Logika.
Kau tahu? Aku tak pernah paham arti kata logika. Orang-orang
bilang, laki-laki menggunakan logikanya sementara perempuan menggunakan
perasaannya. Aku tak pernah paham arti kata-kata itu, tapi setidaknya, aku
paham bahwa manusia punya dua hal yang perlu diseimbangkan dalam hidupnya;
logika dan perasaan.
Ada banyak kegiatan yang membutuhkan logika. Berjalan,
membaca, menulis, berhitung. Logika berjalan dan menggerakan roda kehidupan—perekonomian, pendidikan, ilmu-ilmu sosial, hukum— dan
menjadi petunjuk arah atas segala pertanyaan.
Masalahnya, terpikat
padamu bukanlah salah satunya.
Perputaran bumi tiba-tiba menjadi lebih cepat dan kau berubah
menjadi pusat semesta tempat rindu melakukan rotasinya setiap hari, terbit fajar
dan bertahan hingga fajar lagi. Hal-hal menjadi lebih ringan untuk dilakukan,
kata-kata melebur dalam perasaan untuk dikeluarkan.
Menyukaimu memang semudah dan seberbahaya itu. Aku menanam
sendiri bibit-bibit harapan yang berdebu, mengubahnya jadi akar-akar yang kuat
tertancap di suatu pot bernama hati. Setelah lama meninggalkannya
berbulan-bulan karena hujan yang turun berkepanjangan, kau menjadi matahari
yang lama dinanti.
Aku sudah mengunci ingatanku dari segala hal yang dulu sempat
ada dan menyisakan luka. Pagi tempatku terbangun dan menemukan kekosongan yang
tak bisa aku isi, malam yang menyiksa sebab kedinginan memelukku erat dan tak
ada satupun hal untuk menghangatkan badan.
Dan kau hadir, begitu saja. Aku tak mengerti dan tak perlu
mengartikanmu. Kau hanya hadir, dan semestaku berubah menjadi taman bermain
yang Tuhan memainkanku didalamnya.
Aku semakin ingin tahu tentang dirimu, makanan kesukaanmu,
warna kesukaanmu, hobimu, hal-hal yang kau benci atau mimpi-mimpimu. Secara konstan,
aku mencari persamaan-persamaan diantara semesta kita lebih dalam tiap harinya.
Jika saja ada kota yang dimana mataharinya tak pernah bersinar
seperti kata Khalid —the
city where the sun don’t set—. Aku
ingin pindah kesana, menemui perbincangan demi perbincangan layaknya air bah
yang kau tak pernah tahu kemana arahnya, mengalir, deras, hingga jauh.
Tapi kau tak pernah benar-benar
menjawab. Kini aku tak tahu persis dimana lokasiku sekarang. Aku berjalan tanpa
benar-benar mengetahui tujuanku, berlayar, tanpa tahu kemana berlabuh,
berenang, tapi tak kunjung menemui tepian.
Sampai di muaramu adalah sebuah
perjalanan panjang yang entah kapan berhentinya.
Terkadang aku lelah dan
benar-benar kehabisan bahan bakar, terkadang pula aku menaikkan kecepatan hanya
untuk menemui bahwa aku sedang mengejar ekorku sendiri.
Bagaimana jika sebenarnya tidak ada tujuan, tidak ada
pelabuhan, tidak ada tepian?
Ada yang salah, sesuatu sedang
terjadi dan aku seharusnya tahu bahwa melihatmu bahagia adalah hasil dari
rentetan kejadian yang dimulai dari satu hal; kepergianku.
Kau tahu bahwa sebenar-benarnya
kita tak akan pernah mengerti bagaimana semesta bekerja. Berpola? Tidak. Acak?
Tapi acak punya polanya sendiri? Lantas berpola? Tidak juga. Ada jutaan
pertanyaan dan kepergianku hanyalah satu dari sekian jawab yang mengitari
kepala.
Aku ingin mengembalikan sesuatu
pada diriku sendiri;
perhatian
Aku ingin mengembalikan sesuatu pada dirimu;
Aku ingin mengembalikan sesuatu pada dirimu;
bahagia
Kau Januari dan aku November
Kau penuh dengan mimpi-mimpi
aku
menurunkan hujan setiap hari
Kau penuh dengan mimpi-mimpi
aku
menurunkan hujan setiap hari
Pada suatu persimpangan di Desember
aku menjadi mendung yang menunggu
untuk menurunkan hujan
atau menjadi cerah kembali
menjaga saudade dan harap-harap cemas
aku menjadi mendung yang menunggu
untuk menurunkan hujan
atau menjadi cerah kembali
menjaga saudade dan harap-harap cemas
Kota menjadi abu-abu
Dan bertanya-tanya,
dimana lagi kau bersembunyi malam ini
atau
apakah kau akan kembali
atau memutuskan pergi?
Dan bertanya-tanya,
dimana lagi kau bersembunyi malam ini
atau
apakah kau akan kembali
atau memutuskan pergi?
—J'ai cligné des yeux
tu n'étais plus la même
Est-ce que tu m'aimes?
No comments:
Post a Comment