Enam Hari, Enam Kota: Kampung Salapan, Hari Pertama.
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Serial pos enam hari enam kota kutulis untuk berterimakasih pada dewan guru, dipo tour and travel, panorama bus, dan angkatan 32 SMA Yaspen Tugu Ibu 1 Depok, khususnya pada Pak Arif, Pak Isnaeni, Mam Yurita, Bu Anas, Bu Rini, Kak Fadhil, Kak Mitha, jajaran pengemudi bus dan asistennya, serta teman-teman satu kelas Evension (11 IPS 1) yang tidak bisa kusebutkan satu-persatu.
(Kanzia) |
Langit masih berwarna hitam saat tujuh bus sudah berbaris rapih di lapangan SMA tercintaku ---lagi-lagi yang masih banjir saat hujan turun deras---. Arah jarum jam menunjukkan angka dua dan angka empat saat kendaraan yang kunaiki berhenti di parkiran bersama mobil-mobil yang juga mengantar para peserta Joy Fun Study 2017/2018 lainnya.
Angin dengan segera membelai wajahku, menghembus tanpa peduli berapa derajat mereka saat itu, menyelinap diantara beberapa helai pakaian yang kukenakan, lalu pergi setelah menggoyangkan dedaunan yang tumbuh dengan rindang di pohon-pohon.
Dan sama seperti semua peserta lainnya, aku melangkahkan kaki menuju barisan Bus yang lampu interiornya menyala, menampilkan teman-teman lainnya yang mempersiapkan seat mereka secara habis-habisan sebelum memulai rangkaian perjalanan panjang dalam acara Studi Lapangan yang bertajuk Joy Fun Study tahun ini.
Bus yang dipilih pun ternyata tidak asal-asalan, berkapasitas 40 orang lebih dengan jarak kira-kira 60cm per kursinya. Bagasi kabin yang terletak di bagian langit-langit pun cukup luas untuk meletakkan barang-barang yang dibutuhkan-saat-perlu-saja.
Kurniadi menjadi yang pertama datang setelah chatnya, "Kuy merapat" disertai foto kabin didalam bus muncul di grup pukul 2.12, dia duduk di seat depanku bersama Jadied, sementara di seberang seat yang kududuki ada Elga dan Tabitha. Dimas dan Andreas menghuni seat di belakangku.
Seat bus terbagi menjadi dua bagian, kiri dan kanan, dengan dua kursi di setiap row-nya. Aku akan mengurutkan satu persatu penghuni seat dengan ingatan seadanya.
Setidaknya menurutku, ada tiga alasan kenapa bis kelas kami unik;
Pertama, secara-- entah bagaimana, dua orang bernama panggilan Dafa duduk di satu row yang sama. Sehingga kalau kalian memanggil, "Dap!" niscaya kedua orang itu nengok, merasa terpanggil, dan menunggu 'Dapa' mana yang dipanggil. Serius.
Kedua, Pak Arif adalah guru yang menyenangkan sekaligus mengasikkan. Mau tahu bagaimana cara beliau mengingatkan kita agar keesokan hari segera mencari bus masing-masing?
Karena tidak ada yang mau menduduki seat yang kosong itu, bus kami pun belum jadi jalan-jalan, lalu akhirnya Tasyah yang bersedia duduk di sebelah Nurmayanti, alhasil, beberapa seat lain pun berubah urutan jadi seperti ini.
Busku memiliki angka empat sebagai nomor urutnya. "Bus 4", begitu kami akan memanggilnya kemudian.
(Bu Elfira) |
Seat bus terbagi menjadi dua bagian, kiri dan kanan, dengan dua kursi di setiap row-nya. Aku akan mengurutkan satu persatu penghuni seat dengan ingatan seadanya.
Setidaknya menurutku, ada tiga alasan kenapa bis kelas kami unik;
Pertama, secara-- entah bagaimana, dua orang bernama panggilan Dafa duduk di satu row yang sama. Sehingga kalau kalian memanggil, "Dap!" niscaya kedua orang itu nengok, merasa terpanggil, dan menunggu 'Dapa' mana yang dipanggil. Serius.
Kedua, Pak Arif adalah guru yang menyenangkan sekaligus mengasikkan. Mau tahu bagaimana cara beliau mengingatkan kita agar keesokan hari segera mencari bus masing-masing?
Siap Pak. |
Ketiga, lihat lima seat di barisan paling belakang dan nama Andika yang terpampang besar-besar di kelima seat itu?
Begini. Bahkan sebelum bus berangkat, ledekan dan (istilahnya) 'ceng-cengan' sudah terjadi, Nurmayanti yang duduk sendiri dan Andika yang tidak mendapat tempat menjadi korbannya. Satu bus segera menyuruh Andika agar duduk di sebelah Nurmayanti, agar mereka dapat berpasangan lagi persis seperti di Drama Putri Pingsan.
Karena tidak ada yang mau menduduki seat yang kosong itu, bus kami pun belum jadi jalan-jalan, lalu akhirnya Tasyah yang bersedia duduk di sebelah Nurmayanti, alhasil, beberapa seat lain pun berubah urutan jadi seperti ini.
Pukul 3 pagi, pengeras suara sekolah dinyalakan, Pak Dudung memimpin doa bersama yang dilanjutkan dengan pembacaan Al-Fatihah. Suaranya bergema diantara kelas-kelas kosong dan lorong-lorong yang diterangi oleh pencahayaan.
Ketujuh bis pun resmi berangkat satu persatu, roda-rodanya yang besar menitik aspal lapangan SMA menimbulkan efek vibrate di dalam bus, para peserta melambaikan tangan kearah orang tua yang masih menunggui keberangkatan mereka, riuh gemuruh kesenangan cukup mengekspresikan rasa antusias kami semua.
Akupun ikut melambaikan tangan, tak hanya kepada kedua orangtuaku, tetapi juga ke gedung sekolah tiga lantai yang kesunyiannya pecah dini hari itu, ke gedung air dengan bentuk senter terbalik, dan kepada Depok, kota yang julukannya kini berubah dari Kota Belimbing menjadi Friendly City ini.
Jujur, aku tidak bisa merangkum keseluruhan emosi yang meluap di momen ini dalam satu kata, (menulis ini saja tanganku bergetar, tak ingin kehilangan momentum yang tersisa di dalamnya), tapi aku akan coba menjelaskan sedikit bagaimana perasaannya.
Spektrum rasa itu didominasi oleh rasa senang, setelah satu setengah tahun pembelajaran di dalam kelas, kertas-kertas pengumuman tanggal studi lapangan, kedatangan bu Asih ke kelas-kelas yang hampir setiap hari menagih uang untuk yang belum membayar, dan serentetan hingar-bingar studi lapangan yang dimulai dari hari rabu setelah Technical meeting dan pembagian kaos, lalu daftar panjang belanja barang-barang yang dibutuhkan untuk berangkat. Kita persis menjelma anak kecil yang senang diam-diam.
Lalu berbaris rasa penasaran, total sembilan objek yang akan didatangi menjadi tempat-tempat yang memenuhi pikiran. Rasa kantuk mengikuti, dibangunkan setelah rangkaian percobaan tidur yang selalu gagal menyisakan kantuk berkepanjangan. Aku pikir satu kata yang merangkum keseluruhannya adalah; Hype.
Tak lama setelah bus berjalan, seorang Tour Leader yang tergabung dalam bus 4 memperkenalkan diri. Namanya Fadhillah Rasyid, kelahiran tahun 1994, tingginya 170cm-an, kulitnya sawo matang dan rompi Dipo Tour and Travel senantiasa menggerayangi tubuhnya. Kami lalu memanggilnya dengan dua pilihan yang secara alamiah terjadi, "Bang Fadhil" atau "Kak Fadhil".
Dalam perjalanan ke Kampung Salapan, bus 4 terhitung tiga kali berhenti, di Rest Area KM 19 Cikampek untuk salat subuh, Rest Area KM 57 untuk sarapan yang sudah disediakan, dan di salah satu SPBU di Karawang.
Pagi itu, lagu-lagu yang diputar di bus kamipun tidak karu-karuan. Dimulai dari lagu mainstream seperti Havana dari Camila Cabello, indie seperti Asmara Nusantara dari Budi Doremi (yang karena liriknya aku menjadi suka dengan instan dengan lagu ini), hingga lagu Sayang dari Via Vallen.
Sempat ada sedikit harapan lagu akan menuju jalur yang lurus saat ternyata pemutar musiknya dapat diatur dengan bluetooth, hape Andika pun menjadi satu-satunya harapan yang tersisa untuk membawaku keluar dari jenis persilangan antar-musik yang sukses membuatku bingung.
Lagu diputar, rap dan hip-hop segera mengisi telingaku. Yang lain pun protes dan mengambil alih hape, lalu kembali memutarkan lagu-lagu mainstream. Aku mencoba mengurut semua lagu yang sudah diputar, dari mainstream-indie-dangdut-rap-hip-hop-mainstream.
Sejak itu, telingaku sudah pasrah tiapkali satu lagu berhenti, menyerah untuk menebak-nebak lagu apa yang bisa saja keluar dari pengeras suara yang dipasang di tiap tiga seat di bus.
Lalu sebelum kami sampai di Kampung Salapan, kak Fadhil memberitahukan bahwa akses ke dalam Kampung Salapan tidak akan menggunakan bus, melainkan sebuah kendaraan lain yang setingkat dengan Mitsubishi Pajero.
"Nanti kita disana gak pake Bus ya, tapi lanjut kendaraan lain."
"Wah apatuh kak?"
"Ada deh, pokoknya. Sekelas Pajero."
Tapi serius, aku sudah membayangkan jalanan yang terjal-berbukit-berkerikil-bebatuan-dan sulit ditembus.
Sesampainya di sana, kami disambut oleh rombongan mobil odong-odong yang berkapasitas 15-20 orangan. Kak Fadhil terkekeh, kami sama-sama tertawa sambil menggeleng-geleng lalu berkomentar.
"Wih pajeronya panjang banget."
"Pajero pajeroo"
"Sokin pajero"
Spektrum rasa itu didominasi oleh rasa senang, setelah satu setengah tahun pembelajaran di dalam kelas, kertas-kertas pengumuman tanggal studi lapangan, kedatangan bu Asih ke kelas-kelas yang hampir setiap hari menagih uang untuk yang belum membayar, dan serentetan hingar-bingar studi lapangan yang dimulai dari hari rabu setelah Technical meeting dan pembagian kaos, lalu daftar panjang belanja barang-barang yang dibutuhkan untuk berangkat. Kita persis menjelma anak kecil yang senang diam-diam.
Lalu berbaris rasa penasaran, total sembilan objek yang akan didatangi menjadi tempat-tempat yang memenuhi pikiran. Rasa kantuk mengikuti, dibangunkan setelah rangkaian percobaan tidur yang selalu gagal menyisakan kantuk berkepanjangan. Aku pikir satu kata yang merangkum keseluruhannya adalah; Hype.
Tak lama setelah bus berjalan, seorang Tour Leader yang tergabung dalam bus 4 memperkenalkan diri. Namanya Fadhillah Rasyid, kelahiran tahun 1994, tingginya 170cm-an, kulitnya sawo matang dan rompi Dipo Tour and Travel senantiasa menggerayangi tubuhnya. Kami lalu memanggilnya dengan dua pilihan yang secara alamiah terjadi, "Bang Fadhil" atau "Kak Fadhil".
Dalam perjalanan ke Kampung Salapan, bus 4 terhitung tiga kali berhenti, di Rest Area KM 19 Cikampek untuk salat subuh, Rest Area KM 57 untuk sarapan yang sudah disediakan, dan di salah satu SPBU di Karawang.
Pagi itu, lagu-lagu yang diputar di bus kamipun tidak karu-karuan. Dimulai dari lagu mainstream seperti Havana dari Camila Cabello, indie seperti Asmara Nusantara dari Budi Doremi (yang karena liriknya aku menjadi suka dengan instan dengan lagu ini), hingga lagu Sayang dari Via Vallen.
Sempat ada sedikit harapan lagu akan menuju jalur yang lurus saat ternyata pemutar musiknya dapat diatur dengan bluetooth, hape Andika pun menjadi satu-satunya harapan yang tersisa untuk membawaku keluar dari jenis persilangan antar-musik yang sukses membuatku bingung.
Lagu diputar, rap dan hip-hop segera mengisi telingaku. Yang lain pun protes dan mengambil alih hape, lalu kembali memutarkan lagu-lagu mainstream. Aku mencoba mengurut semua lagu yang sudah diputar, dari mainstream-indie-dangdut-rap-hip-hop-mainstream.
Sejak itu, telingaku sudah pasrah tiapkali satu lagu berhenti, menyerah untuk menebak-nebak lagu apa yang bisa saja keluar dari pengeras suara yang dipasang di tiap tiga seat di bus.
Lalu sebelum kami sampai di Kampung Salapan, kak Fadhil memberitahukan bahwa akses ke dalam Kampung Salapan tidak akan menggunakan bus, melainkan sebuah kendaraan lain yang setingkat dengan Mitsubishi Pajero.
"Nanti kita disana gak pake Bus ya, tapi lanjut kendaraan lain."
"Wah apatuh kak?"
"Ada deh, pokoknya. Sekelas Pajero."
Tapi serius, aku sudah membayangkan jalanan yang terjal-berbukit-berkerikil-bebatuan-dan sulit ditembus.
Sesampainya di sana, kami disambut oleh rombongan mobil odong-odong yang berkapasitas 15-20 orangan. Kak Fadhil terkekeh, kami sama-sama tertawa sambil menggeleng-geleng lalu berkomentar.
"Wih pajeronya panjang banget."
"Pajero pajeroo"
"Sokin pajero"
Pajero 15 orang. (Bu Elfira) |
Bus kami rupanya menjadi yang pertama sampai dari empat bus lain. Tiga bus yang membawa anak IPA menuju tempat penggilingan Padi, sementara tiga bus lain yang membawa anak IPS datang saat dua pajero membawa kami ke Kampung Salapan.
Dalam perjalanannya, imajinasiku tentang jalanan yang serba-rumit segera sirna. Kami menemukan sawah dan desa-desa sejauh mata memandang, petani yang sedang merawat sawahnya, pohon-pohon tinggi dengan dedaunan yang seolah ingin menyapa kami, wajah-wajah ramah penduduk yang kami lewati, juga tawa anak-anak yang menertawakan tumpangan mereka yang dihiasi kartun bergambar itu diisi oleh remaja.
Kedua tumpangan kami itu berhenti di salah satu pekarangan Masjid. Beberapa orang dari agen travel pun sudah siap menyambut kami. Tapi sebelum berjalan lebih jauh, kami berfoto bersama dulu.
Langkah kamipun berlanjut, menapaki jalan menuju Kampung Salapan yang menjadi tujuan utama kami. Jalan yang tadinya dipenuhi rumah-rumah di kiri-kanan pun berganti dengan jalan setapak yang cukup untuk dua motor dan sawah terbentang di kiri-kanan kami.
Ilustrasinya seperti ini, tapi tanahnya sudah diganti jadi aspal. (Kanzia) |
Setelah berjalan selama sepuluh menit, kami melihat gapura setinggi tiga meter yang dibuat dari bambu yang disusun dan dipayungi oleh jerami. Sebuah tulisan pun menyambut kami, "Selamat datang di Kampung 9".
Tapi bukan hanya itu saja yang menyambut kami. Tebak apa?
Para penduduk Kampung Salapan berbaris sepanjang gapura hingga kedalam untuk menunggu kedatangan kami, menyalami kami, menyambut dan mengucapkan selamat datang kepada kami. Aku tidak dapat menghitung persisnya, tapi yang kutahu, hanya satu kesan yang timbul di otakku; ramah.
Keramahan itu tidak selesai di sana, di pekarangan rumah-rumah pun telah disusun kursi-kursi dan meja-meja untuk kami duduk dan mendengar penjelasan di Kampung Salapan.
Setelah empat kelas resmi berkumpul di satu tempat yang sama dan serangkaian sambutan, penjelasan itu dimulai dari sang narasumber (yang kulupa namanya).
Kampung Salapan terletak di Desa Gempol, Kabupaten Karawang. Hanya ada 9 rumah disana yang dihuni oleh 9 Kepala Keluarga, pada tahun 2013, penghuni Kampung Salapan berjumlah 27 orang (2+7=9), dan hanya dihuni oleh 9 keluarga.
Jika jumlah keluarga yang menempati kampung Salapan lebih dari 9 keluarga, maka salah satunya harus keluar atau akan terjadi musibah seperti kematian, gagal panen, dan lain-lain. Terdapat juga sisa candi yang salah satu batunya masih disimpan oleh salah satu penduduk yang diperkirakan usianya sudah ratusan tahun, jauh lebih lama dibanding sang penyimpan batu itu sendiri.
Ada juga tiga sumur yang terdapat ikan gabusnya yang terdapat juga bintik-bintik berjumlah sembilan di badan ikan gabus itu. Sayangnya, aku tak dapat melihat mereka.
Puas berkeliling dan mendengar penjelasan, kami kembali bersiap-siap berangkat. Selanjutnya adalah perjalanan belasan jam ke Surabaya, lalu Madura.
(Bu Elfira) |
(Bu Elfira) |
(Bu Elfira) |
Salah satu foto jurusan IPA di Penggilingan Padi. (Bu Elfira) |
Sebelum berjalan keluar, barisan penduduk kembali menunggu kami, bersalaman dengan hangatnya untuk mengucapkan terima kasih sudah berkunjung. Kedepannya, aku pikir kita semua sama-sama berharap segala yang terbaik untuk Kampung Salapan, seperti listrik, air, dan kebutuhan primer maupun sekunder yang makin pesat berkembangnya di era ini.
Kampung Salapan adalah bukti bahwa konservatif tidak sama dengan kuno maupun ketinggalan jaman. Bukti keteguhan dan ke-orisinil-an mereka dengan menjaga budaya yang telah turun-temurun, keluarga yang hanya berjumlah 9. Bayangkan, bagaimana jika dari kesembilan keluarga itu, salah satunya memilih meninggalkan desa? Bisa jadi ada musibah seperti apa yang telah mereka alami selama ini, entah lewat apa.
Para penduduk dan budaya itu sendirilah yang menjadikan Kampung Salapan, 'Kampung Salapan'.
(Dari kiri) Justice, Rifki, Jamal, Ammar, Dimas, Dhafa, Kanzia, Yudha, Rei, Andreas, Daffa. (Kanzia) |
Kami lalu berjalan keluar Kampung, membentuk cacing panjang yang terbuat dari manusia menuju tempat pajero sudah menunggu. (Rasanya aneh harus menulis Pajero, serius.) Secara bergantian, tiga hingga empat pajero bergantian mengangkut para peserta ke tempat bus. Aku dan teman-teman laki-laki sekelas memutuskan untuk menjaga etika gentlemen, ladies first.
Tapi tetap saja kalau ada sisa kursi kosong di odong-odong, semua naik juga. -_-
Pada akhirnya, aku, Dimas, dan Rifki terpaksa menaiki mobil odong-odong terakhir dengan tiga orang tour leader yang berada di garis belakang juga. Kak Tasya, kak Ibnu dan kak... emm, lupa. Cowok pokoknya. Wkwk.
Bus pun kembali melanjutkan perjalanan. Aku beberapa kali bertukar tempat dengan Rei untuk sekedar meregangkan kaki. Setelah selesai makan siang, film horror berjudul The Other Side of The Door pun diputar oleh kak Fadhil.
Aku sebenarnya sama sekali tidak paham faedahnya menonton film horror dalam studi lapangan seperti ini. Serius.
Sebelum film diputar, Resty sempat memintaku untuk membuka salah satu pegangan di langit-langit bus, aku tertawa karena aku pikir itu adalah ventilasi udara yang akan menampakkan langit beneran, tapi ia memaksaku, akupun menggeleng tertawa meledek, meraih pegangannya dan menarik pegangan itu kebawah.
Sebuah tv terpampang. Aku ditertawakan balik oleh diriku sendiri.
Haripun berlalu dengan cepat, setelah makan malam, bus akan melanjutkan perjalanan ke Surabaya untuk singgah di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya untuk berganti pakaian dan sarapan nasi box, kami lalu diberikan selimut untuk tidur.
Sekonyong-konyong aku dan Rei berdebat tentang siapa yang harus duduk di dekat jendela ataupun di sisi yang dekat dengan seat seberang.
Menurutku, Rei seharusnya duduk di dekat jendela. Karena siangnya, dia tidur dengan posisi kepala miring ke kanan hingga badannya membentuk kemiringan 90 derajat sampai-sampai Elga dan Tabitha harus berulang kali membetulkan posisi badannya.
Menurut Rei, aku harus duduk di dekat jendela karena posisi seperti itu yang sudah dimulai dari awal, namun argumen dia tidak kuat, kan sudah berganti tempat berkali-kali, patahku.
Lalu, demi keadilan bersama, jejak pendapat alias voting pun dilakukan. Elga, Tabitha dan Kurniadi memilih aku untuk duduk di seat yang dekat dengan lorong bus, sementara Andreas memilih aku untuk duduk di dekat jendela.
Namun Rei tetap bersikeras dan karena dia sudah menduduki seat itu terlebih dahulu, akupun bersumpah jika besok pagi kepalanya ada di bawah dan kakinya ada di atas, aku tak akan membantunya. Kita kembali tertawa.
Setelah proses memasang-koyo-freshcare-selimut-headset yang hampir dilakukan oleh semua orang telah selesai. Bus kembali berangkat, kali ini perjalanan kami panjang, menyusuri antar-provinsi sebelum sampai di tempat tujuan.
.
.
.
To Be Continued.
No comments:
Post a Comment