Wednesday, January 4, 2017

Pelukis Senja.

Pelukis Senja. (Short story)
Oleh : Kanzia Rahman



Hujan deras membungkus kota. Jalanan lengang dan angin kencang bertiup sepanjang jalan, sudah hampir setengah jam kondisi ini bertahan. Nampaknya minggu sore ini bukanlah waktu yang baik.

Sebelah kiriku adalah toko-toko di pinggir jalanan kota, sementara sebelah kananku adalah sungai Seine. Biasanya tempat ini ramai, tapi dengan cuaca buruk seperti ini, hanya satu-dua orang yang tertangkap mataku sedari tadi.

Setidaknya itulah yang kulihat dari balik kaca helmku.

Aku sedang memacu motor menuju apartemenku. Jalan yang kutempuh benar-benar kosong, aku menarik gas sekuat mungkin..

"BRUAKKK!!!"

Aku tergelincir. Aspal yang kulewati terlampau licin, ditambah hilangnya keseimbangan dengan kecepatan tinggi. "For god's sake!" umpatku berteriak lalu berlari kecil kearah motorku yang terpental setidaknya dua meter dariku.

Aku segera memperbaiki posisi motor yang terjatuh, lalu membawanya ke tempat istirahat terdekat, sebuah toko dengan papan "Pelukis Senja" yang menggantung di salah satu tiang toko bagian luarnya. Terlalu sulit untuk berkendara dengan cuaca seperti ini.

"Hari yang buruk, Tuan?" sapa suara seorang perempuan dari dalam toko itu. Halus. Aku menoleh, "Licin" jawabku singkat seraya memarkirkan motor, lalu berjalan satu-dua langkah ke bagian dalam toko.

Bagian teras toko itu adalah galeri lukisan, sungguh, ada banyak lukisan yang menggantung di dinding toko itu dengan sebuah kursi, alat lukis, dan sebuah kanvas kosong yang disangga oleh penyangganya di titik tengah teras.

Beberapa langkah kedalam, ada dua buah meja dan kursi panjang dan sebuah pintu dengan larangan 'dilarang masuk kecuali staff' yang menggantung, small cafe untuk pengunjung duduk dan menikmati hidangan kecil.

Aku mengambil tempat di salah satu kursi, melepaskan helm juga jaket yang sudah basah kuyup, lalu meletakkannya di sebelahku.

Perempuan yang tadi menyapaku halus kini membawakan menu, meletakkannya didepanku. "Makanan seperti apa yang cocok untuk orang yang baru saja tergelincir ?" tanyaku seraya melihat-lihat daftar makanan dan minuman di cafe kecil-kecilan galeri ini, "Entahlah.. coklat panas dengan pemandangan jembatan Archeveche ?" jawabnya seraya bertanya balik.

Aku melihat ke luar. Rupanya galeri ini berada tepat di ujung seberang jembatan Archeveche, jembatan dengan total lebar 17m dengan pagar di sebelah kiri dan kanan jembatannya yang penuh dengan gembok cinta, mitos dimana pasangan romantis akan menuliskan nama mereka di sebuah gembok, lalu memasangkannya pada pagar jembatan, lalu membuang kuncinya di arus sungai Seine, lalu pasangan itu akan bertahan selamanya.

"Tepat." jawabku. Perempuan itupun beranjak, lalu tubuhnya menghilang dibalik pintu. Sementara mataku menjelajah ke lukisan yang dipajang di dinding galeri, semuanya berlatarbelakang pada jembatan itu dengan langit sore atau kemerahan. Dua buah meja kecil diletakkan didepan toko, galeri ini juga menjual gembok dengan berbagai motif untuk dipasang di pagar jembatan.

Lalu mataku menjelajah tubuhku sendiri, mencari luka berat maupun ringan yang bisa saja ada di tubuhku setelah tergelincir tadi. Syukurlah, hanya beberapa luka minor di kaki.

Perempuan tadi pun kembali, membawa dua gelas coklat panas dengan nampan, meletakkan yang satu untukku, lalu meletakkan gelas yang satu lagi untuk kursi didepanku. "Kursi depanmu kosong, kan? Aku bergabung" ucapnya sambil tersenyum sebelum aku sempat bertanya. Ia berjalan lagi membawa nampan, lalu kembali dengan tangan kosong. Duduk di hadapanku.

Perempuan itu memiliki rambut hitam panjang sebahu, matanya bulat sempurna, ucapannya halus, dan tingginya kurang lebih setinggi badanku. Ia mengenakan dress berwarna merah selutut. Sementara bagian lehernya dibungkus syal berwarna abu-abu. Kakinya ditutup oleh sepatu hak yang kuperkirakan 2-3 cm.

"Siapa yang menggambar semua ini ?" tanyaku seraya menyeruput sesendok dari coklat panasku, "Ada. Memangnya kenapa ?" Ia bertanya balik, "Aku melihat seni yang sederhana, tapi memikat. Cerah, tapi penuh dengan kesedihan. Berpola, tentang senja." jawabku.

"Menurutmu, bagaimana pelukis semua ini ?" tanya perempuan itu lagi, "Aku tidak bisa membayangkan fisik dan penampilan. Tapi ia pasti pendiam, cerdas, dan memiliki selera seni yang tinggi." jawabku menerka-nerka. "Hahaha" ia tertawa.

"Kau sedang berhadapan dengan pelukisnya, Tuan." ucapnya, aku menoleh, mengernyitkan dahi. "Kamu ?" tanyaku memastikan, perempuan itu mengangguk. "Yang menggambar semua ini ?" tanyaku sekali lagi, ia pun mengangguk sekali lagi, kali ini sambil tersenyum.

"Aku pikir akan sangat romantis untuk dapat mengabadikan senja didalam kanvas. Itu bakat seniku, melukis." katanya, "Kamu masih muda, kenapa tidak menghabiskan waktu diluar sana, shopping, bermain kesana-kesini seperti kebanyakan gadis diluar sana ?" tanyaku seolah tahu umurnya.

"Kamu pun pasti masih muda, Tuan. Kenapa tidak menghabiskan waktu diluar sana, berkunjung ke bar, pulang pagi, bermain kesana-kesini seperti kebanyakan pemuda diluar sana ?" Ia bertanya balik. Astaga. Belum genap satu jam aku bertemu dengannya dan sudah lebih dari tiga kali perempuan ini bertanya balik pada pertanyaanku.

TAP TAP
Sebuah suara menyadarkanku dari lamunan, belum aku menoleh, perempuan itu sudah beranjak ke bagian depan toko. Seorang pria paruh baya dengan jaket hitam dan celana panjang berwarna hitam datang, ia memegang sebuah kertas di tangan kanannya dan mengenggam payung di tangan kirinya.

"Aku sudah berkeliling cukup lama. Tapi aku yakin kini aku telah sampai." ucap pria itu, "Pelukis Senja. Benar kan ?" tanyanya, "Benar Tuan. Kau ingin dilukis ?" perempuan itu menjawab lalu bertanya, "Begitulah. Tapi aku tahu peraturannya, ini belum senja, aku akan kembali beberapa jam lagi, aku hanya memastikan letak galeri ini." jawab pria itu mengangguk lalu tertawa kecil, lalu berjalan lagi, menghilang dibalik tirai air hujan yang deras.

"Lagipula siapa yang mau dilukis saat hujan begini." komentarku saat perempuan itu sudah duduk lagi di hadapanku, "Kalau ada senja, bagaimanapun cuacanya, ada saja yang ingin dilukis." balas perempuan itu, "Bukankah itu berarti kau bergantung sekali pada cuaca ? Bagaimana jika ada awan gelap yang menutupi senja ?" tanyaku, "Mereka bilang lebih baik sedikit beda dibanding sedikit lebih baik." jawabnya sambil tersenyum tipis. Ia benar.

Tiba-tiba datang sepasang kekasih yang berhenti didepan toko, melihat-lihat gembok yang dijual di bagian depan toko itu. Perempuan di hadapanku segera beranjak melayani mereka.

Beberapa menit kemudian pasangan itu pergi dari toko seraya mengenggam sebuah gembok dengan kuncinya, melangkah ke jembatan. Perempuan itu kembali duduk di hadapanku. "Nama mereka Jacob dan Susanne. Pasangan langganan, sebulan sekali pada tanggal yang sama, mereka akan datang kesini, membeli gembok, lalu memasangkannya di jembatan. Ini kunjungan mereka yang keenam." ucapnya lalu menyeruput coklat panas.

"Hujan deras begini ?" gumamku seraya melihat pasangan itu berjalan kearah jembatan, memasangkan gembok yang baru saja mereka beli di galeri ini. "Omong-omong soal nama, aku belum tahu namamu." ucapku, "Apalah arti sebuah nama. Lagipula namaku ada banyak sekali di negeri ini, Tuan. Kau pasti mengenal seseorang dengan namaku." jawabnya seraya menenggak coklat panasnya. "Kalau begitu kau juga tidak boleh tahu namaku." balasku tipis sambil memperhatikan sekitar. Lukisan-lukisannya memiliki trademark berupa huruf A kecil dengan dua buah garis dibawah huruf itu yang terletak di ujung kanan bawah gambar.

"Kau pasti sudah melihat banyak sekali peristiwa saat senja dari sini." ucapku sambil menenggak dua teguk lainnya dari coklat panasku, "Tentu saja selain pasangan-pasangan romantis yang ingin dilukis dengan latar belakang senja." lanjutku. Ia belum menjawab.

"Menurutku, senja adalah ruang yang disediakan semesta untuk melakukan transisi. Langit kemerahan yang dibalut angin ringan sengaja melatarbelakangi setiap pertemuan, perpisahan, kepulangan, kepergian, yang terjadi saat senja. Cerah, bagi mereka yang kelelahan setelah bekerja. Senja memang dibuat dari doa, rindu yang menyiksa, juga warna merah yang melengkung di angkasa." kataku lagi.

"Kau benar. Senja adalah tempat semesta merekam semuanya. Pertemuan dan perpisahan, kepulangan dan kepergian, juga rindu yang terbalaskan dengan pelukan maupun rindu sebelah tangan." Ia setuju, mengangguk kecil. Hujan diluar semakin deras kala rintik air makin intens menghujam tanah dibawahnya.

"Kau tahu, aku sudah melihat banyak sekali peristiwa dari sini." Ia berhenti sejenak.

"Saat itu sedang badai, cuaca buruk, angin berhembus kencang, hujan deras dan petir bersahutan. Aku sedang merapihkan dan memasukkan lukisan-lukisan saat tiba-tiba seorang anak mendatangiku dan menanyakan apakah aku melihat anjingnya. Aku jawab tidak, lalu kami berdua sama-sama terperanjat kala melihat anjingnya meraung-raung tersangkut di pagar jembatan." Perempuan itu bercerita. Aku mendengarkan dengan seksama.

"Dan anak itu, tanpa pikir panjang segera berlari menuju anjingnya. Butuh dua tiga menit sampai anjing itu terlepas dari sangkutannya, anak itu lalu menggendong anjingnya, berlari lagi, entah kemana. Aku melihat kebahagiaan." Perempuan itu lalu kembali meminum coklat panasnya.

"Lalu ada lagi. Kali ini perihal patah hati." Ia memotong perkataannya.

"Kau tahu tidak berapa banyak orang yang seringkali menghindari jembatan ini ? Karena bagi mereka, jembatan ini menghadirkan sejuta memori yang mendebar-debarkan dada, membuat mereka tercabik-cabik sendiri oleh hujan kenangan dan setangkup rindu yang membasahi luka lama." kata perempuan itu.

"Kau pasti tidak tahu kan, berapa banyak orang yang ke jembatan ini sendirian ? Mereka bukan tanpa arah. Sesekali kulihat ada yang mencari gemboknya yang sudah dipasang, menatap gembok itu lamat-lamat, lalu kemungkinan selanjutnya hanya dua. Orang itu menangis tersedu-sedu atau menangis tanpa suara." ceritanya lagi.

"Apa yang terjadi ?" tanyaku kebingungan, "Tempat ini selalu identik dengan romantisme, percintaan, pasangan, juga mitos tentang kebahagiaan, bukan ?" "Sayangnya tidak semua orang, Tuan." Perempuan itu menjawab pertanyaanku datar, matanya kosong.

"Pernah seseorang datang ke jembatan ini dengan alat pemotong besi, berusaha menghancurkan gemboknya. Itu tingkat depresi paling tinggi yang pernah kulihat, ia membawa kesedihannya kedalam level yang lebih tinggi." cerita perempuan itu. "Sebegitu parahnya mitos ini ?" ujarku menggeleng-geleng seraya menyeruput coklat panasku.

"Mereka percaya pada mitos ini seerat kepercayaan mereka pada pasangan mereka. Jika pasangan mereka pergi, maka siapa yang akan menjadi tempat pelampiasan selain bantal dan guling yang basah karena air mata ?" Jawab perempuan itu.

"Terlebih lagi, mereka sudah memasang ekspektasi tinggi. Bukankah itu tujuan dari gembok-gembok ini ? Memasang harapan untuk berpasangan selamanya. Tapi terkadang, jika ekspektasi lebih besar daripada usaha, maka kemungkinan besar mereka akan sakit hati." lanjut perempuan itu. Ia lalu berhenti sejenak. Keheningan yang tercipta segera dipatahkan dengan suara derasnya hujan diluar sana.

"Dalam hidup, ada banyak hal yang bisa kau ubah. Namun sayangnya, ada juga yang tidak bisa kau ubah, dan ketika kenyataan tak berbanding lurus dengan ekspektasi, maka akan terbuat jurang kesedihan yang terbentuk dari persilangan kedua garis itu. Garis ekspektasi dan kenyataan yang semakin lama semakin menjauh." Aku mendengarkan.

"Sebetulnya, jika mereka tidak membiarkan diri mereka untuk bersedih, maka jurang itu tidak akan terbentuk." ucapku, "Aku setuju, Tuan. Bahwa itu semua kembali ke pilihan manusianya untuk bersedih atau tidak. Namun hakikatnya menurutku, cinta itu menyakitkan." ujar perempuan itu.

"Cinta tidak dan tidak akan pernah menyakitkan, Nona A. Tetapi kesepian, perpisahan, kemarahan, keegoisan, ekspektasi yang tidak tercapai, dan kepercayaan yang dibuang begitu saja. Itu yang menyakitkan, dan mereka seringkali hadir dalam urusan percintaan dua manusia. Pada dasarnya, cinta justru hal paling menyenangkan juga paling membahagiakan di dunia ini." jawabku. Perempuan itu terdiam. Aku yakin kini perkataanku membawanya ke suatu tempat di memorinya, entah bersama siapa atau kapan terjadinya.

"Aku.. telah melihat dan merasakan terlalu banyak peristiwa, Tuan.." Suaranya menjadi parau, ia menunduk, rambut hitam panjangnya menutupi wajahnya dari pandanganku. 

"Aku sudah merasakan banyak peristiwa. Pengkhianatan, kesedihan, bertepuk sebelah tangan, dipermainkan.. Aku sudah cukup merasakan semua penyakit hati itu sehingga aku memutuskan untuk menutupnya." ucapnya lagi, satu dua bulir air mata berjatuhan dari pelupuk matanya yang bulat sempurna, mengalir ke pipi, lalu pecah kala menghantam lantai berwarna putih yang ia pijak.

"Hei.." aku menegurnya, mencabut satu-dua lembar tissue dari tempatnya, memberikannya pada perempuan di hadapanku itu. Ini membuatku berpikir. Apa aku membuat kesalahan lagi ? Logikanya tidak. Aku hanya menegurnya dan memberi opiniku soal rasa. Aku benar-benar bingung kali ini.

"Aku tidak pernah bisa melihat perempuan menangis, apalagi jika itu karena ulahku." kataku jujur sambil mencabut tiga lembar tissue lainnya dan memberikannya lagi. Keringat bermunculan di pelipisku. Apa yang harus kulakukan ? Apa aku harus menghapus air matanya dengan tissue lainnya ? Tidak. Kami baru saja bertemu. Atau haruskah aku membuat lelucon ? Tidak juga. Aku tidak pandai dalam membuatnya dan aku tidak tahu selera leluconnya.

"Tadi kau bilang setuju kan bahwa kesedihan hanya bisa dirasakan jika manusianya memilih untuk bersedih ? Lantas mengapa kau tidak memilih untuk membuka hatimu lagi ?" Perempuan itu tak menjawab dalam beberapa detik. Oh Tuhan, aku salah memilih kata.

"Maksudku, kenapa kau tidak melupakan mereka dan membuka lembaran baru ?" Ia belum juga menjawab. Mungkin aku salah lagi.

"Maksudku, kenapa kau tidak menuangkannya dalam lukisanmu ? Kau berbakat dalam seni lukis bukan ? Aku juga pernah mengalami sepertimu, lalu kulampiaskan semua pada sajak dan puisi. Saking banyaknya, aku berkembang menjadi seorang penulis patah hati tanpa kusadari." Ia masih belum menjawab. Kuharap kali ini ucapanku benar.

"Kau bisa mengubah patah hati itu, menjadi sebuah kekuatan untuk membangun hatimu yang baru. Karena seperti orang bijak bilang, kalau kau mau berubah, maka fokuskanlah semua energimu bukan untuk memperbaiki yang lama, tapi untuk membangun sesuatu yang baru. Sesuatu yang ingin kau ubah." Aku mengutip ucapan Socrates.

"Aku.. aku.." Ia sesenggukan, "Sudah, sudah. Aku hanya memberikan pendapatku, terserah kamu mau kauapakan kalimat-kalimatku barusan." Aku memotong, bukan karena tak peduli, tapi aku takut tangisnya menjadi lagi dan aku akan kebingungan lagi.

Hujan deras pun reda belasan menit kemudian, setelah keheningan panjang yang terjadi. Aku menoleh ke luar, "Kau tidak mau melukis ?" tanyaku sambil menghabiskan coklat panasku. Ia menggeleng kecil, "Kalau begitu berposelah di luar sana. Masih ada hujan sih, intensitasnya sedang. Bawa payung. Biar aku yang melukismu." ucapku seraya beranjak ke kursi dibelakang kanvas yang biasanya perempuan itu duduki.

Ia pun berdiri, dengan langkah pelan berjalan ke luar, membawa payungnya. Aku memulai lukisanku sebisanya.

Setelah setengah jam penuh 'sebisanya', aku memanggilnya masuk. Lalu kututup kanvas itu dengan kainnya. Ia melangkah masuk, sementara aku berjalan mengambil helm dan mengenakan jaketku.

"Terima kasih atas jamuannya. Uang untuk coklat panas sudah kuletakkan di meja." ucapku seraya melangkah ke motorku, ia berdiri di teras galerinya, menutup payung. "Jika kau memiliki julukan Pelukis Senja, Nona. Maka namaku adalah Semesta Perfeksionis." lanjutku lagi lalu menaiki motor, menyalakannya.

"Kau hanya boleh membuka lukisan itu saat punggungku sudah tak terlihat lagi, tidak ada negosiasi, deal." ucapku tegas, aku mengenakan helmku. Ia tersenyum, tertawa, "Memangnya kenapa ?". Aku balas tersenyum dan tertawa, "Sebab nanti kau akan tahu bagaimana aku melihatmu yang sebenarnya, Nona."

Aku mengulurkan tangan, berjabat tangan. Hangat. Lalu motor itu kupacu menembus tirai hujan yang kini kian menipis.

Perempuan itu benar soal banyak hal. Ia telah melihat, merasakan, dan terlibat langsung kedalam segala hal yang menyakitkan, Dia tidak dan tak pernah menyangka bahwa dia akan merasakan hal-hal yang menyakitkan itu. Lantas ia jatuh pada filosofinya sendiri, menutup, mengunci hati. Sebuah filosofi yang acapkali menghantuinya tiap kali ingin membuka hati.

Tapi perihal cinta dan patah hati, semua itu adalah cara semesta memilah dan memilih siapa yang terbaik diantara yang terbaik untuk akhirnya akan bersandang bersamamu di peraduan. Bukankah begitu cara semesta bekerja ? Mengikuti benang-benang takdir yang acapkali kau ikat sendiri dengan prasangka juga sama-rata.

Dan perihal yang terbaik dari yang terbaik. Semesta tak punya ketentuan waktu atas itu. Ia bisa saja menghadirkannya tepat didepan matamu saat fajar, lalu menghilangkannya sepersekian detik kemudian, dan menjauhkannya saat senja. Yang kita sama-sama tahu adalah, mereka kelak akan abadi bersama kita di akhir hari. Mereka akan mendengar seluruh cerita dan keluh kesah kita, tertawa, lalu mencintai kita apa adanya.

Credit : Leonid Afremov - Rain Princess.
..
.

-- The End --

No comments:

Post a Comment