Oud Batavia.
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Pagi belum mencapai sepertiganya saat aku menapakkan kaki di dinginnya lantai Stasiun Pondok Cina. Melewati belasan meter jalan yang berlubang sambil merasakan getaran di sekujur tubuh kendaraan yang kunaiki. Gedebag-gedebugnya di sana, deg-degannya di sini. Cemas, resah, gelisah menyesakkan hati yang sudah penuh akan segala tentangmu.
Tapi, bukan tanpa alasan hatiku cemas, hari ini adalah hari yang dinantikan puluhan orang satu angkatan English Club di sekolah tercinta, ---betul, sekolah yang mempunyai danau (red: wisata air) saat hujan turun itu--- yang penantiannya menjalar hingga belasan orang angkatan berikutnya. Penantian untuk membuktikan, mengekspresikan, menyalurkan kemampuan berbahasa Inggris dan pada akhirnya melakukan semua hal itu sambil bertualang ke suatu tempat wisata.
Program itu selanjutnya akan aku sebut dengan istilah Native Hunter, dimana para anggota English Club akan mencari Native Speakers, istilah untuk orang yang berasal dari negara yang berbahasa Inggris, lalu mengadakan sesi tanya-jawab singkat dengan sepuluh pertanyaan yang disusun secara sistematis. Mudah? Kedengarannya.
Hari resmi dimulai sejak pukul 06.00 WIB dimana setiap anggota yang akan mengikuti kegiatan diwajibkan untuk berkumpul di Stasiun Pondok Cina. Irfan, salah satu anggota termuda, menjadi yang pertama sampai di Stasiun. Tepat pukul 06.34 WIB saat kakiku melangkah turun dari kendaraan, sudah ada beberapa orang anggota lainnya yang sampai disana.
Keresahanku bertambah setelah tiga orang anggota dan satu orang alumni mendadak gak bisa mengikuti kegiatan, dimulai dari Reihan yang tubuhnya sakit, Assyifa dan Kak Rasyid yang tanpa kejelasan, dan Saskia yang salah satu anggota keluarganya meninggal. Our prayers and thoughts for you, guys.
Vionis, sang bendahara, berhasil meredakan sedikit kecamuk cemas yang membara. Satu, kedatangannya dengan helm yang kegedean sehingga dia harus mendongak untuk bisa melihat jelas aku dan Rizka yang menunggu sisa anggota yang belum datang. Sungguh, kesan pertamaku adalah dia persis seperti Robocop atau Stormtrooper dalam film-film Star Wars. Aku terbahak.
Dua, belum ada dua menit ia datang, ia tersandung batu bata yang disusun di pekarangan Stasiun, teriakan sapaannya pada Rizka berhenti tepat pada "Ririii-------". Serius. Terpotong di tengah-tengah, Pernah merasakan dilema antara tertawa atau menolong orang yang terjatuh karena kecerobohannya sendiri? Aku memilih untuk menolong, tapi dua detik kemudian, ia bangun dengan seluruh stasiun mengalihkan perhatian kepadanya. Aku menyesal telah memutuskan untuk tidak tertawa lepas---selepas-lepasnya---.
Rossi dan Zahra menjadi dua orang paling akhir yang datang, kedua tangan mereka aktif menenteng plastik isi konsumsi dengan total 40 buah. Bersyukur Ricky sigap membantu keduanya, pukul 8.07 WIB kereta jurusan Jakarta Kota pun berhenti di Stasiun Pondok Cina, setelah kedua langkah kaki Alsyahfa, yang menjadi yang paling akhir untuk naik kereta telah utuh berada di dalam gerbong, pintu menutup.
Perjalanan dimulai.
Untuk mendapat sedikit ruang bergerak dan sebuah pegangan di langit-langit kereta tujuan Jakarta Kota pada sabtu pagi adalah suatu kebahagiaan. Gerbong itu penuh, tidak berdesakan. Tapi cukup untuk membuat beberapa anggota seperti Rika, Naura, Naya, Diva untuk berebutan pegangan di langit-langit kereta.eskipun pada akhirnya keempatnya memilih untuk independen dan sama sekali tidak pegangan pada tempat yang disediakan (kalau begitu kenapa awalnya mereka berebutan pegangan, ya?).
Dua puluh menit sebelum pukul 10.00 WIB, kereta berhenti. Ada kebahagiaan karena pada akhirnya sedikit cemasku pun reda, tapi di satu sisi, ada keresahan lainnya yang timbul karena realita di lapangan meleset jauh dari jadwal dan rundown yang udah ditetapkan. Tapi jujur, dalam setiap acara, rundown adalah rundown, panduan sekaligus urutan kegiatan secara keseluruhan. Berkaca dari kalimat barusan, waktu kegiatan puncak (yaitu Native Hunter) sendiri yang harusnya empat jam, terpaksa dipotong dari jam 11.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB.
Sesampainya di Kota Tua, mataku menangkap pemandangan yang asing tapi sama sekali tak asing.
Izinkan aku bercerita sedikit. Kunjungan terakhirku ke Wisata Kota Tua adalah kelas 2 SD, yang berarti bertahun-tahun lalu. Yang aku ingat hanyalah sepotong-potong memori dari keseluruhannya. Aku yang dulu tentu belum bisa memahami betul apa itu konsep Wisata Kota Tua yang sesungguhnya.
Sebuah Cafe Batavia, Museum Fatahillah, Museum Wayang, Kantor Pos Kota Tua, Museum Seni dan Keramik, dan sebuah lapangan besar yang dihias untuk Sport Festival Asian Games segera memenuhi pemandangan.
Annisa, sang sekretaris, dalam Latar Belakang Proposal kegiatan, ---dan dengan ciamiknya--- menuliskan Jakarta sebagai "Salah satu kota megapolis dunia yang terus berkembang untuk mempertahankan legimitasinya sebagai destinasi wisata yang tak henti bersolek mempercantik dirinya untuk menggapai jiwa-jiwa baru yang hadir dan jatuh cinta pada kegagahannya."
Aku tidak segan untuk berkata bahwa kalimat itu cerdik sekaligus cantik. Cerdik, sebab ---entah bagaimana--- kalimat untuk memuji sang Ibukota dapat, dengan kreatif, dibuat secantik itu. Cerdik sekaligus cantik, terlepas dari segala hal negatif yang mungkin mengelilinginya.
Berangkat dari kalimat itu, aku menarik kesimpulan bahwa Kota Tua, atau Oud Batavia bukanlah sekedar destinasi wisata untuk hanya mencuci mata, tetapi lebih daripada itu, juga untuk mempelajari sejarah dan histori yang terus dipertahankan pada derasnya arus globalisasi yang sedemikian rupa mengikis sedikit banyak budaya asli.
Kalimat ini akan aku elaborasikan kemudian. Tunggu sampai ceritanya selesai.
Kami lalu segera mencari tempat untuk berteduh. Bermodalkan pemandu dari Kak Fadilla dan Kak Whisnu yang aktif mengarahkan jalan lewat LINE, kami berhasil mencapai lokasi mereka dan meregangkan pergelangan sejenak.
Tempat kami berteduh tidaklah luas tetapi tidak juga sempit, berada di jalan yang berada bersebrangan dengan Museum Fatahillah, diapit oleh Kantor Pos dan Gedung Jasindo, terdapat sisa plafon jendela diatasnya dapat digunakan untuk menutupi diri dari cuaca. Secara geografis, mengingat beragamnya patokan di Kota Tua, tempat kami strategis.
Di lapangan luas yang berada diantara empat gedung protokol Kota Tua, sebuah panggung sedang dipersiapkan. Kompetisi basket 3x3 pun sedang dilaksanakan dalam lapangan kecil lagi yang dibuat hanya untuk 6 orang. Beberapa stand membentuk huruf L mengikuti sudut lapangan, beberapa diantaranya adalah stand jual-beli, beberapa lainnya adalah stand untuk bermain VR Game, beberapa lainnya untuk VIP Area ---yang kuperkirakan untuk bintang tamu konser malam ini---. Welcome to Oud Batavia.
Aku berterima kasih secara pribadi pada Kak Whisnu, Kak Arya dan Kak Fadilla yang bersedia datang lebih awal untuk mencari perkiraan titik berkumpul di kegiatan ini.
Setiap sudut Kota Tua diisi oleh mereka yang berteduh karena matahari sedang cerah-cerahnya tetapi terkadang tertutup awan yang menggumpal. Siang itu berawan, terang, dan menyilaukan. Matahari masih segan untuk mengeluarkan seluruh panasnya untuk membakar kulit kami.
Pukul 10.30, kegiatan pertama dimulai. Pelantikan untuk kelas 10 dan 11. Kelompok pun dibagi menjadi dua bagian, kelas 10 di sebelah kiri dan kelas 11 di sebelah kanan. Kak Fadilla yang memimpin upacara sakral ini karena dia yang paling berpengalaman, Nazwa dan Raihan sebagai perwakilan kelas 10 lalu menerima rompi sebagai simbol resminya mereka bergabung ke dalam EC. Verbal maupun nonverbal.
Selanjutnya, giliran pelantikan untuk ketua tahun ini. Aku melangkah maju, dipandu oleh Kak Arya agar mendapat angle pemotretan paling sempurna. Kak Whisnu ---yang mewakilkan kak Robby--- akhirnya menyodorkan sebuah rompi sekaligus pin yang resmi menandainya peristiwa sakral itu.
Official.
Kegiatan pun berlanjut. Kini, seluruh anggota berbaris sesuai kelompok yang telah ditentukan, setelah bersiap-siap untuk memulai kegiatan Native Hunter, kami semua berdoa untuk yang terakhir kalinya, mengambil tas masing-masing, mengikat tali sepatu agar lebih kencang, lalu memulai langkah menuju pusat keramaian.
Kelompokku sendiri dipimpin oleh Alvita sebagai captain, lalu ada aku, Sinta, Alsyahfa, Syahrul, dan Nazwa sebagai anggotanya. Kami berlima tergabung dalam Group 3.
Langkah itu, persis seperti milkshake yang dicampur adukan dalam satu rasa. Keraguan, kecemasan, keresahan, kesenangan, keingintahuan, keyakinan, melebur dalam satu waktu dalam satu titik temu. Tidak hanya variabel X dan Y yang mempunyai garisnya masing-masing, tetapi juga T, U, V, W, Z, A, B, dan selebihnya. Langkah pertama kami semua dipenuhi beban, tetapi juga dipenuhi rasa optimis.
Belum sampai 5 menit, group kami mendapat cobaan pertama, yaitu group lain yang sudah mendapat native pertama yang akan mereka wawancarai. Adalah Diva, Raihan, Ricky, Najjah dan Naila yang secara beruntung berada pada titik yang lebih dekat dari native yang juga kami ingin wawancarai. Game on.
Semakin banyak kami melangkah, semakin ringan beban yang kami pikul. Rasa semangat dan keingintahuan berhasil mengaburkan ragu dan cemas yang memuncak beberapa jam kebelakang. Lapangan yang tadinya luas pun rasanya mengecil, jarak antar museum semakin berdekatan, dan matahari semakin tinggi di atas kepala.
Langkah kami lalu pede mengelilingi lapangan satu kali putaran untuk melakukan observasi kecil-kecilan sebelum akhirnya memilih untuk melangkah masuk ke dalam Museum Fatahillah, setelah beberapa ruangan, sedikit dari harapan kami untuk mendapatkan Native di Museum itu gugur, tetapi setelah melihat ada sebuah jalan menuju ruangan lain di Museum itu, langkah kami kembali bersemangat.
Gedung itu persis seperti mencibir kami, makanya kalo liat yang bener!
Kami lalu melihat seorang Native yang sedang melihat-lihat, tak ingin ketinggalan kesempatan, kami segera mendatanginya. Namun dia memberikan "No, i don't have time" sembari tersenyum menggeleng lalu melangkah menjauh dari kami saat kami bertanya, "Excuse me sir, do you have any time?"
Tak berhenti, cibiran kami yang kedua datang dari kelompok yang sama, Group 2, Naila, Diva, Raihan, Ricky dan Najjah ---yang entah bagaimana--- sedang mewawancarai native lainnya di ruangan yang kami masuki setelahnya. Bersyukur, tepat sebelum kami terburu-buru memasuki ruangan berikutnya, seorang native bersedia kami wawancarai sedikit.
Namanya Michael, datang ke Indonesia bersama koleganya dengan tujuan bisnis, dan sama sekali belum mempunyai makanan kesukaan di Indonesia. Astaga, dari beragam makanan di sini? Pikirku. Kami pun menawarkan rekomendasi makanan seperti Gado-Gado, Ketoprak, Kerak Telor, kepadanya. Dia bilang dia akan mencoba, sebab rasa makanan disini jauh berbeda dengan negara asalnya.
See you, sir. |
Setelah berhasil mendapatkan satu orang Native, kami kembali bergerak. Di beberapa ruangan selanjutnya, kami kembali bertemu dengan Group 2, kali ini es batu yang membeku diantara kedua kelompok dicarikan dengan pertanyaan Diva,
"Udah dapet?""Baru satu"
"Semangaaatt", ucapnya setengah mencibir, setengah serius.
Kami kembali berjalan, mengelilingi sisa Museum Fatahillah dan menemukan langkah kami ternyata mengembalikan kami pada lapangan besar yang berada ditengah-tengah Museum Fatahillah dan Kantor Pos Kota Tua.
Kami berjalan lagi, kali ini menuju Museum Wayang. Sekonyong-konyong Alvita berlari cepat setelah melihat dua buah ondel-ondel setinggi langit-langit yang berdiri di ujung ruangan. Bagi kami yang lain, senyum nyengir ondel-ondel itu lucu karena gigi yang ompong di tengahnya, bagi Alvita menakutkan. Bagi kami, mata ondel-ondel itu unik karena membulat besar dan seolah ingin melompat keluar, bagi Alvita menakutkan. Bagi kami, ondel-ondel itu sama seperti yang biasa melewati depan sekolah kami, tidak ada bedanya. Bagi Alvita juga sama, sama-sama menakutkan.
Tapi sepertinya Tuhan selalu punya rencana. Serius. Kami sedang berdiri santai tak jauh dari ondel-ondel yang berhasil membuat Alvita terpaksa pergi ke kamar mandi sejenak, sebuah jalan sedikit menanjak menuju lantai 2 Museum Wayang yang di sebelah kirinya digantungkan lukisan-lukisan yang indah.
Aku mengeluarkan kamera, membuka penutup lensa, lalu dua orang Jepang yang juga sedang berada di tempat yang sama, mengingatkanku, kira-kira begini.
"Memangnya boleh foto disini?"
"Iya, bapak mau saya fotokan disini?" Serius, aku salah dengar dan salah pemahaman. Bersyukur, yang satunya mengoreksi pertanyaannya.
"Kalian akan foto disini?" Sambil menunjuk-nunjuk lukisan yang menggantung, ia bertanya.
"Ooh, iya, saya akan foto semuanya, unik hehe." Untuk kedua kalinya, aku keliru. Mereka lalu tertawa sambil berjalan menjauh.
Sadar kesempatan tak muncul dua kali, aku menghampiri mereka lagi.
"Excuse me sir, do you have any time?"
"Yes, we have time."
Dan berlangsunglah interview itu.
Yang satu bernama Chibuta dan Toshiyama (CMIIW), keduanya datang ke Indonesia untuk bisnis. Chibuta banyak bercerita, ia pernah datang ke Indonesia sepuluh tahun lalu, dan mempunyai menu Cafe Batavia yang dilipat. Dia bahkan menyimpan menu sepuluh tahun lalu itu dan menu sekarang, mengeluarkannya dari dompet lalu memamerkannya kepada kami. Dia juga seseorang yang menyukai Nasi Goreng dan Mie Goreng, kami semua banyak tertawa meski ada keterbatasan pemahaman antara kami karena aksen yang mereka gunakan.
Chibuta (kiri) dan Toshiyama (kanan) |
Setelah interview, mereka melangkah terlebih dahulu ke lantai dua. Kami memproses segala hasil interview barusan, lalu beranjak ke lantai dua.
Di lantai dua, kami kembali melihat mereka. Sekarang tangan mereka aktif mengambil foto dari segala wayang yang di pajang di setiap Museum. Astaga, seketika aku paham bahwa tadi mereka sebenarnya bertanya "Apakah boleh mengambil gambar di sini?". Aku merasa bodoh, bodoh sekali.
Tak lama kemudian, kami kembali mengelilingi Museum Wayang, menjelajah isinya sebelum akhirnya tahu bahwa jalan keluar yang harus ditempuh sama dengan jalan masuk tadi karena ada area yang harus direnovasi. Mataku sesekali mencari kemana Chibuta dan Toshiyama, sekedar penasaran. Tapi sampai kami berada di ambang pintu keluar, aku sama sekali tak melihat keduanya.
Dan begitu pula saat kami keluar dari Museum Wayang, mereka berdua sudah hilang begitu saja, entah sedang bersantai di Cafe Batavia, menikmati teh di Bangi Kopi Kota Tua, atau mungkin sedang ditindik di kios-kios tindik dan tatto sepanjang jalan Lada? Kami tidak tahu. Yang kami tahu, keduanya masih segar bugar dan tak terlihat tua sama sekali dari cara mereka berbincang dengan kami.
Sebelum pukul 13.00 WIB, kelompok kami kembali ke titik pertemuan awal. Setelah puas menikmati karya seni lukis Zaman Temporer, Zaman Jepang, bahkan Zaman Orde Baru di Museum Seni, kami berenam ditambah Kak Fadhilla, Kak Whisnu, dan Kak Arya yang memutuskan untuk ikut berjalan kearah tempat berkumpul.
Gerimis deras mengguyur badan kami, Bersyukurlah beberapa orang membawa payung, cukup untuk melindungi dari basah berkepanjangan. Lapangan yang tadinya ramai kini sepi, stand-stand pun menutup tirai rapat-rapat, bahkan beberapa monitor yang dipajang di luar oleh stand VR Game harus dievakuasi kedalam.
Yang membuat kami semua sepakat kebingungan, stand penjual es krim justru ramai. Otak kami pun meneriakkan satu hal yang sama, "Kenapa orang-orang mau membeli es krim saat hujan?" Sambil tertawa.
Kelompok kami ternyata kelompok terakhir yang datang ke titik kumpul. Para anggota laki-laki lainnya pergi mencari Musholla, namun sekembalinya mereka, ada satu orang yang belum kembali.
Adalah Justice, anggota bertalenta yang juga paling berbeda dari yang lain, ia tak ikut kembali. Aku memutuskan membawa orang-orang inti sedikit menjauh dari titik kumpul, menjaga agar tidak terjadi kepanikan meski kak Fadhilla sudah menunjukkan ekspresi panik. Kompak, semua anggota laki-lakipun mencari Justice menuju Jalan Lada, jalan yang sudah diperkirakan.
Belum sempat kami berjalan jauh, Justice menampakkan diri di Jalan Lada, ia pun mendatangi kami dan menunjukkan kedewasaannya saat berkata, "Sorry ya bro" lalu meminta maaf pada yang lain dengan alasan tersesat. Aku meyakini ia benar-benar tersesat, lalu kami semua kembali ke titik pertemuan awal.
Di sela-sela 'hilangnya' Justice, aku bersyukur karena sempat untuk mengambil gambar ini. |
Dan ini, English Club juga meninggalkan jejak dalam 1.818.818 dukungan menuju Asian Games 2018. |
Kami pun kembali bersiap, berdiri, mengambil sisa sampah, lalu melakukan foto-foto tepat di depan Museum Fatahillah. Satu per satu, para anggota berjalan menuju stasiun. Kami semua dalam keadaan yang sama.
Senang, bahagia, lelah, tapi tak berkeringat. Segala keresahan, keraguan, kecemasan itu pecah tepat setelah palu keingintahuan menghantamnya. Setelah memastikan semua anggota telah sampai ke rumah dengan selamat, aku memutuskan untuk merapihkan diri, meluruhkan lelah, membuat segelas coklat panas.
Saat aku sedang menulis ini, aku sedang dibuat paham oleh Tuhan bahwa kegiatan tadi bukan hanya beberapa-jam-untuk-interview-dan-jalan-jalan. Aku sedang dibuat paham bahwa di Semesta yang terlalu luas ini, terlalu angkuh untuk meremehkan setiap peristiwa.
Contohnya, tadi group 1 bertemu dengan seorang dari Perancis, yang mungkin jika aku bergabung dalam group itu, aku akan menyerocos dengan bahasa Perancis seadanya dan membicarakan hal-hal yang ringan seperti baguette, croissant, Paris, atau bahkan toko roti berbahasa Perancis yang ada di salah satu Mall besar di Depok. Lalu mungkin orang itu akan membalas obrolanku dengan standar 'ringan' di Perancis ---yang terdengar sangat filosofis sekaligus indah, bayangkan, salah satu judul lagu saja secara harfiah berarti 'hati gajah', namun secara makna artinya kerelaan untuk melepaskan seseorang pergi.--- dan aku mungkin hanya bisa mengembalikan obrolan ke interview yang dipersiapkan.
Pelajaran pertama, tidak perlu angkuh, dan tidak boleh angkuh. Tetaplah merendah, sebab selalu ada langit di atas langit, selalu ada awan di atas awan ---dan ada pesawat di antaranya---
Atau Chibuta dan Toshiyama yang telah berkeliling dunia untuk mengejar mimpinya, bisnis. Mereka terlihat begitu segar, begitu sehat, meski aku yakin setumpuk kertas dan dokumen telah menunggu mereka untuk diselesaikan. Betapa mudahnya menghilangkan urat yang menonjol saat berpikir terlalu keras jika mau mengganti fokus pada sesuatu yang jauh lebih menyenangkan.
Pelajaran kedua. Tidak perlu sakit betulan untuk meyakini diri sedang sakit. Cukup pikirkan bagaimana keadaan sakit, maka akan sakit. Segalanya ada pada pikiran, saat sudah menguasai pikiran, kuasai diri.
Atau bagaimana terkagetnya kami semua ketika sebuah notification muncul dan menjelaskan bahwa Kedutaan Irlandia untuk Indonesia telah mengikuti akun Instagram English Club. Ide untuk menempelkan nama akun Instagram di Pin rupanya brillian. Tidak tanggung-tanggun, Kedutaan. Irlandia. Aku ulangi. Kedutaan Irlandia.
Bahkan mereka memposting tentang sesi interview dengan anggota English Club.
"See you in Ireland soon, hopefully." Lihat, sosok wajah tersenyum yang mereka buat ternyata begitu lucu. |
Pelajaran ketiga. Kegiatan ini ternyata lebih dari sekedar tempat dimana akhirnya para anggota dapat menggunakan kemampuan Bahasa Inggris mereka dan menemukan tempat yang tepat untuk menyalurkannya. Lebih dari sekedar small step, tapi a giant leap of faith.
.
.
.
Thanks, English Club Tuscho!
No comments:
Post a Comment