Monday, December 25, 2017

Enam Hari, Enam Kota: Bukit Jaddih dan Api Abadi, Hari Kedua.

Enam Hari, Enam Kota: Bukit Jaddih dan Api Abadi, Hari Kedua.
Oleh : Kanzia Rahman

Serial pos enam hari enam kota kutulis untuk berterimakasih pada dewan guru, dipo tour and travel, panorama bus, dan angkatan 32 SMA Yaspen Tugu Ibu 1 Depok, khususnya pada Pak Arif, Pak Isnaeni, Mam Yurita, Bu Anas, Bu Rini, Kak Fadhil, Kak Mitha, jajaran pengemudi bus dan asistennya, serta teman-teman satu kelas Evension (XI IPS 1) yang tidak bisa kusebutkan satu-persatu.


(Kanzia)
Gigiku bergemeretak saat kedua mataku membuka, lagu Matahari Pagi dari Banda Neira yang diputar melalui headsetku adalah hal kedua yang kutahu saat aku terbangun. Malam tadi, aku sengaja memilih lagu itu untuk diputar secara berulang kali, semalaman, dengan harapan terbangun disinari matahari Surabaya. Akupun antusias membuka tirai jendela di sebelah kiriku, berharap pemandangan indah dan sejenisnya...



"Kok gelap?"
Hari masih malam, dan aku benci karena harapan bangun-dengan-sinar-matahari-Surabaya ku itu sirna. Persis seperti debu yang dilap pakai tisu basah, pupus.

Aku lalu menoleh ke kanan, berharap mencari informasi pukul berapa sekarang, atau setidaknya, dimana kita sekarang. Namun, refleksku berkata lain. Kepala Rei yang masih berada di posisinya adalah hal keempat yang aku sadari sejak terbangun.

"Dih Rei, kepala lu masih di atas?"
Serius, aku sama sekali tidak berpikir dua kali saat melontarkan kepala ini. Tabitha dan Elga yang berada di seberang kursi pun tertawa kecil, rupanya mereka sudah terbangun lebih dahulu daripada aku. Bisa jadi mereka menertawakan pertanyaan itu, atau justru menertawakan aku yang bertanya dengan gigi yang bergemertakan tak beraturan.

"Yak teman-teman! Kalo ada yang mau ss, silahkan"
Suara Kak Fadhil selanjutnya menjadi hal kelima yang aku sadari. Untuk beberapa saat aku berpikir, dan teringat akan kode etik selama perjalanan ini.

Kita mengganti kata buang air kecil menjadi ss, dan buang air besar menjadi mm. Jadi, tidak perlu panjang-panjang menyebutkan "Kak, mau buang air kecil dong" atau sejenisnya. Cukup sebutkan, "Kak, ss!" atau "Kak, mau ss dong.", maka bus akan segera mencari pemberhentian terdekat yang area parkirknya cukup luas untuk bus berhenti sejenak.

Aku terbangun, beranjak menuruni tiga anak tangga di pintu belakang bus lalu mendarat di tanah salah satu SPBU yang jujur, aku lupa dimananya. Udara saat itu dingin sekali, pukul 12.30-an dan jalanan kosong.

Sambil berjalan kembali kearah bus, aku bertanya pada Andreas dimana kita sekarang, "Kita di Pati." Jawabnya. Sesampainya di bus, aku sempat terbingung melihat dua bongkahan yang seperti ditutupi selimut. Lalu kembali tertawa kebingungan saat sadar kalau dua bongkahan yang diselimuti itu adalah Jadied dan Kurniadi. Keduanya meringkuk didalam selimut masing-masing. 

Andreas lalu memperlihatkan perkiraan lama waktu sampai Masjid Al-Akbar Surabaya. 5 jam 53 menit, aku membulatkannya menjadi 5 jam. Hal ke-sekian yang aku sadari adalah saat aku kembali mencoba tidur dengan meletakkan kepala di jendela, kacanya bergetar hebat. Akupun memaksakan tidur.

Malam itu, aku terbangun setiap dua puluh menit sekali lantaran kepalaku bergetar-getar saat tidur.

.
.
.

Mataku membuka, entah untuk yang keberapa dalam enam jam terakhir. Tapi sejak peristiwa hancurnya harapanku, setidaknya pembukaan kelopak mataku yang kali ini jauh lebih baik.

Cahaya matahari silau memasuki celah-celah kaca jendela, berpendar di langit tiap kali aku menoleh ke atas. Awan mendung bergumul, menjauhkan diri tertiup angin dari gumpalan awan putih yang seolah-olah mendekati langit di atas kami. Aku menoleh ke dalam bus, nampaknya aku termasuk dalam seperempat kelompok pertama yang baru bangun tidur.

Pandanganku lalu beredar ke luar bus, toko-toko dan rumah-rumah berjejer sepanjang jalan, kendaraan dan pejalan kaki beradu cepat di trotoar. Tak terlihat adanya gapura selamat datang menandakan bus ini telah memasuki sebuah kota, lamat-lamat aku mencari nama kota yang mungkin saja tertera di salah satu toko.

Tak lama aku menyadari menara tinggi yang dipuncaknya terdapat kubah berwarna hijau. Dua jawaban sekaligus. Pertama, bus kami sudah sampai di Surabaya. Kedua, itu Masjid Al-Akbar, tempat kami akan transit sebelum ke Madura.

Embun pagi menyapa di jendela. (Kanzia)
Bus kami menjadi bus pertama yang sampai di pekarangan Masjid, diikuti oleh Bus 3, kedua bus itu lalu terparkir rapih menjadi dua bus pertama yang memberhentikan roda-rodanya di tempat transit. Kak Fadhil menjadi yang kedua menyapa kami setelah cahaya matahari, menginstruksikan kami untuk mandi, berganti pakaian, dan sarapan.

Kami lalu berhamburan keluar, mencari koper masing-masing dan mempersiapkan diri untuk memulai wisata hari kedua.

Pukul 6.25, setelah aku dan beberapa teman dari satu kelas telah selesai, kami memutuskan untuk mengelilingi masjid itu sembari menunggu konsumsi untuk sarapan pagi. Terhitung empat sampai lima bus telah berjejer di satu tempat yang sama dengan bus 4. 

Salah satu sisi Masjid Al-Akbar. (Kanzia)
Hampir sempat aku memutuskan untuk masuk masjid, namun sepertinya sedang ada event yang digelar sehingga aku mengurungkan niat. Kami kembali berjalan, pekarangan masjid itu lebih luas dari yang kami kira, cukup luas untuk berteduh di bawah pohon-pohon yang disusun rapih, atau sekedar duduk-duduk di tangga.

(Kanzia)

(Dari kiri) Jamal, Allam, Kanzia, Ivan, Dhafa, Ammar, Dimas, Daffa. (Jamal)
Setelah puas berfoto di depan tulisan Masjid Nasional, kami kembali berjalan menyusuri sisa dua perempat masjid yang belum kami lewati. Sempat kami berpapasan dengan perempuan-perempuan dari bis 7 seperti Rizka, Nadya, Saskia, Zalfa, Annisa, Syifa.

Sisi terjauh dari tempat parkir bis kami rupanya sama seperti sisi terdekat parkir bus, toilet dan tempat wudhu. Satu sisi merupakan gerbang besar Masjid yang tertera tulisan "Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya".

Berjalan menyusuri satu sisi terakhir resmi membuatku terkagum, di sudut yang membatasi sisi ketiga dan sisi keempat yang membentuk huruf L, sebuah *CMIIW* klinik dengan beberapa anak tangga dan sebuah akses ke Perpustakaan serta Kantin tersedia. 

Sementara sisi terakhir diisi oleh playgroup atau setara TK lengkap dengan taman bermainnya, di sebelahnya terdapat lapangan bulutangkis yang dilengkapi garis lapangan dan net, dua orang sedang bermain di dalamnya.

Kami lalu melanjutkan kegiatan dengan sarapan, foto-foto bareng, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Menuju Madura.


Merah-merah unyu. (Naura)

Merah-merah unyu. (2) (Naura)
Merah-merah unyu. (3) (XI IPS 2, Eka)

.
.
.

Langit membuka selebar-lebarnya saat ketujuh bis sampai di Bukit Jaddih, matahari mendukung dengan menyinari tanah seterik-teriknya. Hari memasuki pukul 11 ketika perlahan, rombongan dari SMA-ku menapaki jalan menyusuri tebing perbukitan yang masih aktif untuk kegiatan pertambangan kapur itu.

Daratan Payung. (Kanzia)
Tebing pertama membelokkan kami, persis membentuk huruf C, kami mulai berjalan dari bagian ujung bawah kanan huruf itu, menuju ujung atas kanan huruf. Di tengahnya adalah kolam renang besar yang berada jauh di bawah tebing yang kami tapaki, sebuah pagar besi dibuat untuk membatasi orang agar tidak jauh ke bawah.

(Kanzia)

Menanjak sedikit begitu kami sudah sampai di huruf C bagian ujung atas kanan, tebing berbelok ke kiri, membentuk sudut 90 derajat, satu-dua truk melintasi kami, membelah lautan manusia kepanasan itu menjadi dua saat kedelapan rodanya yang membawa beban berat menuruni atau justru menaiki bukit.

Saat berbelok, tebing yang terbentuk lebih sporadis lagi, derajat kemiringannya cukup tinggi dengan dua tebing lain yang mengapitnya. Mengingat fakta bahwa kapur terbentuk dari hasil pengendapan makhluk laut yang mati, lalu berjuta-juta tahun mengeras menjadi batu, rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kami persis seperti berada di bawah lautan yang bagian atasnya sedang dibelah.

(Kanzia)
 Kami kembali melanjutkan mendaki bukit Jaddih, berkelok-kelok sambil mencari pemandangan terbaik. Dua kali terhitung para Tour Leader menginstruksikan agar berfoto bersama dengan banner yang telah dibawah. Di puncaknya, yang sebenarnya belum puncak, kami berhenti mendaki. Hanya beberapa orang yang sampai ke puncak paling tingginya, aku kira tak perlu konfirmasi lebih lanjut bahwa teriknya matahari adalah yang bertanggung jawab atas segala lelah yang diberikan siang itu.

In frame: (Dari kiri) Evri, Nisalia, Hanifa, Indira, Anggun. (Jadied)

In frame: (Dari kiri) Adit, Dhika, Obi, Rio, Bestyo. (Rio)

In frame: Ilham. (Rio)

In frame: Surya Firdaus. (Faqih)

In frame: Asyraf Fata. (Faqih)



Kami pun kembali menuruni kelok demi kelok untuk sampai ke bus yang sudah kembali siap membawa kami pergi. Sepertinya, semua ucapan kelelahan dan sejenisnya sudah resmi terbayarkan saat kami berhasil mengambil banyak foto-foto untuk dijadikan kenangan.

Bus pun menuju rumah makan, namun sesampainya di rumah makan yang lokasinya tak jauh dari Bukit Jaddih, hujan deras mengguyur kami. Awan mendung kembali bergumul di angkasa dengan menyisakan air hujan sebagai ampasnya yang jatuh ke bumi.

Ironis, mengingat tujuan selanjutnya kami adalah Observasi Api Abadi yang katanya tak kunjung padam itu. Memang sih, sesekali kami bercanda perihal apakah api abadi akan mati kalau dikasih air, tapi sepertinya Tuhan meng-iya-kan dengan menurunkan hujan.

Selesai makan, saat berjalan kembali kearah bus, aku kembali bertanya ke salah satu tour leader.

"Kak, ini kita ke.. Api abadi?"
"Iya"
"Tapi kan ujan gini, terus apinya?"
"Tenang aja, gak bakal mati kok."
Aku rasa tak perlu menyebutkan tour leader mana yang menjawab pertanyaanku diatas, yang jelas nadanya menenangkan dan tawanya menyejukkan, sekian.

.
.
.


Bus 4 lagi-lagi menjadi bus pertama yang sampai di tujuan. Kali ini diikuti oleh lima bus lain, tersisa bus 6 dan bus 1 yang datang paling akhir. Ketujuh bus itu parkir lapangan besar yang di kiri dan hadapannya terdapat banyak wc umum yang segera diserbu oleh kami yang sudah menahan ss sedari tadi.

Sebelum berbaris, kelasku berfoto bersama, tepat di depan bus 4 yang menjadi rumah kedua kami untuk 6 hari.

Evension. (Resty)
Quatre(Four in French). (Tabitha)

Selesai berfoto, kami berbaris, lalu menuruni jalan sedikit menuju Api Abadi.


There you go, eternal fire.

Api abadi merupakan sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pagar-pagar berwarna kuning yang membatasi kawasan api aktif dengan jalanan, secara natural, kami mengelilingi pagar tersebut.

Tak lama, Kurniadi menjadi yang pertama memasukin kawasan berapi, memegang kamera, ia hikmat mengambil rekaman demi rekaman untuk kebutuhan KTInya, aku menjadi yang kedua masuk diikuti oleh Rifki, Justice, dan Jamal.

Suara yang seolah berkata, sayang udah sampe disini, gak nyobain apinya terus berngiang di otakku, tanpa berpikir dua kali, aku berjongkok, mengambil sembarang batu dan mencari sumber api.




Rasanya tidak seburuk yang dilihat serius.

Awalnya ada takut dan cemas, tapi bermodalkan batu dan pikiran kalau kebakaran pasti ada bantuin ini, aku memulai sedikit demi sedikit mengais pasir demi pasir yang menutupi api. Membuatnya lebih besar dan lebih besar, lalu membiarkan mereka mati dengan sendirinya.

Terhitung beberapa kali aku keluar-masuk kawasan yang dipagari, pada akhirnya aku menyerah karena mencoba membakar jagung di tanah dengan api yang cukup besar. Mataku berwarna kemarahan, nyeri dan mengeluarkan air mata.

Sayang, aku tak mendenger jelas penjelasan oleh sang kuncen daerah itu saat sampai ke ilmiahnya, mungkin anak IPA akan jauh lebih mengerti hal-hal semacam ini daripada aku. Pun saat cerita mitos tentang api abadi diceritakan, aku terlalu asik bermain dengan pasir dan api. Wkwkwk.

Cukup lama hingga kami akhirnya digiring kembali ke bus oleh para tour leader, kami menaiki bus masing-masing, dan detik itu juga aku tahu, keingintahuanku sudah terpuasakan. Bahkan sempat terbesit bagiku untuk menulis cerita dengan tokoh utama yang memiliki panggilan-panggilan seperti Kanzia the Firebender atau Kanzia si Pengendali Api, atau bahkan Kanzia, Gundala Putra Api.

Hari itu, rasanya zat endorphin (yang bertanggung jawab atas rasa senang) sedang diinjeksikan dalam kadar besar-besaran kedalam tubuhku, mengalir melalui pembuluh darah dan memenuhi seluruhku. Lautan rasa syukur sedang menelanku kedalam ombaknya dimana aku dengan sukarela tenggelam di dalamnya.

Tapi serius, jika ada kesempatan, aku tak menolak untuk kembali ke Api Abadi. Untuk sekedar menjadi anak kecil yang suka bermain pasir, atau hanya untuk memandangnya dari kejauhan. Mereka terlalu sayang untuk dilewatkan.

Bus pun kembali melanjutkan perjalanan, berjam-jam menuju Sumenep untuk selanjutnya mengantarkan kami beristirahat di hotel. Paling tidak, aku dan Rei tidak perlu lagi berdebat perihal siapa yang harus duduk di seat jendela atau seat dekat lorong.

Malam itu belum berakhir. Sesampainya di hotel, aku dan beberapa teman bermain dua ronde Werewolf Game. 'Pengantar Tidur', kata mereka. Faktanya, pukul 12 kurang seperempat mataku baru bisa terpejam dengan flu yang memaksaku menghirup udara tiap lima detik sekali.

(Dari kiri) Kanzia, Dewi, Widies, Rei, Naura, Dinda, Rika. (Rika)

Bukit Jaddih, bukit perkapuran yang kini dijadikan tambang itu membawaku pada suatu fakta bahwa alam bisa menjadi apa saja yang mereka mau. Mengingat bahwa ---seperti yang sudah aku tulis diatas--- bahwa perbukitan kapur itu terbentuk oleh pengendapan makhluk dasar laut. Bukankah mengerikan jika kita membayangkan bagaimana gaya endorgen dan alam-lah yang membawanya hingga membentuk tebing tinggi menjulang yang rentan itu?

Dan sama seperti Bukit Jaddih, Api Abadi juga seolah mengingatkanku bahwa alam ternyata berteman baik dengan kita, apabila kadar yang kita berikan juga sewajarnya. Jika kita lihat di video di atas, api yang kecil seakan-akan mengikuti goresan yang diberikan oleh bebatuan yang ditorehkan di atas pasir, tapi dalam skala yang besar, api itu bisa saja membakar.

Oh iya, dalam rekaman itu, aku sedang mengenakan tas slempang yang digantungkan jaket putih Evension di sela-selanya. Bersyukurlah beberapa teman di luar pagar mengingatkanku untuk melipat jaket agar tidak terkena api, karena saat aku melipatnya pun, kondisinya menjulai seolah ingin pula menyentuh lidah api yang menari di sekitarku.

Evension. (Resty)
(Dari kiri) Jamal, Kanzia, Rei. (Jamal)

Setelah mengenakan setelan tidur dan meminum obat pribadi yang sudah dipersiapkan dari rumah, hari itu berakhir dengan kelegaan. Secara khusus, kelegaan di hidungku karena akhirnya bisa bernafas sempurna tanpa tersumbat, ataupun kelegaan karena rasa ingintahuku terbalaskan.

Mataku semakin berat dan intensitas mulutku menguap kini semakin cepat, aku merebah setelah hampir dua hari tak bertemu kasur. Lalu menutup mata tak lama kemudian, untuk bersiap pada kejutan-kejutan yang telah menanti di hari-hari berikutnya.

.
.
.
.

To Be Continued.

No comments:

Post a Comment