Wednesday, April 11, 2018

The Shape of Water, saat air mengubah bentuknya. (REVIEW)

The Shape of Water, saat air mengubah bentuknya. (REVIEW)
Diambil dari; twitter: @KanzKanz dengan sedikit perubahan.

(giphy)
The Shape of Water adalah film yang sangat sederhana, tapi kesederhanaannya membunuh.

Pertama kali gue baca sekilas soal garis besar film The Shape of Water, gue pikir bakal ada ceria rumit atau kompleks atau ribet atau membingungkan ala-ala yang konfliknya berputar pada jumlah karakter yang banyak dan pekat akan konsep fantasi. Jujur, salah satu yang membuat gue menonton film ini adalah raihan Oscars yang gak cuman satu, tapi empat. Empat, men, empat. Bayangin.


Empat penghargaan untuk konsep film yang simpel dan plot yang menurut gue basi alias ketinggalan jaman banget ---ditengah gempuran film-film dengan latar futuristik dan plot yang rumit---. Apa sih yang bikin The Shape Of Water sampai mendapatkan penghargaan The Best Picture tahun ini? Gue pun dengan sangat antusias dan penasaran mendatangi salah satu bioskop yang baru buka di Depok (sekaligus melihat sang bioskop baru)

Sayangnya begitu gue memasuki ruang teater, cuman ada tiga baris tempat duduk yang terisi. Itupun gak penuh, awalnya gue pikir banyak yang terlambat atau gimana, ternyata emang sampai akhir film yang nonton sepi. FYI, nonton bioskop dengan kondisi ruangan teater sepi itu semacem privilage sih. Bukan perkara hypenya, tapi gue udah beberapa kali nonton dengan dua-tiga baris terisi dan ternyata mengasyikkan juga wkwk.

Dimulai dari cerita tentang rutinitas perempuan yang terkesan membosankan. The Shape of Water ternyata berhasil bikin gue sama sekali gak merhatiin sekitar karena mata gue terfokus ke layar. Bener-bener dah. Hebat.

Bayangin deh, bayangan gue soal konsep cerita fantasi dongeng ala-ala yang megah dan hubungan yang tidak direstui serta-merta oleh keluarga seketika ambyar, buyar, hancur luruh saat gue tau sang 'putri' tinggal di sebuah kamar apartemen yang biasa aja, punya pekerjaan yang biasa aja, dan kehidupan yang emang biasa-biasa banget. Sang 'putri' kita alias protagonis kita dikemas dalam kondisi 'biasa banget'. Kejutan pertama.

Lalu, datanglah sang 'pangeran' yang ditunggu-tunggu. Dikurung dalam sebuah alat dan dikawal ketat, 'pangeran' kita adalah seekor/sewujud/sejenis/semacam ikan-tapi-bukan-ikan-biasa yang dipercaya dan disembah sebagai dewa di tempatnya ditemukan. Dan sama seperti old fairytales, selalu ada antagonis dalam setiap cerita.

Dan dalam satu adegan. Kita telah diperkenalkan oleh tiga tokoh; putri, pangeran, dan penjahat.

<p>Sally Hawkins and Octavia Spencer</p>
Sang 'putri'. (ew.com)

Kejutan kedua adalah hal-hal gak biasa yang dilakukan baik oleh sang putri dan pangeran (dan serentetan pemeran yang mendukung kisah mereka dengan latar belakang berbeda-beda). Lalu sepanjang film (serius, sepanjang film), akal sehat kita berkali-kali diuji oleh alur yang mendobrak logika kita, film ini benar-benar berubah dari sesuatu yang kita anggap fantasi, menjadi sesuatu yang kita anggap biasa aja tapi unik, dan akhirnya menjadi sesuatu yang beneran fantasi. Seakan-akan film ini bilang ke kita, "Loh, tadi katanya mau film fantasi? Ini."

Lalu apakah The Shape of Water selesai dengan alur yang begitu saja? Enggak, film ini justru mengeksplorasi kekayaan karakter yang dimilikinya. Gak seperti film-film di mana antagonisnya selalu punya segalanya dan selalu ingin merebut kepunyaan protagonis, film ini justru mencoba memberikan ke penonton bagaimana bisa sesosok protagonis maupun antagonis ini terbentuk.

Meskipun minim karakter, tapi eksekusi yang dilakukan sangatlah baik sehingga kita sebagai penonton kelak akan hanya terfokus pada karakter yang ada. Gak harus punya pembagian adegan dan kemunculan yang sama rata, tapi setiap karakter berhasil memberikan peran masing-masing (yang mana adalah sebauh peran besar bagi alur film) melalui bagian kemunculannya yang berbeda-beda.

Hal-hal yang enggak biasa. (giphy)
Dan poin plus dari minim karakter ini adalah, dengan sedikitnya karakter, kita justru ditampilkan kekurangan tiap karakter melalui cara yang tak gamblang. Pada akhirnya, kita akan dibuat mengerti bahwa setiap orang punya masalahnya masing-masing.

Serangkaian mindblows dari jalan cerita yang ga ketebak ---apa guenya yang kelewat terpesona--- dan kombinasi dari interaksi antartokoh bikin The Shape of Water sukses bikin kita memasukkannya kedalam daftar film 'kece-bikin-mikir-tapi-gak-berat-berat-amat'.

Judul The Shape of Water sendiri bagi gue punya dua makna. Secara harfiah dan secara metaforis. Secara metaforis, The Shape of Water memberikan makna bahwa air memiliki 'bentuk'nya sendiri yang tinggal di dalamnya. Bentuk dan jenis yang beragam yang kita bahkan gak kenal kesemuanya. Dan penggambaran sang pangeran kita adalah salah satu bentuk penghuni air yang tak perlu kita usik, apalagi dijadikan bahan penyiksaan.

Secara harfiah, The Shape of Water berarti bentuk air. Bentuk air selalu berubah-ubah mengikuti tempatnya. Lalu apakah artinya kita harus seperti air yang berubah-ubah mengikuti tempat di mana kita berada pada kondisi apapun dan situasi bagaimanapun? Enggak. Air berubah-ubah tapi tetap punya pendiriannya, menjadi air. Yang dimaksud dalam kalimat di atas bukanlah plin-plan, tapi bagaimana kita beradaptasi pada situasi sekitar yang seringkali gak mengenakkan atau berubah-ubah.

Jadilah air. Bend, not broken.

Tapi terlepas dari betapa absurd, dan surealnya cerita. The Shape of Water secara sederhana adalah film tentang kisah cinta yang udah gak bisa diungkapin dengan kata-kata, perjuangan, kehebatan, dan ketangguhan rasa antar karakter menjadi faktor dasarnya. Dan, film ini seperti perwujudan dari dongeng masa kecil kita yang seolah hadir dalam layar lebar, mewujudkan kisah-kisah aneh atau unik yang membawa kita ke sebuah dunia yang punya kerumitan semestanya sendiri yang ---tanpa kita jelajahipun, kita tahu bahwa itu--- rumit.

Wajib nonton deh pokoknya. #TheShapeOfWater.

No comments:

Post a Comment