Saturday, June 3, 2017

Part of your Symphony.

Part of your Symphony.
Tribute to Octopus Doublius-Noveolus Genevus
Oleh : Kanzia Rahman


PSST....

Asap membumbung, udara berupa gumpalan asap hitam mendominasi warna langit-langit ruangan. Berkabut, berkabung. Sebuah ledakan baru saja terjadi di gedung opera yang sedang dipenuhi oleh lautan manusia. Konser orkestra itu hancur sehancur-hancurnya.


Ival mengangkat reruntuhan yang menimpa badannya, membangunkan dirinya sendiri. Duduk, mengusap-usap wajah dan kedua matanya yang dipenuhi debu. Ledakan terjadi benar-benar dibawah panggung, menghancurkan lantai pualam dan memutarbalikkan keseluruhan isi diatasnya. Lampu-lampu di langit-langit ruangan penonton pecah, auditorium gedung itu gelap total.

Matanya mencari ke seluruh penjuru ruangan. Satu nama menjadi fokus utamanya saat ini, Ainun Amallia. Pendampingnya selama bertahun-tahun. "Akh!" Dia mengutuk dirinya sendiri yang memaksa perempuan itu untuk menonton konsernya. Andai saja dia tidak bertanya, andai saja dia tidak meminta, andai saja dia tidak memaksa, mungkin dia tidak perlu sekhawatir sekarang.

Hitungan jam lalu saat ia melihat perempuan itu update soal keberadaannya di gedung opera, ada hembusan angin kencang yang seolah melegakan dadanya, ia tersenyum. Tapi kini semua berubah, ada kecemasan, ada sesak yang memenuhi rongga-rongga didalam tubuhnya.

CRRRAK

Sebuah bunyi menyadarkan Ival dari lamunan, ia menoleh, menyalakan senter dari smartphonenya.

KRRRK...

Sebongkah kayu patah dari tempatnya, diikuti sebuah sepatu pantofel yang menendang dari bawah kayu tersebut yang segera melemah sesaat setelah menendang kayu yang menimpanya. Untuk beberapa saat, Ival berpikir.

"Aldo!" Serunya beberapa detik kemudian. Geraldo Alvito, pemain biola orkestra tersebut, berada tepat di tempat kaki itu barusan menendang lantai. Persetan, mungkin hanya dia satu-satunya yang selamat dari ledakan sebesar ini, entah apakah dunia luar mengetahuinya karena bom itu tidak menghancurkan dinding-dinding dan langit-langit ruangan. Dia beranjak, menarik kaki Aldo dari reruntuhan.

"Pal jangan kaki gua juga apa kalo mau nyelametin" keluh Aldo, "Bawel lu Do udah gua selametin juga" balas Ival, lalu menyingkirkan dua-tiga balok kayu yang menimpa pemain biola orkestra tersebut. Ival lalu menyeret temannya itu, menggesernya sedikit dari kayu yang membatasi gerak kepalanya.

"Lu kira gua kambing qurban apa diseret-seret" keluh Aldo sekali lagi, "Orang mah makasih yak, gua dorong lagi dah lu" balas Ival lalu meraih kaki temannya itu, bersiap memasukannya kedalam reruntuhan kayu.

"Ehhh iya jangan Pal, gua bercanda" Aldo lalu bangun, terduduk. Ia mengambil saputangan di kantung kemejanya, menyapu bersih wajahnya dengan saputangan berwarna kecoklatan itu. "Cuman kita yang selamat?" Tanya Aldo sambil melihat sekeliling.

"Kayaknya sih iya Do" Jawab Ival, melihat sekeliling juga. "Mana gelap banget lagi" Sahut Aldo.

SET!

Sebuah lampu ditembakkan kearah mereka dari belakang, keduanya sontak menoleh. "Korban selamat!" ucap salah seorang yang menembakkan senter. Dari perawakannya, ia adalah seorang tentara, dengan seragam dan atribut lengkap, bahkan menggunakan masker khusus yang sudah menyatu dengan helmnya.

Tiga orang lainnya dengan seragam yang sama berjalan mendekat. Empat orang tentara itu lalu berjalan dari arah backstage, mendekati panggung yang sudah hancur lebur. "Bom berasal dari sini, tunggu!" ucap seorang dari mereka yang juga pertama kali menemukan Ival dan Aldo, nampaknya ia komandannya.

Seorang lainnya datang. Kini dengan seragam jauh lebih canggih daripada keempat orang tadi. Mengenakan tas metal dengan kabel-kabel dibelakangnya, tangan kanannya mengenggam alat berupa kaca pembesar namun berfungsi untuk mendeteksi bom, lincah memindai seluruh area panggung, lalu berkata "Area clear!" beberapa menit kemudian.

Keempat orang tadi lalu berjalan mendekat kearah Ival dan Aldo, keduanya disuntik bius tanpa perlawanan, lalu dibawa keluar gedung untuk selanjutnya diperiksa di rumah sakit terdekat.

-- 1 jam sebelumnya --

"Dan terakhir, untuk penutup, sebuah penampilan spesial dari kami, Harmony Orchestra!" Dirigen sekaligus pelatih mereka berkata melalui microphone yang ia pegang. "Symphony!" Tutupnya diiringi tepuk tangan dan sorak sorai penonton.

Setiap anggota orkestra itu memeriksa kesiapan alat masing-masing, Ival mengambil dua-tiga lembar tissue, mengelap tangannya yang berkeringat, lalu menunduk.

"Udah siap Pal?" Tanya Aldo menoleh, tertawa. Ival mengangguk seraya mengacungkan jari jempol kepada pelatihnya yang segera membalas dengan sebuah anggukan. Alunan lagu Clean Bandit - Symphony pun mulai dimainkan dengan gaya orkestra. Semua orang terpana, melihat dan menunggu keindahan terakhir yang akan menutup konser tersebut.

Empat not piano, disusul alat-alat instrumen lainnya, mengalun. Mengikuti nada dalam suatu kesatuan yang indah, suatu aliran yang menenangkan, pun menyejukkan. Semua orang menikmati, semua orang menyukai.

Lalu tepat di saat-saat lagu tersebut akan sampai di puncaknya, sebuah bunyi timer menyatu detik terdengar, kencang, menutupi segala suara yang dimainkan melalui alat-alat musik di panggung. Dan pada saat dirigen akhirnya mengangkat baton untuk reff pertama...

DUARRRRR!!!!

Sebuah bom meledak, tepat dibawah mimbar dirigen, daya ledaknya menyapu bersih seluruh area panggung. Mendatar, meratakan. Eksplosif, desktruktif. Alat-alat musik berterbangan, bagian-bagian tubuh bertebaran.


---///---

Hanifa Utami, atau lebih akrab disapa Hani, membuka mata, lampu-lampu gedung mati, gelap total. Dress berwarna abu-abunya bercampur dengan cairan berwarna merah dan kerikil. Ia beranjak duduk, memegangi bagian belakang kepalanya, lalu merasakan cairan kental segera memenuhi telapak tangan kanannya, sesekali bercampur dengan sedikit darah yang menggumpal. Darah, dia terluka. Syukurlah ia mendapat penglihatannya secara utuh beberapa detik kemudian.

Ia berusaha melihat sekeliling, memanggil nama-nama yang ia kenal. "Tiaas... Ainunn.." panggilnya didalam kegelapan total. Latriaz Pangaistuti dan Ainun Amallia adalah kedua teman yang ikut menonton konser orkestra itu bersamanya. Sudah lima kali ia meringis dalam periode satu menit, dua-tiga kali mengaduh seraya memegangi kepala.

"Hanii.." Sebuah suara membalas, "Tiass... Gue gak bisa denger lu Lat disini gelaap" ucap Hani kemudian, "Iihh Han itu lu bisa ngejawab berarti lu denger gue" balas suara itu, setengah tertawa, setengah serak. Hanifa kini tertawa, "Oiya yak lupa"

"Ainun mana Han" Tanya Latriaz, "Gatau Lat gelap banget gue gak bisa liat apa-apa" Jawab Hani. "Kalo gelap ya cari penerangan dong." Tiba-tiba sebuah suara menyambung pembicaraan mereka, seraya sebuah cahaya ditembakkan kearah kedua perempuan itu.

"Kepolisian. Teman kalian sudah dibawa terlebih dahulu tadi." Lanjut suara itu, ternyata ia adalah seorang polisi dengan seragam lengkap, keduanya tidak bisa melihat wajah orang itu karena helm yang ia gunakan. Empat orang dibelakangnya lalu membawa Hanifa dan Latriaz keluar gedung, ketiganya akan dibawa ke rumah sakit.

Keduanya berjalan dalam kegelapan dengan diarahkan senter, tapi mata kedua orang itu tidak buta untuk melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, kursi-kursi yang tak pada tempatnya, darah yang berceceran dimana-mana, dan tentu saja, ruang pertunjukan yang bukan lagi seperti seharusnya.

-- 1 jam sebelumnya --

"Yaah udah penampilan terakhir lagi" Sahut Hanifa mendengar ucapan dari sang dirigen, "Iya ih padahal keren bangeet" Ucap Ainun setuju, "Iya ih gue suka deh" Kata Latriaz. Ketiga pasang mata mereka tak berhenti berkedip sedari tadi, hanya pada jeda diantara lagu, mereka meregangkan otot-otot lalu kembali menonton dengan khidmat.

Lalu sang dirigen menaiki mimbarnya setelah menyebutkan judul lagu yang akan mereka mainkan. Latriaz melirik ke belakang kursi mereka yang terletak di front row, dua baris terdepan dari panggung, "Gila rame banget ya ternyata". Hanifa dan Ainun ikut menoleh, "Iyaa gila rame banget"

"Tama gak jaga disini Han?" Tanya Ainun kemudian, "Gatau tuh dia jaga dimana" Jawab Hanifa seraya mengingat Fatah Aryatama, seorang polisi yang juga merupakan pendamping hidupnya. "Jagain hati orang kalii" Balas Ainun seraya tertawa, "Ahahaha" Latriaz tertawa, sementara Hanifa memasang muka cemberut.

Tiba-tiba seseorang yang berada didepan mereka menoleh, ditatapnya tajam ketiga perempuan itu seraya meletakkan jari telunjuk di bibirnya yang ditutup rapat. Perawakannya berumur 40-50 tahun, mengenakan kacamata bulat dengan sedikit rantai berwarna keemasan yang dililit di telinga kanannya.

Ketiganya lalu fokus ke panggung, lagu yang dimainkan perlahan tapi pasti menginjak bagian reff. Seluruh mata terfokus ke tim orkestra yang sedang tampil, tanpa suara, tanpa kata. Baton yang digenggam dirigen lalu digerakkan dalam tempo cepat, sepersekian detik kemudian baton itu diangkat tinggi ke langit. Puncak. Beberapa bahkan menahan nafas, menunggu bagian reff dimainkan.

TIIIIIT TIIIIT... TIIIIIIIITTTT....

"What the?" gumam orang yang tadi menegur ketiga perempuan itu.

DUARRRRR!!!!

Sebuah bom meledak, tepat dibawah mimbar dirigen, daya ledaknya menyapu bersih seluruh area panggung. Mendatar, meratakan. Eksplosif, desktruktif. Alat-alat musik berterbangan, bagian-bagian tubuh bertebaran.

"AAAAAA!" Kaget Latriaz berteriak ketakutan. Ainun tak bisa berkata apa-apa, kecemasan menyesakkan dadanya, seribu tanda tanya menyergap pikirannya. Bagaimana ia akan pergi? Bagaimana Ival didalam sana? Dimana pintu keluarnya? Dan ribuan pertanyaan lain segera mendatangi otaknya.

Hanifa mencoba berpikir jernih, ia sempat menganga untuk beberapa detik. Kepalanya sigap menoleh ke belakang dan sedikit mendongak. Pintu keluar berada tepat di tengah-tengah di bagian atas mereka. Kursi yang disusun sama persis seperti di bioskop, bedanya pintu keluar ruangan ini berada di belakang baris teratas dan di tengah-tengah antara dua bagian sayap kursi.

Kepalanya lalu menoleh ke arah balkon-balkon di langit-langit ruangan, puluhan, ratusan kepala dan pemiliknya berada disana, dalam keadaan yang sama, panik. "Ayo Lat Nun!" Seru Hani seraya beranjak berdiri, Latriaz sontak berdiri. "Tapi Ipaal... Ipaaal..." Ucap Ainun lalu menangis sejadi-jadinya. Perasaan selalu mengalahkan logika, dan itulah yang terjadi diantara ketiga orang itu.

"Dia bakal selamat kok tenang aja!" Bentak Hani seraya mengenggam tangan Ainun, menariknya bangun. "Ahhh gak mau! Gamau keluar!" Ainun melepaskan genggaman tangan temannya itu dengan menggoyangkan badannya kekanan-kiri, persis seperti anak kecil yang permen lolipopnya jatuh di trotoar jalanan.

"Emh kan emang kan Ainun, ayo gila keburu ada apa-apa" Latriaz membantu Hani menarik tangan Ainun untuk bangun. Yang ditarik, sekali lagi melakukan gerakan dan melontarkan kalimat yang sama persis.

Para penonton di beberapa baris belakang rupanya sudah menyerbu pintu itu duluan. Namun, ada yang aneh. Pintu itu tak mau terbuka. "It's locked!" Teriak seseorang dari barisan belakang. Kepanikan kini tidak hanya melanda bagian belakang ruangan opera, tapi juga seisi ruangan itu. Atmosfir perlahan berubah menjadi ketakutan dan kecemasan.

"Help them!" Orang yang tadi menegur mereka, kini berlari kearah panggung, beberapa orang dari tiga baris terdepan pun ikut berlari, berniat membantu. Ainun dengan segera ikut berlari kearah panggung dari mereka, tapi Hani dan Latriaz menarik kuat kedua tangan perempuan itu.

"Lepassinn! Lepasin!" Geram Ainun seraya mencoba berlari, "Apaansi Nun!" Bentak Hani, "Ga boleeeh" Balas Latriaz. Kedua orang itu pun kesusahan menarik Ainun, tenaganya terlalu kuat, ia memberontak sekali lagi dan genggaman kedua orang itu terlepas..

Sepersekian detik kemudian, ia bersyukur kedua temannya itu menahan dia.

DUAARRRRR!!!!!!

Sebuah bom kembali meledak dari tempat yang sama, dibawah mimbar dirigen, api menyembur dalam sebuah garis lurus, tapi efek ledaknya memanjang, meratakan bagian depan panggung hingga membakar beberapa kursi di baris terdepan. Hanifa sempat melihat orang tadi terpental di udara, melayang.

Belum sempat kata-kata keluar dari mulut ketiga perempuan itu, sebuah ledakan kembali terjadi.

DUAARRRR!!!

Kali ini berasal dari bagian tengah ruangan, persis. Ledakannya membuat kursi-kursi (dan orang yang mendudukinya) di barisan tengah terpental kemana-mana. Mata Hanifa masih terpaku pada orang yang melayang itu. Ledakan kedua membuat pria itu terpental hingga tubuhnya berciuman dengan dinding belakang panggung. Orang itu tewas di tempat.

Tiap lampu yang menyinari ruangan itu pun pecah, mengubah auditorium menjadi gelap total.

"Ipaaaa----" Suara Ainun terhenti. Bukan. Bukan teriakan Ainun yang terhenti di tengah jalan, tapi kesadaran Hanifa yang tiba-tiba hilang. Sebuah kursi menghantamnya tepat dari seperempat bagian belakang-kanan kepalanya, ia merasakan tempurung kepalanya remuk dan telinga kanannya berdenging.

"Hani!!" Suara Latriaz menjadi suara terakhir yang ia dengar sebelum ia pingsan.


---///---

Stevian Khansa, eksekutif muda sekaligus salah satu direktur perusahaan swasta cabang daerah tersebut, tak bisa berkata apa-apa. Ia dan ratusan orang lainnya yang menonton orkestra dari balkon di langit-langit ruangan terperangkap disana. Tiga buah ledakan mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Persetan dengan social media dan lainnya, tak ada sinyal, semua orang disana panik.

Ia melihat kearah pintu yang menjadi akses ke balkonnya. Sebuah pintu kayu besar berwarna coklat dengan hiasan berwarna keemasan itu terkunci. Rapat. Tanpa ada seorangpun yang bisa mendobraknya karena ukuran dan berat pintu itu. Balkon yang ia tempati pun berada di urutan dua dari paling bawah.

Tuxedo yang ia kenakan telah basah oleh keringatnya sendiri. Ia dan beberapa teman eksekutifnya yang bergerak di bidang kewirausahaan tak mengira konser tersebut akan berubah menjadi seperti ini. Apalagi ia adalah satu-satunya laki-laki di balkon itu, sisanya merupakan perempuan.

"Steviannn gimana ini?" Tanya salah satu temannya dengan wajah panik. Stevian menggeleng, tak menjawab. Lalu mengarahkan senter di genggaman tangannya, dan segera sadar akan apa yang dimaksud temannya itu.

Api menjalar ke bagian balkon, terbakar dalam sebuah garis lurus yang perlahan tapi pasti bergerak dari balkon paling bawah hingga balkon paling atas, seperti telah disusun sebelumnya. Stevian menoleh ke balkon paling bawah, yang mengisinya adalah dua orang tua dengan rambut yang telah beruban.

Ekspresi mereka sama saat bertatapan mata. Bingung, dan panik. Tiba-tiba salah satu dari orang tua itu menunjuk kearah Stevian, menyuruh Stevian merapihkan dasi kupu-kupi yang tercantum di bagian lehernya.

"Kita bisa berdoa doang udah" ucap Stevian seraya terduduk. Tak ada jawaban. Mereka duduk di lantai balkon yang telah diberikan karpet tebal berwarna kemerahan. "Berdoa supaya gak ada bom juga di balkon." Tutupnya.

"Tunggu, sejak kapan ada waffle?" Stevian beranjak ke meja yang berada didepan mereka, mengambil dua buah piring waffle dan menawarkan salah satu piringnya ke temannya. Ice cream yang tadi dihidangkan rupanya masih sama, hanya sedikit mencair pada bagian puncaknya.

Lima menit setelahnya, Stevian kembali bangkit. Ia memandang tajam ke arah pintu besar itu, pintu yang menggantungkan harapannya dan semua orang yang satu balkon dengannya. Dobrak, keluar, selesai. Pikirnya. Ia pun mengambil ancang-ancang, lalu berlari sekali lagi, memasang bahu kanan sebagai tamengnya, dan...

BRAAKKKK!

Pintu itu terbuka. Waffle itu ajaib, pikir Stevian.

-- 1 jam sebelumnya --

Dessert terakhir disajikan ke balkon, seorang pelayan masuk lalu meletakkan beberapa piring waffle berlumuran coklat dan beberapa piring es krim diletakkan di sebuah meja didepan kursi-kursi di balkon. Pelayan itu lalu pergi seraya menutup rapat pintu akses balkon Stevian.

"Yaah udah terakhir lagi, gak suka dah" ucap Stevian saat mendengar announcement dari dirigen bahwa mereka akan membawakan lagu terakhir. "Padahal keren-keren banget gilaaa" Sambung Salma, pemimpin perusahaan kangen water cabang daerah tersebut.

"Iya Ma setuju banget, kece banget, parah" Setuju Stevian. Tak ada satupun dari mereka yang menyentuh makanan di meja tersebut. Dirigen pun menaiki mimbarnya, mulai mengayun baton yang ia pegang, kepalanya sesekali mendongak, seolah merasakan sesuatu dari nada yang ia dengar dari alat-alat musik yang dimainkan dihadapannya.

Menuju puncak bagian pertama, reff pertama. Stevian bahkan menahan nafas. Bersiap dengan sejuta keindahan dari orkestra didepannya..

TIIIIIT TIIIIT... TIIIIIIIITTTT....

DUARRRRR!!!!

Sebuah bom meledak, tepat dibawah mimbar dirigen, daya ledaknya menyapu bersih seluruh area panggung. Mendatar, meratakan. Eksplosif, desktruktif. Alat-alat musik berterbangan, bagian-bagian tubuh bertebaran.

Sejumlah orang di balkon sontak berbalik, panik. Stevian dan Salma lalu mendengar teriakan-teriakan kaget juga tangisan dari balkon-balkon yang terletak diatas mereka. "Ini kenapaaaa" Ucap Stevian, ia pun bingung bagaimana harus mengekspresikan kebingungan sekaligus kepanikannya.

"Stev mending lu sini Stev bantuin buka pintu balkon!" Seru Salma sambil mencoba mendorong gagang pintu yang tidak bisa terbuka itu. Stevian menoleh kearah pintu di bagian belakang ruangan yang tak bisa terbuka. Ratusan orang sudah bergerombol disana, mencoba menjadi orang yang pertama keluar, menyelamatkan diri masing-masing.

"Stev!" Sebuah suara menyadarkan Stevian dari lamunannya, Salma lagi-lagi memanggilnya. Stevian mengangguk, berkata "Misi semuanya" dengan kedua tangan yang menyuruh agar tidak ada yang menghalanginya dari pintu. Ia pun berlari, memasang bahu kanannya sebagai tameng, berusaha mendobrak pintu itu..

BUAK! DUAARRRRR!!!!!!

Pintu itu rupanya terlalu sulit untuk ditembus, tapi bukan itu fokus mereka sekarang. Melainkan ledakan susulan. Sebuah bom kembali meledak dari tempat yang sama, dibawah mimbar dirigen, api menyembur dalam sebuah garis lurus, tapi efek ledaknya memanjang, meratakan bagian depan panggung hingga membakar beberapa kursi di baris terdepan

DUAARRRR!!!

Ledakan ketiga terjadi dalam selang beberapa detik. Kali ini berasal dari bagian tengah ruangan, persis. Ledakannya membuat kursi-kursi (dan orang yang mendudukinya) di barisan tengah terpental kemana-mana. Stevian dan Salma berdiri, terpaku, menatap pada 'kiamat kecil' di hadapan mereka. Lampu-lampu pun pecah beriringan, tidak ada cahaya, kegelapan menyergap mereka.


---///---

Fatah Aryatama, petugas kepolisian yang tadi sedang berjaga di area parkir gedung opera itu, terkapar lemah tak berdaya di pinggir trotoar jalanan. Dua buah ledakan dalam waktu dekat meledak di luar area gedung. Dia bersama dua temannya, Farhan Chandra dan Afifat Maulana sedang berjaga di daerah tersebut saat ledakan pertama meledak.

Laki-laki itu masih bernafas, ia masih merasakan hembusan udara keluar dari mulutnya meski penuh pecahan beling, ia masih mencium bau angin malam yang bertiup di sela-sela hidungnya, ia masih mendengar suara teriakan, langkah kaki, deru mesin dan klakson bertebaran, ia masih merasakan dinginnya aspal trotoal jalanan.

Pendengaran telinga kanannya ia pastikan tak berfungsi lagi. Darah terus mengucur keluar, sementara pendengaran telinga kirinya perlahan memudar. Ia meregang nyawa.

"Hah.. hah.." Nafasnya pun tersengal, ia mencoba sekuat mungkin agar tak pingsan. Meski luka-luka memenuhi seluruh badannya, meski raganya dipenuhi besi-besi, meski tubuhnya dihujam benda-benda tajam. Ia hanya mencoba bertahan, bernafas sekuat mungkin, memaksakan paru-parunya untuk bekerja sekali lagi, mendesak jantungnya untuk berdenyut sekali lagi, mewajibkan darah mengalir di seluruh tubuhnya, meminta kepada Tuhan agar diberi nafas sekali lagi.

Dan sekali lagi itu dilakukannya berulang-ulang..

-- 1 jam sebelumnya --

"Lu gak jagain gedung Tam?" Tanya Afifat seraya mengambil tempat duduk disebelah Farhan, "Nanti. Tadi gue udah bilang sama securitynya supaya tuker satu orang disini sama gua" Jawab Tama. Pertanyaan Afifat itu retoris. Tidak mungkin ia tak menjaga gedung dimana ada Hanifa disana, jadi ia memutuskan untuk berjaga bergantian dengan seorang security gedung untuk melakukan pengawasan di daerah sekitar gedung.

Ketiganya sedang menikmati secangkir kopi di suatu lapangan parkir di sebelah gedung opera, bersama canda dan tawa yang sesekali terselip diantara pembicaraan mereka. Tugas pengawasan suatu daerah bersama dua orang teman dekat adalah hal terbaik, pikir Tama.

"Lu gak ada niatan cari pacar apa Pat?" Tanya Tama pada Afifat, "Nanti aja itumah gampang, gausah dicari paling nanti dateng sendiri" Jawab Afifat santai, menatap pada mobil yang berlalu lalang di jalan protokol. "Tau lu Pat, nanti keburu tua, mending dari sekaranglah" Sahut Farhan, tertawa. Ketiganya tertawa. Lalu mereka hening, benar-benar hening, tak ada satupun kata terucap..

DUARRRRR!!!!!!!

Keheningan itu pecah. Sebuah ledakan terdengar dari bagian belakang lapangan parkir yang juga merupakan gate keluar. Motor-motor yang berjejer rapih pun jatuh. Sialnya, satu motor bebek terpental hingga tempat duduk mereka, menyapu bersih ketiga kursi yang mereka duduki.

BRUAK!

Tama terjatuh, Afifat dan Farhan segera mengambil bahunya, menarik Tama bangun. "Satuan bom Pat telpon!" Ujar Tama seraya menyiapkan senjata laras panjangnya, Farhan segera melakukan posisi bersiap, sementara Afifat berbicara melalui smartphone, keduanya berjalan beberapa langkah didepan Afifat.

"Akh!" Tama merasakan sedikit nyeri di lutut kaki kanannya, ia menyuruh Farhan berhenti, lantas menanyakan situasi pada ketiga security gedung. "Halo, Anwar! Gimana keadaan disana?" Teriak Tama melalui telepon pada Anwar Fajar, salah satu dari tiga security yang berjaga di luar gedung opera.

"Kalem Tam, gua barusan denger ada suara ledakan, lu gimana disana?" Tanya Anwar balik. Ia tak berjaga sendirian, dua orang temannya adalah Bagus Berliana dan Jiwo Prayudo. "Iya War gua juga denger, ini mau gua selidikin dulu. Kalo gua gak telpon lagi nanti, lu kesini oke." Perintah Tama sekaligus menutup telepon.

Afifat dan Farhan melihat kearah Tama yang kaki kanannya pincang, "Lanjut gak Tam?" Kata Farhan, pemuda berbadan tegap yang telah berteman baik dengan Tama sejak masuk kepolisian. Tama sampai di sebuah titik bifukrasi dimana dia harus memilih antara bertanggung jawab akan nyawa masyarakat banyak, atau kembali ke markas kepolisian dan menyuruh satuan tim penjinak bom untuk bergantian dengan mereka.

Tama mengangguk, "Gini doang mah kecil. Ada nyawa masyarakat banyak yang jadi resiko bray." Mereka melanjutkan pengawasan.

"Kira-kira ada apaan yak?" Tanya Afifat seraya berjalan menunduk, mendekati lokasi ledakan pertama. "Bisa jadi ada perang nih, kita jaga-jaga aja." Jawab Tama. Ketiganya lalu mengambil jalan memutar, melewati jalanan protokol untuk sampai di lokasi ledakan pertama.

Bunyi klakson beradu deru mesin menguasai telinga mereka. Motor-motor yang berhenti sembarangan di pinggir jalan untuk sekedar menyaksikan, mobil-mobil yang terhambat karena jalannya tertutup. Malam itu bukanlah malam yang baik untuk Ibukota.

PTYU PTYU PTYU PRAANG!

Tiga buah tembakan menghujam kepala Tama, dua di bagian wajahnya menyebabkan kaca helmnya pecah, satu di bagian telinga kanannya. Sontak ia mencari perlindungan, "Cover cover!" ucapnya seraya mengambil posisi dibalik sebuah mobil yang berhenti.

Afifat dan Farhan tak tinggal diam, keduanya bersembunyi. Afifat di balik sebuah mobil yang berada tepat di belakang mobil persembunyian Tama, sementara Farhan bersembunyi di balik sebuah tempat sampah berwarna hijau besar. Keduanya mencari sumber tembakan.

Sementara Tama meringis kesakitan, telinga kanannya berdenging kencang, ia pun melepas helm, melemparnya sembarang yang segera disambut dua buah peluru lainnya yang bersarang di helm itu. Lubang telinga kanan laki-laki itu tertutup oleh sebuah peluru, tanpa pikir panjang, ia mencabutnya.

Ia menggigit bibir sekencang mungkin agar tak berteriak, membayangkan senyum manis perempuan pendampingnya, Hanifa, seraya mencabut peluru itu keluar dari lubang telinganya. Nafasnya tersengal-sengal, sementara Afifat berterimakasih pada Tama, berkat helm yang ia lemparkan, dia tahu dimana sumber peluru ditembakkan.

Afifat menoleh kearah kanan, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju kencang. Ia lalu menoleh kearah kiri, cukup jauh dari mereka adalah kerumunan masyarakat dan kendaraan pribadi yang sedang penasaran akan sumber ledakan yang letaknya tak jauh dari mereka. Ia berbisik kecil pada Farhan, begitu mobil ini lewat, mereka akan melakukan tembakan balasan.

BRUUUMM!!

Mobil itu melewati mereka dengan kecepatan tinggi, Afifat dan Farhan segera melakukan dua tembakan balasan. Segera terdengar dua teriakan kesakitan, dua orang tertembak. Mereka segera berlari, menuju sumber teriakan. 

"Tangan di belakang!" Teriak Afifat sesampainya disana. Ia hanya menemukan satu mayat. Tembakannya tepat mengenai pelipis sasaran. "Tangan di belakang!" Teriak Farhan kepada satu orang yang tersisa, rupanya tembakannya hanya mengenai perut orang itu yang sedang dipegangi dengan tangan kirinya.

Orang itu menggeleng, mengarahkan moncong pistol kedalam mulutnya sendiri dari bawah kepala, lalu..

DORR!!

Tepat didepan Farhan, orang itu bunuh diri. Badannya lalu jatuh di kaki kiri Farhan dengan sebuah lubang menganga di bagian belakang kepala.

Tapi sekali lagi, Tuhan punya rencana. Sekali lagi, perhatian mereka teralihkan. Dan untuk kedua kalinya malam itu, keheningan dipecahkan.

DUAAARRRR!!!!

Sebuah ledakan terjadi di kerumunan masyarakat dan mobil pribadi yang berada dekat dengan letak ledakan pertama. Farhan sontak meneriakkan nama-nama hewan di kebun binatang, sementara Afifat menyaksikan sendiri mobil tempat persembunyian Tama terpental ke arah kiri, tempat orang itu bersembunyi.

Mobil itu berputar dua kali sebelum menabrak dinding sebuah ruko, dua buah motor terpental dan sukses menjatuhkan tiang lampu merah disana. Mayat-mayat bergelimpangan, belasan kendaraan pribadi hancur. Afifat baru menyadari semuanya. Bom yang tadi melesat kencang melewati mereka, adalah bom mobil.

"SIAL!" Teriak Farhan geram, ia mengangkat senjatanya, menembaki tanpa ampun kedua jasad yang terbaring di hadapannya. "Kita amanin lokasi!" Afifat menepuk bahu Farhan, keduanya berlari ke lokasi ledakan kedua, mencoba mengamankan tanda pengenal dari siapapun yang mengemudikan bom mobil itu.

"Ini!" Ucap Farhan sambil menarik jasad yang masih terbakar dari kursi pengemudi, Afifat memutarbalikkan beberapa kali jasad tersebut agar apinya hilang. Setelahnya, ia segera mengambil tanda pengenal yang berada di kantung celana sang pengemudi.

"Aristo Arius" Afifat menyebutkan nama yang tertera di tanda pengenal itu. Ia dan Farhan saling bertautan mata, mereka akan membawa nama ini ke kantor polisi. Keduanya lalu menyelidiki identitas apapun dari mayat itu.

-- Timeline --

Bagus, Jiwo dan Anwar segera turun dari angkot yang mereka 'bajak', "Ini Tama War!" Teriak Bagus saat menemukan tubuh Tama yang masih bernafas dalam genangan darahnya sendiri. "Ayo Wo!" Serunya kemudian. Anwar membukakan pintu bagian belakang angkot, lalu mereka mengambil tubuh Tama yang terkapar di trotoar, memasukkannya kedalam bagian belakang angkot, lalu menembus kekacauan untuk menuju ke rumah sakit terdekat.

"Eh Pat ada yang bawa Tama Pat!" Kaget Farhan seraya menunjuk sebuah angkot yang memasukkan Tama kedalamnya. "Kejar cepet kejar!" Farhan bangkit, berlari. Afifat tertawa, "Naik motorlah, lu gila mau ngejar angkot lari-lari?" Katanya lalu mencari motor yang memiliki jenis sama dengan motornya, lalu memasukkan kunci motornya, tancap gas mengikuti angkot itu.

"Ha...ni..." Kata Tama pelan, "I..ni.. sia..pa..." lanjutnya bingung, ia tak bisa membuka mata. "Udah diem dulu Tam! Ini gua mau selamatin elu!" Balas Jiwo, ia dan Bagus benar-benar bingung bagian mana yang harus diobati, seluruh bagian tubuh Tama dipenuhi luka, dan itu buruk.

BRAAAAAK!!!!

Angkot yang dikendarai Anwar menabrak palang pintu masuk rumah sakit, lalu berhenti di kawasan Unit Gawat Darurat. Anwar turun, berlari menemui siapapun yang ada didalamnya. "Tolong tolong!" Teriaknya pada dua orang suster yang sedang berjaga. "Ayo Kenz!" Ucap suster dengan nametag 'Dewi Arinanda' di bajunya, "Iya Rum" Balas suster satunya dengan nametag 'Niquita Kenza' di bajunya. Anwar tak mengerti bagaimana seseorang bernama 'Dewi' bisa dipanggil dengan sebutan 'Rum'.

Kedua suster itu langsung mengambil sebuah ranjang dengan kaki-kaki yang memiliki roda, mendorongnya ke pintu masuk area UGD dimana sebuah angkot telah menunggu.

Bagus dan Jiwo sigap meletakkan tubuh Tama di ranjang, dua-tiga teriakan kaget terdengar ketika tubuh Tama dibawa melewati lorong menuju ruangan kosong. Anwar membuka jalan dengan berlari didepan, dua orang suster menarik ranjang di bagian depan sementara Bagus dan Jiwo mendorong bagian belakangnya.

"Tama? Ih kok kayak Tama sih, Tamaa!" Hani keluar dari ruangan periksa Ainun, lalu segera kaget saat sebuah ranjang yang didorong empat orang melewatinya membawa seseorang yang ia kenal. Latriaz keluar dari ruangan, "Kenapa Han?" Tanyanya, Hani tak menjawab.

"Afifat, Farhan!" Kaget Hani sekali lagi, melihat kearah dua orang yang ia kenal baik. "Hani! Untung lo gak kenapa-napa" Balas Afifat kaget, berhenti. Farhan pun berhenti. "Tama lagi gak jaga sama kalian kan? Tama gak kenapa-napa kan?" Hani segera mencecer keduanya dengan pertanyaan.

Keduanya diam, menoleh kearah ranjang yang memasuki sebuah kamar operasi.

"Tamaaaaa!!" Teriak Hani berlari ke arah ranjang itu dibawa. Pintu kamar operasi ditutup. Bagus, Jiwo, dan Anwar keluar. "Misi Mas! Itu calon suamiku!" Hani berontak sementara Jiwo dan Anwar menahan pintu, Bagus menggeleng, "Dih ngapain dijagain Wo, War, kita ga berhak jagain"

Jiwo dan Anwar melemahkan penjagaan, Hani merengsek masuk disusul Latriaz. Afifat dan Farhan sempat beradu mulut sampai Anwar menceritakan siapa mereka dan kenapa datang dengan angkot.

"Tamaaa!!" Hani menangis sejadi-jadinya begitu menyingkap tirai hijau operasi. Kepala Tama telah dibalut terlebih dahulu menggunakan kain berwarna hijau, sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang disebabkan oleh potongan besi yang menancap di tubuhnya. Latriaz yang bergabung pun segera menutup mulut, kaget.

Arum dan Kenza melirik kearah Latriaz yang lalu melirik kearah Jiwo, Bagus, dan Anwar. Mereka menarik Hani keluar dari ruangan operasi, meski dengan tangis yang semakin keras, air mata yang semakin deras, dan teriakan yang memenuhi lorong itu.

"Biar mereka nyelesein semua didalem Mbak" Ucap Jiwo mencoba menenangkan. Seorang dokter beberapa menit berlari kecil menyusul masuk kedalam ruang operasi Tama. Hani masih menangis, matanya sembap.

Fajar keesokan harinya, tubuh Tama dipindahkan ke ruangan rawat intensif, bergabung bersama beberapa korban ledakan itu, entah shock atau luka berat.

Saat malam resmi menjadi pagi. Hani, Latriaz, Ainun, Jiwo, Bagus, Anwar, Afifat, dan Farhan mengunjungi ruangan Tama. Puluhan rekan media dan wartawan mencoba menerobos masuk penjagaan di lantai dasar, tapi tentu saja pihak rumah sakit tak mengizinkan.

Hani sekali lagi menangis, Afifat dan Farhan duduk disebelah ranjang Tama, Jiwo, Bagus dan Anwar hanya berdiri sementara Ainun teriak kegirangan. Ranjang Tama bersebelahan dengan ranjang Ival, ia selamat.

Kepala Ainun segera tenggelam di dekapan Ival, lalu segera melepasnya lagi. Hani dan Ainun, keduanya menangis namun dengan sebab yang berbeda. Latriaz ikut berbahagia saat tahu Ival tak apa-apa, tapi ikut bersedih saat mendengar Tama harus kehilangan dua buah bola mata dan telinga kanannya.

"Tubuhnya masih rentan, kalo bisa jangan dipegang dulu kecuali pergelangan tangannya." Ucap Arum seraya meninggalkan ruangan bersama Kenza. Yang lain mengangguk. Hani perlahan tapi pasti, meredakan tangisannya, ia lalu bergantian duduk dengan Afifat yang memilih untuk keluar ruangan.

"Taa...m.." Panggil Hani, kedua mata Tama ditutup dengan perban sementara sekujur tubuhnya diselimuti tanpa sehelai benang pakaianpun. "Hani... Hani..?" Jawab Tama perlahan, operasi berjam-jam berhasil mengembalikan pendengaran kiri dan sistem berbicara Tama dengan sangat baik.

"Padahal aku pengen peluk kayak Ipal sama Ainun itu Tam.." Hani mengusap matanya, sekali lagi. Ainun dan Ival hangat di ranjang sebelah, berbicara soal hal-hal selain ledakan, mencoba mengalihkan perhatian.

"Nanti, ya.." Tangan Tama mencari tangan Hani, menemukan, lalu segera mengenggamnya erat. "Pokoknya nanti, bahkan kalo tiap bintang jatuh, tiap hati di seluruh dunia ini pecah, tiap harapan pupus. Genggam tanganku terus." Jawab Tama menenangkan.

"Yaelah lu lagi sakit juga Tam" Farhan merusak suasana, "Aduuh ni orang nyusahin ni" Balas Jiwo. Ia, Bagus dan Anwar lalu membawa Farhan keluar. Sementara Afifat, Ia dan Latriaz sudah diluar daritadi, mengobrol santai, berbicara lepas.

"Kita ini bagian dari simfoni Tuhan, ikutin aja alurnya." Ucap Ival, menenangkan Ainun. "Percaya aja dah kalo Tuhan itu punya rencana buat kita semua." Lanjutnya, melirik kearah Tama dan Hani. Keempatnya tersenyum.

Tidak, memang tidak ada cerita semanis dongeng atau drama-drama sinetron yang cengeng. Tiap cerita memiliki lembah dan bukitnya, manis-pahitnya, senang-sedihnya. Memang pada kenyataannya, tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini, bukan?

Tapi tiap dari kita, kelak memiliki pasangan yang dikirim Tuhan untuk melengkapi kekurangan kita dan sebaliknya. Dan ketika hari itu datang, 'segalanya' itu selamanya, karena bersama pasangan itu, hidup akan terus baik-baik saja.

Hingga kulit di badan keriput, hingga rambut memutih. Hidup akan selalu sans dengan seseorang yang kelak menjadi pasangan kita. Mungkin tak selamanya, tapi cukup sampai ujung usia.

Apapun yang dinamakan takdir, juga dinamakan Simfoni Tuhan. Dan kita selalu menjadi bagian didalamnya, sebagai suatu kesatuan simfoni yang indah.

Keesokan harinya, Aristo ditetapkan sebagai tersangka tunggal atas serentetan ledakan bom yang terjadi di gedung opera dan jalan protokol.

"Ih teroris kayak gitu kenapa gak dihukum mati aja sih" gumam Ainun menyaksikan televisi yang disediakan di ruangan rawat Tama dan Ival, "Kan udah mati duluan ah gimana si" balas Ival, tertawa. "Tau nih ah, gimana si" sahut Farhan, "Udeh udeh gausah ikut ikutan ah" potong Jiwo bercanda, mereka tertawa, hangat.

Sementara di sudut ruangan, sambil menyaksikan tayangan berita yang disiarkan di televisi, Afifat terkekeh. Sendiri.

..
.
.
.
.

:)


  • -- The End --

No comments:

Post a Comment