Friday, February 23, 2018

Enam Hari, Enam Kota: Menyambut Matahari Bromo.

Enam Hari, Enam Kota: Menyambut Matahari Bromo.
Oleh : Kanzia Rahman

Serial enam pos enam kota kutulis untuk berterimakasih pada dewan guru, dipo tour and travel, panorama bus, dan Angkatan 32 SMA Yaspen Tugu Ibu 1 Depok, khususnya pada Pak Arif, Pak Isnaeni, Mam Yurita, Bu Anas, Bu Rini, Kak Fadhil, Kak Mitha, jajaran pengemudi bus dan asistennya, serta teman-teman satu kelas Evension (XI IPS 1) yang tidak bisa kusebutkan satu-persatu.


Ketukan di bahuku menjadi penyebab mataku terbuka padahal belum pagi, aku lalu melihat sekitar, rupanya Kak Fadhil sedang membangunkan satu kelasku untuk mengambil waktu sebentar ke toilet dan mengambil air wudhu.


"Nanti abis dari toilet langsung baris ya di depan, siapin barang bawaan kalian buat ke Bromo. Dingin." Seru kak Fadhil dengan TOA yang ia genggam.

Jujur, aku sempat lupa bahwa kita akan Bromo. Wkwk.

Aku mempersiapkan diri. Bergegas menuruni tangga bus, menggunakan toilet dan waktu persiapan kamar mandi dengan 'semestinya', lalu memasuki barisan bus kelasku.

Di barisan, kami berbaris dengan mata setengah tertutup, serius, ngantuk-ngantuk melek dan sesekali mendekap tubuh kami sendiri yang jam dua pagi harus merasakan air dingin yang sudah menyentuh tangan kami

Setelah proses mengumpulkan barisan yang menyita waktu cukup lama, kami lalu diberitahu bahwa nantinya, kami akan menaiki semacam angkutan lain untuk menuju viewpoint Bromo. Satu angkutan hanya cukup untuk sedikit orang (tambah supir dan satu guru pendamping), sembari berjalan ke arah angkutan, kami mendapat snack untuk bekal perjalanan ke Bromo.

Aku mengikuti barisan, angkutanku diisi oleh Mam Yuri, Fauzan, Fatma, Kurniadi, Justice, Rifki, Jadied, dan aku sendiri. Angkutan tersebut lalu berangkat, menerjang jalanan kosong dengan kecepatan tinggi.

Mataku awalnya melek, membuka lebar sambil memandangi gelap di luar kendaraan yang membawa kami. Wajahku merasakan hembusan angin yang membelai halus pipi dan keseluruhan mukaku. Sesekali pula aku menghirup dalam-dalam udara yang menyempit di sela kaca jendela sebelum sampai ke hidungku, dingin, sejuk, dan sangat tenang.

Tak lama, kelopak mataku tak kuat menahan kantuk yang sudah menyerang sedari tadi. Mulutku semakin sering menguap dan bola mataku kelelahan melihat kerlipan lampu yang hanya sekejap melewatiku.

Lalu setelah perdebatan panjang antara bola mata dan rasa penasaranku, tidur menjadi jawaban yang mengakhiri perseteruan keduanya.

Tidurku sempat terdistraksi saat mobil berhenti, kendaraan yang kutumpangi itu lalu mendapat tambahan tiga orang yang kendaraannya tak dapat melanjutkan perjalanan. Ketiga orang itu dari XI IPS 4 yang jujur, aku lupa siapa sajanya. Aku sempat melirik sekilas ke arah luar, mobil yang mereka tumpangi memang mengeluarkan asap hitam dari knalpotnya, sementara tersisa tiga orang itu dan seorang supir yang menunggu mobil angkutan lainnya.

Melihat pemandangan seperti itu, aku berasumsi sisa penumpang lain telah dibawa oleh mobil-mobil lainnya, yang berarti mobilku adalah kendaraan terakhir yang melewati mereka (dengan asumsi seluruh mobil lain telah lewat dan meninggalkan tiga orang yang nasibnya malang ini)

Sepersekian detik kemudian, aku menyadari bahwa satu mobil hanya dapat diisi oleh enam-tujuh-delapan anak murid. Jika tersisa tiga dari delapan, maka harusnya hanya dua mobil (tiap mobil membawa satu-dua penumpang tambahan) yang sudah melewati mereka. Berarti, mobilku berada di urutan ketiga?

Tapi tunggu, aku diam sejenak, membiarkan tiga titik mengambang di langit-langit pikiranku sembari mencoba mendiamkannya. Fokus kepada tiga titik tersebut, lalu...

Kembali tidur. Hehe.

Pukul empat lebih-kurang-sedikit-banyak, aku kembali terbangun. Kini mobil benar-benar berhenti, berhenti, tanpa ada lagi putaran di roda maupun mesin yang menyala. Saat terbangun, aku merasakan kemiringan di badanku, posisi tubuhku persis seperti menengadah, yang berarti mobil ini berhenti tidak dalam bidang datar, melainkan bidang miring dalam posisi mendaki.

Oke sip.

Tak lama, tiba-tiba mesin mobil kembali menyala dan mundur sedikit dari tempatnya berada.

Allahu akbar.

Aku sempat terperanjak beberapa detik sebelum akhirnya bisa mengobservasi sekitar. Satu dua rumah penduduk dan lampu-lampu jalanan berwarna putih. Saat seluruh isi mobilku bangun dan turun satu persatu, aku akhirnya tahu di mana kami sekarang.

Kami berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat subuh. Pada akhirnya, aku memberikan atensi dan perhatian lebih kepada para penjual paketan sarung tangan-syal-kupluk yang berjejer menjajakan dagangannya bahkan sejak sebelum kami naik ke angkutan masing-masing. Dingin banget, bre!

Setelah selesai shalat dan mempersiapkan diri (sekali lagi) untuk naik ke Bromo, kami akhirnya kembali memasuki angkutan. Langit sudah mulai fajar, sesekali aku melihat Kurniadi mengambil langit yang menampilkan sangat-sedikit-cahaya-matahari pagi itu.

Sangat-sedikit-cahaya-matahari.
Kira-kira foto di atas menggambarkan pemandangan pagi dari Masjid tempat pemberhentian kami.

Itu mah udah pagi dong, pak!

Aku suka menghibur diriku sendiri, jadi, tolong, anggap saja masih gelap.

Tapi serius, jika menggunakan perbandingan 100%, sinar matahari masih menyinari kira-kira 10% permukaan langit yang berada di atas kami. Langit masih gelap dan cuaca masih sangat teramat dingin. Bagiku pribadi, masih ada secercah harapan untuk kami (setidaknya) melihat sunrise dari atas Bromo.

Kami lalu melanjutkan perjalanan. Kira-kira cukup lama hingga aku terbangun lagi dan mendapati matahari sudah menyinari bumi.

Ketinggalan sunrise bukan berarti akhir dari segalanya. Sepanjang perjalanan menuju view point, kami melihat banyak penginapan dan resort-resort yang berdempetan. Keluar dari daerah penginapan, kami dapat melihat pemandangan indah saat mobil mendaki bukit yang berkelok, hijau pepohonan menyambut kami.

Kami pun sampai di view point, perjalanan belum usai, masih ada beberapa ratus meter sebelum kami akhirnya sampai ke titik terbaik dalam melihat Bromo.

Sinar matahari pagi membanjiri kami, kendati pagi itu cukup cerah, langit bersih dengan awan yang berada satu level dengan kami, udara dingin masih mendekap kami erat, akupun sesekali mengepal tanganku dan melepaskannya, mencari sumber panas untuk diriku sendiri.

Kami pun berjalan dengan senang hati, tak terlihat sedikitpun ekspresi cemberut terpampang di wajah kami. Sesekali, dua-tiga motor membelah lautan manusia yang sedang mendaki maupun menuruni view point, dan dengan sigap pula para Tour Leader membimbing kami dari belakang maupun depan.

Dan, pemandangan yang disuguhkan adalah apa yang membuatku terkejoed dan mendiamkanku sejenak.


Bromo seolah mengucapkan "Selamat datang" dan "Selamat pagi" pada kami semua. Serius, aku segera jatuh pada pemandangan yang kulihat waktu itu. Aku masih ingat persis bagaimana keheninganku terpaksa berhenti oleh motor yang bersliweran di belakangku.

Oh iya, karena hari itu bertepatan dengan hari ibu, aku membuatkan Ibu sebuah video kecil-kecilan dengan pemandangan Kawah Bromo.



Bagiku, alam tak sekedar apa yang kita lihat sebagai 'pemandangan' seperti yang biasa kita 'take for granted' dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita perlu menjelajah, berpergian ke berbagai pemandangan yang biasanya hanya kita lihat dari layar smartphone kita, atau dari berbagai social media yang kita pandangi tiap hari.

In frame: (Dari kiri) Milla, Restu, Ayi, Kanzia. (Ayi)

In frame: (Dari kiri) Adli, Salma. (Adli)
In frame: Banyak. (Audi)

In frame: (Dari kiri) Ida, Sinta. (Kiki)


In frame: (Dari kiri) Kanzia, Arum. (Arum)
Sebab apa yang sesungguhnya berada di 'pemandangan-pemandangan' itu bukanlah sekedar bagaimana rasa penasaran kita terpuaskan, tapi bagaimana secara spiritual, kita diingatkan untuk kembali menjadi manusia.

Bagiku, kita sudah sering sekali melupakan hakikat kita adalah manusia. Bagiku, kita sudah terlalu lama ber-narsis ria, terlalu banyak mengenakan topeng, terlalu lama bersembunyi dibalik tuntutan-tuntutan sehingga kita lupa siapa jati diri kita yang sesungguhnya.

Bagiku, melihat Bromo yang secara sederhana ---tanpa campur tangan manusia--- berdiri tegak di sana adalah suatu pengingat, bahwa kita sebenarnya sangat teramat kecil dibanding makhluk lain di dunia ini, mengapa jadi angkuh kalau kita sebenarnya hanya sedang meninggikan diri? mengapa jadi sombong jika kita sebenarnya sedang lupa bahwa kita membutuhkan satu sama lain?

Tapi serius, jika ada kesempatan, aku ingin sekali bertualang, menggunakan sekaligus mensyukuri kedua kakiku yang sudah diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan; bergerak, melangkah. Secara harfiah, bergerak dengan kedua kakiku untuk menyusuri, menjelajah, mencari.

Sebab, aku ingin mencari selelah-lelahnya, agar dapat menemukan sebahagia-bahagianya.

Aku ingin mencari pengalaman, bukan sekedar mengikuti waktu berjalan. Aku ingin membuat cerita, tak sekedar instastory atau berfoto tanpa sempat meninggalkan momen yang membekas di pikiranku. 

Bagiku, pengalaman spiritual dan 'momen-momen pengingat' (istilah buatanku sendiri) adalah apa yang seharusnya kita bawa pulang, selain bukti digital yang tersimpan di memori hape kita, agar memori ingatan kita pun punya sesuatu juga untuk ia simpan.

Cukup lama hingga kami lalu berjalan turun kembali.

Kami melewati jalan yang sama dengan jalur saat kami menanjak, kali ini udara mulai menghangat, tapi tetap menyimpan hawa dingin yang sama dengan tadi pagi. Kamipun berganti kendaraan, dari angkutan berkapasitas 7-8 orang, sekarang menaiki jeep dengan kapasitas 5 orang + 1 tour leader untuk menuju ke kawasan Suku Tengger.

Sebelum sampai ke kawasan Suku Tengger, kami berjalan cukup jauh karena jeep yang tak mampu berjalan di kawasan Lautan Pasir.


In frame: (Tengah-tengah) Teuku. (Jadied)
Lalu kami tiba di Pura Luhur Poten yang terdapat di Kaki Gunung Bromo, sisa-sisa banner yang dibawa oleh para tour leader pun dibentangkan di halaman Pura untuk kami duduk, lalu sang narasumber memberikan penjelasannya. Tentu saja sebelum dan sesudahnya, kami banyak mengambil momen untuk berfoto.


In frame: (Dari kiri) Raihan, Kanzia. (Widies)
Ingat Raihan yang di seri pos pertama aku ceritakan punya keahlian spesial untuk bisa tertidur dengan kondisi kepala miring sembilan puluh derajat? Dialah orangnya.

In frame: (Dari kiri) Alsyahfa, Allysa, Abidah, Haniya, Gadis, Fatma. (Jadied)
Sementara pemandangan dan wajah-wajah serupa terlihat dari jurusan IPA yang mendapat rute pendakian ke kawah Bromo, jalan yang mereka tempuh lebih jauh, anak tangga yang mereka pijaki lebih banyak, udara yang menghembus tengkuk mereka lebih tinggi. Tapi, aku yakin kebahagiaan yang kami dapat sama rata.

In frame: (Dari kiri) Latriaz, Sevira, Alyssa. (Adam)

In frame: (Dari kiri) Alyssa, Dicky, Zahwa. (Adam)
In frame: (Dari kiri) Angel, Mamat, Andri, Arnetta, Yuaraina, Alfriza, Sultantio. (Kiki)
Lalu, para tour leader mulai menginstruksikan kami untuk kembali dan mencari jeep masing-masing.

Kami lalu kembali berjalan menapaki lautan pasir, ribuan kali menengok kembali ke arah Bromo, sambil berfoto ria sebelum memasuki jeep masing-masing. Di dalam jeep, sesekali aku menoleh ke  belakang, berjanji suatu saat akan kembali lagi ke tempat ini, mengambil jejak langkah kakiku yang tertinggal di sana.

Sekembalinya dari Bromo, kami kembali menempuh jalan yang sama dengan jalan kami berangkat. Aku bersumpah hampir semua anak tertidur di angkutan masing-masing. Maklum, hanya punya waktu sekitar empat sampai lima jam untuk tidur di malam sebelumnya ditambah kelelahan dan pengetahuan akan hal baru, aku pikir, otak kita semua butuh waktu untuk mencerna informasi demi informasi yang sudah direkamnya semalaman.

Lalu kami mandi dan berkemas setelah kami sampai di bus yang terparkir di sebuah rumah makan. Kalau telingaku tidak salah, aku sama sekali tak mendengar ucapan yang seringkali kudengar di Depok (atau dimana saja).
"Kok rasanya cepetan pulangnya yaa daripada perginya?"
Lalu, biasanya akan diikuti dengan ucapan seperti ini.
"Iyaa, sama, kok kayak jauuh banget perginya, tapi pulangnya cepet yaa?"
Tebak, kenapa? Benar. Sebab semua orang benar-benar tertidur, bahkan salah satu kalimat yang masih terngiang di otakku adalah;
"Gua kira kita diculik sumpah, lagian jauh banget mana gak nyampe-nyampe"
-_-

Kurang lebih pukul 10.00, bus kembali berangkat. Kali ini adalah perjalanan panjang menuju Yogyakarta, perjalanan sepuluh jam yang membawa kami ke tempat sebagai kota dari segala 'pulang' (bahkan walau kampungmu bukan di Yogya.)

Sejenak, aku memberikan waktu lebih untuk otakku mencerna apapun yang telah terjadi barusan. Kedatangan di Bromo yang penuh dengan kedinginan, lalu berjalan menuju viewpoint yang diisi oleh bermacam-macam jenis brr brr sebagai reaksi kami saat jaket kami tak mampu menghangatkan tubuh, hingga keberangkatan lagi dari Bromo untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan.

Tuhan, rasa-rasanya hari ini kami telah banyak sekali mengeluh. Maaf jika kami terlalu banyak menuntut, tapi lupa bahwa kamipun harus bisa mensyukuri nikmat-Mu.

Senja bertolak di langit sebelah kiri bus, beberapa dari kami lalu bergantian bernyanyi (meski dengan paksaan). Bukan, bukan karena kami enggan membantu kak Fadhil dalam membina suasana, tapi karena kelelahan yang telah menghajar kami habis-habisan. Aku kembali melihat rundown, masih ada beberapa jam sampai kami tiba di Yogyakarta.

Jadi, aku memutuskan untuk kembali memasang headset, memilih secara acak lagu untuk diputar (dimulai dari lagu Sleeping At Last - Turning Page), merapihkan sandaran kepalaku, lalu menutup mata, kembali tidur untuk selanjutnya terbangun di kota yang sarat akan rasa kembali pulang, Yogyakarta.

.
.
.

To Be Continued.

No comments:

Post a Comment