Thursday, January 4, 2018

Enam Hari, Enam Kota: Masjid dan Keraton Sumenep, Hari Ketiga.

Enam Hari, Enam Kota: Masjid dan Keraton Sumenep, Hari Ketiga.
Oleh : Kanzia Rahman

Serial pos enam hari enam kota kutulis untuk berterimakasih pada dewan guru, dipo tour and travel, panorama bus, dan angkatan 32 SMA Yaspen Tugu Ibu 1 Depok, khususnya pada Pak Arif, Pak Isnaeni, Mam Yurita, Bu Anas, Bu Rini, Kak Fadhil, Kak Mitha, jajaran pengemudi bus dan asistennya, serta teman-teman satu kelas Evension (XI IPS 1) yang tidak bisa kusebutkan satu-persatu.

(Kanzia)
Jam di smartphoneku menunjukkan angka 5:41 AM saat Kak Tasya, seorang tour leader, mengetuk pintu kamar yang terisi oleh empat orang itu. Ayi menjadi yang membukakan pintu, Kak Tasya lalu menjelaskan bahwa saat sarapan nanti, dua orang harus pisah makan di hotel seberang ---yang masih satu komplek dengan beberapa hotel yang disewa sekaligus oleh sekolah--- karena keterbatasan kemampuan menampung orang di restoran hotel ini.

Kami mengangguk, lalu 15 menit kemudian sudah bersiap meninggalkan kamar.


Aku kembali bertemu dengan teman-teman satu kelas saat sarapan di hotel seberang. Menu sarapan kami pagi ini adalah rawon dan telur asin yang khas dengan cangkang kulit telurnya. Kami makan bersama sambil mendengarkan cerita mereka yang semalam baru saja memenangkan sparing game mobile legends antar-kamar, atau tujuan wisata kami hari ini.

Selesai makan dan berfoto-foto dengan setelan batik-abu-abu yang telah ditentukan sejak awal, kami bersiap memasuki bus-bus yang terparkir di lapangan salah satu hotel, siap berangkat membawa kami ke dua tujuan utama hari ini, Masjid Agung Sumenep dan Keraton Sumenep Madura.

Di dalam bus, obrolan bergerak lebih liar lagi. Kali ini, aku baru tahu bahwa kemarin, seorang anggota bus kami jatuh pingsan (lagi dan lagi) dua kali hingga harus dilarikan ke rumah sakit oleh para tour leader yang panik dan kebingungan.

Tak selesai di sana, aku juga baru tahu bahwa jarak antara kompleks hotel yang kami singgahi jaraknya dekat. Hanya berjarak lima menit dengan mobil pribadi, mengacu pada google maps. Sayang, jarak lima menit itu harus diperpanjang lantaran bus 4 dan beberapa bus yang mengikutinya sempat salah jalan dan terpaksa memutar balik beberapa kali.

.
.
.

Sesampainya di depan Keraton, sudah ada beberapa bus lain yang telah lebih dulu sampai. Kak Fadhil lalu menginstruksikan kami agar tidak turun terlebih dahulu. Ketujuh *cmiiw* tour leader yang memandu di masing-masing bus rupanya mengadakan briefing singkat tak jauh dari bus dan kondisi jalan yang kosong.

Sementara dua-tiga tour leader lainnya bergantian menginspeksi gerbang yang kuidentifikasi kemudian sebagai gerbang Keraton *cmiiw*. Ramai bunyi kresek-kresek dan pembicaraan antar tour leader sempat terdengar sebelum Kak Fadhil turun dari bus.

Tak lama terlihat rombongan tiga kelas IPA yang memasuki gerbang Keraton terlebih dahulu. Kamipun turun setelah mendapat instruksi, memasuki Museum Keraton Sumenep.

Salah satu yang menarik perhatianku adalah sebuah Al-Qur'an yang ditulis tangan dengan ukuran panjang 4 meter, lebar 3 meter, dan berat 500kg. Bayangkan, tulis tangan. Di sebelahnya lalu terdapat kereta kuda kencana Sumenep, dan kereta kuda pemberian ratu Inggris. Sementara di dinding digantungkan lukisan-lukisan ataupun foto-foto dari Raja-raja Keraton Sumenep.

Memasuki Gerbang Keraton Sumenep adalah agenda kami berikutnya.



Di Keraton, banyak sekali hal yang bisa kami lihat dan pelajari. Mulai dari Kolam yang dulu digunakan oleh para permaisuri, kamar raja, Al-Qur'an yang ditulis dalam satu malam, rumah meditasi, hingga berbagai jenis sajadah dari Keraton. Saking banyaknya, aku mungkin tidak bisa menuliskannya satu persatu kedalam sini.

XI IPS 1. (Tabitha)

In frame: (Dari kiri) Andika, Gadis, Fatma, Jadied, Resty. (Jadied)

XI IPS 2. (Audi)

Sol Sepatu, XI IPA 1. (Yang sampai sekarang saya bahkan belum tahu kenapa mereka menamai kelas mereka dengan sebutan Sol Sepatu) (Kiki)
Hari beranjak siang saat kelasku keluar dari Gerbang Keraton. Berbagai pelajaran, materi, dan segala hal yang dibutuhkan untuk bahan KTI bagi mereka yang membutuhkannya telah didapat. Saatnya menuju lokasi kedua, Masjid Jami Sumenep!

Rombongan kami berbelok kearah kanan begitu keluar dari Keraton, beberapa dari temanku bertanya perihal ss, namun para tour leader menyuruh bertahan untuk ss di masjid saja. Rupanya, jarak dari Keraton ke Masjid Jami hanya 10-15 menit dengan berjalan kaki.

Tapi kebetulan rombongan kami banyak, jadi memakan lebih dari 15 menit perjalanan. 

Sebelum mencapai Masjid Jami, kami harus melewati Taman Adipura dan menyebrang jalan terlebih dahulu.

Walking down the road. (Widies)

In frame: (Dari kiri) Rei, Dewi, Rifki, Naura, Ivan, Kanzia, Jamal, Dinda. (Widies)

In frame: (Dari kiri) Sevira, Alyssa, Agis, Fia, Wara. (Cempaka)
Taman itu cukup luas, sebuah jalan dibentuk dengan desain lantai berwarna hitam-putih dari gapura taman hingga ke tepi jalan. Di tengah-tengah taman, dibentuk persis seperti bulat dengan jalan di bagian atas dan bawahnya. Di tengah bulatan itu terdapat sebuah tugu yang aku lupa namanya. Di sekelilingnya ada sejumlah bangku yang sempat kami duduki sembari menunggu rombongan yang masih dalam perjalanan.

View sebelum menyebrang. (Kanzia)
Gerbang Masjid Jami' sudah tampak dari seberang jalan, sesampainya di sana, kami mendapat instruksi untuk menunggu yang masih berjalan dengan tujuan memasukkan semua peserta dalam sekali 'turn'.

In frame: Pak Nasser & Dicky. (Adam)

In frame: (Dari kiri) Widies, Dinda, Naurah, Ara, Sinta. (Adam)

Bidadari-bidadari Tatra Aswara ---dengan pengecualian---. (Dari kiri) Arum, Salsa, Kanzia, Elga, Tabitha. (Arum).


"Boomerang, yuk."
"Yuk, gaya nari ya."
"Emang buat cowok ada?"
"Ada, gampang udah. Gerakin kaki gini aja."
"Oke. Yang bagus yee."
"Okeee."
*lalu kabur*.

Kadang aku merenung sendiri kenapa aku sempat percaya pada mereka. Hahaha.


Bercanda, ding. Ada boomerang yang bagusnya juga.

Hari beranjak siang ketika kami memasuki pelataran Masjid Jami' Keraton Sumenep.

Udara sejuk segera menyambut hidungku, beriringan dengan semilir angin yang bertiup halus, kamipun melepas alas kaki dan memasuki Masjid Jami' Keraton Sumenep.

Salah satu hal yang paling menarik perhatianku adalah tempat wudhu yang terbuat melingkar yang tiangnya dibuat tinggi dan besar. Tak lama, kami lalu dipersilahkan masuk ke bagian dalam Masjid.

Di dalam Masjid ---yang mana aku gagal menemukan satupun dokumenter foto dari grup angkatan---, ketiga belas pilar hingga langit-langitnya terbuat dari kayu yang masih sangat kokoh. Beberapa dari kamipun duduk melingkar bersama sang Ketua Takmir, bercerita tentang sejarah Masjid Jami' yang sedang kami pijaki.

Setidaknya, ada tiga mimbar yang ada di dalam Masjid. Yang sebelah kanan dilengkapi dengan tongkat dan sedikit tangga duduk, sementara di tengah adalah tempat untuk imam memimpin salat, sementara yang sebelah kiri (dari hasil pertanyaan yang kutanyakan) adalah untuk imam cadangan. Jadi sewaktu-waktu imam utama terjadi hal yang tidak diinginkan, seseorang dengan cepat bisa menggantikan maju ke depan untuk memimpin salat.

Puas mendapat pelajaran dan materi yang dibutuhkan, kami kembali melangkah keluar masjid.

Bersama sang narasumber. (Dari kiri) Agan, Rei, Ricky, Lutfi, Ammar, Andri, Ilham, Faqih, Kanzia, Bagus. (Ammar)
Melalui rumah meditasi dan bagaimana pak narasumber menceritakan dan menjelaskan materinya pada kami, aku pikir satu kata yang merangkum keseluruhan hari ini adalah; ketulusan. Sebagai contoh, museum Keraton dan barang-barang di dalamnya yang dirawat dengan tulus, Keraton itu sendiri dan bagaimana tradisi pada akhirnya tetap bertahan dengan kemurniannya sampai hari ini.

Selanjutnya adalah perjalanan panjang menuju Malang. 

Melalui terik siang, hangat senja, rintik gerimis, deras hujan, dan kembali disambut angin malam. Bus kami mungkin sudah protes, tanpa kami bisa mendengarnya. Tubuh kami seakan telah mengakar dengan bangku bus yang kami duduki seolah 24/7 itu, mungkin perjalanan seharusnya aku harus membawa guling, atau setidaknya selimutku sendiri dalam perjalanan panjang seperti ini.

Sightseeing lima bangku paling belakang bus. (Dari kiri) Allam, Andika, Iqy, Fauzan, Falah, (Dhafa---terpotong setengah---). (Jadied)
Tapi semua itu terbayarkan ketika pada akhirnya udara Malang berhembus melalui jendela kecil yang dibuka asisten bus, saat itu tepat setelah hujan berhenti, wewangiannya menyeruak ke dalam bus, wangi petrichor, wangi rumput yang dibilas hujan.

Sekonyong-konyong kami tertawa saat mendengar salah satu anggota bus kami mendapat kamar di lantai 6 saat pembagian kamar di bus dalam perjalanan menuju hotel. Tertawa lagi saat mendapat teman kami lainnya mendapat kamar di lantai 7, lalu sisanya ketakutan mendapat kamar di lantai 8 atau bahkan seterusnya.

Sesampainya di hotel, aku segera melempar tubuhku ke kasur, merebahkan lelah, menghembuskan napas panjang. Berpikir sejenak bagaimana waktu pun tanpa kusadari telah melemparkanku ke hari ketiga, yang berarti sudah setengah perjalanan dari sebuah tour yang tak akan bisa kuulangi sampai kapanpun lagi.

Melalui jendela hotel malam itu, aku melihat kearah luar, kerlap-kerlip lampu kota terlihat dari kejauhan. Bersinar, menyala, hingga pagi. Mengingat besok pagi kami akan menuju tempat tujuan yang menjadi puncak perjalanan, aku rasa hype yang menghinggapi adalah salah satu hal yang wajar untuk diterima malam itu.

Baiklah, pengalaman ini persis seperti seseorang yang sedang menunggu hukuman matinya, yaitu tiga hari kedepan. Aku berkali-kali membolak-balik buku petunjuk yang diberikan di hari pertama, berharap dalam setiap kali aku membalikannya, ada hari tambahan yang ditambahkan di bawah hari ketujuh, atau mataku yang salah melihat bahwa ini sudah hari ketiga, atau tulisan di buku yang salah tulis, terserahlah! asal jangan secepat ini tiga hari kedepan berakhir.

Pukul dua pagi, aku menengadah ke langit-langit kamar. Setelah menyelesaikan urusanku dengan tubuhku yang memaksaku beranjak ke kamar mandi, aku membuka pintu kamar, menengok ke arah lorong yang kosong dan lengang.

Aku pun kembali kedalam kamar, Rei yang tertidur di paling ujung dekat dinding masih mengenggam erat remote tv, Sendy dan Ayi yang tertidur pun menunjukkan tipikal wajah-wajah kelelahan (yang biasanya terdiri dari komposisi mata terpejam, hidung kembang-kempis dan mulut menganga), sementara aku kembali menengadah ke langit-langit dimana alat pendeteksi asap dan penyembur air sedang bertengger tanpa emosi.

Tubuhku lalu terbaring di kasur, kembali memasangkan headset yang memutar lagu Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan dari Payung Teduh, mataku tak sekuat lampu-lampu jalan malam itu, dan tanpa sadar, aku telah kembali tertidur.

Untuk selanjutnya menemui hari keempat, memasuki dua hari terakhir perjalanan.

.
.
.

To Be Continued.

No comments:

Post a Comment