Tuesday, March 5, 2019

Bagaimana rasanya memiliki rasa yang tepat di waktu yang salah

"Jadi, bagaimana?" tanyamu? Semuanya sudah jelas. Aku mencintaimu dan menginginkanmu. Kau tak perlu pertanyakan apapun lagi sebab rasanya semua pertanyaanmu sudah kujawab. Yang harus aku, kita, maksudnya. Yang harus kita jawab adalah, bagaimana perasaanmu?


Baiklah, mari kita anggap kita acuhkan dulu sebab pertanyaan itu terlalu sulit untuk kau jawab. Mari kita mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana perihal apa yang dimaksud dengan "kita".

Kau boleh mengacuhkan ini tapi aku rasa kita dimulai sejak berwaktu-waktu lalu, perkenalan kita yang sederhana dan berjalan apa adanya. Atau mungkin jauh sebelum itu? Suatu masa dimana sebelum kita ada, kita pernah bertemu dan saling mengenal dekat satu sama lain. Mungkin, itulah jawaban kenapa kita selalu bertanya-tanya, "Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya?

Atau "kenapa aku tak bisa beralih darimu sampai sekarang?"

Kita memang biasa saja dan tak ada yang romantis dari pertemuan-pertemuan setelahnya. Memang tidak ada, kita terbiasa mendramatisir apapun. Aku terbiasa mendramatisir senyummu dan segalanya terlihat begitu indah. Beberapa orang bilang, perasaan membuat kita buta. Cinta itu buta, katanya. Menurutku, salah. Cinta tidak membuat kita buta. Cinta adalah sekaleng cat air yang penuh dan tumpah di pelupuk mata kita. Membuat warna terlihat jauh lebih pekat dibanding sebelumnya, membuka retina kita lebih besar dari segalanya.

Kita tidak salah, perasaan selalu membajak bagaimana cara kita berpikir dan mengubahnya menjadi layaknya film-film yang serba romantis dan dramatis.

Setiap manusia punya satu lahan kosong yang senantiasa diisi silih berganti. Beberapa membiarkan lahan mereka ditumbuhi sembarangan, beberapa lagi menumbuhkan tanpa pernah benar-benar menggantinya, beberapa lagi menutup diri rapat-rapat.

Perasaan tak akan pernah salah. Ia kerap kali tumbuh secara diam-diam, lalu mengagetkan kita ketika pohonnya telah menyentuh langit-langit hati kita, membangkitkan syaraf sadar bahwa sesuatu harus dipotong segera, apalagi jika perasaan itu merupakan hal yang tak baik untuk disimpan dalam waktu yang lama.

Tidak ada yang salah. Perasaan tak salah. Siapa sangka diam-diam di hati kita tumbuh tanaman yang menjulur tinggi, merangkak, menjalar ke segala sisinya secara sporadis?

Kalau kata bung Fiersa, kita tak bisa memilih pada siapa kita kelak jatuh cinta.

Baiklah, lantas jika perasaan sudah tepat, kenapa kita masih tak bisa bersatu?

Pertanyaan ini mengiang-ngiang dan seringkali membuatku amat kebingungan. Gunakan penyumbat telinga agar kau tak mendengarnya lagi pun percuma. Sebab pertanyaan itu terdengar dari dalam dirimu. Dan, aku tak bisa menolak dan melawan. Aku tersiksa, tapi aku benci untuk mengakuinya.

Diantara garis tengah antara hal-hal yang menyenangkan dan kenyataan yang menyakitkan—termasuk menyedihkan, mengganggu dan menyulitkan—. Aku harus memilih, dari dua pilihan, dan aku selalu tahu bahwa keduanya menyimpan konsekuensi.

Aku benci mengurai satu-satu pertanyaan yang kelak menghantamku. Bagaimana, dimana, siapa, kapan, dan pada akhirnya, apa.

Jadi, kapan?

Kita tak bisa bersatu. Entah karena apa, bukan waktu yang tepat, semesta belum memberikan, kau sedang apa, aku sedang apa, ada banyak alasan untuk kita tidak merindukan satu sama lain namun kita masih sama-sama menyimpan rasa itu, rasa yang bagi kita sama-sama tepat.

Kita selalu kebingungan perihal semua yang menyangkut perasaan. Tak ada hitungan, tak ada rumus. Kita slealu berandai-andai dan memikirkan segala sesuatu untuk meredam remuk perasaan yang seringkali hadir. Tapi kita tak bisa menolaknya.

Kita bisa saja memalingkan kepala, mengacuhkan, membelokkan kepedulian kita masing-masing sehingga rasanya dunia ini hanya hitam-putih, namun sekeras apapun kau mencoba, perasaan selalu tumbuh dan kau tak pernah bisa menebaknya.

Apakah aku benar perihal rasa yang sama-sama tepat? Entahlah. Tapi seperti yang aku bilang di atas, perasaan selalu menumpahkan semua yang ia punya sehingga terlalu pekat warna yang ada di penglihatanku, —di penglihatan mereka yang sedang jatuh cinta.



Lantas, apakah kelak kita bersama? Kita sama-sama pernah merasakan rasa yang tepat, waktunya salah. Akankah kita kelak bertemu istilah rasa yang salah di waktu yang tepat? Atau pada akhirnya kita akan bersatu, menyatupadukan rasa dan waktu yang tepat.

Atau mungkin, tidak sama sekali. Kita tak pernah mengerti. Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah.

—semestaperfeksionis.

No comments:

Post a Comment