi navigator melalui Google Maps menuju suatu tempat yang sebenarnya saya hanya menuju ke posisi awal saya, ditambah teman yang tertinggal. Iya. Muter doang. Ibarat dari Jakarta-Bandung, pas udah sampe Cipularang, muter lagi ke arah Jakarta. 🤦🏻‍♂️

Menurut saya, keluhan menandakan ada hal-hal yang berubah dari dunia yang selama ini orang tersebut jalani. Ada perubahan dari status quo alias gini-gini aja yang mereka jalani ke posisi dinamis. Pergerakan.

Hal lain yang saya pelajari di tahun pertama adalah; adaptasi. Saya tak pernah benar-benar mengenal seseorang (dan mungkin tak akan pernah, sebab semua orang berubah-ubah) maupun keadaan yang saya jalani.

Sesuatu bisa berubah dari A menjadi Z dalam sekejap, dari Z ke A dalam waktu singkat. Dunia bisa terbalik saat berkedip, hal-hal bisa terjadi. Saya percaya semesta ini mengatur segala yang terjadi dengan ribuan kemungkinan.

Saya berusaha beradaptasi dengan keadaan-keadaan baru. Yang tadinya pulang dan tidur, kini pulang dan rapat. Waktu-waktu untuk bersantai berkurang, tugas yang semakin susah.

Ilmu adaptasi sebenar-benarnya sangat berguna saat kita masuk ke dalam sebuah lingkungan baru. Tak ada yang mudah, semuanya melalui proses. Saya berproses, kamu berproses, semua orang berproses. Dan tak selamanya proses itu lancar. Saya ketakutan sekaligus senang. Saya takut gagal, saya senang dapat berkembang.

Saya pun menyadari bahwa gagal merupakan salah satu cara adaptasi. Ibarat keping puzzle, saya harus memotong beberapa hal agar bisa bersinergi dengan yang lain. Menjadi diri sendiri dan berintegrasi dengan keping-keping lain, dan saya sadar bahwa semua orang sebenarnya bisa melakukan hal yang sama. Masalahnya, maukah mereka berkorban — memotong kepingan dari diri mereka — demi satu kebaikan bersama?

Sekian banyak pertanyaan yang tumbuh dalam dada saya, merekah indah, menyesak, tapi melegakan. Menyesak, sebab sebelumnya saya tak sama sekali pernah menyentuh hal-hal semacam ini. Melegakan, sebab saya dibuat paham kenapa saya selalu bingung secara konstan.

Sekian banyak pula jawaban yang saya dapatkan. Entah sempat saya pertanyakan atau tidak.

Ada banyak cara Tuhan akan menaikkan derajat hambanya. Seseorang akan sadar dirinya telah terlalu lama di zona nyaman dan keluar dengan sendirinya, atau dikeluarkan Tuhan melalui cara-Nya.


































Tahun pertama berakhir, tahun kedua dimulai dengan serentetan kebingungan.

Saya di tahun pertama tak banyak tingkah, mengikut, mengekor. Signifikan? Tidak. Menonjol? Tidak juga. Biasa aja. Tapi siapa yang bisa menebak seseorang bisa menjadi apa?

Tahun kedua saya dimulai dengan… rumit. Saya diharuskan memilih. Di dunia ini, saya berharap bisa memilih apapun selain kedua pilihan yang pada saat itu diberikan kepada saya.

Sebenarnya hal ini sudah terfikirkan oleh saya, dalam imajinasi yang seringkali kita sebut sebagai imajinasi paling liar seseorang. Wildest Dreamkalo kata Taylor Swift. Saya benci mengakui kalau imajinasi saya terjadi, saya benci berkata bahwa saya sebenar-benarnya tidak ingin ini terjadi.

Saya harusnya sadar bahwa jawaban “Liat nanti ya” atau “Ikuti alurnya saja” bukanlah jawaban terbaik.
Saya harus mengakui beberapa hal;
1. Saya tak pernah benar-benar bisa memilih,
2. dan saya masih memikirkan perihal keduanya, atau paling tidak, perihal hari keputusan.
3. Saya berada di titik terendah saya dalam menentukan keputusan sebab perihal nomor satu
4. Saya banyak menghabiskan waktu untuk menyendiri dan berfikir saat itu
5. Saya berharap pilihan ini tidaklah nyata.

Waktu habis. Saya terpental, menabrak dinding dan terjatuh. Saya memilih yang membantu saya kembali bangun saat itu.

Saya mempelajari bahwa bercerita ke Tuhan adalah hal terbaik yang bisa seorang lakukan saat tidak ada pilihan lain. Ada keraguan di hati saya sebab saya tak kunjung mendapat jawaban, atau kisi-kisinya, mungkin? Tapi mengetahui Tuhan selalu mendengar dan kelak menjawab, rasanya cukup melegakan.

Ini juga menjadi tahun pertama saya dengan adik-adik yang baru saja bergabung kedalam keluarga-keluarga kami. Yang dulunya bertanya, kini menjawab. Yang tadinya pasif, kini harus aktif. Yang tadinya kebingungan, kini memberikan jalan keluar.

Hal yang segera saya pelajari adalah; improvisasi. Hidup bisa memberikan kemungkinan cerita yang berbeda kapan saja, membelokkan alur, mengubahnya tanpa perasaan.

Saya salah satu yang percaya pada prinsip jika kita menginginkan sesuatu, semesta akan bahu-membahu membantunya. Improvisasi adalah adaptasi, tapi dalam — literally, no time — waktu yang sesingkat-singkatnya. Menyesuaikan diri, membaca keadaan, menebak kemungkinan. Ketiga hal itu adalah hal-hal yang saya pelajari sambil berjalannya waktu.

Tahun kedua saya diisi dengan menahkodai sebuah kapal dengan bendera berwarna biru. Apakah ada hal yang berubah? Jelas banyak. Saya menyusun skala prioritas (meski sesekali tetap terpleset), menyusun hal-hal untuk dipikirkan, menyingkirkan yang tak perlu.

Bagaimana saya bisa menyusunnya? Sederhana. Saya selalu menganggap diri saya sendiri sebagai seseorang dalam kepala orang-orang lainnya. Seseorang yang membutuhkanmu harus diprioritaskan dibanding seseorang yang menginginkanmu. Ingin bisa hilang, butuh meninggalkan jejak.

Tapi tentu saja hal-hal seperti ini tidak selalu mutlak. Dalam beberapa kasus, misalnya, saya menemukan bahwa tak semua yang membutuhkanmu tak akan menyia-nyiakanmu.
Anggap saja begini. Saya sedang dibutuhkan untuk memberi pertolongan secara psikologis, dan saya sudah berusaha semaksimal mungkin tapi orang tersebut malah denial dan tak ingin diberi bantuan. Kalau sudah begitu, tinggalkan. Mengikuti perintah semua orang kelak melelahkan. Hidup bukan untuk menyenangkan semua orang. Hidupmu sendiri perlu untuk diprioritaskan. Saya sudah cukup lelah menelan kenyataan-kenyataan bahwa tak semua orang berada dalam satu frekuensi yang sama dengan saya.

Dan kenyataannya, dengan prinsip seperti itu. Tahun kedua saya berjalan baik-baik saja.










Tahun ketiga, fase terakhir.

Awal tahun ketiga rupanya masa-masa yang penuh pengingatan. Bagaimana cara menjadi seorang yang mendidik, mengajari dan memberikan bekal untuk para adik-adik lainnya. Saya melihat mereka dalam cara yang sama seperti tiga tahun lalu senior saya melihat saya; polos, naif dan belum mengerti.

Ada satu hal yang saya jadikan acuan; yaitu tanggung jawab moral dalam membimbing mereka. Saya pernah di posisi mereka dan pernah dibimbing. Kenapa tidak melanjutkan tongkat perjuangan dengan melakukan hal yang sama?

Saya pun paham bahwa saya tak serba tahu. Membimbing dan memberi arahan bukan berarti saya menganggap diri saya tinggi. Saya sadar bahwa masih banyak yang saya tidak tahu. Tapi selama saya tahu, seseorang tidak tahu dan ia harus tahu, kenapa tidak memberi tahu?

Lama-lama saya kelaparan karena menulis banyak kata “tahu” dalam paragraf di atas.









Selama tiga tahun; saya sudah mempelajari banyak hal. Yang paling penting, menurut saya adalah bagaimana cara kita menerima, menjadi dan percaya diri dalam menjadi diri sendiri. Tidak semua orang akan menerima, tidak semua orang akan bahagia. Tapi yang paling penting; mencintai diri sendiri dahulu, yang satu frekuensi dengan kita akan mengikuti.

Selesai. —

Anda pikir saya menulis ini tidak menangis? 😭😭

No comments:

Post a Comment