After Pandora : Imperfection. (Part 11) (End)
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
23:50 waktu Paris. Kini para penduduk justru memenuhi gedung kepolisian. Mereka kini percaya, bahwa ketiga belas pahlawan masyarakat itu akan menampakkan diri saat tepat pukul 12. Sudah berjam-jam mereka menunggu. Status quo.
Sementara para kloning memasuki ruang kerja Aristo, "Selamat datang" sambut direktur sementara CERN itu. Kloning Afifat menyeringai, "Tugas kami sudah selesai. Sekarang kembalikan kami ke dunia kami." ucapnya.
"Ah-eh" Aristo menggeleng, "Kalian masih punya satu tugas lagi." lanjut pria itu seraya duduk di kursinya. Lantas meraih sebuah apel yang tergeletak, memakannya. "Ini tidak sesuai dengan perintahmu" bantah kloning Latriaz. "Lagipula kita sudah membuat perjanjian" dukung kloning Arum.
"Siapa yang membuat perjanjian ?" Aristo menoleh, meletakkan apel yang tinggal setengah itu, mengambil sebuah pistol di laci mejanya, "Aku tidak membuat perjanjian dengan kalian. Aku mengatur kalian. Aku yang menguasai kalian." DOR! Ia lantas menembakkan pistol itu kearah apel yang segera menghilang. Pistol anti-materi.
"Bawakan kepala mereka kepadaku." Aristo lantas meletakkan pistol itu di meja kerjanya, "Lalu tampillah di gedung kepolisian, banyak yang sudah menunggu kalian. Terakhir, naiklah ke atapnya, bunuh diri kalian sendiri disana." perintahnya
"Kalian sudah pernah merasakan mati bukan ? Kurasa tidak masalah jika kalian merasakannya dua kali." Aristo menyeringai.
"Persetan!" bentak kloning Jiwo, mengarahkan tinjunya kearah muka Aristo. Sang direktur sementara segera menghindar, "Ssst." balas Aristo melirik kearah dua buah layar yang menunjukkan gambar CCTV dari dua ruangan. Ruangan tempat Hanifa, Tama, Ainun dan Ival, juga ruangan tempat Salma, Anwar, Jiwo, Aldo, Stevian, Arum, Latriaz, dan Adi.
Didepan layar itu masing-masing ada tombol. Tombol pemicu ledakan di bom yang sedang ada di kedua ruangan itu, "Sepertinya seseorang sudah memutuskan sesuatu." kata Aristo pendek.
"Hah.. hah.." Nafas Salma tersengal, sementara Latriaz terduduk di pinggir ruangan, bersandar pada tembok berwarna putih pualam dibelakangnya, tangis perempuan itu sudah pecah sejak belasan menit yang lalu. Ia pun mengambil keputusan sesaat sebelum Salma menekan tombol pemicu bom di ruangan lain tempat keempat teman mereka berada. Ia mendorong tubuh Salma, menjatuhkan pemicu bomnya. Tombol itu gagal ditekan.
Mereka terdiam. Semua terdiam. Hanya suara nafas yang tersengal-sengal dari Afifat di ujung ruangan yang sudah terbangun sedari tadi. "Kalian.. sudah.. kehilangan.. sisi manusia.. kalian.." ucapnya memecah keheningan. Ia bersandar pada salah satu tiang penyangga cincin CERN dengan darah yang membanjiri sekujur tubuhnya, sementara salah satu tombol lampu di tiang penyangga itu menyala. Cincin itu siap diaktifkan kapan saja dalam mode darurat dengan tombol itu.
"Hampir saja." Tiba-tiba Caldha membuka jas labnya. Delapan buah dinamit berdaya ledak tinggi dipasang di bajunya, tersambung dengan antena kecil yang berada di sisi kanan kedelapan dinamit, "Kalau kalian menekan itu. Bom ini juga akan meledak."
"Apa-apaan itu!" kloning Stevian yang melihat melalui CCTV kesal, "Dia sama saja membunuh mereka dalam kondisi apapun" kloning Ainun berbisik pada Amel, "Jika tidak ada yang menekan tombol itu. Ia akan menekan salah satunya. Bahkan dengan keadaan menutup matapun, tetap akan ada 12 mayat di kedua ruangan itu." lanjutnya, Amel mengangguk, "Kecuali ada keajaiban.." kloning Hanifa bergumam tipis.
BUAG!
Secara tiba-tiba. Kloning Anwar melayangkan sebuah tinjuan tepat di pipi kanan Aristo, dua buah giginya terlepas dari tempatnya. Darah dengan segera mengucur membanjiri mulutnya.
Secara tiba-tiba. Kloning Anwar melayangkan sebuah tinjuan tepat di pipi kanan Aristo, dua buah giginya terlepas dari tempatnya. Darah dengan segera mengucur membanjiri mulutnya.
"Kau akan menyesal." Aristo menatap Anwar dalam. "Segera." KLIK! Ia pun menekan salah satu tombol yang tersambung dengan layar CCTV itu.
...
..
.
.
BOOOOMMM!! ZZZZZZZZ!!!!
Bom yang direkatkan pada tubuh Caldha dan Yessika, juga bom yang disimpan didalam kotak meledak, disaat bersamaan Afifat menyalakan cincin CERN yang menghisap ledakan yang terjadi. Bom itupun meledakkan lantai dibawahnya hingga tembus ke ruangan tempat Hani, Tama, Ival dan Ainun.
Sayangnya, mereka juga terhisap.
Anwar dengan gesit menangkap tangan Tama yang menarik Hanifa, tangan perempuan itu juga menarik tangan Ainun, dan Ainun menarik tangan Ival, kelima orang itu kini berada dalam posisi hidup-mati karena harus menghadapi medan magnet yang luar biasa dari cincin CERN yang sedang berputar itu. Mereka harus bertahan, atau berakhir di dimensi lain.
"Kita harus segera kesana!" ucap kloning Ival dan Jiwo yang berlari meninggalkan ruangan itu terlebih dahulu, disusul kloning Hani, Ainun, Latriaz, dan Amel. Sementara kloning Afifat dan Anwar berada di ruangan itu bersama Aristo. Sisa kloning lainnya berlari meninggalkan mereka.
"Apa langkahmu selanjutnya ?" tanya Aristo dengan suara setengah parau, "Membawamu ke ciptaanmu sendiri." kloning Afifat menjawab, ia lantas menarik tubuh Aristo yang sudah setengah sadar ke jendela gedung, "Buka" perintahnya pada kloning Anwar yang segera membuka jendela itu.
Ribuan monster dibawah sedang kelaparan, memakani jasad satu persatu prajurit yang gugur di 'medan perang'. Kelima helikopter yang tadi menerjunkan mereka pun sudah tiada lagi, kembali ke pangkalan masing-masing. Kloning Afifat bergeming, tersenyum tipis. "Ini akan menjadi neraka yang cocok untukmu."
Tubuh Aristo pun dilempar kedalam kerumunan monster yang dengan segera memakaninya. Kedua kloning tadi tersenyum tipis, lalu menyusul yang lain.
"Dimana Ayah ?" tanya Hanifa, ia berhasil diselamatkan setelah acara tarik-menarik yang dibantu oleh para kloning. Beberapa saat, tidak ada yang menjawab sementara para kloning satu persatu memasuki cincin CERN, pulang ke dimensinya masing-masing.
"AYAH!!!" Hani berlari menuju cincin itu, gerbang ke dimensi lain.. "Hanifa!" teriakan yang lain tidak dapat menahannya, gerakan Tama pun kalah cepat, Hani berlari semakin cepat dan terhisap kedalam cincin itu..
ZAAAPP!! "Hanifa!"
Gelap.
Hani melihat sekelilingnya. Begitu gelap. Ia sadar bahwa kakinya tegak berdiri, jari-jari tangannya masih lengkap, pendengarannya masih bagus kala terdengar suara dengungan panjang..
Tiba-tiba terdengar suara deruman.
GRUUU!!!
Sesuatu melewati Hanifa. Tepat didepan matanya, 'sesuatu' itu tepat seperti kereta api dengan masa-masa kehidupan Hanifa sebagai gerbongnya. Ia terpaku, ini kereta api waktu, ini perjalanan hidupnya.
Ia melangkah dua-tiga kali ke kiri, itu momen kehidupannya dua-tiga hari lalu. Ia melihat dirinya sendiri yang sedang menangis di balkon hotel, yang sedang turun dari pesawat yang mendarat di Paris saat Ia kembali kesini lagi.
Hani berlari lebih kencang kearah kiri, menuju masa kehidupannya saat masih kecil, saat masih bersama kedua orang tuanya, saat ia bebas tertawa.
Setelah beberapa saat, Ia menemukannya. Itu dia. Sedang tertawa dibawah pelukan kedua orangtuanya yang juga tertawa, sementara temannya berada didepannya, tersenyum melihat kebahagiaan itu. Bulir air pun keluar dari mata Hani, ia segera melangkahkan kaki kedalam 'gerbong' waktu itu, berjalan.
"Hani? Apa yang kau lakukan disini Nak ?" Tepat saat ia akan memasuki gerbong itu, sebuah suara menghentikannya, Hani melirik. Itu ibunya. Mengenakan kerudung, tinggi. Ibunya tak berubah. "Ibu!!" Tangis Hani pecah, iapun segera berlari dan memeluk ibunya itu.
"Ini belum waktumu Nak.." ucap Ibunya sambil memeluknya juga, Hani menangis sejadi-jadinya.
"Ia benar, ini belum waktumu Nak. Maafkan Ayah." Sebuah suara lain muncul entah darimana, Ayahnya datang, Afifat, ia segera memeluk mereka berdua, memeluk keluarga kecil yang ditinggalkannya bertahun-tahun lalu, ia juga menangis, tersedu.
"Orangtuamu benar Hani, kamu harus kembali. Belum saatnya." Amel telah berada didepan mereka bertiga, tersenyum manis melihat haru biru yang sedang terjadi tepat didepan matanya. Peristiwa yang terpampang di 'gerbong' itu terjadi lagi, tapi kini Hanifa dan Ayahnya menangis.
Tama melirik kearah Kotak Pandora yang kuda-kudanya sedang berputar kencang, cemas, khawatir, mereka menunggu Hani untuk kembali.
Mereka melepas pelukan, Hani mengelap matanya. "Bagaimana kau bisa tidak menua, Anggun ?" tanya Afifat pada Ibunya Hani, suami pada istri. "Disini kita abadi, Afifat." jawab Anggun, ibu dari Hanifa, tersenyum karena akhirnya melihat suami tercintanya itu lagi.
"Maafkan aku.." ucap Afifat lagi, Anggun tersenyum, "Kau bisa meminta maaf nanti, masih banyak waktu untuk bercerita. Nah Hani, apa kau sudah melepas rindumu selama ini?" Hani menoleh, tak menjawab, masih tersedu-sedu sementara Amel mengusap bahunya.
"Tak apa Hani, Ibu dan Ayah meminta maaf jika ada segala kesalahan yang pernah kami lakukan. Kami harap kamu memaafkan Ibu dan Ayah." ucap Afifat, merunduk juga.
"Tak apa juga jika kamu tidak memaafkan kami Nak, kami memang belum jadi orang tua yang baik untukmu. Setidaknya kamu sudah tau sekarang, bahwa sejauh apapun perjalananmu nanti, sebesar apapun rintangan yang kamu lalui nanti, kamu selalu punya tempat untuk pulang." Anggun mengusap air mata di wajah Hani
"Kamu selalu punya tempat untuk istirahat, untuk rehat, untuk melepaskan tas penuh lelah dan gelisah. Kamu selalu bisa pulang ke Tuhanmu, bersujud, bercerita pada-Nya tentang apapun." Anggun kini tersenyum. "Maafkan ketidaksempurnaan kami Nak.." tutup Afifat lagi sambil menahan tangis, menunduk.
"Sekarang, kami harus pergi, Hani. Kau mau ikut ?" Amel berjalan dua langkah dari Hani, mengikuti Afifat dan Anggun. Hani tertawa kecil, mengusap matanya, "Terima kasih.. semua.." Ia menutup mata, hangat, dalam. Kereta waktu miliknya itupun berderu kencang, kembali berjalan melewati Hani dengan cepat.
...
..
.
.
Saat Ia membuka mata, ia sudah dikerubungi oleh teman-temannya.
"Syukurlah." Tama segera menghela nafas, "Dua hari kau tidur Han" ucap Ainun tipis tapi menunjukkan raut wajah lega, "Gue udah kepikiran buat nelpon pengurus kuburan setempat" kata Ival sambil tertawa, "Gila lo Pal ye" sahut Jiwo tertawa juga.
"Sisanya sudah diurus oleh kepolisian" ucap Tama sebelum Hani sempat bertanya. Televisi yang menggantung di sudut ruangan pun menunjukkan konferensi pers resmi dengan Adi, Anwar dan Aldo yang mewakili mereka, juga Farhan dari kepolisian.
Arum dan Salma memasuki ruangan sambil membawa dua kantong belanjaan besar, "Satu kantong berisi makanan dan keperluan sehari-hari, satu kantong lainnya berisi bunga ucapan selamat untuk kita." jelas Arum sambil meletakannya di lantai.
"Oh iya, selamat tahun baru Hani" kata Latriaz, "Oiya udah taun baru aja ya" sahut Salma, mereka tertawa, semua tertawa.
Merekapun bebas melepas seluruh lelah, seluruh gelisah, seluruh beban yang ada di pundak mereka selama ini.
...
..
.
.
BOOOOMMM!! ZZZZZZZZ!!!!
Bom yang direkatkan pada tubuh Caldha dan Yessika, juga bom yang disimpan didalam kotak meledak, disaat bersamaan Afifat menyalakan cincin CERN yang menghisap ledakan yang terjadi. Bom itupun meledakkan lantai dibawahnya hingga tembus ke ruangan tempat Hani, Tama, Ival dan Ainun.
Sayangnya, mereka juga terhisap.
Anwar dengan gesit menangkap tangan Tama yang menarik Hanifa, tangan perempuan itu juga menarik tangan Ainun, dan Ainun menarik tangan Ival, kelima orang itu kini berada dalam posisi hidup-mati karena harus menghadapi medan magnet yang luar biasa dari cincin CERN yang sedang berputar itu. Mereka harus bertahan, atau berakhir di dimensi lain.
"Kita harus segera kesana!" ucap kloning Ival dan Jiwo yang berlari meninggalkan ruangan itu terlebih dahulu, disusul kloning Hani, Ainun, Latriaz, dan Amel. Sementara kloning Afifat dan Anwar berada di ruangan itu bersama Aristo. Sisa kloning lainnya berlari meninggalkan mereka.
"Apa langkahmu selanjutnya ?" tanya Aristo dengan suara setengah parau, "Membawamu ke ciptaanmu sendiri." kloning Afifat menjawab, ia lantas menarik tubuh Aristo yang sudah setengah sadar ke jendela gedung, "Buka" perintahnya pada kloning Anwar yang segera membuka jendela itu.
Ribuan monster dibawah sedang kelaparan, memakani jasad satu persatu prajurit yang gugur di 'medan perang'. Kelima helikopter yang tadi menerjunkan mereka pun sudah tiada lagi, kembali ke pangkalan masing-masing. Kloning Afifat bergeming, tersenyum tipis. "Ini akan menjadi neraka yang cocok untukmu."
Tubuh Aristo pun dilempar kedalam kerumunan monster yang dengan segera memakaninya. Kedua kloning tadi tersenyum tipis, lalu menyusul yang lain.
"Dimana Ayah ?" tanya Hanifa, ia berhasil diselamatkan setelah acara tarik-menarik yang dibantu oleh para kloning. Beberapa saat, tidak ada yang menjawab sementara para kloning satu persatu memasuki cincin CERN, pulang ke dimensinya masing-masing.
"AYAH!!!" Hani berlari menuju cincin itu, gerbang ke dimensi lain.. "Hanifa!" teriakan yang lain tidak dapat menahannya, gerakan Tama pun kalah cepat, Hani berlari semakin cepat dan terhisap kedalam cincin itu..
ZAAAPP!! "Hanifa!"
Gelap.
Hani melihat sekelilingnya. Begitu gelap. Ia sadar bahwa kakinya tegak berdiri, jari-jari tangannya masih lengkap, pendengarannya masih bagus kala terdengar suara dengungan panjang..
Tiba-tiba terdengar suara deruman.
GRUUU!!!
Sesuatu melewati Hanifa. Tepat didepan matanya, 'sesuatu' itu tepat seperti kereta api dengan masa-masa kehidupan Hanifa sebagai gerbongnya. Ia terpaku, ini kereta api waktu, ini perjalanan hidupnya.
Ia melangkah dua-tiga kali ke kiri, itu momen kehidupannya dua-tiga hari lalu. Ia melihat dirinya sendiri yang sedang menangis di balkon hotel, yang sedang turun dari pesawat yang mendarat di Paris saat Ia kembali kesini lagi.
Hani berlari lebih kencang kearah kiri, menuju masa kehidupannya saat masih kecil, saat masih bersama kedua orang tuanya, saat ia bebas tertawa.
Setelah beberapa saat, Ia menemukannya. Itu dia. Sedang tertawa dibawah pelukan kedua orangtuanya yang juga tertawa, sementara temannya berada didepannya, tersenyum melihat kebahagiaan itu. Bulir air pun keluar dari mata Hani, ia segera melangkahkan kaki kedalam 'gerbong' waktu itu, berjalan.
"Hani? Apa yang kau lakukan disini Nak ?" Tepat saat ia akan memasuki gerbong itu, sebuah suara menghentikannya, Hani melirik. Itu ibunya. Mengenakan kerudung, tinggi. Ibunya tak berubah. "Ibu!!" Tangis Hani pecah, iapun segera berlari dan memeluk ibunya itu.
"Ini belum waktumu Nak.." ucap Ibunya sambil memeluknya juga, Hani menangis sejadi-jadinya.
"Ia benar, ini belum waktumu Nak. Maafkan Ayah." Sebuah suara lain muncul entah darimana, Ayahnya datang, Afifat, ia segera memeluk mereka berdua, memeluk keluarga kecil yang ditinggalkannya bertahun-tahun lalu, ia juga menangis, tersedu.
"Orangtuamu benar Hani, kamu harus kembali. Belum saatnya." Amel telah berada didepan mereka bertiga, tersenyum manis melihat haru biru yang sedang terjadi tepat didepan matanya. Peristiwa yang terpampang di 'gerbong' itu terjadi lagi, tapi kini Hanifa dan Ayahnya menangis.
Tama melirik kearah Kotak Pandora yang kuda-kudanya sedang berputar kencang, cemas, khawatir, mereka menunggu Hani untuk kembali.
Mereka melepas pelukan, Hani mengelap matanya. "Bagaimana kau bisa tidak menua, Anggun ?" tanya Afifat pada Ibunya Hani, suami pada istri. "Disini kita abadi, Afifat." jawab Anggun, ibu dari Hanifa, tersenyum karena akhirnya melihat suami tercintanya itu lagi.
"Maafkan aku.." ucap Afifat lagi, Anggun tersenyum, "Kau bisa meminta maaf nanti, masih banyak waktu untuk bercerita. Nah Hani, apa kau sudah melepas rindumu selama ini?" Hani menoleh, tak menjawab, masih tersedu-sedu sementara Amel mengusap bahunya.
"Tak apa Hani, Ibu dan Ayah meminta maaf jika ada segala kesalahan yang pernah kami lakukan. Kami harap kamu memaafkan Ibu dan Ayah." ucap Afifat, merunduk juga.
"Tak apa juga jika kamu tidak memaafkan kami Nak, kami memang belum jadi orang tua yang baik untukmu. Setidaknya kamu sudah tau sekarang, bahwa sejauh apapun perjalananmu nanti, sebesar apapun rintangan yang kamu lalui nanti, kamu selalu punya tempat untuk pulang." Anggun mengusap air mata di wajah Hani
"Kamu selalu punya tempat untuk istirahat, untuk rehat, untuk melepaskan tas penuh lelah dan gelisah. Kamu selalu bisa pulang ke Tuhanmu, bersujud, bercerita pada-Nya tentang apapun." Anggun kini tersenyum. "Maafkan ketidaksempurnaan kami Nak.." tutup Afifat lagi sambil menahan tangis, menunduk.
"Sekarang, kami harus pergi, Hani. Kau mau ikut ?" Amel berjalan dua langkah dari Hani, mengikuti Afifat dan Anggun. Hani tertawa kecil, mengusap matanya, "Terima kasih.. semua.." Ia menutup mata, hangat, dalam. Kereta waktu miliknya itupun berderu kencang, kembali berjalan melewati Hani dengan cepat.
...
..
.
.
Saat Ia membuka mata, ia sudah dikerubungi oleh teman-temannya.
"Syukurlah." Tama segera menghela nafas, "Dua hari kau tidur Han" ucap Ainun tipis tapi menunjukkan raut wajah lega, "Gue udah kepikiran buat nelpon pengurus kuburan setempat" kata Ival sambil tertawa, "Gila lo Pal ye" sahut Jiwo tertawa juga.
"Sisanya sudah diurus oleh kepolisian" ucap Tama sebelum Hani sempat bertanya. Televisi yang menggantung di sudut ruangan pun menunjukkan konferensi pers resmi dengan Adi, Anwar dan Aldo yang mewakili mereka, juga Farhan dari kepolisian.
Arum dan Salma memasuki ruangan sambil membawa dua kantong belanjaan besar, "Satu kantong berisi makanan dan keperluan sehari-hari, satu kantong lainnya berisi bunga ucapan selamat untuk kita." jelas Arum sambil meletakannya di lantai.
"Oh iya, selamat tahun baru Hani" kata Latriaz, "Oiya udah taun baru aja ya" sahut Salma, mereka tertawa, semua tertawa.
Merekapun bebas melepas seluruh lelah, seluruh gelisah, seluruh beban yang ada di pundak mereka selama ini.
.
.
---THE END---
After Pandora Alterate Ending :
BOOOOMMM!! ZZZZZZZZ!!!!
Bom yang direkatkan pada tubuh Caldha dan Yessika, juga bom yang disimpan didalam kotak meledak, disaat bersamaan Afifat menyalakan cincin CERN yang menghisap ledakan yang terjadi. Bom itupun meledakkan lantai dibawahnya hingga tembus ke ruangan tempat Hani, Tama, Ival dan Ainun.
Sayangnya, mereka juga terhisap.
Anwar dengan gesit menangkap tangan Tama yang menarik Hanifa, tangan perempuan itu juga menarik tangan Ainun, dan Ainun menarik tangan Ival, kelima orang itu kini berada dalam posisi hidup-mati karena harus menghadapi medan magnet yang luar biasa dari cincin CERN yang sedang berputar itu. Mereka harus bertahan, atau berakhir di dimensi lain.
Salma menarik sekuat tenaga, begitupula Stevian. Keringat bercucuran di badan mereka, semua menarik hingga kelelahan, hingga titik terkuat mereka..
"AAHHH!!" Tama menjadi yang pertama terhisap kedalam cincin CERN, diikuti Hani, Ainun dan Ival. Lalu semua dari mereka terhisap kedalam cincin itu, tidak menyisakan apa-apa saat para kloning memasuki ruangan.
...
...
..
..
.
.
"Ugh.." Arum membuka matanya perlahan, mencoba mengembalikan kesadaran utuh jiwanya. Hening. Terlalu hening, mungkin. Ia mendengar detak jantungnya yang diikuti suara dengung panjang. "Apa yang.. Salma !?" Gadis itu lalu bangkit dan meraih tubuh Salma yang tergeletak begitu saja.
"Ma !! Salma !!" Teriaknya mencoba membangunkan sahabatnya tersebut. Arum lalu melihat keadaan sekitar, ia dan Salma berada didalam sebuah ruangan dengan ukuran kira-kira 3x3 meter. Salah satu sisi ruangan itu gelap, terlampau gelap hingga mereka tidak tahu ada apa disana, sementara 3 sisi lainnya berwarna putih keemasan. Matanya lalu berkunang-kunang, ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi..
.
.
-- THE END --
No comments:
Post a Comment