Wednesday, August 15, 2018

Kafir dan Sebelum Iblis Menjemput: Mematahkan Stigma!

Kafir dan Sebelum Iblis Menjemput: Mematahkan Stigma!
Oleh: Kanzia Rahman

Review Sebelum Iblis Menjemput 2018 Poster




Sebenernya bagi gue pribadi, ada keraguan untuk menonton film horror Indonesia, mengingat track record dan stigma yang udah terbentuk selama ini bahwa film-film horror dalam negeri tidak sebaik film-film horror luar, atau film bergenre lain.

Jelas, kita tahu apa yang dimiliki film-film 'box office' horror dari luar dan dari dalam negeri. Dari poster filmnya aja kadang udah males nontonnya :))

Tapi gue rasa itu dulu. Sejak Pengabdi Setan, rasanya film-film horror kita mendapat kenaikan standar yang menyegarkan. Setahun lalu, (bahkan sampai sekarang) bioskop kita seolah tak pernah kehilangan film yang menayangkan karakter yang diteror oleh 'sesuatu-sesuatu' tidak menyenangkan. Gak ketinggalan dua film yang tayang hampir bersamaan di bulan kemerdekaan Indonesia ini (yang diisi oleh film-film horror). Kafir dan Sebelum Iblis Menjemput.

Premis
Hasil gambar untuk sebelum iblis menjemput
(Sebelum Iblis Menjemput)
Ada satu kesamaan unsur yang dimiliki keduanya; Okultisme. Mengingat tema ini sangat dekat dengan penontonnya dan ide cerita yang sama sekali tidak dipaksakan, pemilihan unsur ini bagi gue sangat tepat.

Menyenangkan aja bisa melihat film horror dengan ide cerita yang natural dan berjalan apa adanya. Gak maksain untuk ikut-ikut film luar yang bergantung pada boneka, papan permainan, atau barang-barang yang 'sakti' sebagai jembatan dunia tak kasat mata dan dunia pemain yang penonton sedang saksikan.

Peran jembatan ini diambil sepenuhnya oleh santet dan sihir. Keduanya menggunakan formula yang sama; bergantung pada hal-hal mistis dan gone wrong. Yang membuatnya berbeda adalah cara pendekatan kedua film ini dan departemen cerita yang bisa penonton eksplorasi selama menyaksikannya.

First Impression
Hasil gambar untuk film Kafir (2018)
(Kafir)
Kesan pertama yang diberikan Kafir adalah ketidaknyamanan. Film dibuka dengan alunan musik lalu diikuti tone pewarnaan khusus untuk keluarga kecil sebagai para pemeran utama kita. Ada hal janggal yang entah apa— kita tak bisa jelaskan, kita tak bisa uraikan. Ada impresi terbesit di pikiran kita bahwa sesuatu yang tidak beres akan terjadi dalam film ini yang mana bisa kita dapatkan sejak menit awal.

Sementara untuk Sebelum Iblis Menjemput, kesan pertamanya, tidak lain dan tidak bukan, adalah biasa aja. Namun segmen biasa aja kita itu segera berubah dalam hitungan menit film. Kita segera dapat menyimpulkan kemana arah film melalui adegan-adegan gak masuk akal yang ditampilkan di permulaannya. (Clue: Rambut dan Kepala Hewan). Kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada hal yang stagnan selama seratus menit kedepan. The rollercoaster is real.

Cara Pendekatan
Hasil gambar untuk sebelum iblis menjemput
(Sebelum Iblis Menjemput)
Inilah yang membedakan kedua film ini, cara pendekatannya.

Kafir membuka jalan cerita sedikit demi sedikit. Penonton akan disajikan alur yang maju kedepan dengan tempo yang bercampur cepat-lambatnya. Ia ingin penonton penasaran, ia ingin penonton bertanya-tanya, ia ingin penonton tetap bertahan di kursinya sampai semua misteri terbuka. Hereditary-esque.

Gaya pendekatan inilah yang mendadak seperti dipercepat di babak akhir film. Alur yang seolah berjalan lambat (padahal sebenarnya cepat, dalam filmnya) tiba-tiba digas pol melalui serentetan twist yang coba dihadirkan Kafir. Bukan tanpa alasan, tapi jika Kafir tidak dibelokkan endingnya, mungkin jalan ceritanya udah begitu-gitu aja dan membosankan (karena dapat ditebak)

Membuka lembaran demi lembaran misterinya secara perlahan, film ini bukan berarti tak menyenangkan. Penonton selalu Kafir ajak untuk ikut dalam serangan psikologis keluarga kecil karakter. Lihatlah beberapa adegan yang memiliki shot yang serupa, atau usaha keras Kafir untuk menghadirkan keseraman di depan muka penonton. Hasilnya? Penonton akan semakin menebak-nebak dan terpupuk rasa penasarannya.

Sementara Sebelum Iblis Menjemput adalah one hell of a ride you can't refuse. Penonton dibuat buta akan adegan yang bisa saja tampil dalam menit berikutnya. Atau penonton boleh menebak-nebak, lalu terkecoh.

Penonton diajak spot jantung sejak awal, dan degan-adegannya pun tidak sekadar menggantungkan diri sebagai dikira jumpscare ternyata enggak. Adegan-adegan dalam Sebelum Iblis Menjemput dibuka secara pasti. Hanya, film ini mengulur sedikit waktu dan membiarkan penonton mengambil jeda untuk bernafas (meski sebenarnya tidak sempat untuk bernafas) sebelum menampilkan spot jantung berikutnya.

Ia ingin penonton bertahan di kursinya dan berteriak, ia ingin penonton merasakan ketakutan. Gaya pendekatan yang jauh lebih sporadis dibanding Kafir. Adegan-adegan yang kita perkirakan bakal kejadian ternyata beneran dilakuin. Dihadirkan secara totalitas oleh departemen pemain yang juga gak main-main. Badass.

Dan karena pembawaan cerita yang cepat. Kita pun gak sadar bahwa durasi telah lama terlewati. Gue baru sadar film ini udah lama pas mbak-mbaknya udah buka pintu exit. Dalem ati berbisik, "damn spoiler." lalu kembali tertanam di kursi. Latihan jantung dan keseraman yang dihadirkan secara konstan oleh film ini meninggalkan kesan tentang caranya yang agresif; melelahkan sekali.

Dialog, Karakter dan Unsur Lainnya.


Hasil gambar untuk sebelum iblis menjemput
(Sebelum Iblis Menjemput)
Hasil gambar untuk Kafir (2018)
(Kafir)
Mengambil latar terisolasi dan kawasan antah-berantah, Sebelum Iblis Menjemput seolah ikut mengajak penonton kedalam bagaimana keisolasian dan kesendirian para karakternya di sana. Beberapa adegan bahkan jelas-jelas menampilkan hal-hal yang membuat tokoh putus asa, sekaligus memotong asa penonton. Ada lapangan main dan batasan-batasan latar yang  diperkecil oleh Sebelum Iblis Menjemput seiring berjalannya durasi film.

Sementara, dialog dalam Sebelum Iblis Menjemput terdengar sangat... apa ya, to the point. Apapun yang dikatakan tokoh-tokohnya dapat membuat kita segera melabeli karakteristik tokoh dan menciptakan kesan yang mudah kita tebak dalam tokoh tersebut. Meski di awal-awal film masih agak kabur dan blur tentang mana pihak baik dan jahatnya, tapi memasuki pertengahan hingga akhir, kita dengan mudah membagi dua karakter kedalam dua pihak; hitam dan putih, baik dan jahat.

Konflik yang hadir dalam SIM pun tidak sekadar hadir sebagai "lu jahat gue baik" yang klise. Well, agak klise sih sebenernya. Tapi cara film ini mengacak-acak konflik bahkan sampai menit terakhir ternyata mengasyikkan (meski tetap melelahkan) sekaligus membingungkan.

Permainan musik dan scoring yang dibawakan oleh SIM fantastis. Tidak terlalu lebay dan mengada-ada, pas. Hanya saja dalam beberapa adegan, scoring yang dibarengi dengan dialog karakter masih seolah saling mengalahkan suaranya, sehingga apa yang diucapkan karakter kalah dengan suara latar.

Departemen pemainnya pun terasa totalitas. Akting yang lepas dan tak main-main dihadirkan kedepan layar kita. Tak hanya itu, kita pun dapat melihat bagaimana jajaran aktris yang selama ini kita saksikan selalu bermain film dalam zona nyaman mereka, kini keluar dari sana dan berubah 180 derajat dari sebelumnya. Jangan tanya bagaimana seriusnya Chelsea Islan mengayunkan palunya, psikopatik.

Berbeda dengan SIM yang mengecilkan lapangan permainan cerita. Kafir justru membuka kemungkinan cerita kemana-mana. Setting desa, rumah, hutan, semua dieksplorasi oleh film ini  (dengan mengajak penonton, tentunya). Kafir jelas lebih berani untuk membiarkan karakternya terpecah untuk memecahkan misteri yang sama, Kafir butuh banyak referensi dari luar latar untuk dihadirkan kepada penonton.

Memuaskan, tapi dengan durasi yang diberikan, agaknya terasa menyesakkan.

Soal dialog, Kafir menghadirkan percakapan demi percakapan maupun adegan cheesy. Cheesy. Kelemahannya adalah cheesy. Tapi dalam sudut pandang yang berbeda, kelebihannya adalah dengan ketidakspesialan dialog itu, justru lebih banyak lagi lembaran misteri yang harus dibuka. Salah satunya adalah posisi karakter yang tidak bisa dengan mudah kita tebak baik buruknya. Semua karakternya terlihat sama dan biasa saja, lantas, siapa yang lebih mencurigakan?

Konflik bagi Kafir adalah segalanya. Dihadirkan dalam porsi yang bertambah lalu berkurang mengikuti alur film, penonton hanya bisa menyaksikan bagaimana konflik satu hadir, lalu konflik satu selesai, lalu konflik lainnya hadir lagi. Konflik membagi-bagi film ini dalam segmen pertanyaan-pertanyaan, "masalah apa yang harus kita selesaikan sekarang?"

Sementara permainan musik dan scoringnya brilian dan mengesankan. Tidak lebay, tapi kadang dalam beberapa kesempatan justru kurang dimaksimalkan. Akting para pemainnya tidak memaksakan untuk menjadi keren, dalam artian, kita dapat mengerti kenapa seorang karakter harus bertingkah seperti itu.

Kesimpulan

Gambar terkait
(Kafir)
Hasil gambar untuk sebelum iblis menjemput
(Sebelum Iblis Menjemput)
Meski Kafir maupun Sebelum Iblis Menjemput punya beberapa kesamaan, penyajian kedua film tersebut berbeda. Jika dibandingkan, ada gap yang tak bisa dijangkau oleh satu film dan sebaliknya. Yang membedakan hanyalah masalah selera genre.

Bagi para penyuka film misteri yang dibawakan dengan gaya Hereditaryesque dan alur perlahan dan membuat frustasi namun tetap tidak meninggalkan ke-Indonesia-annya. Jelas Kafir adalah pilihannya. Berhasil membuat penonton penasaran dan (sedikit) merasa tidak nyaman, disturbing.

Bagi para penyuka film thriller-gore-horror yang dibawakan dengan dihadirkan secara agresif, sporadis, dan tidak memberi jeda bernafas sedikitpun bagi para penontonnya. Sebelum Iblis Menjemput adalah film yang wajib ditonton. Totalitas baik dalam memberi ketegangan maupun membangun suasana mengerikan sebelum sampai ke titik puncak, dan, boom.

Sisanya, kedua film ini sama-sama membawa level horror perfilman kita ke level yang berbeda. Naik satu tingkat. Kafir menjadi terobosan dengan cara pendekatannya yang masih sangat jarang di Indonesia, sementara Sebelum Iblis Menjemput menjadi tolok ukur yang disandingkan dengan Pengabdi Setan dalam standar horror film dalam negeri. Keduanya menjadi masterpiece dalam bidangnya masing-masing.

Kedua film ini jelas mematahkan stigma buruk bahwa perfilman horror Indonesia tidak lebih dari horror ecek-ecek yang dipenuhi kualitas akting ecek-ecek dan hantu ecek-ecek. Kedua film ini memberi harapan bahwa kedepannya, kualitas film kita akan naik satu tingkat dari yang selama ini kita tahu. Who knows?

Anyway, bagi yang belum menyaksikan trailer Kafir maupun Sebelum Iblis Menjemput. Here you go:

Trailer Film Kafir

Trailer Sebelum Iblis Menjemput

(Nb: gambar diambil dari berbagai sumber)
.
.
.
.
.
.
:)

No comments:

Post a Comment