Friday, April 20, 2018

A Quiet Place, tutorial menjadi pendiam.

A Quiet Place, tutorial menjadi pendiam.
Oleh : Kanzia Rahman


Di A Quiet Place, bersuara sama saja dengan menukar nyawa kita dengan makhluk mengerikan.

Proses terjadinya gue menonton A Quiet Place sebenarnya terbagi jadi dua hari; tahap perencanaan dan tahap menonton. Tahap perencanaan diisi oleh gue dan beberapa teman yang bermusyawarah (re: debat kusir) untuk menentukan tempat tanggal jam pertunjukan film bahkan nomor kursinya. Lalu keputusan mufakat, pertunjukan paling pagi di salah satu bioskop dalam mall yang terletak di jalan protokol kota Depok.


Enam-tujuh orang yang berembuk itu ternyata berkurang di hari H. Ada yang mendadak mesti ke dokter, gak ada kendaraan, dan lain-lain. Rencana awal yang membeli enam tiket pun menjadi hanya empat tiket. Suram.

"Nonton film horror kok rame-rame? Si 'dia'?"

"Nonton A Quiet Place yuk"
"Gak sukaa, masa film horror diem-dieman"
"Nah kepo kan?"
"Nanti kalo diem diemannya kebawa sampe luar theater gimana?"

BAIKLAH MARI KITA LANGSUNG LONCAT KE REVIEW FILMNYA SAJA YAAAA 😃😃

A Quiet Place dimulai dengan menunjukkan lanskap sureal post-apocalypse. Pertama kali gue menonton trailer A Quiet Place adalah saat mengantre tiket film The Shape Of Water. Awalnya gue pikir score dari film Dunkirk karena mirip, tapi ternyata enggak. Dan, konflik yang ada di trailer —yang gue kira bakal jadi konflik puncak film ini— ternyata justru diredam mengikuti alur yang mengalir.

Premis film A Quiet Place sebenarnya teramat sangat sederhana. Kedatangan makhluk (yang bakal gue sebut monster kedepannya) tak dikenal yang punya indra pendengaran sangat tajam sampai suara kecilpun akan disabet olehnya. Bersuara sama dengan mati. Sesimpel itu. Dan premis sesederhana ini yang menjadi kekuatan utama A Quiet Place selama 90 menit pemutarannya.

Jika di film-film bergenre horror atau mystery lainnya kehadiran suara atau musik diobral dan kehadiran sepi justru menjadi pemacu adrenalin kita, A Quiet Place justru sebaliknya. Sepi diobral selama mungkin dan kehadiran suara menjadi sesuatu yang kita idam-idamkan kedatangannya. Craving.

Kita yang belum terbiasa menonton film secara hening pasti akan sangat terobsesi pada suara, sangat. Berasa hati kita teriak "Suara suara yang enak lagi dong!"

Kalau di film-film horror kebanyakan bulu kuduk kita akan merinding saat kehilangan suara, justru di A Quiet Place enggak. Kita bakal ngerasa aman-aman aja kalo-kalo suara hilang. Kan emang kodratnya ni film. ðŸ˜‚😂

Sama seperti The Shape Of Water yang minim karakter, Dengan tokoh yang —emang cuman ada— berfokus pada empat orang keluarga kecil, maka empat orang ini otomatis menjadi pusat perhatian kita dan sekaligus bikin kita merasa terlibat dalam konflik internal setiap karakter.

Misalnya bagaimana kita merasakan penderitaan yang sama saat salah satu tokoh terkena sial, atau saat tokoh lain marah tapi hanya bisa diam. Bukankah kita terbiasa dengan suara dan hanya bisa diam saat kita terlalu kecewa? Sekarang, suaramu diambil dan perasaanmu resmi bercampur aduk antara kesal, marah, dan sedih. Begitulah konflik internal A Quiet Place, manusia vs perasaannya.

Selain atmosfer konflik internal yang juga sering hadir tapi gak pernah bisa kita ungkapkan dalam kehidupan sehari-hari, atmosfer dunia tanpa suara juga ditunjukkan dengan lamat-lamat oleh A Quiet Place.

Pasir yang ditaburkan sepanjang jalan, contohnya. Untuk berjalan saja, tokoh-tokoh kita harus memastikan akan menginjak pasir sambil bertelanjang kaki. Bahkan untuk berjalan di lantai kayu, kita harus berjinjit agar tidak ada bunyi yang timbul.


Lalu, bicara mengenai alur, A Quiet Place punya jalan cerita yang praktis kedepan setelah sedikit flashback di awal. Keluarga kecil kita akhirnya punya tempat tinggal yang layak meski harus tetap diam-diam. Mereka juga diceritakan telah menanam ladang jagung dan di salah satu adegan, nampaknya keluarga kecil ini hidup secara mandiri di kawasan sekitar  

Konsentrasi film pun berubah. Dari yang tadinya bagaimana manusia berpindah tempat tanpa suara, menjadi bagaimana manusia bertahan hidup di sebuah tempat tanpa suara. Mereka harus mencuci, mengurus ladang, memasang lampu berwarna merah ---yang berarti lari---, makan, sampai bermain dalam kondisi diam-diam.

Tapi cerita gak selesai di situ, justru sebenarnya saat mereka menetap inilah kejadian-kejadian buruk yang ditampilkan di film terjadi. Sebut saja pertengkaran internal keluarga, atau saat harus mencari makan sendiri. Dan pada akhirnya, terjadilah konflik puncak yang menjadi titik klimaks alur A Quiet Place yang kalem.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA" - Kakek-kakek super ngeselin yang bisa kalian temukan di pertengahan film.
Udahlah ya. Jangan dilanjutin. Nanti spoiler dong.

Lalu masalah spot jantung. Sebenernya gue rada gak suka nih bagian ngebahas ini. Karena apa ya, sepanjang pemutarannya, film ini akan-bakal-terus-terusan ngasih spot jantung yang konstan. Dan hasilnya, BOOM! Film ini bakal ngasih kejutan demi kejutan berupa spot jantung di tempat yang gak diduga-duga. Ya gak semua sih...

Bagi gue sendiri, A Quiet Place adalah sindiran kecil terhadap realitas kita. Realitas orang-orang yang banyak bicara tapi tak melakukan apa-apa, orang-orang terlalu banyak bicara untuk memenuhi kenarsisan dan keegoisan mereka sendiri. Pada akhirnya, justru lebih banyak hal gak penting yang masuk kedalam lingkungan kita dan mempengaruhi kitanya sebagai sebuah subjek di lingkungan tersebut.

Makanya sekarang harus rada lebih selektif, hehe.

Satu lagi, A Quiet Place seolah mengajarkan kita bagaimana caranya menjadi pendiam yang gak cuman bisa membicarakan hal-hal tapi juga mengerjakan hal-hal. Keluarga tersebut takkan pernah bisa selamat jika mereka memilih untuk merekam video dan upload di media sosialnya dibanding menyelamatkan satu sama lain. Selamat saja tidak, apalagi bertahan hidup?

A Quiet Place adalah seruan untuk stop talking, start doing dan tamparan keras bagi mereka yang terlalu banyak bicara dalam hidup mereka, tapi tak pernah melakukan apa-apa untuk sekitarnya.



Alur cerita yang runtut, urutan adegan demi adegan yang berkesinambungan, konstan spot jantung, minim dialog (yang kalau adapun, diletakkan secara tepat sasaran), karakter yang terfokus, dan menghadirkan paku yang bikin penonton gak bergerak padahal nonton dari bioskop terdekat, A Quiet Place pantas mendapat ranking tinggi.

Be quiet, and quietly engulfed by the movie. ðŸ‘Œ #AQuietPlace

.
.
.

No comments:

Post a Comment