Wednesday, November 21, 2018

A Man Called Ahok dan Mengapa Memimpin itu Menderita

A Man Called Ahok dan Mengapa Memimpin itu Menderita
Oleh : Kanzia Rahman.


Hasil gambar untuk A Man Called Ahok


Basuki Tjahaja Purnama, atau kita akrab menyebutnya Ahok (sehat terus, pak). Gubernur DKI Jakarta sejak 2014 hingga pertengahan Mei 2017. Sepak terjangnya dalam politik dan pemerintahan harus berakhir dengan cara yang... kontroversi.

Tapi mari lupakan politiknya, setidaknya itulah yang ada di pikiran saya saat membeli tiket film A Man Called Ahok, film biopik yang mengisahkan perjalanan hidupnya dan bagaimana ia sampai ke titik saat ini.

Premis film ini cukup sederhana. Babak awal hingga pertengahan film lebih banyak menceritakan tentang masa kecil Ahok, masa remaja, lebih tepatnya. Dari awal, kita sudah dipertontonkan latar yang menurut saya berhasil dieksekusi dengan baik. Penokohan pun dengan mudah kita bagi jadi yang baik dan yang jahat.

Lantas kita dipertontonkan masa-masa sulit dari keluarga Ahok, dan bagaimana Ahok remaja berhasil memberikan solusi meski diam-diam. Masih takut salah, tapi sudah punya pendirian. Setidaknya itu yang saya tangkap dari hampir 50-60% film.

Memasuki babak selanjutnya, penonton disajikan penokohan Ahok yang mulai merintis kariernya sendiri. Seorang pengusaha, seorang yang punya pendirian dan tak takut pada siapapun. Dalam sudut pandang ini, kita seperti melihat Ahok tak takut pada siapapun karena selalu punya cara untuk menyelesaikan masalah apapun—. Kita ditampilkan Ahok yang visioner, dan berpendirian teguh.

Dan di sisa akhir film, kita dipertontonkan perjalanan politik Ahok, sesuatu yang (mungkin) sebenarnya ditunggu-tunggu penonton sejak awal. Ia memulai dari anggota DPRD, Bupati, dan hanya sampai karir Bupatinya lah yang diceritakan oleh film.

Cara bermain aman yang paling baik, Ferguso.

Senada dengan apa yang sebenarnya sudah penonton duga, film menceritakan tentang sifat Ahok. Bagaimana terbentuk sifatnya saat masih muda, bagaimana ia mempertahankan pendiriannya dalam melawan korupsi, bagaimana ia membela rakyat. Semua, diceritakan dan sesuai apa yang telah menjadi ekspektasi penonton sejak awal.

Tapi dari semua adegan, bagi saya pribadi, adegan yang membekas adalah intro dan outro film yang hampir membuat saya mengira film ini akan menjadi film dokumenter. Sisanya, fine. Perfectly fine. Tidak ada karakter yang terlalu lebay, scoring minimal dan tepat sasaran, latar yang tidak blunder dan mendetail.

Highly recommended.

---- Terhitung garis ini kebawah adalah tulisan saya perihal pemimpin dan memimpin dan kepemimpinan, jika anda ingin membaca review filmnya saja, cukup. ----

Perihal kepemimpinan, pemimpin dan memimpin. Saya pikir kita semua tahu bagaimana stigma (dan seharusnya) pemimpin di mata masyarakat. Seseorang yang berdedikasi, dapat dipercaya, punya serentetan kemampuan yang menjadikannya modal menjadi pemimpin. Tapi entahlah, saya pun tak pernah paham pemimpin yang benar itu sebenarnya seperti apa.

Anggap saja, ceritanya saya punya daftar hal-hal yang 'seharusnya' diatas. Saya pernah sampai di titik dimana memilih begitu sulit dan rasanya saya ingin menghindari pilihan-pilihan lagi sepanjang hidup saya. Ada ribuan konsekuensi dan ekspektasi yang menjalar dan membentuk jaring laba-laba di otak saya, kepala saya penuh dan saya tak bisa melakukan apa-apa.

Tapi takdir tak dapat dihindari. 

Tidak ada orang yang ingin menerima tanggung jawab lebih besar dibanding orang lain.

Jujur saja, mengurus diri sendiri saja kadang masih menjadi hal yang merepotkan bagi diri saya sendiri. Bagaimana saya akan mengembang tanggung jawab akan orang lain? Saya tak pernah punya jawabnya. Setiap orang ingin bertanggung jawab akan dirinya sendiri, setiap orang ingin mengurus dirinya sendiri.

Menerima tanggung jawab lebih besar berarti memanjangkan/meluaskan/melebarkan atau apalah namanya apapun yang kita punya. Memanjangkan pikiran —satu dua tiga langkah kedepan—, meluaskan cara berpikir perihal siapa saja dan apa saja dampak dari keputusan yang kelak kita ambil. Melebarkan jangkauan berpikir, satu dua tiga langkah kedepan bagi pihak yang kelak terlibat.

Menjadi pemimpin berarti berpikir dan/atau beraksi lebih banyak.

Mengorbankan atau Mendahulukan.
Seorang pemimpin, katanya, harus rela berkorban apapun pada anggotanya.

Memimpin berarti merelakan lebih banyak waktu untuk banyak orang, lebih banyak waktu untuk bekerja dibanding bermain, merelakan kebiasaan-kebiasaan lama perihal pembagian waktu yang melekat di tubuhnya menjadi jauh lebih fleksibel.

Merelakan tenaga untuk memikirkan juga mengatur dan mengorganisasikan banyak orang. Berpikir itu melelahkan. Amat. Teramat sangat. Apalagi memikirkan orang-orang yang ada dalam tanggung jawab kita. Merelakan tenaga, waktu, dan pikiran adalah suatu hal yang pasti saat memimpin.

Pengorbanan, bagi seorang yang memimpin, adalah hal yang mutlak dilakukan.

Namun dalam kasus-kasus tertentu, ada kalanya pemimpin pun harus memikirkan diri sendiri. Ambil contoh kasus jika kau dan adik kecilmu yang berumur bulanan naik pesawat dan pesawatnya jatuh. Jika bertahan pada prinsip pengorbanan, maka satu-satunya masker oksigen akan kau berikan pada adikmu, yang mana berakhir pada situasi dimana baik kamu dan adikmu tak bisa menyelamatkan dirimu. Tapi memberikan masker oksigen pada diri sendiri, kamu dapat menyelamatkan adikmu dan dirimu sendiri.

Ingat, resiko terkecil.

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirimu sendiri dalam kondisi yang mengharuskan memilih antara mengorbankan atau mendahulukan diri sendiri adalah dengan menggunakan logika. Baik logika maupun perasaan, bermain perannya masing-masing dalam pengambilan keputusan.

Satu keputusan untuk banyak pihak.

Dalam setiap keputusan, dalam setiap jalan yang bercabang, dalam setiap pilihan, selalu ada resiko. Memilih A berarti mengorbankan B, memilih A berarti memutuskan untuk siap menerima resiko dari A. Ada peluang yang sia-sia disana, ada satu lagi halaman takdir yang tak kau singkap karena memilih membuka halaman lain.

Apalagi jika keputusanmu adalah keputusan yang berpengaruh ke banyak pihak. Jangan muluk-muluk hingga ke pihak luar/eksternal. Pihak internal, ada berapa anggotamu? Ada berapa individu? Ada berapa kepala? Ada berapa tim intimu? Mengambil keputusan berarti siap menjalaninya bersama-sama mereka. Internal.

Dan yang saya pelajari adalah; ambil keputusan dengan resiko terkecil. Sekecil apapun, resiko selalu ada dan tetaplah ada. Bahkan mengorbankan salah satu pilihan adalah resiko. Dan untuk mengambil resiko terkecil adalah untuk memperjuangkan keputusan yang telah diambil bersama-sama.

Saya sendiri salah satu yang muak dengan berbagai tekanan dan tuntutan perihal ini-itu yang bertubi-tubi diberikan pada satu orang. Menurut saya, hidup adalah pembelajaran sepanjang masa yang tak akan pernah selesai.

People will throw their s*** at you

Menyambung perkataan saya perihal muak, yang saya maksud disini adalah perkataan-perkataan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Terlalu berbahaya. Mari kita loncat.

Dalam memimpin, kelak akan banyak satu-dua kata-kata yang disampaikan dengan cara tidak baik yang masuk ke telinga, atau bahkan tepat dibuang ke depan muka. Seorang yang memimpin kelak terbiasa dengan deg-degannya saat mendengar namanya dipanggil untuk bertemu seseorang yang secara hierarki berada di atasnya.

Dan karena mereka sama seperti kita, manusia juga, terkadang kita menyimpan 'sampah' dalam bentuk emosi yang bisa kita luapkan kapan saja dimana saja.

Menerima 'sampah-sampah' itu kelak lazim diterima. Saya pikir, bagian ini tak hanya untuk pemimpin saja, tapi semua orang. Kalau sudah begini, saatnya menerapkan prinsip penyaringan. Saya tidak bilang bahwa semua kata-kata orang lain itu tidak berguna, tapi saya yakin, kita semua paham betul bagian mana saja yang dapat kita jadikan kritikan membangun, dan bagian mana saja yang harus kita pikirkan dua kali untuk dijadikan kritik atau sekedar sampah saja.

Saya tidak akan elaborasikan. Kalimatnya bermakna sesuai interpretasi pembaca. :))

Kekuatan terbesar seorang pemimpin — dan semua orang— adalah rasa kepercayaan yang diberikan. Menurut saya pribadi, rasa percaya yang telah diberikan oleh anggota yang memilih adalah bahan bakar dalam menentukan arah. 

Sebagai umpan baliknya, kita terbiasa menyayangi dan tumbuh rasa menjaga orang-orang yang memercayai kita. Ketika kamu telah dipercaya oleh seseorang, kamu ingin menjaganya, melindunginya. Meskipun sebenarnya seorang yang memimpin dituntut untuk menjaga maupun melindungi semua anggotanya, terlepas dari rasa percaya yang diberikan.

Ambil seluruh rasa kepercayaan anggota dari seorang pemimpin dan ia akan pincang. Layaknya pipa, terlihat kokoh di luar, kosong di dalam.

Tapi serius, jika ingin melihat dari sudut pandang yang individualis, menjadi pemimpin berarti menjadi seseorang yang dipasangkan sayap (mau tidak mau) oleh orang banyak, lalu dipakai terbang di kemudian hari. Saya tidak bercanda, tapi kita semua tahu orang-orang yang kepribadiannya banyak berubah sejak ia telah menjadi pemimpin.

Menyakitkan memang untuk dipasangkan sayap secara paksa oleh orang-orang. Lebih banyak menderitanya, tapi nantinya, hal-hal yang membuat kita menderita itulah yang justru membuat kita terbang lebih tinggi (dibanding yang sayapnya lebih kecil, semua orang punya, tapi cara mereka mengembangkan sayap yang berbeda-beda.)

Saya ingin bertepuk tangan untuk para (sebab semua orang adalah pemimpin yang memimpin dirinya sendiri), maupun calon pemimpin yang membaca tulisan ini sampai paragraf ini. 👏👏

Memimpin, berarti menyerap lebih banyak pelajaran, menerima lebih banyak luka, mengerti lebih banyak cara menyembuhkan diri sendiri. Memimpin adalah pengalaman penting yang tak semua orang dapat merasakannya. Memimpin memang berarti menderita, tapi setelahnya, kita akan paham bahwa memimpin itu sendiri

berarti

suatu metamorfosis kita

menjadi

seekor kupu-kupu.

No comments:

Post a Comment