Sunday, November 20, 2016

Sepotong Kenangan dalam Hujan.

Sepotong Kenangan dalam Hujan.

Sebuah pesawat lepas landas dari lintasannya, sayap-sayap pesawat itu membelah langit. Sang burung besi gagah menembus awan dan pergi ke tempat tujuan.

Tidak. Aku sedang tidak dalam pesawat itu. Aku sedang duduk, membaca di bangku panjang yang tersedia di ruang tunggu, menghadap kearah dinding kaca dua arah sehingga aku bisa melihat pesawat yang berlalu lalang di lintasan bandara. Dengan segelas coklat panas, juga sebuah buku di tangan.

Namaku Dimitri Icarus Erymanthus. Icarus dan Erymanthus diambil dari mitologi Yunani kuno. Icarus, adalah seorang manusia bersayap yang terbang tinggi, sementara Erymanthus adalah salah satu nama kota di bagian timur semenanjung Peloponnesia. Aku seorang freelancer, penulis, juga pencerita ulung di waktu senggang.

“Maaf!” Tiba-tiba seseorang yang duduk berjarak dua kursi dari tempat dudukku menepuk bahuku, meminta maaf. “Aku menumpahkan coklatmu” ucapnya. Benar saja. Lantai dibawah tempat duduk di sebelahku basah oleh coklat yang tak sengaja dijatuhkan oleh orang itu, atau lebih tepatnya, perempuan itu.

“Tak apa. Penerbanganku sebentar lagi.” Balasku menenangkan. Ia tersenyum, sekali lagi meminta maaf. Akupun tersenyum, sekali lagi mengatakan tak apa, juga. Perempuan itu memiliki panjang rambut panjang, berkacamata, juga hidung yang mancung. Tingginya aku perkirakan 170an. Ia mengenakan sweater berwarna biru. Dan senyumnya, layaknya rupa-rupa warna dalam sebuah kue ulang tahun. Manis.

Belasan menit kemudian, sebuah panggilan penumpang atas pesawatku pun terdengar. Aku melangkah, gontai, berpikir bahwa tak akan berjumpa lagi dengannya. Tapi siapa peduli ? Ia hanya seorang perempuan yang mudah dilupakan waktu. Begitu sampai di kota tujuan, paling-paling sudah lupa lagi, pikirku.

Tapi semesta punya kebetulan yang paling kebetulan.

Kala pesawat itu terbang, perempuan itu duduk disebelahku. Tiket kami bersebelahan. Kini ia melepas kacamatanya, menggerai rambut panjangnya itu, sesekali menguap ingin tidur. Kami sudah berbasa-basi perihal segelas coklat yang tumpah itu.

“Ah iya, aku tak tahu namamu.” ucapnya, “Kita belum kenalan, kan?” lanjutnya sambil menjulurkan tangan, aku menerima salamnya. “Anggun. Annisa Anggun Salsabila.” Ia memperkenalkan namanya, “Dimitri. Dimitri Icarus Erymanthus” balasku memperkenalkan diri.

“Namamu bagus.” ucapnya, “Icarus dan Erymanthus berasal dari mitologi Yunani kuno, katakan pujian itu pada kedua orang tuaku” balasku bercanda, “Aku tahu soal mitologi Icarus, tapi kalau Erymanthus..” Anggun menggeleng, “Panjang ceritanya. Kau akan bosan.” Aku meledek, perempuan itu cemberut.

Penerbangan itu kulewati dengan tidur, membaca, tidur. Sementara perempuan di sebelahku itu menghabiskan sisa perjalanan dengan memejamkan matanya, tidur. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut, satu-dua gurauan saat pesawat akhirnya mendarat. Rodanya lalu bergulir sejauh ratusan meter sebelum pesawat benar-benar berhenti total.

Aku melambai, mengucapkan salam perpisahan berupa sampai jumpa, walau kita sama-sama tahu, setelah ini, tak akan ada lagi “sampai jumpa” untuk kesekian kalinya.

Aku lantas menaiki sebuah taxi¸ menuju apartemen tempat tinggalku di pusat kotaku yang kecil. Tidak ada istilah ‘malam’ di kota ini, penduduknya tak pernah tidur, ditelan kesenangan tanpa henti. Tapi bagiku, kota ini penuh kenangan, juga rasa untuk kembali pulang.

Langkah pertamaku sekembalinya di kota ini diterangi cahaya bulan dan tetesan air hujan sepanjang jalan. Taksi yang kutumpangi melewati sebuah cafe yang masih akan buka untuk beberapa jam lagi. Cafe itu.
-----//////-----

Saat itu adalah akhir tahun, hujan deras sedang mengguyur kota, deras. Aku sedang bersantai sambil menulis, duduk di salah satu meja di sebuah Cafe di pusat kota dengan segelas coklat panas pesananku.

Saat itu adalah pertama kali aku mengenalnya. Gadis bernama Minerva Aulia. Gadis yang akan mengubah sedikit banyak hidupku. Memberi detak pada jalannya yang statis, memberi warna pada dunianya yang hitam putih. Kami bertemu di sebuah pertemuan rutinan penulis kota tiap minggu, bengkel istilahnya. Ia tidak menulis, dan memang bukan penulis. Dia menyukai matematika dan angka-angka. Tapi dia suka melihat seseorang menulis, lalu kagum pada prosa-prosa indahnya.

“Dimitri Icarus Erymanthus. Panggil saja Dimitri” ucapku memperkenalkan diri, “Minerva Aulia. Panggil Eva.” balas perempuan itu. Kuperkirakan tingginya 160cm-an, sedikit lebih pendek dariku. Kuku-kukunya dipotong rapih, ucapan dan tawanya halus, rambutnya panjang, mengenakan jam tangan di tangan kirinya. Aku bisa menyimpulkan sifatnya, kualitas wahid. Ia seorang penyihir, dan kedua bola matanya yang bulat itu telah menyihirku.
-----//////-----


Dan kini, aku kembali ke kota ini. Ada setangkup haru biru dalam rindu yang dibalut dalam rintik air hujan dan aspal yang sedang bertemu. Kota ini masih seperti dulu, yang tiap sudutnya menyapaku tanpa keliru. Izinkan aku untuk nostalgia sejenak, kotaku. Kala aku dan dia sering meluangkan waktu, melupakan pilu.

Warna seperti menghilang di kota ini, hitam putih dan bayangan dari masa lalu telah membisu, diam dan tak berkata sepatah katapun. Udarapun berubah mengiringi setiap langkah kaki yang kupijakkan, seperti sebuah kisah masa lalu yang kini telah kelu.
-----//////-----

"Hahaha. Aku sudah tahu." Ucap Minerva sambil tertawa kecil. "Baguslah. Jadi aku tak perlu menjelaskannya dua kali kan." balasku sambil tertawa kecil pula. Kami berdua lalu terdiam sejenak. "Jadi, apa kamu mau, Minerva Aulia ?"

"Mau..." jawabnya malu-malu. Senyum lebar mengembang di wajahku. Itu jawaban yang kutunggu selama ini. Itu. Aku mau. “Ya, aku mau, Dimitri.” Lanjutnya. Dan seluruh debar jantung itu meledak saat aku mendengar dua kata itu. Aku. Mau.

"Terima kasih." Ucapku pendek. Tak ada lagi kata. Senyumku kini menipis. "Jadi, kamu mau naik wahana apa lagi ?" Tanyaku sambil melihat sekeliling. "Itu ajaaa" jawab Minera sambil menunjuk sebuah wahana berbentuk perahu yang berayun tinggi ke langit. Aku menelan ludah kecil. Bukan. Bukan karena wahananya. Tetapi antriannya yang luar biasa panjang.

Aku sudah menyusun waktu lama untuk ini. Rencana untuk membawanya ke taman bermain Ibukota. Rencana itu disusun seolah ada beberapa teman lain yang ikut. 

Sebuah multichat lantas dibuat dari multichat lainnya. Menyusun rencana dalam rencana. Memperkirakan segala kemungkinan yang dapat terjadi, menyiapkan segala hal yang ada dalam kategori "kemungkinan terburuk"

Tapi akhirnya hari itu datang. Dalam percakapan itu, teman-temanku beradegan seolah tak bisa ikut dalam rencana berpergian ke taman bermain Ibukota. Tentu saja itu adalah bagian dari rencana di percakapan lainnya. Dua orang lainnya mengatakan mundur saat gadis yang kuimpikan itu sudah dalam perjalanan. Tidak ada arah pulang. Hanya dua. Aku, dan dia.

"Heii" ucap gadis itu mengagetkan, "Kamu kenapa ? Kok bengong sih haha" "Aku lagi bersyukur. "Atas apa ?" "Atas takdir langit yang ternyata menyatukan kita. Hehe" "Haha kamu mah. Ayo kita ke wahana ituu" Minerva tersipu.

"Ladies first." ucapku sambil melambaikan tangan. Ia lantas meraih tangan kananku. Memegangku erat. “Kau tahu apa yang lebih kuinginkan ?” Aku bertanya saat antrian panjang itu bergerak sedikit demi sedikit. “Apa ?” Ia menoleh. “Kamu.” jawabku sambil menatap kedua matanya yang bulat itu.

“Kamu sudah mendapatkannya.” balasnya tersenyum kecil, percayalah, senyumannya lebih manis daripada apapun. Kamu harus membuktikan senyum itu dengan melihatnya sendiri. “Baiklah, bagaimana kalau bahagia bersamamu ?” tanyaku lagi. Ia tersenyum seraya antrian bergerak dua langkah.

“Ayolah, jangan tersenyum terus, Minerva.” ucapku kemudian, “Memangnya kenapa ?” kini ia membalasku dengan senyuman, seolah mengejek kalimatku barusan. “Senyumanmu itu manis. Terlampau manis. Bahkan jika aku sedang memakan lolipop dan melihat senyumanmu, setangkai permen itu menjadi hampa. Tak berasa. Seluruh manisnya sudah terdapat dalam senyummu itu.” kataku. Wajah Minerva memerah. Antrian bergerak dua langkah lagi.
-----//////-----

Taxi yang kutumpangi berhenti tepat di lobby apartemenku. Aku memberikan sejumlah uang, membuka pintu, lantas menginjakkan kaki di lantai perak itu sementara mobil berwarna kuning yang mengantarku itu beranjak pergi.

Dulu, tidak ada apartemen dan air mancurnya yang mewah ini. Boro-boro air mancur, hanya ada gorong-gorong yang perbaikannya memakan waktu lama. Menghabiskan tahunan untuk menyelesaikannya.

Aku lantas berjalan kearah toko buku yang jaraknya tak seberapa dari apartemenku. Tidak. Aku tidak mengantuk sama sekali.  Hujan sempat mereda. Lalu kembali deras, meredup, dan deras sekali lagi. Ini derasnya yang kedua.

Di persimpangan, langkahku terhenti. Ramai warung kaki lima di trotoar jalan protokol kotaku yang menjajakan sajiannya, makanan berupa-rupa rasa. Sementara musisi jalanan mulai beraksi, beriringan dengan laraku kehilanganmu. Laraku yang berteriak, merintih kesakitan dikoyak sepi, tapi tak ada yang mendengar. Mereka ditelan oleh kencangnya deru kota kecil ini.

Beberapa menit kemudian. Aku sudah berada di lantai teratas toko buku itu. Lantai 3. Hujan mengingatkanku pada sesuatu.
-----//////-----


Malam itu dingin. Hujan deras turun. Petir bergantian menyambar disana-sini. Awan gelap menyala-nyala. Ini hujan badai. Jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil yang bergerak lambat. Para pengendara motor yang merasakan kedinginan disekujur tubuhnya. Mengisi celah-celah sempit antar mobil. Mesin-mesin yang panas. Wajah-wajah yang kelelahan.

Aku sedang memacu motor. Menuju salah satu restoran terkemuka di pusat kota.

Minerva bilang ini penting. Lantas aku bergegas sebisa mungkin. Menutup laptop. Membiarkan salah satu artikel tulisanku itu terputus di paragraf pentingnya. Meraih naskah cerita dan kunci motor. Lalu terburu-buru menuruni tangga. Tidak ada waktu.

Segala yang bisa kudengarkan sepanjang perjalanan hanyalah detak jam yang seolah berbunyi kencang. Persetan dengan suara klakson, derum kendaraan lain, atau bahkan umpatan mereka yang kendaraannya kulewati tanpa permisi.

Dan aku sampai. 15 menit terlambat. Hanya dua kali aku terlambat dalam tiap-tiap janjiku bertemu dengannya. Yang pertama adalah karena paku-paku yang dengan kurang ajarnya menembus ban motorku, lantas menggembosi bagian dalamnya dan memaksaku menunggu 30 menit untuk membeli ban baru di bengkel dekat situ.

Yang kedua adalah ini. Hujan badai. Petir menyambar. Kendaraan tumpah ruah di jalanan protokol. Aku tak pintar berbohong. Sama sekali tidak. Maka tidak akan kukarang jawaban apapun jika dia akan bertanya, "Kenapa terlambat ?"

Kulepaskan helm. Merapihkan pakaian yang kusut, juga rambut yang acak-acakan. Lalu kubawa tas ini masuk. Naskah ceritaku. Minerva yang memintanya. Genre romance dengan paragraf Justify dan tepat 700 kata tapi harus menarik. Apapun harus kulakukan untukmu, Minerva.
Saat itu, hanya itulah yang ada dipikiranku.

Langkahku terhenti di penghujung jalan. Di tepi pintu yang disediakan restoran sebagai pembatas antara bagian belakangnya dan bagian tengah. Gadis itu sedang duduk. Tertawa. Bercanda. Tapi seseorang didepannya. Itu siapa ?

Duduklah dulu. Ucapnya. Tapi ini semua jauh dari ekspektasiku. Laki-laki lain -yang entah namanya siapa- itu berbicara perihal jenjang yang lebih serius. Perihal orang tua. Perihal keterpaksaan. Dan semua yang gadis itu lakukan hanya meminta maaf dengan ekspresi menjijikkan itu.

Kuletakkan naskah cerita romance, lalu berkata, "Semoga naskah ini menjadi kisah cerita kalian berdua." dengan tatapan tajam. "Aku belum menulis akhirnya. Kalau tidak salah keduanya menikah-" "Benarkah ?" Minerva memutus ucapanku.

"Iya. Tapi rumah mereka mengalami kebakaran. Gas meledak dan sebagainya. Berakhir buruk tanpa protagonis juga antagonis. Hanya ada dua orang disana." Tutupku tak berbicara banyak.

"Apa kau tidak akan benar-benar menahanku ?" Ucap Minerva. Tenggorokanku tertahan tak menjawab untuk beberapa saat. Ayolah. Dimana sisi rasionalku selama ini. Dimana letak kecerdasan dan kehebatanmu dalam situasi yang membutuhkan jawaban spontan seperti ini ?

Pikiran dan hatiku benar-benar kacau. Layaknya dinding yang dipenuhi coretan-coretan tanpa arti yang jelas. Vandalisme ? Bukan. Ini sampah. Memenuhi lantas menyesakkan sekujur tubuhku.

Aku belum juga menjawab tapi tak juga diam, lantas kupasang wajah berpikir dengan mulut setengah terbuka sambil menunjukkan gesture yang seolah berkata, "Tunggu sebentar." Baiklah, aku harus bijaksana.

"Tidak. Tidak ada yang akan menahanmu. Aku tidak bisa menahanmu. Juga cuaca buruk seperti ini. Aku tak akan memintamu bertahan. Berulang kali berlutut. Bahkan untuk bertanyapun aku enggan. Tuhan punya hadiah untukku, juga untuk kalian. Takdir langit tak pernah berbohong. Semesta punya jawaban atas segala pertanyaan manusia." Kataku. Oh Tuhan, apa yang baru saja kuucapkan.

Lantas aku berdiri, membiarkan tubuh serta jiwa raga ini diambil alih oleh sepotong bagian otakku yang sedang berpuisi. Berbalik badan, mengambil arah pulang. Tapi tidak serta merta berjalan pulang.

"Kamu adalah sajak terputus-asa yang terpotong malam ini. Tak akan ada lagi hari esok dan kesempatan kedua. Puisi tersedih yang pernah kutulis. Kopi terpahit juga manis yang pernah kutenggak dalam menjalani kehidupan. Selembar foto yang mesinnya rusak sebelum dicetak. Semoga memoriku lantas tak memanggil namamu dalam malam-malam panjang dan sepi lainnya. Namamu kini sudah tenggelam dalam lautan emosiku, juga kenanganku. Tinggalkan dan jangan pernah kembali, karena kau tidak akan menemukan diriku yang sama lagi. Selamat tinggal." ucapku.

Persetan. Aku tak peduli. Bulir-bulir air satu demi satu berkeluaran dari mataku. Aku berjalan, menuju pintu keluar. Langkahku yang biasanya berwibawa dan tegap kini tak lagi sama. Aku terburu-buru. Tapi tetap dengan sigap menghindar seorang pelayan yang sedang membawa makanan dengan kedua tangannya.

Kunaiki motor. Dan bergegas pulang. Kupacu kendaraan roda dua itu hingga kecepatan maksimalnya. Mataku gelap. Tidak ada kedamaian di hatiku. Hanya ada kerusuhan, kejahatan, dan semua hal buruk lainnya.

Aku membanting tubuhku ke tempat tidur sesampainya di flat apartemen. Melepaskan tas yang berat dari pundak yang penuh lelah. Tempat tidurku bergetar hebat kala tubuhku terhempas keatasnya.

Tapi aku tak bisa berhenti disana. Aku mencoba menenangkan diri. Menatap ke langit-langit kamar. Lalu mencoba mengenyahkan semua puisi indah yang terbuat dari kamu.

Laptop kubuka. Lantas bersuara, "Welcome Home!". Sistemnya sudah kuatur sedemikian rupa. Halaman itu masih terbuka. Artikel yang masih pada paragraf vitalnya. Artikel yang sedang dalam paragraf yang mencengkram pembaca.

Aku menghapus keseluruhan paragraf itu. Tak memaksakan diri untuk menulis. Lalu menutup lembar kerjanya. Menulis sajak-sajak frustasi dan kesedihan yang mendalam. Mungkin memang benar kata orang bijak. Kesedihan di tangan yang salah akan berakibat bunuh diri, di tangan yang benar akan menjadi puisi.

Sementara ditanganku menjadi puisi yang membacanya saja seolah ingin bunuh diri.

Aku membiarkan diriku untuk bersedih sendu. Tak bisa melawan. Lebih baik dijadikan tulisan. Berlembar-lembar halaman itu menjadi bukti atas kesedihanku. Aku tidak punya alasan apapun. Juga tak menampik fakta bahwa ini jauh dari ekspektasi. Mengutuk takdir langit yang sedemikian kejam padaku.

Tapi aku berjanji pada semesta. Tidak ada lagi nama “Minerva” dalam tulisan-tulisanku sejak hari ini. Tidak ada lagi dia dalam sajak yang kubuat dimulai dari malam ini. Tidak ada lagi dirinya itu dalam pikiran kosong di langit-langit kamarku sejak hujan berhenti malam ini. Semua itu selesai. Hanya titik. Tanpa koma yang berkepanjangan.
-----//////-----
Sebab itulah banyak orang bilang, “Jangan pernah jatuh cinta saat hujan.” Karena ketika besok saat hatimu akhirnya patah, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu. Saat orang lain bahagia menatap hujan, kamu justru nelangsa sedih melihat keluar jendela.

Lalu, matanya -dan senyumnya- adalah keindahan yang kubenci, sebab disanalah dia menaruh banyak tanda tanya yang aku hanya bisa menerka-nerka jawabnya, tanpa ada sebuah kepastian dari pertanyaannya. Bahkan mungkin, langitpun tak tahu jawabannya.

Diantara sunyi, kupendam rasa benci untuknya, satu-satunya milikku yang tak pernah aku cari dan tak kuinginkan, meski logika berkata sebaliknya. Ternyata, kita tidak sekuat hujan yang turun malam ini, aku masih disini, mengenang sesuatu yang telah pergi, mengabdi pada sesuatu yang pernah kuanggap abadi.

"Sampai jumpa". Ucapku padanya malam itu, meski kita sama-sama tahu, setelah ini semua berakhir, tidak ada yang kembali, tak ada yang terulang. Aku dan bayanganku tidak bertengkar tentang siapa yang harus berjalan didepan. Tapi dipunggungnya, sukmaku adalah pena yang tak hentinya menuliskan bait-bait rindu penuh doa.

Ah, andai ia mendengar bisikanku. Bisikan dari suara hati yang bahkan telah mengering. Tanpa ada yang peduli, tanpa ada yang tahu keberadaannya. Hatiku telah mati disini, terdiam, tak mengerti akan apa yang telah terjadi.

Kota ini adalah saksi bisu dari sebuah cerita yang pernah kutumpahkan disini, sebuah harapan dan impian yang aku pernah jadikan sebuah monumen untuk kugapai dimasa depan. Tempat dimana aku mulai bermimpi, mencurahkan sejuta harapan, berangan-angan dan menjadi pemimpi yang berdamai dengan segala andai.

Sayangnya, disini pula tempat dimana mereka semua berakhir. Tempat dimana aku merelakkan semua hancur, karenanya. Tempat aku mencoba mengubur semua kenangan dalam bentuk apapun yang membawaku kembali ke kota ini.

Perihal cuaca yang tidak bersahabat, suaranya adalah rintik-rintik hujan yang panjang dan bertahan sepanjang musim ingatanku. Juga langkahmu yang telah pergi, mereka masih menari-nari di ingatanku.

Kuakui, aku mencarimu, ke tempat-tempat yang kupastikan kau tidak akan lagi ada disana untuk menungguku. Sebuah tempat dimana aku setuju untuk menguburkan masa laluku, bersamamu. Disana, aku pernah memelukmu, menahanmu agar tak pergi dan bertahan sejenak, menabrak semua yang menghalangiku dari hal yang kubenci, yaitu kepergianmu.

Tapi aku tak bisa terus seperti ini. Itulah alasan kenapa aku berada di kota ini lagi, kembali. Melupakan semua yang pernah melukaiku di kota ini. Masih bertahan sisa mimpi-mimpi ku di kota ini, tak usang, tak dimakan waktu.

Aku percaya pada prinsip keseimbangan semesta. Bahwa jika ada yang pergi, pasti akan ada yang datang. Semua yang bersedih, pasti akan tertawa kemudian. 

Dan semua yang menangis...

 “Anggun ?” tanyaku pada seorang gadis yang sedang membaca buku yang sampul plastiknya sudah terbuka itu, “Dimitri ?” Ia menoleh, tersenyum. Akupun tersenyum.

.. Pasti akan tersenyum lagi.

The End.

Penulis adalah seorang pelajar dari SMA Yaspen Tugu Ibu 1 Depok. Bernama lengkap Muhammad Kanzia Hibaturrahman, dilahirkan di Jakarta pada 3 Juli 2001. Cerpen ini dibuat dari tanggal 13 November hingga 20 November 2016.

No comments:

Post a Comment