Prominensa Rindu.
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Pernah impian kita memuai indah, disaat membuatmu tertawa adalah caraku bahagia, disaat senyummu adalah tumpuan atas segala rindu, disaat melupakan adalah satu hal yang paling tidak bisa aku lakukan.
Pernah kita berbagi cerita. Perihal menerka-nerka masa yang belum datang saatnya, perihal cita-citaku di masa depan yang tidak bisa kutahu. Lalu saat aku berkata, "impianku kamu", kau tak bergeming sedikitpun.
Sejak saat itu aku paham, bahwa perlahan-lahan, merelakan dan melepaskan kelak menghampiri.
Lalu kamu akhirnya benar-benar meninggalkan. Meninggalkan sejuta impian yang hancur dimakan harapan, menggores luka mendalam berbentuk kenangan, mengandaskan jejak-jejak percobaan demi percobaan untuk meraihmu, lagi.
Hujan yang turun di luar hanya mengurai deras kekecewaan, rintik demi rintik yang jatuh justru membuat pertahananku runtuh. Suara petir yang gaduh, hati yang bergemuruh. Seluruhku lemah oleh sederet senyummu yang masih saja menghiasi mimpi. Kamu sibuk tertawa, aku sibuk merawat luka. Gundah dan gelisah menghancurkanku mentah-mentah. Bersamamu, hati yang patah adalah hal yang lumrah.
Aku pun paham, bahwa hari itu, apa yang kudamba tak pernah bisa menerima seluruhku.
Cerita tentangmu adalah bom waktu, detik-detiknya yang berjalan semakin membuat detak jantungku tak beraturan. Resah dan gundah kelak menyatu dengan awan di langit yang hitam. Kekecewaanku berhamburan, kesedihanku bertebaran.
Lalu pada menit sekian dan detik sekian, bom itu berhenti berdetik. Seraya aku meneriakkan namamu dalam bait-bait rindu yang tak pernah sampai di telingamu, seraya aku mengakui kekalahanku. Tapi percuma, sebab sekeras aku mencoba, maka semakin dalam penyeselan menggoreskan luka.
Sukmaku lalu menulis rindu.
Rindu akan setiap penolakan yang acapkali kau berikan, rindu pada tiap patahan yang tercipta akibat hancurnya perasaan. Rindu pada tiap acuh, yang senantiasa menusuk setiap kali hati ini jatuh.
Benar, aku rindu. Dan aku mengingatmu tanpa perlu kau tahu, aku merindu seperti tak kenal waktu, mengindahkanmu layaknya anak kecil yang mengagungkan mainan baru.
Frasa-frasa itu untukmu, ambillah, simpanlah, siapa tahu kamu butuh sewaktu-waktu. Hangatkan tubuhmu lewat percikan api rinduku jika masih ada
Kelak aku sadar, merindukanmu sepanjang waktu adalah kesalahan terbesarku.
Sebab Rinduku bagaikan prominensa. Membara, melambai-lambai di antara debu angkasa di semesta. Mungkin padam, mungkin juga temaram. Tapi dia akan terus menyala, menjulurkan dan menawarkan berbagai macam rasa hingga ada yang memberi perhatian, meneduhkan bebatuan jika badai datang menjelang, memberi kehangatan dalam setiap ruang penasaran.
Kelak aku sadar, merindukanmu tanpa alasan sama dengan menanam bibit-bibit penyesalan
Sampai pada akhirnya, menyemburkan rindu pada ketinggian tertinggi, melepaskan segala perasaan yang menyesakkan, menghancurkan dinding-dinding imaji yang memaksaku untuk mencoba menggapaimu lagi. Lepas, terbang ke angkasa luas, menyusuri dunia di ambang batas. Menepis pesimis yang menghinggapi, bersiap atas tiap manis yang mendiami, berpelukan dengan kecewa yang bisa datang kapan saja. Menanggalkan namamu sebagai satu-satunya polaris.
Melawan. Meski mungkin terjadi pertentangan, tapi ini jauh lebih baik daripada menyesalimu selamanya. Sebab memutuskan untuk tidak lagi mengingatmu sama seperti melawan arus rindu yang begitu deras, mengalahkan keinginan untuk bersanding denganmu selamanya, melakukan penyiksaan pada tiap-tiap perasaan yang menghadirkanmu lagi, mengusirmu keluar dari labirin dimana tersesat adalah jawaban atas segala asa.
Memusnahkan rasa-rasa yang tersisa, lalu menghirup aroma kekalahan yang begitu menyesakkan. Muntah, mengeluarkan segala sesak atas panah yang arahkan tepat ke jantung. Tumpah, membuang segala tentangmu walau harus bersusah payah.
Dan jika suatu saat kau membaca frasa-frasaku, maka percayalah, itu bukan lagi tentangmu.
Dan malamku, bukan lagi milikmu.
No comments:
Post a Comment