Tiga Sahabat
Oleh : Kanzia Rahman.
Oleh : Kanzia Rahman.
"Negara kita sudah sejahtera, tapi hanya belum merata." "Persetan" CYIIT. Farrel mematikan televisi yang sedang menayangkan wawancara dengan seorang tokoh politik yang diduga melakukan korupsi. Ia lalu merapihkan setumpuk berkas yang belum selesai, dan melangkah keluar ruangan. Sore ini, ia akan berbuka puasa bersama kedua temannya, Sam dan Dharma.
Farrel menuruni tangga, berjalan keluar kantor, singgah di salah satu toko kue cubit lalu memesan dua bungkus. Seseorang mengalihkan perhatiannya dari layar handphone yang ia pegang daritadi, memonitor posisi Sam dan Dharma, memastikan mereka soal letak dan waktu bertemu.
"Belum makan om..." ucap seorang gadis kecil bermata coklat, menatap dengan tangan kanan menengadah kearah Farrel, "Saya juga belum makan, kan puasa" balasnya setengah tertawa, lalu merogoh sakunya.
Ia lalu memberikan dua keping uang bernilai 500 perak, "Kita sudah sejahtera, tapi tidak merata, adik."
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Adzan maghrib berkumandang syahdu di seluruh penjuru Ibukota, saling bersahutan, menyatukan seruan. Kalimat syukur terdengar di telinga Farrel, Sam, dan Dharma yang kini sedang berada di sebuah kedai kopi bernuansa cozy di sudut jalan protokol, mereka meminum pesanan masing-masing. Farrel dengan Ice latte Cappucino, Sam dengan Moccacino, dan Dharma dengan Hot chocolate.
"Kalian tau? Tadi di tv ada siaran si tua yang bilang, "Kita sejahtera, tapi tidak merata". Cuh, dia sendiri melakukan korupsi dan menyebabkan ketidakrataan." Farrel lalu meletakkan gelasnya kembali.
"Hahaha, dasar. Sesekali, istirahatlah. Kita disini untuk merayakan gaji pertama kita, bukan?" Sam tertawa, melirik kearah Dharma, "Sialan, gue belum juga dapet kerjaan, lu ngeledek gue apa gimana Sam? Hahaha" "6 bulan bukan apa-apa, Ma. Dulu gue 2 tahun baru dapet kerjaan." Balas Sam, tertawa.
"Omong-omong, rumah si tua itu berada cukup dekat dari rumahmu kan, Ma?"Ttanya Farrel, "Benar. Kenapa?" Jawab Dharma, "Tidak. Gue cuman pengen tau gimana ramenya besok rumah dia didatengin pers sama wartawan." Jawab Farrel.
"Kalian ada rencana lain hari ini?" Farrel menghabiskan pesanannya, "Kalo enggak, ikut tarawih aja." lanjutnya. Sam menggeleng, "Ah, gue udah ada janji Rel. Sorry." Sambil menunjukkan gesture 'tidak' dengan tangan kanannya.
"Sama, Rel. Gue juga ada urusan." jawab Dharma. Farrel lalu menjabat tangan kedua temannya, lalu beranjak. Ia tidak ingin ketinggalan sedikitpun.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.." Sang Imam melakukan salam. Dengan segera, anak-anak di baris belakang masjid itu berlarian, menuruni tangga masjid dua lantai lalu berpencar, bermain. Sementara bapak-bapak berpencar di lantai atas, bersiap mendengarkan khotbah singkat dari penceramah.
Farrel melangkah keluar masjid, menuju sebuah warung yang hanya berjarak dua langkah dari gerbang masjid. Ia lalu duduk, membeli minuman gelas dan mendengarkan ceramah dari singgahsananya.
"Lagi-lagi membahas masalah sosial.." gumam Farrel seraya melihat ke sekelilingnya. Dua-tiga penjual makanan bertengger, menjajakan makanan kepada anak-anak yang bermain di sekitar area masjid.
"Kita sejahtera, tapi tidak merata." gumamnya
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lagu dengan suara bass yang kencang menggema di seantero ruangan bar, Sam dibopong keluar oleh kedua temannya. "Payah lu Sam! Baru tiga botol udah collapse!" ucap salah satu teman berkemeja panjang warna merah yang membopong tangan kanannya.
"Tau! Belom juga ke hidangan utamanya!" sahut teman berkacamata hitam sambil membopong tangan kirinya. Yang dibopong hanya terdiam, matanya masih berkunang-kunang, tenggorokannya panas, sementara kesadarannya masih rendah. Tubuhnya seakan melayang oleh tiga botol vodka yang ia habiskan puluhan menit lalu.
Ketiganya memasuki sebuah lift. Salah satu teman lalu memencet angka 50 yang berada di dinding perak lift. Pintu tertutup, kotak besi itu melaju keatas, berhenti sejenak di angka 39. Pintu terbuka, seorang perempuan berwajah campuran Eropa melangkah masuk dengan gaun merah memperlihatkan hampir setengah bagian dari punggungnya. Semerbak bau parfum menyeruak dari tengkuk sang perempuan, Claire de La Lune. Sam paham benar, perempuan ini berasal dari Perancis.
Lift sampai di lantai 50, ketiga orang itu keluar. Sam segera melemparkan diri ke kasur terdekat saat ketiga orang itu sampai di kamar pesanan mereka. "Gue cek dulu pesanan kita" Ucap yang berkacamata hitam sambil melangkah keluar ruangan.
"Bawa barang kan.." ucap Sam setengah sadar, teman berkemejanya membuka pintu kaca balkon, "Bawa. Gila lu masih mabok mau ngisep juga?" tanyanya seraya mengeluarkan sebungkus bubuk ganja yang dibalut kertas koran dari dalam kantongnya.
"Gue mah setrong.." Sam melangkah perlahan ke arah balkon, lalu duduk di kursi yang tersisa. Teman Sam segera menyiapkan dua gulungan berisi ganja, lalu mengeluarkan korek api berwarna hijau dari saku jaketnya. Sam, tanpa perintah, menjepit salah satu gulungan di bibirnya. Asap mengebul di balkon kamar lantai 50 itu beberapa menit kemudian.
"Lihat itu, Sam. Orang-orang metropolitan." ucap teman Sam. Lampu-lampu kota menyala, jalanan protokol dipenuhi oleh kemacetan. Mobil-mobil saling susul menuju tujuan masing-masing, bunyi klakson bersahutan. Sementara diatas sini, asap mengebul seraya dua orang itu menuju kenikmatan.
Pintu kamar terbuka. Sang kacamata hitam melangkah masuk diiringi tiga orang perempuan dengan tinggi semampai dan dress yang setengah terbuka. Bau parfum yang berbeda-beda segera menyeruak memenuhi kamar itu.
"Tahu kenapa masih banyak budak sistem, Dave?" Sam menoleh kepada sahabatnya. Keduanya tak peduli jika si kacamata hitam sudah memulai pesta duluan. Tak ada jawaban.
"Kita sejahtera, tapi tidak merata, sobat." Ucapnya lalu menghembuskan asap dari mulutnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PRAAANG!
Kaca jendela kamar belakang pecah, Dharma memasuki ruangan itu dengan perlahan-lahan. Ia lalu membuka pintu dari dalam, melangkah keluar.
Lampu-lampu sudah dimatikan, lantai dua rumah ini penuh dengan hiasan-hiasan semijadul yang masih baru. Contohnya saja, guci berwarna emas dengan hiasan oriental di ujung ruangan, atau lukisan-lukisan yang bertengger di dinding ruangan, semuanya masih baru.
Dharma mendengus, dia lalu melangkah turun. Tangga memutar dengan lantai pualam dan pegangannya yang terbuat dari perak semakin membuatnya kesal. Tak butuh waktu lama untuknya sudah berada di ruang tamu rumah itu.
Televisi puluhan inch dengan layar datar, console game yang berjejer di rak televisi, dan sebuah sofa empuk yang diletakkan tepat di depan televisi.
Ia lalu melangkah, mencari kamar sang pemilik rumah. Di ruang keluarga, terpampang foto keluarga dengan ukuran besar, dua orang anak laki-laki, yang satu berumur 18-19 tahun sementara yang satu lagi berumur 12 tahun, perkiraan Dharma.
Lalu senyum itu. Senyum si pemilik rumah sekaligus kepala keluarga itu. Dharma sekali lagi mendengus kesal.
Pria itu melihat celah kecil di pintu sang pemilik rumah. Ia lalu mengenakan topeng yang hanya memberikan celah pada kedua mata dan mulutnya, berjalan menuju kamar tersebut.
KRIETTT
Pintu terbuka, sang kepala keluarga sedang tertidur pulas di sebelah seorang perempuan. Entah ini istri keberapanya, pikir Dharma lalu berjalan menuju lemari yang terletak di sudut ruangan. Ia membuka kedua pintu lemari itu lebar-lebar, mengacak-acak isinya, lalu memasukkan perhiasan, uang, apapun yang ia temukan ke dalam sebuah karung yang ia siapkan dari rumah.
CLAK!
Lampu tidur dinyalakan, Dharma menengok.
Sang kepala keluarga itu terbangun. Dharma melihatnya, ia akhirnya melihat sosok yang ia benci selama ini, si tua yang tadi sore ia bicarakan dengan kedua sahabatnya, orang yang sudah merenggut kesejahteraan banyak orang lalu dengan santainya berbicara soal kesejahteraan. Huh, tahu apa dia!?
Dharma menatapnya tajam seraya melirik kecil kearah wanita yang tertidur disebelahnya. Teriak salah seorang sosok politik itu terhenti. Ia paham. Nyawa wanita itu juga terancam jika ia teriak. Dharma lalu menunjuknya, dan menunjuk lantai. Si tua itu pun duduk bersimpuh di lantai.
"Aku sudah tahu akhirnya hal seperti ini akan datang juga." Ucap pria itu sambil menatap lantai, Dharma menoleh. "Sekarang aku hanya bisa mengharapkan belas kasihanmu." Lanjut pria itu, "Kau tidak perlu. Sama seperti aku yang tidak perlu belas kasihanmu saat menggunakan uang rakyat untuk kepentinganmu pribadi." Balas Dharma.
"Semoga dosaku dan dosamu diampuni di surga.." gumam pria itu, masih menunduk. Dharma mengeluarkan sebuah kapak yang ia ambil dari tukang kayu di dekat rumahnya. "Tapi... kenapa..!?" Pria tua itu tidak mengalah, kini melihat keatas, menatap dalam mata Dharma seraya matanya berkaca-kaca.
"Sebab kita sejahtera, tapi tidak merata, tuan."
CRAAATTTT!!!!!!!
No comments:
Post a Comment