Sunday, February 25, 2018

Enam Hari, Enam Kota: Sampai jumpa di lain hari. (Epilog)

Enam Hari, Enam Kota: Sampai jumpa di lain hari. (Epilog)
Oleh : Kanzia Rahman


Mataku membuka sembari cahaya matahari menyelinap masuk dari kaca jendela.

Pagi itu, kami teringat bahwa hotel ini adalah tempat terakhir kami menginap, malam terakhir dari rangkaian panjang enam hari yang kami sedang jalani, enam hari paling panjang sekaligus pendek yang tak ingin cepat-cepat diakhiri, enam hari penuh suka, duka, maupun cerita.



Pernahkah kalian merasa ingin bangun dari mimpi yang sedang kalian jalani? Merasa ingin terjaga dan segera bergerak di dunia nyata? Itulah yang kami jalani. Enam hari kebelakang persis seperti mimpi yang tak kunjung kami ingin terbangun darinya. Kalaupun terbangun, kami ingin terbangun di dalam rangkaian enam hari itu lagi, lalu berharap enam hari itu hanyalah mimpi lagi, untuk dapat terbangun dan bermimpi lagi.

Tapi waktu tetaplah waktu, ia berjalan dan bergulir, tinggal bagaimana kita mensyukurinya.

Tak ingin berlama-lama, kami lalu bergegas untuk check out hotel dan menyelesaikan sarapan kami. Sebab, selanjutnya adalah free time selama satu setengah jam untuk berkeliling ke Malioboro dan Pasar Bringharjo.

Maka saat kami telah selesai dengan segala persiapan, kami segera keluar dari hotel dengan barang bawaan seperlunya (tas besar dan lainnya telah dimasukkan ke bagasi bus). Dan, selamat pagi, Yogyakarta!





Kami menapaki jalan menyusuri Pasar Bringharjo, melihat penjual yang menjajakan dagangannya di mana-mana, tersenyum ramah menawari kami yang kami lalu balas senyuman juga. Terakhir aku ke sini, belum ada batu-batu yang disusun di trotoar dan kursi-kursi yang melengkapi mereka yang ingin datang ke Yogya untuk sekedar duduk dan melarikan diri dari penatnya kota.

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat

Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Yogya

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, ditelan deru kotamu

Walau kini kau telah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi

Kla Project - Yogyakarta

Katon benar-benar mendeskripsikan Yogyakarta lewat lagu ini. Sepanjang pasar Bringharjo, kami hanya melihat senyuman dan senyuman, ramah sekaligus bersahabat. Kami pun berjalan dengan perlahan, menikmati bagaimana suasana yang kami dapatkan sambil bersenda gurau, membelah pasar sebelum akhirnya mengambil arah pulang.

Dan entah bagaimana, ada kerinduan yang tersirat, terlukis dalam memori kami bahwa Yogya adalah perihal keramahtamahan juga sukacita. Kami menyempatkan diri membeli es dawet ijo untuk selanjutnya kami nikmati di kursi yang tersedia di trotoar.

In frame: (Dari kiri) Ricky, Milla, Kanzia, Ayi, Naya, Restu, Rei, Sultantio. (Naya)
Aku selalu percaya bahwa kebersamaan lahir dari persamaan, akupun percaya bahwa takdir Tuhan tak sekedar terdiri dari satu demi satu persamaan, melainkan ribuan jaring kemungkinan dan kejadian.

Aku percaya bahwa Yogya adalah satu hal yang kita selalu punya di relung hati kita (sekecil apapun), satu hal yang kita selalu impikan keberadaannya, satu hal dimana kedamaian dan keramahtamahan dapat kita temukan di sudut manapun, satu hal dimana sederhana bisa begitu menyenangkan, dimana keterusterangan adalah inti dari setiap pertemuan, dimana waktu sedang lelah sehingga ia tak berlari mengejar kita.

Dan Yogya adalah perwujudan dari satu hal itu.

Btw, saya menemukan satu lagi lagu yang menceritakan Yogyakarta, selain yang dibawakan Kla Project.


Aku percaya bahwa kedua lagu tersebut mengandung makna yang sama, bahwa Yogya akan selalu menyambut kedatangan setiap orang yang ingin kembali ke sana. Bahkan, Katon menuliskan tiga line yang (semoga) selalu saya ingat tiapkali saya mengunjungi kota tersebut.
Walau kini kau telah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Kamu tidak perlu bergantung pada seseorang agar Yogya dapat membuatmu tersenyum. Datanglah, ia justru yang pertama melayangkan senyumnya padamu.


Rombongan kami termasuk rombongan awal yang kembali ke bus, kami sempat duduk sejenak di tempat parkir bus yang cukup luas (beberapa bus sudah dipindahkan dari parkiran hotel sejak tadi pagi) dan dikelilingi warung jajanan.

Lalu saat ketujuh bus sudah siap berangkat, kamipun masuk ke dalam bus dengan belanjaan (makanan) yang telah kami beli.

Dan tujuan kami selanjutnya adalah Candi Ratu Boko.


Mendaki deretan anak tangga sebelum sampai ke Candi Ratu Boko adalah sebuah perjalanan lainnya bagi kami. Pantas saja sebelum naik, kami diberikan makan siang terlebih dahulu, rupanya kompleks Candi tersebut berada cukup jauh dari bus diparkirkan, kami harus berjalan menaiki tangga dulu untuk mencapai kompleks Candi Ratu Boko.

Kami berjalan dengan tempo sedang, perlahan melambat, cepat, lambat, cepat lagi, lambat lagi, sampai akhirnya kami memutuskan untuk berjalan dengan perlahan tapi pasti. Beberapa teman kami bergantung pada pegangan yang membelah anak tangga jadi dua, beberapa lagi sudah bernafas tersengal-sengal, beberapa lagi sudah tak berbentuk (mandi keringat dengan nafas terengah-engah dan hebatnya, masih terus menaiki anak tangga)

Belum selesai, rupanya di puncak anak tangga, kami masih harus berbelok kekiri dan berjalan kaki lagi untuk sampai ke kompleks candinya, sementara di sebelah kanan kami adalah taman kecil yang dibuat untuk mereka yang tak sanggup berjalan ke dalam. Kami menyanggupi, kembali berjalan.

Lalu kami sampai pada akhir deretan anak tangga yang kedua. Lapangan luas dan kompleks candi bertingkat adalah apa yang menyambut kami setelah dua deret anak tangga, tak ingin menghabiskan waktu, kami segera berpencar sebelum nafas kami sepenuhnya habis.

Aku, Andri dan Sultantio sempat berjalan ke arah paling ujung kanan (dari kedatangan) Candi, dua buah susunan batu (yang jujur aku lupa namanya) seolah menghimpit kami, kami kembali berjalan lalu mendapatkan pemandangan lain yang tak kalah menarik.

Lalu kami kembali ke tempat gerbang candi yang bertingkat, di sana, Pak Bacas mengadakan tantangan untuk siapapun yang berani untuk naik ke viewpoint mendahului beliau akan mendapatkan hadiah. Kami menerima jelas-jelas tantangan itu.

Sepanjang anak tangga yang berbentuk huruf L ke kanan, satu-dua warung menjajakan dagangan, meletakkan air botol aqua sebagai jualan paling dipamerkan, seolah mengundang kami untuk membeli mereka untuk sekedar membasahi tenggorokan yang lama-kelamaan merasa kegerahan.

Kamipun sampai di viewpoint Candi Ratu Boko, dan hadiah yang dimaksud Pak Bacas bukanlah perihal materi.




Di foto satu, ada Candi Prambanan yang terlihat dari kejauhan. Belakangan, aku tahu bahwa jarak antara Candi Ratu Boko dan Candi Prambanan sejauh 3km (:O), dan aku bertanya-tanya bagaimana orang jaman dahulu menyebut 3km dalam satu kompleks candi yang sama.

Di foto kedua adalah lapangan luas Candi Ratu Boko dengan gerbang candi bertingkat di paling atas. Sementara di foto ketiga, gerbang kedua dari atas terlihat dengan lebih jelas, dan bekas sumur yang berbentuk persegi dapat terlihat secara eksplisit dari atas sini.

In frame: (Dari kiri) Kiki, Ali, Bahri, Naufal, Sahlan. (Rio)
Tak lama, murid-murid lain berdatangan. Milla merupakan perempuan pertama dari rombongan kami yang sampai ke puncak viewpoint, lalu tak lama menyusul Shofi dan Arin.

Saat viewpoint semakin ramai, kami yang termasuk pertama datang memutuskan untuk menuruni tangga, kembali ke gerbang pertama yang mulai lengang karena kebanyakan yang lain memilih untuk berteduh di bawah pohon rindang (foto kedua dan ketiga), atau menaiki viewpoint.

Belasan menit kemudian, satu persatu tour leader memanggili kami untuk turun, aku menengok ke bawah, rupanya beberapa dari rombongan kami memang sudah terlebih dahulu turun, membentuk barisan cacing yang berjalan perlahan menuju deretan anak tangga lainnya.

In frame: (Dari kiri) Septi, Sinta. (Rio)

In frame: (Tengah) Isra. (Rio)

In frame: (Dari kiri) Pak Tanto, Pak Arif, Sultantio, Pak Bacas, Ayi, Kanzia, Ivan, Feri. (Ayi)
Kami lalu menuruni tangga, kembali bus masing-masing. Kali ini, aku cukup yakin kalau telingaku mendengar seseorang mengatakan, "Wah, kok rasanya turunnya cepet banget ya, tadi perginya kek tinggiii banget"

Sesampainya di bawah, benar saja, ramai pedagang menjajakan dagangannya. Warung-warung diserbu oleh rombongan kami, membeli air dan segala perlengkapan (makanan) lainnya untuk perjalanan selanjutnya. Aku bahkan membeli dua gelas susu yang biasa terdengar lewat depan rumah. Wkwkwk.

Lalu setelah diberi waktu untuk jajan dan (istilahnya) menghilangkan keringat. Kami memasuki bus dan menduduki kursi masing-masing. Kami pun mendapat satu kesimpulan yang sama, Candi Ratu Boko adalah tempat terakhir yang kami kunjungi. Dan dengan turunnya kami, maka satu-satunya perjalanan yang tersisa tinggal satu; Bertolak ke Depok.

Senja di sebelah kiri bus kembali menyapa kami, dan itulah senja terakhir yang kami lihat secara bersama-sama sebelum resmi sampai ke Depok, sore itu, kami sempat juga berhenti di salah satu musholla yang dikelola warga dan masih sempat merasakan bagaimana mengambil air dari sumur secara bersama-sama, menggunakan kamar mandi secara bersama-sama, bergantian menunggui satu sama lain secara bersama-sama.


Malamnya, kami pun masih sempat makan bersama-sama. Kami makan malam di sebuah restoran yang juga tersedia ruang lesehan berupa saung-saungnya. Aku ingat betul aku berbincang dengan Ammar, Aulan, Andri, Sultantio lalu saat ingin beranjak melaksanakan shalat, rupanya Dhafa, Daffa, Ammar, Dimas, Allam telah menantiku untuk melaksanakan secara berjamaah.

Aku masih ingat jelas sebuah banner besar yang ditempel di dekat sisi restoran tersebut, di sana, terulis besar-besar bahwa Jakarta masih 10-12 jam lagi (aku lupa jam persisnya) dengan jarak ratusan km.

Dan entah kenapa, tiba-tiba aku teringat salah satu rumah makan dalam perjalanan kami ke Yogyakarta yang menggunakan koin dan gerbang memutar seperti di stasiun sebagai gerbang keluar dari toiletnya, koin itu sendiri seharga 2000 rupiah sehingga kami harus membayar dulu. Bahkan, kami sampai harus menukarkan recehan yang terselip di kantung celana kami, atau pinjam-meminjam-pakai-uang-lu-dulu pada teman-teman yang kami kenal, satu sama lain. Anti-mainstream sekali, pikirku.

Nah, persis. (source: gambar)
Paginya, akupun masih ingat bahwa bus sempat berhenti di salah satu rest area. Jam menunjukkan angka 4 pagi, udara masih sangat dingin dan tanggal resmi berganti menjadi tanggal 24. Enam hari sebelum ini, kami masih dalam perjalanan ke kunjungan pertama kami.

Di sela-sela obrolan secangkir kopi para supir dan asistennya, aku dan beberapa kawan menyelinap duduk di trotoar, memandangi jalan yang lengang yang hanya sesekali diisi oleh deru mobil dan bus lainnya yang tak mampir ke rest area ini. Aku sempat bertanya pada Andreas, ia melihat Google Maps dan berkata bahwa Jakarta masih sekitar 3-4 jam lagi.

Maka aku hanya menatap pada jalanan itu, jalan tol yang (sialnya) lagi-lagi aku lupa di mana rest area terakhir kami berhenti. Menatap pada jalan yang kosong, lalu melihat mobil melintas dengan cepat melewati kami.

Mobil itu sama persis seperti kami dan waktu. Kami penumpang yang tak mengerti bagaimana caranya menginjak rem, kami penumpang yang tak fasih bernegosiasi dengan mesin mobil, hanya bisa menurut dan mengikuti kemana mesin bernama waktu membawa kami. Cepat atau lambat, senang atau susah, dan aku benci harus mengakui bahwa aku membenci situasi ini.

Rasanya, aku ingin membangun tembok besar yang menghalangi jalan itu. Jalan yang membatasi antara kami dan kepulangan. Setidaknya, memperlambat waktu, siapapun, ajari aku caranya! Aku tidak menyangka bahwa kepulangan bisa seenggan ini, bisa sekejam ini, bisa sekeji ini.

Tapi pada akhirnya, kita semua sama. Kita memilih untuk menyerah, mengikuti kemana mobil ini membawa kita, memilih terbawa arus waktu yang dengan cepat mengombang-ambingkan kita dalam jalur ketidakpastian. Dan pada akhirnya, kita akan selalu pulang ke rumah masing-masing.

Kami kembali masuk ke dalam bus tak lama kemudian, dan kita semua sama-sama tahu, tujuan terakhir kami; SMA Yaspen Tugu Ibu 1 Depok.

Aku memilih untuk berusaha terlelap, kalah akan bagaimana lelah menghabisi dan menggerogoti kami. Tapi, rupanya kejutan belum berakhir di sana.

Kira-kira pukul enam pagi kami kembali terbangun. Kali ini, kejutan justru datang dari kak Mitha dan kak Ibnu, dua orang tour leader yang ikut di bus kami.


Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada
Bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut
Bertemu akan berpisah

Heii Sampai jumpa dilain hari
Untuk kita Bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi

Meskipun Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap Tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu

Dududu Dudududu

Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada
Bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut
Bertemu akan berpisah

Heii Sampai jumpa dilain hari
Untuk kita Bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi

Meskipun Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap Tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu

Heii Sampai jumpa dilain hari
Untuk kita Bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi

Meskipun Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap Tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu

Endank Soekamti - Sampai Jumpa

Kak Ibnu dan Kak Mitha menyanyikan lagu Endang Soekamti secara bergantian, dengan ini, segala dinding yang (aku yakin) kami buat dalam hati kami resmi hancur sehancur-hancurnya. Kami diam, bukan berarti kami tak peduli, kami hanya mencari cara bagaimana agar kesedihan dapat kami lewati.

Kami bukan berarti acuh, kami hanya tak siap untuk berpisah. Kami tak siap untuk berpisah dengan kenangannya.

Dengan bus dan kursi yang sudah menjadi rumah kedua kami selama enam hari, dengan slot charge yang tersedia di bagian atas bus, dengan segala perbincangan kecil yang menghiasi kuping kami selama perjalanan, dengan fajar, panas, terik, senja, hingga malam yang kami lewati bersama-sama di bus. Kami belum siap untuk berpisah.


Kami tak siap untuk berpisah dengan ramahnya Desa Salapan atau pekatnya tempat menggiling padi. Kami tak siap untuk berpisah dengan teriknya Bukit Jaddih yang seolah memanggang kami menjadi barbeque panas siang itu, kami tak siap untuk berpisah dengan dua tebing paling ikonik di Bukit Jaddih. 


Kami tak siap untuk berpisah dengan Api Abadi, kami tak siap untuk berpisah dengan bebatuan dan pasir yang mengeluarkan api, kami tak siap untuk berpisah dengan jagung bakar yang kami nikmati di sana.


Kami tak siap untuk berpisah dengan Keraton Sumenep, kami tak siap untuk berpisah dengan sejarah dan ilmu yang kami dapat di sana, kami tak siap untuk berpisah dengan telaga yang dipakai para bidadari di mana kami ikut membasuh tangan kami, kami tak siap untuk berpisah dengan cermin besar dan Al-Qur'an yang ditulis satu malam di sana. 


Kami tak siap untuk berpisah dengan Masjid Agung Sumenep, kami tak siap untuk berpisah dengan tempat wudhunya yang melingkar dan terbuat dari keramik, kami tak siap untuk berpisah dengan cerita yang kami dapat di sana, kami tak siap untuk berpisah dengan taman masjid tempat kami membeli jajanan untuk mengganjal perut.


Kami tak siap untuk berpisah dengan Museum Angkut, kami tak siap untuk berpisah dengan jajaran kendaraan-kendaran antik yang dipamerkan di sana, kami tak siap untuk berpisah dengan zona Sunda Kelapa, zona Hollywood, zona Eropa, hingga zona Amerika yang menyuguhkan kami berbagai pengalaman, kami tak siap untuk berpisah.


Kami tak siap untuk berpisah dengan Malam Keakraban, kami tak siap untuk berpisah dengan kenangan dimana saat itu salah satu kelas merayakan ulang tahun Bu Yustina, dimana kami menyanyikan lagu-lagu dari masing-masing kelas, dimana kami saling beradu slogan, dimana Adit dan Kiki kembali menjadi spotlight, dimana lagu Fana Merah Jambu dari Fourtwnty terdengar menggema di seluruh penjuru ruangan, kami tak siap.

Kami tak siap untuk berpisah dengan Bromo, hawa dinginnya bahkan mungkin masih terselip di antara jari jemari kami, kami tak siap untuk berpisah dengan angkutannya, kami tak siap untuk berpisah dengan jalannya, kami tak siap untuk berpisah dengan pemandangannya, kami tak siap untuk berpisah dengan pop mie yang kami beli di atas sana, kami tak siap untuk berpisah dengan lautan pasir, kami tak siap untuk berpisah dengan suku Tengger maupun Kawah yang kami kunjungi. Kami tak pernah benar-benar siap.


Kami tak siap untuk berpisah dengan Yogyakarta, kami tak siap untuk berpisah dengan es dawet, kami tak siap untuk berpisah dengan keceriaan yang kami temukan di sana, kami tak siap untuk berpisah dengan Yogyakarta maupun Candi Ratu Boko.

Kami tak siap untuk berpisah dengan setiap restoran dan rest area yang kami singgahi, kami tak siap untuk berpisah dengan antriannya, tempat duduknya, makanannya, jajanannya. Kami hanya tak siap untuk berpisah dengan segalanya.

Lalu tanpa kami sadari, bus telah sampai di lapangan SMA kami. Rupanya kejutan tadi merupakan sekaligus persembahan terakhir dan salam perpisahan dari Kak Fadhil dan Kak Mitha, keduanya juga mengucap maaf dan terima kasih mewakili Dipo.

Dan, kami pulang.



Benar apa kata Endang Soekamti bahwa yang datang akan pergi, lewat akan berlalu, bertemu akan berpisah, awal akan berakhir, terbit akan tenggelam, pasang akan menjadi surut, dan kita harus bersiap akan segala rela, yang selalu hadir untuk menyapa kita.

Tapi, benar juga kata Banda Neira, segala yang patah kelak tumbuh, yang hancur lebur akan terobati, yang sia-sia akan jadi makna, yang berulang akan berhenti, dan yang jatuh akan berdiri lagi. Yang hilang, pasti berganti.

Dan aku percaya bahwa berakhirnya perjalanan ini bukan berarti hilangnya kebahagiaan. Ia akan hadir dalam satu wujud lain, kebahagiaan tak pernah pergi, hanya kita saja yang seringnya menengok ke arah yang salah.

Akupun percaya bahwa kapanpun rindu menjelma, kita selalu butuh tempat untuk meluapkannya. Untuk itulah aku menulis, agar rindumu bisa tersalurkan secara sukarela, pada tempat yang tepat.

In frame: (Dari kiri) Kak Fadhil, Kanzia, Kak Mitha. (Kanzia)
Foto diatas resmi menjadi foto terakhir yang diambil kameraku dalam rangkaian studi lapangan Joy Fun Study 2017 selama enam hari sejak tanggal 17-24 Desember. Dengan foto tersebut, maka sekaligus aku tutup dan akhiri serial pos enam hari enam kota. Secara pribadi, aku mengucapkan terima kasih banyak pada seluruh pihak yang telah membantu sepanjang perjalanan.

Sebagai penutup, aku ingin menutup dengan satu baris lirik lagu dari Endang Soekamti.

Sampai jumpa di lain hari!

.
.
.
.

:)

No comments:

Post a Comment