Saturday, December 1, 2018

Tiga Pagi.

Tiga Pagi.

Bayangkan kau terbangun pada pukul tiga pagi dini hari. Kau terbangun dan memandang langit-langit kamarmu. Kau mendadak melihat seekor hewan yang kau kira kecoa, terbang melintasi pandangan matamu. Kau beranjak bangun dan menyadari kini bulu kudukmu merinding.


Kau mendadak sadar bahwa ada sesuatu di langit-langit kamarmu, jaring laba-laba yang entah sejak kapan atau dari dulu memang belum pernah kau bersihkan. Tubuhmu melepaskan balutan selimut yang menutupi dirimu semalaman, ia ingin lebih bebas daripada ini. Kini kau bergegas ke dapur untuk meneguk segelas air minum lalu melanjutkan tidur.

Tapi di dapur, niatmu untuk melanjutkan tidur hilang. Kau meminum segelas air lalu menyadari sesuatu, kulkas yang berbunyi lebih kencang dan bunyi jam dinding yang berirama. Kau melihat semut melintas di atas meja, bertemu koloninya untuk kemudian kembali berjalan. Kau menyadari hal-hal kecil.

Pukul tiga pagi, kau bergegas menuju balkon. Ada sesuatu yang terpendam dalam dirimu. Ada kebebasan yang ingin lepas dari belenggu-belenggu tuntutan yang menghantammu. Kau ingin memuntahkannya.

Pintu balkon terbuka dan hal pertama yang menghampirimu adalah angin yang menghembus kencang, menerpa wajahmu untuk sekedar membangunkanmu (lagi). Kini kau melangkah menuju pagar-pagar yang membatasi balkon, sambil menghirup oksigen yang dihasilkan pot-pot bunga berjajar sepanjang sisi balkon.

Tiga pagi, kau menyadari kota tak menyeramkan. Gedung-gedung pencakar langit tidur berdiri, bersanding pada dinding langit hitam yang kau tak tahu batasnya. Tak ada lagi asap kendaraan, polusi maupun klakson yang biasanya bersahut-sahutan. Tak ada keramaian, tak ada bising, tak ada bisik-bisik yang menepi sejenak di telingamu, tak ada silau, tak ada monster, tak ada kerumunan. Segalanya begitu tenang dan kau menemukan dirimu sendiri.

Dan kau, pikiranmu, menjelajah lebih jauh dari ragamu. Ia membawamu mundur untuk maju lalu sebaliknya. Ia ingin kau merancang sebuah rencana sambil mengingat luka lama, sebuah proses pembelajaran. Kau mendadak mengingat segalanya, keluarga, teman-teman, pasangan (yang hampir, mantan, atau hampir mantan, bahkan mantan hampir), kolega, atasan, bawahan, kirian-kananan hingga orang-orang yang pernah mengisi hidupmu dalam sudut-sudut yang kau tak pernah hargai.

Tiga pagi dan imajinasimu mendadak liar. Ia membuka lubang hitam yang menyerapmu dan memastikan kau tak bisa keluar. Bagaimana jika waktu itu (entah kapan dimana atau bagaimananya) kau memilih satu kemungkinan yang tidak pernah terjadi? Bagaimana jika kau melakukan hal-hal yang kau tak pernah cukup berani untuk lakukan atau melakukan yang seharusnya kau lakukan tapi malah tidak kau lakukan?

Kau terserap semakin dalam. Dalam imajinasimu kini ada pohon-pohon yang bercabang, kau bisa membuat seseorang bahagia, sedih dan seseorang bisa melakukan hal yang sama denganmu. Bagaimana jika keputusan yang telah kau ambil sebenarnya bukan keputusan terbaik? Kau bisa mengambil keputusan yang lebih baik daripada kemarin, tapi sial! Kau salah memilih. Kau paham bahwa penyesalan itu menakutkan dan kini ia sedang menyelinap di sela embusan napasmu.

"Kenapa hal-hal terjadi dan kadang tak sesuai dengan keinginan?" kau mendadak mempertanyakan segala sesuatu. Kau mempertanyakan hal-hal, kau mempertanyakan perasaan tiap orang kepadamu (termasuk perasaan seseorang yang kau jaga) atau perasaanmu pada tiap orang benarkah segala sesuatu dapat dilakukan dengan tulus tanpa balas budi atau dihitung hutang sampai mati?

Kau mendadak menjadi kritis dan kau benci. Kini kau menjadi takut untuk berpikir tapi segala pertanyaan seperti menyeruak dan kau tak punya wadah cukup untuk menampungnya. Kau ingin muntah, kau ingin mengeluarkan seluruh tanda tanya yang menyesakkan seluruh kepalamu lalu membuangnya di selokan terdekat.

Ketakutanmu kini semakin menjadi-jadi. Segalanya berubah menjadi tentang mimpi-mimpi yang tak pernah (atau tak bisa) kau wujudkan, pengalaman-pengalaman yang telah kau rasakan, segala perasaan yang kau bisa lewati dengan senyuman maupun tangisan. Tubuhmu kini menjadi kumpulan ketakutan.

Inti jantungmu adalah kemungkinan. Seseorang (dan dalam kata seseorang, kau mendadak ingat semua orang yang pernah kau cintai, yang berbalas maupun yang tak peduli. Dulu, sekarang) mengisi hatimu dan kini imajinasimu ikut menyerap seseorang yang kau cintai, dalam pikiranmu.

Kau benci ini. Kau ingin mengakhiri ini dan kembali tertidur. Tapi biologis sialan, pikirmu, kini air matamu mendadak menetes bahkan sebelum kau mengizinkannya. Lancang dan tanpa permisi, mengaliri pipi untuk kemudian pecah di lantai. Kau mendadak ingin hidup seribu tahun lagi, mengulangi, memperbaiki, menyelesaikan.

Kau jadi ingat segala hal yang baik-baik. Kau ingin menjaga mereka. Kau ingin menjaga sese/orang-orang yang sedang bersamamu sekarang sebaik mungkin dan sekuat mungkin. Kau ingin melindungi mereka seperti orang-orang itu melindungimu dengan caranya masing-masing. Kau melihat bintang-bintang di langit dan membayangkan menjadi salah satu di antaranya.

Kau merangsak keluar dari lubang hitam pikiranmu (atau sebenarnya lubang hitamnya yang mengecil), kau menjadi lebih peka dan ingin menutup luka-luka lama. Kau ingin lebih banyak tertawa dan menghidupi hidupmu dengan cara-cara bahagia yang kelak kau tahu pasti akan diselingi kesedihan. Kau tak ingin menghindari apapun lagi, kau ingin menghadapi, kau ingin bangkit dan membangunkan dirimu sendiri.

Dan kau berhasil. Kau kembali ke suatu tempat di mana kau berdiri. Balkon. Melihat gedung-gedung pencakar langit masih tertidur pulas sambil berdiri (kau terpikir untuk membangunkan dan membenarkan posisi tidurnya). Kau kembali ke rumahmu. Kau memandang sekitar, tak ada apapun kecuali sayup-sayup angin yang menerpa tembok-atap-genteng-cerobong asap-segalanya. Kau membasuh muka dengan tangan.

Kau melakukannya sekali lagi. Dua kali membasuh muka dengan tangan kosong dan licin.

Sewajarnya, tiga pagi adalah waktu-waktu orang tertidur.


Tapi, kau lebih jujur dan terbuka dan rentan pada apapun pukul tiga pagi. 

Aku ingin menjadi tiga pagi-mu.

semestaperfeksionis

No comments:

Post a Comment