Metafora Elegi.
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
(Jika kamu belum membaca cerita sebelum ini, lebih baik kamu baca dulu disini : Sepotong Kenangan Dalam Hujan.)
"Baiklah, aku menunggu." ucapku seraya mematikan telepon dari seseorang disebrang sana, aku meletakkan handphone, menghirup aroma coklat panas hangat milikku yang baru saja datang, lalu membiarkan pikiranku kosong.
Cafe ini, cafe tempat pertama kali aku bertemu dengannya, Minerva Aulia. Sekarang, aku kembali kesini, bukan untuk mengenangnya, bukan juga untuk menyesalkannya. Tapi untuk memulihkan luka, merawat cedera, sambil menanti perempuan yang tadi berada diseberang teleponku. Anggun.
Sedikit summary, aku, Dimitri Icarus Erymanthus, seorang penulis sekaligus editor untuk salah satu majalah dokumentasi yang cukup terkenal. Sementara Annisa Anggun Salsabila, seorang mahasiswa kedokteran, dan dia manis. Sekarang, aku sedang menantinya di cafe yang letaknya tepat bersebelahan dengan salah satu toko buku terbesar di kotaku.
Gemuruh hujan terdengar dari luar jendela. Aku menoleh kecil, ah, rupanya rintik hujan yang terurai diluar hanya menambah suasana sunyi yang menghinggapi. Kenangan tentangmu lalu merasuk kedalam udara yang kuhirup.
Selamat merayakan luka bersama segelas coklat beraroma senja, yang indah namun sementara. Dan selamat mengenang cedera bersama setangkup ingatan tentang dia, yang kini bahagia bersamanya.
-----//////-----
"Maaf aku terlambat." ucap Minerva seraya meletakkan dua buku di pelukannya di atas meja, lalu mengambil tempat duduk di hadapanku. "Tak apa" Aku menggeleng, "Bagaimana harimu?" tanyaku setelahnya. "Berat." Perempuan di depanku itu menggeleng kecil, "Kau tahu, aku sudah menunggu seharian di kampus untuk dosen pembimbing. Lalu ketika waktunya tiba, dia tak kunjung datang. Aku berjalan mengelilingi, menyusuri ruangan-ruangan kampus untuk menemukannya, tapi tak ada. Hatiku seolah berkata, "Ayolah pak Dosen, aku mencarimu." Hahaha" ceritanya sambil tertawa kecil.
"Kalau begitu, aku pesankan kopi ya?" ucapku menanggapi, "Kenapa kopi?" Ia bertanya balik, kebiasaannya. "Agar kamu mengerti, jika kopi memiliki komposisi yang pas, pahit manisnya bisa kamu nikmati. Seperti kehidupan." Aku menjawab, ia tersenyum simpul, berkata, "Dasar pemikir! hahaha" lalu tertawa.
"Omong-omong, Dimitri." Minerva merendahkan nada suaranya kali ini, "Kau ingat laki-laki yang kuceritakan semalam?" Ia menghela nafas, aku mengangguk. "Ia terus-terusan mengirim pesan." lanjut perempuan itu sambil menunjukkan layar handphonenya, "Kau menanggapi?" tanyaku sambil memutarbalikkan layar handphone itu kepadanya. Ia diam.
"Terserah kamu saja, toh aku yakin kamu sudah dewasa. Tapi aku harap, jangan terlalu peduli." ucapku pendek, "Kenapa?" ia bertanya, "Sebab aku tak ingin kehilanganmu." Aku menjawab singkat, perempuan itu terdiam. Seorang waiter lalu datang membawa segelas machiato untuk Minerva. Tidak banyak pembicaraan setelahnya, begitu hujan mereda, ia mengajak pulang.
-----//////-----
Aku tertawa kecil, melirik kearah jendela. Hujan di luar masih saja deras, dan Anggun belum juga datang. Biarlah, mungkin tak ada buku yang memang merangkum keseluruhan isi otaknya, atau mungkin, tak ada buku yang cocok untuknya, dan berbagai 'mungkin-mungkin' lainnya dalam sebuah pencarian.
Omong-omong soal pencarian, aku harus akui. Aku memang dulu mencarimu, Minerva. Ke tempat-tempat yang kupastikan kau tidak akan lagi ada disitu. Ke tempat-tempat dimana kita setuju untuk berusaha menguburkan masa-masa indah itu.
Tentu saja aku mencarimu, mengapa kau berpikir aku tidak ? Lalu aku menelusuri ruang-ruang lainnya satu persatu, semakin aku menemukanmu, semakin pula aku kehilanganmu. Semakin aku merasa sepi, semakin aku kehilangan diriku sendiri.
Lalu aku berhenti di salah satu ruang, tepat di depan pintu yang bertuliskan masa lalu. Disanalah aku yakin ada mata dan senyummu yang memikat tapi mengikat. Singkat, tapi padat.
Kalau kamu lupa, aku akan mengingatkan sedikit. Dulu, Minerva. Kamu bilang jangan tidur malam karena berbahaya bagi tubuh, sementara aku bilang jangan menanggapinya karena nanti kamu akan luluh. Tapi sama saja, aku masih tidur larut malam dan kamu masih menginginkannya. Kini, aku paham bahwa kita hanya sepasang bungkam yang sedang merayakan diam.
Insomnia membunuhmu, rasa juga. Jadi kita sama, kan?
Hingga nanti ketika malam pun jatuh, aku disini akan tetap terjaga, sama seperti kamu tetap menginginkannya.
Sehingga nanti kita bisa saling tuduh, siapa diantara kita berdua yang paling cepat terbunuh.
Hujan di luar semakin deras, kini ada satu-dua kilatan yang menyambar di awan. Sebuah suara mengagetkanku setelah satu kilatan mendahuluinya beberapa detik. Kaget. Reaksi termurni dari hati nurani manusia yang menunjukkan gugurnya ekspektasi, atau justru tumbuhnya mimpi.
-----//////-----
"Ia masih mendekatimu, Minerva?" Aku bertanya, kini aku dengannya duduk berhadapan di sebuah restoran, menghabiskan senja dengan cara sederhana, makan berdua. "Maaf aku baru sempat menemuimu, ada banyak sekali yang harus kuselesaikan untuk tetap digaji." lanjutku.
"Minerva Aulia." Aku memanggilnya, ia menoleh. "Aku bertanya." lanjutku menguatkan pertanyaan tadi, ia terdiam. "Jadi kamu menanggapinya?" Aku bertanya lagi, dua buah pertanyaan untuk dua buah jawaban berupa keheningan. Dua status quo.
"Minerva Aulia, apa kamu menanggapi laki-laki itu?" Sekali lagi aku bertanya, kali ini sambil mencoba menatap matanya, menangkap gerak bola mata hitamnya. Ia mengangguk tipis. Ia jujur. Aku membuang nafas yang kuhela selama beberapa detik.
"Astaga Minerva, jadi kamu masih menanggapinya ?" aku mencoba bertanya sekali lagi, penegasan. "Aku pikir kamu akan bereaksi dan mencoba memarahinya.." jawabnya tipis, "Lantas apalagi ini Minerva? Sebuah tes? Ayolah, aku tak ingin dan tak pernah ingin kehilanganmu! Sadarlah bahwa ia bisa saja menghancurkan semuanya." "Tapi ia temanku juga!" Kali ini suaranya lebih tinggi. Aku menghela nafas lagi, membuangnya lagi. Menggeleng kecil.
"Kau tahu, Minerva. Aku sedang berpuisi saat ini." ucapku, "Tapi kau hanya diam?" Ia mengangkat alis, "Sunyi adalah seni, puisi adalah seni. Tunggu sebentar, pikiranku sedang merangkai kata untuk mengungkapkan semuanya." Aku merunduk sedikit.
"Jika nanti kamu akhirnya memilihnya, maka patahkanlah hatiku sebelum kamu pergi. Kelak, aku akan terbiasa akan rasa itu. Kelak, aku yang rindu.
Sebab denganmu, hati yang patah adalah hal yang lumrah.
Jika nanti kamu memang memilihnya. Maka yang tersisa darimu hanya jejak kakimu yang berlari-lari di sudut kenanganku, menyusuri bait-bait puisi didalam memori, menyapa udara yang menyakitkan namun mengasyikkan, menepuk halus ingatan yang tak perlu lagi kau urus.
Sebab tanpamu, ada sunyi dan sepi yang menemani saat sendiri.
Jika nanti, kamu memang akan pergi. Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak mengingat satu sama lain lagi? Kamu memegang teguh ucapanmu, sementara aku menjilat ludahku. Maaf, aku akan mengingatmu tanpa perlu kau tahu.
Sebab denganmu, janji diciptakan untuk dilupakan.
Kita akan berpisah, bukan? Kamu segera berpasangan dengan dia yang selalu kau sebut "teman", sementara aku disini menunggu untuk mati perlahan. Kamu mati tertawa, aku mati kecewa.
Penantian dibuat untuk mengulur perpisahan, penantian juga dibuat untuk mengawali perpecahan. Padahal, ketidakpedulian adalah sejauh-jauhnya perpisahan. Dan, apa yang bisa dilakukan pelukan ketika terpaksa direlakan tanpa pilihan? Benar, mundur pelan-pelan.
Sebab hanya denganmu, kata pisah bukanlah hal yang mengejutkan.
Cerita pertamamu adalah tentangnya, dan cerita terakhirmu juga tentangnya. Aku sulit sekali mengatakan lupa, jadi kupastikan kalimat perkenalan dan perpisahan kita kan sama.
Karena harapan dibuat untuk dihancurkan. Karena rasa dibuat hanya untuk dilupakan. Dan patah hati, dibuat untuk dirayakan."
-----//////-----
Dan sejak saat itu, aku tahu bahwa perpisahan bukanlah hal yang bisa ditahan. Aku tahu, bahwa kelak, akan ada sebuah periuk berisi setangkup rindu yang menderu. Yang akan berbunyi di saat sepi sendiri. Yang akan mengusir sepi dengan perih yang semakin dalam setiap hari, membelah sunyi dengan sejuta luka baru yang ditorehkan, lagi dan lagi.
Lalu pada akhirnya, semua itu kembali ditumpahkan dalam sajak dan puisi.
Aku tertawa kecil, menelungkupkan kedua tangan di atas meja, di depan dada, lalu menenggelamkan kepalaku kedalamnya. Astaga, itu adalah kecewa yang paling hina. Tapi sungguh, aku tak pernah membenci. Sebab aku sudah mati, dan kupastikan aku ada didalam peti mati, yang dibawa menuju tempat paling sepi, tempat aku bisa bangga atas seluruh kesedihan diri.
Senyummu, adalah manis paling tenang diantara remang, lalu menjelma puitis diantara senang, sebelum akhirnya menjadi tangis diantara kenang
Pintu cafe berbunyi ketika seseorang memasukinya. Aku menoleh. "Anggun." ucapku seraya setengah berlari menjemput perempuan itu di pintu masuk, "Kenapa memilih menembus hujan ?" tanyaku sambil mengambil barang bawaan di kedua tangannya. Ia belum menjawab. Aku memesan coklat panas lainnya, sebelum aku dan Anggun duduk berhadapan.
"Aku pikir kamu akan menunggu hujan reda." ucapku membuka obrolan setelah coklat panasnya datang. "Aku ingin merasakan hujan." Ia menjawabku, tangannya perlahan tapi pasti mencoba menggapai gelas coklat panas itu.
Aku meraih tangannya, "Dingin sekali, lain kali jangan begini." ucapku seraya menyuapi sesendok coklat hangat ke mulutnya, "Kamu bilang, hujan adalah seleksi alam. Banyak orang yang merasakan basahnya, tapi hanya sedikit yang merasakan hujan. Aku ingin tahu apakah aku termasuk kedalam orang-orang yang merasakan hujan." jawabnya cemberut tipis.
"Maksudku, lain kali kalau mau mandi hujan, jangan sendiri dan jangan membawa barang bawaan." Aku tertawa kecil, ia cemberut lalu tertawa. "Anggun, ingat ketika aku menelponmu jam 2 pagi, saat kamu sedang di luar kota untuk pelatihan?" tanyaku, "Ingat, aku belum tertidur saat itu." jawabnya. "Mau tahu kenapa aku menelponmu dini hari begitu?" tanyaku lagi, "Memangnya kenapa?" ia penasaran.
"Karena kamu sedang cantik-cantiknya, dan aku sedang rindu-rindunya."
:)
No comments:
Post a Comment