Sepotong Kenangan dalam Hujan.
Sebuah
pesawat lepas landas dari lintasannya, sayap-sayap pesawat itu membelah langit.
Sang burung besi gagah menembus awan dan pergi ke tempat tujuan.
Tidak.
Aku sedang tidak dalam pesawat itu. Aku sedang duduk, membaca di bangku panjang
yang tersedia di ruang tunggu, menghadap kearah dinding kaca dua arah sehingga
aku bisa melihat pesawat yang berlalu lalang di lintasan bandara. Dengan
segelas coklat panas, juga sebuah buku di tangan.
Namaku
Dimitri Icarus Erymanthus. Icarus dan Erymanthus diambil dari mitologi Yunani
kuno. Icarus, adalah seorang manusia bersayap yang terbang tinggi, sementara
Erymanthus adalah salah satu nama kota di bagian timur semenanjung
Peloponnesia. Aku seorang freelancer,
penulis, juga pencerita ulung di waktu senggang.
“Maaf!”
Tiba-tiba seseorang yang duduk berjarak dua kursi dari tempat dudukku menepuk
bahuku, meminta maaf. “Aku menumpahkan coklatmu” ucapnya. Benar saja. Lantai
dibawah tempat duduk di sebelahku basah oleh coklat yang tak sengaja dijatuhkan
oleh orang itu, atau lebih tepatnya, perempuan itu.
“Tak
apa. Penerbanganku sebentar lagi.” Balasku menenangkan. Ia tersenyum, sekali
lagi meminta maaf. Akupun tersenyum, sekali lagi mengatakan tak apa, juga.
Perempuan itu memiliki panjang rambut panjang, berkacamata, juga hidung yang
mancung. Tingginya aku perkirakan 170an. Ia mengenakan sweater berwarna biru. Dan senyumnya, layaknya rupa-rupa warna
dalam sebuah kue ulang tahun. Manis.
Belasan
menit kemudian, sebuah panggilan penumpang atas pesawatku pun terdengar. Aku
melangkah, gontai, berpikir bahwa tak akan berjumpa lagi dengannya. Tapi siapa
peduli ? Ia hanya seorang perempuan yang mudah dilupakan waktu. Begitu sampai
di kota tujuan, paling-paling sudah lupa lagi, pikirku.
Tapi
semesta punya kebetulan yang paling kebetulan.
Kala
pesawat itu terbang, perempuan itu duduk disebelahku. Tiket kami bersebelahan.
Kini ia melepas kacamatanya, menggerai rambut panjangnya itu, sesekali menguap
ingin tidur. Kami sudah berbasa-basi perihal segelas coklat yang tumpah itu.
“Ah
iya, aku tak tahu namamu.” ucapnya, “Kita belum kenalan, kan?” lanjutnya sambil
menjulurkan tangan, aku menerima salamnya. “Anggun. Annisa Anggun Salsabila.”
Ia memperkenalkan namanya, “Dimitri. Dimitri Icarus Erymanthus” balasku
memperkenalkan diri.
“Namamu
bagus.” ucapnya, “Icarus dan Erymanthus berasal dari mitologi Yunani
kuno, katakan pujian itu pada kedua orang tuaku” balasku bercanda, “Aku tahu
soal mitologi Icarus, tapi kalau Erymanthus..” Anggun menggeleng,
“Panjang ceritanya. Kau akan bosan.” Aku meledek, perempuan itu cemberut.
Penerbangan
itu kulewati dengan tidur, membaca, tidur. Sementara perempuan di sebelahku itu
menghabiskan sisa perjalanan dengan memejamkan matanya, tidur. Tidak ada
pembicaraan lebih lanjut, satu-dua gurauan saat pesawat akhirnya mendarat.
Rodanya lalu bergulir sejauh ratusan meter sebelum pesawat benar-benar berhenti
total.
Aku
melambai, mengucapkan salam perpisahan berupa sampai jumpa, walau kita
sama-sama tahu, setelah ini, tak akan ada lagi “sampai jumpa” untuk kesekian
kalinya.
Aku
lantas menaiki sebuah taxi¸ menuju
apartemen tempat tinggalku di pusat kotaku yang kecil. Tidak ada istilah
‘malam’ di kota ini, penduduknya tak pernah tidur, ditelan kesenangan tanpa
henti. Tapi bagiku, kota ini penuh kenangan, juga rasa untuk kembali pulang.
Langkah
pertamaku sekembalinya di kota ini diterangi cahaya bulan dan tetesan air hujan
sepanjang jalan. Taksi yang kutumpangi melewati sebuah cafe yang masih akan buka untuk beberapa jam lagi. Cafe itu.
-----//////-----
Saat
itu adalah pertama kali aku mengenalnya. Gadis bernama Minerva Aulia. Gadis
yang akan mengubah sedikit banyak hidupku. Memberi detak pada jalannya yang statis, memberi warna pada dunianya yang
hitam putih. Kami bertemu di sebuah pertemuan rutinan penulis kota tiap minggu,
bengkel istilahnya. Ia tidak menulis,
dan memang bukan penulis. Dia menyukai matematika dan angka-angka. Tapi dia
suka melihat seseorang menulis, lalu kagum pada prosa-prosa indahnya.
“Dimitri
Icarus Erymanthus. Panggil saja Dimitri” ucapku memperkenalkan diri, “Minerva
Aulia. Panggil Eva.” balas perempuan itu. Kuperkirakan tingginya 160cm-an,
sedikit lebih pendek dariku. Kuku-kukunya dipotong rapih, ucapan dan tawanya
halus, rambutnya panjang, mengenakan jam tangan di tangan kirinya. Aku bisa
menyimpulkan sifatnya, kualitas wahid.
Ia seorang penyihir, dan kedua bola matanya yang bulat itu telah menyihirku.
-----//////-----
Dan
kini, aku kembali ke kota ini. Ada setangkup haru biru dalam rindu yang dibalut
dalam rintik air hujan dan aspal yang sedang bertemu. Kota ini masih seperti
dulu, yang tiap sudutnya menyapaku tanpa keliru. Izinkan aku untuk nostalgia
sejenak, kotaku. Kala aku dan dia sering meluangkan waktu, melupakan pilu.
Warna
seperti menghilang di kota ini, hitam putih dan bayangan dari masa lalu telah
membisu, diam dan tak berkata sepatah katapun. Udarapun berubah mengiringi
setiap langkah kaki yang kupijakkan, seperti sebuah kisah masa lalu yang kini
telah kelu.
-----//////-----
"Hahaha.
Aku sudah tahu." Ucap Minerva sambil tertawa kecil. "Baguslah. Jadi
aku tak perlu menjelaskannya dua kali kan." balasku sambil tertawa kecil
pula. Kami berdua lalu terdiam sejenak. "Jadi, apa kamu mau, Minerva Aulia
?"
"Mau..."
jawabnya malu-malu. Senyum lebar mengembang di wajahku. Itu jawaban yang
kutunggu selama ini. Itu. Aku mau. “Ya, aku mau, Dimitri.” Lanjutnya. Dan
seluruh debar jantung itu meledak saat aku mendengar dua kata itu. Aku. Mau.
"Terima
kasih." Ucapku pendek. Tak ada lagi kata. Senyumku kini menipis.
"Jadi, kamu mau naik wahana apa lagi ?" Tanyaku sambil melihat
sekeliling. "Itu ajaaa" jawab Minera sambil menunjuk sebuah wahana
berbentuk perahu yang berayun tinggi ke langit. Aku menelan ludah kecil. Bukan.
Bukan karena wahananya. Tetapi antriannya yang luar biasa panjang.
Aku
sudah menyusun waktu lama untuk ini. Rencana untuk membawanya ke taman bermain
Ibukota. Rencana itu disusun seolah ada beberapa teman lain yang ikut.
Sebuah
multichat lantas dibuat dari multichat lainnya. Menyusun rencana
dalam rencana. Memperkirakan segala kemungkinan yang dapat terjadi, menyiapkan
segala hal yang ada dalam kategori "kemungkinan terburuk"
Tapi
akhirnya hari itu datang. Dalam percakapan itu, teman-temanku beradegan seolah
tak bisa ikut dalam rencana berpergian ke taman bermain Ibukota. Tentu saja itu
adalah bagian dari rencana di percakapan lainnya. Dua orang lainnya mengatakan
mundur saat gadis yang kuimpikan itu sudah dalam perjalanan. Tidak ada arah pulang.
Hanya dua. Aku, dan dia.
"Heii"
ucap gadis itu mengagetkan, "Kamu kenapa ? Kok bengong sih haha"
"Aku lagi bersyukur. "Atas apa ?" "Atas takdir langit yang
ternyata menyatukan kita. Hehe" "Haha kamu mah. Ayo kita ke wahana
ituu" Minerva tersipu.
"Ladies
first." ucapku sambil melambaikan tangan. Ia lantas meraih tangan kananku.
Memegangku erat. “Kau tahu apa yang lebih kuinginkan ?” Aku bertanya saat
antrian panjang itu bergerak sedikit demi sedikit. “Apa ?” Ia menoleh. “Kamu.”
jawabku sambil menatap kedua matanya yang bulat itu.
“Kamu
sudah mendapatkannya.” balasnya tersenyum kecil, percayalah, senyumannya lebih
manis daripada apapun. Kamu harus membuktikan senyum itu dengan melihatnya
sendiri. “Baiklah, bagaimana kalau bahagia bersamamu ?” tanyaku lagi. Ia
tersenyum seraya antrian bergerak dua langkah.
“Ayolah,
jangan tersenyum terus, Minerva.” ucapku kemudian, “Memangnya kenapa ?” kini ia
membalasku dengan senyuman, seolah mengejek kalimatku barusan. “Senyumanmu itu
manis. Terlampau manis. Bahkan jika aku sedang memakan lolipop dan melihat
senyumanmu, setangkai permen itu menjadi hampa. Tak berasa. Seluruh manisnya
sudah terdapat dalam senyummu itu.” kataku. Wajah Minerva memerah. Antrian
bergerak dua langkah lagi.
-----//////-----
Taxi yang
kutumpangi berhenti tepat di lobby
apartemenku. Aku memberikan sejumlah uang, membuka pintu, lantas menginjakkan
kaki di lantai perak itu sementara mobil berwarna kuning yang mengantarku itu
beranjak pergi.
Dulu,
tidak ada apartemen dan air mancurnya yang mewah ini. Boro-boro air mancur,
hanya ada gorong-gorong yang perbaikannya memakan waktu lama. Menghabiskan
tahunan untuk menyelesaikannya.
Aku
lantas berjalan kearah toko buku yang jaraknya tak seberapa dari apartemenku.
Tidak. Aku tidak mengantuk sama sekali. Hujan
sempat mereda. Lalu kembali deras, meredup, dan deras sekali lagi. Ini derasnya
yang kedua.
Di
persimpangan, langkahku terhenti. Ramai warung kaki lima di trotoar jalan
protokol kotaku yang menjajakan sajiannya, makanan berupa-rupa rasa. Sementara
musisi jalanan mulai beraksi, beriringan dengan laraku kehilanganmu. Laraku
yang berteriak, merintih kesakitan dikoyak sepi, tapi tak ada yang mendengar.
Mereka ditelan oleh kencangnya deru kota kecil ini.
Beberapa
menit kemudian. Aku sudah berada di lantai teratas toko buku itu. Lantai 3.
Hujan mengingatkanku pada sesuatu.
-----//////-----
Malam
itu dingin. Hujan deras turun. Petir bergantian menyambar disana-sini. Awan
gelap menyala-nyala. Ini hujan badai. Jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil yang
bergerak lambat. Para pengendara motor yang merasakan kedinginan disekujur
tubuhnya. Mengisi celah-celah sempit antar mobil. Mesin-mesin yang panas.
Wajah-wajah yang kelelahan.
Aku
sedang memacu motor. Menuju salah satu restoran terkemuka di pusat kota.
Minerva
bilang ini penting. Lantas aku bergegas sebisa mungkin. Menutup laptop.
Membiarkan salah satu artikel tulisanku itu terputus di paragraf pentingnya.
Meraih naskah cerita dan kunci motor. Lalu terburu-buru menuruni tangga. Tidak
ada waktu.
Segala
yang bisa kudengarkan sepanjang perjalanan hanyalah detak jam yang seolah
berbunyi kencang. Persetan dengan suara klakson, derum kendaraan lain, atau
bahkan umpatan mereka yang kendaraannya kulewati tanpa permisi.
Dan
aku sampai. 15 menit terlambat. Hanya dua kali aku terlambat dalam tiap-tiap
janjiku bertemu dengannya. Yang pertama adalah karena paku-paku yang dengan
kurang ajarnya menembus ban motorku, lantas menggembosi bagian dalamnya dan
memaksaku menunggu 30 menit untuk membeli ban baru di bengkel dekat situ.
Yang
kedua adalah ini. Hujan badai. Petir menyambar. Kendaraan tumpah ruah di
jalanan protokol. Aku tak pintar berbohong. Sama sekali tidak. Maka tidak akan kukarang
jawaban apapun jika dia akan bertanya, "Kenapa terlambat ?"
Kulepaskan
helm. Merapihkan pakaian yang kusut, juga rambut yang acak-acakan. Lalu kubawa
tas ini masuk. Naskah ceritaku. Minerva yang memintanya. Genre romance dengan
paragraf Justify dan tepat 700 kata tapi harus menarik. Apapun harus kulakukan
untukmu, Minerva.
Saat
itu, hanya itulah yang ada dipikiranku.
Langkahku
terhenti di penghujung jalan. Di tepi pintu yang disediakan restoran sebagai
pembatas antara bagian belakangnya dan bagian tengah. Gadis itu sedang duduk.
Tertawa. Bercanda. Tapi seseorang didepannya. Itu siapa ?
Duduklah
dulu. Ucapnya. Tapi ini semua jauh dari ekspektasiku. Laki-laki lain -yang
entah namanya siapa- itu berbicara perihal jenjang yang lebih serius. Perihal
orang tua. Perihal keterpaksaan. Dan semua yang gadis itu lakukan hanya meminta
maaf dengan ekspresi menjijikkan itu.
Kuletakkan
naskah cerita romance, lalu berkata, "Semoga naskah ini menjadi kisah
cerita kalian berdua." dengan tatapan tajam. "Aku belum menulis
akhirnya. Kalau tidak salah keduanya menikah-" "Benarkah ?"
Minerva memutus ucapanku.
"Iya.
Tapi rumah mereka mengalami kebakaran. Gas meledak dan sebagainya. Berakhir
buruk tanpa protagonis juga antagonis. Hanya ada dua orang disana."
Tutupku tak berbicara banyak.
"Apa
kau tidak akan benar-benar menahanku ?" Ucap Minerva. Tenggorokanku
tertahan tak menjawab untuk beberapa saat. Ayolah. Dimana sisi rasionalku
selama ini. Dimana letak kecerdasan dan kehebatanmu dalam situasi yang
membutuhkan jawaban spontan seperti ini ?
Pikiran
dan hatiku benar-benar kacau. Layaknya dinding yang dipenuhi coretan-coretan
tanpa arti yang jelas. Vandalisme ? Bukan. Ini sampah. Memenuhi lantas
menyesakkan sekujur tubuhku.
Aku
belum juga menjawab tapi tak juga diam, lantas kupasang wajah berpikir dengan
mulut setengah terbuka sambil menunjukkan gesture yang seolah berkata,
"Tunggu sebentar." Baiklah, aku harus bijaksana.
"Tidak.
Tidak ada yang akan menahanmu. Aku tidak bisa menahanmu. Juga cuaca buruk
seperti ini. Aku tak akan memintamu bertahan. Berulang kali berlutut. Bahkan
untuk bertanyapun aku enggan. Tuhan punya hadiah untukku, juga untuk kalian.
Takdir langit tak pernah berbohong. Semesta punya jawaban atas segala
pertanyaan manusia." Kataku. Oh Tuhan, apa yang baru saja kuucapkan.
Lantas
aku berdiri, membiarkan tubuh serta jiwa raga ini diambil alih oleh sepotong
bagian otakku yang sedang berpuisi. Berbalik badan, mengambil arah pulang. Tapi
tidak serta merta berjalan pulang.
"Kamu
adalah sajak terputus-asa yang terpotong malam ini. Tak akan ada lagi hari esok
dan kesempatan kedua. Puisi tersedih yang pernah kutulis. Kopi terpahit juga
manis yang pernah kutenggak dalam menjalani kehidupan. Selembar foto yang
mesinnya rusak sebelum dicetak. Semoga memoriku lantas tak memanggil namamu
dalam malam-malam panjang dan sepi lainnya. Namamu kini sudah tenggelam dalam
lautan emosiku, juga kenanganku. Tinggalkan dan jangan pernah kembali, karena
kau tidak akan menemukan diriku yang sama lagi. Selamat tinggal." ucapku.
Persetan.
Aku tak peduli. Bulir-bulir air satu demi satu berkeluaran dari mataku. Aku
berjalan, menuju pintu keluar. Langkahku yang biasanya berwibawa dan tegap kini
tak lagi sama. Aku terburu-buru. Tapi tetap dengan sigap menghindar seorang
pelayan yang sedang membawa makanan dengan kedua tangannya.
Kunaiki
motor. Dan bergegas pulang. Kupacu kendaraan roda dua itu hingga kecepatan
maksimalnya. Mataku gelap. Tidak ada kedamaian di hatiku. Hanya ada kerusuhan,
kejahatan, dan semua hal buruk lainnya.
Aku
membanting tubuhku ke tempat tidur sesampainya di flat apartemen. Melepaskan tas yang berat dari pundak yang penuh lelah.
Tempat tidurku bergetar hebat kala tubuhku terhempas keatasnya.
Tapi
aku tak bisa berhenti disana. Aku mencoba menenangkan diri. Menatap ke
langit-langit kamar. Lalu mencoba mengenyahkan semua puisi indah yang terbuat
dari kamu.
Laptop
kubuka. Lantas bersuara, "Welcome Home!". Sistemnya sudah kuatur
sedemikian rupa. Halaman itu masih terbuka. Artikel yang masih pada paragraf
vitalnya. Artikel yang sedang dalam paragraf yang mencengkram pembaca.
Aku
menghapus keseluruhan paragraf itu. Tak memaksakan diri untuk menulis. Lalu
menutup lembar kerjanya. Menulis sajak-sajak frustasi dan kesedihan yang
mendalam. Mungkin memang benar kata orang bijak. Kesedihan di tangan yang salah
akan berakibat bunuh diri, di tangan yang benar akan menjadi puisi.
Sementara
ditanganku menjadi puisi yang membacanya saja seolah ingin bunuh diri.
Aku
membiarkan diriku untuk bersedih sendu. Tak bisa melawan. Lebih baik dijadikan
tulisan. Berlembar-lembar halaman itu menjadi bukti atas kesedihanku. Aku tidak
punya alasan apapun. Juga tak menampik fakta bahwa ini jauh dari ekspektasi.
Mengutuk takdir langit yang sedemikian kejam padaku.
Tapi
aku berjanji pada semesta. Tidak ada lagi nama “Minerva” dalam
tulisan-tulisanku sejak hari ini. Tidak ada lagi dia dalam sajak yang kubuat
dimulai dari malam ini. Tidak ada lagi dirinya itu dalam pikiran kosong di
langit-langit kamarku sejak hujan berhenti malam ini. Semua itu selesai. Hanya
titik. Tanpa koma yang berkepanjangan.
-----//////-----
Sebab
itulah banyak orang bilang, “Jangan pernah jatuh cinta saat hujan.” Karena
ketika besok saat hatimu akhirnya patah, setiap kali hujan turun, kamu akan
terkenang dengan kejadian menyakitkan itu. Saat orang lain bahagia menatap
hujan, kamu justru nelangsa sedih melihat keluar jendela.
Lalu,
matanya -dan senyumnya- adalah keindahan yang kubenci, sebab disanalah dia menaruh
banyak tanda tanya yang aku hanya bisa menerka-nerka jawabnya, tanpa ada sebuah
kepastian dari pertanyaannya. Bahkan mungkin, langitpun tak tahu jawabannya.
Diantara
sunyi, kupendam rasa benci untuknya, satu-satunya milikku yang tak pernah aku
cari dan tak kuinginkan, meski logika berkata sebaliknya. Ternyata, kita tidak
sekuat hujan yang turun malam ini, aku masih disini, mengenang sesuatu yang
telah pergi, mengabdi pada sesuatu yang pernah kuanggap abadi.
"Sampai
jumpa". Ucapku padanya malam itu, meski kita sama-sama tahu, setelah ini
semua berakhir, tidak ada yang kembali, tak ada yang terulang. Aku dan
bayanganku tidak bertengkar tentang siapa yang harus berjalan didepan. Tapi
dipunggungnya, sukmaku adalah pena yang tak hentinya menuliskan bait-bait rindu
penuh doa.
Ah,
andai ia mendengar bisikanku. Bisikan dari suara hati yang bahkan telah
mengering. Tanpa ada yang peduli, tanpa ada yang tahu keberadaannya. Hatiku
telah mati disini, terdiam, tak mengerti akan apa yang telah terjadi.
Kota
ini adalah saksi bisu dari sebuah cerita yang pernah kutumpahkan disini, sebuah
harapan dan impian yang aku pernah jadikan sebuah monumen untuk kugapai dimasa
depan. Tempat dimana aku mulai bermimpi, mencurahkan sejuta harapan,
berangan-angan dan menjadi pemimpi yang berdamai dengan segala andai.
Sayangnya,
disini pula tempat dimana mereka semua berakhir. Tempat dimana aku merelakkan
semua hancur, karenanya. Tempat aku mencoba mengubur semua kenangan dalam
bentuk apapun yang membawaku kembali ke kota ini.
Perihal
cuaca yang tidak bersahabat, suaranya adalah rintik-rintik hujan yang panjang
dan bertahan sepanjang musim ingatanku. Juga langkahmu yang telah pergi, mereka
masih menari-nari di ingatanku.
Kuakui,
aku mencarimu, ke tempat-tempat yang kupastikan kau tidak akan lagi ada disana
untuk menungguku. Sebuah tempat dimana aku setuju untuk menguburkan masa
laluku, bersamamu. Disana, aku pernah memelukmu, menahanmu agar tak pergi dan bertahan
sejenak, menabrak semua yang menghalangiku dari hal yang kubenci, yaitu
kepergianmu.
Tapi
aku tak bisa terus seperti ini. Itulah alasan kenapa aku berada di kota ini
lagi, kembali. Melupakan semua yang pernah melukaiku di kota ini. Masih
bertahan sisa mimpi-mimpi ku di kota ini, tak usang, tak dimakan waktu.
Aku
percaya pada prinsip keseimbangan semesta. Bahwa jika ada yang pergi, pasti
akan ada yang datang. Semua yang bersedih, pasti akan tertawa kemudian.
Dan
semua yang menangis...
“Anggun ?” tanyaku pada seorang gadis yang
sedang membaca buku yang sampul plastiknya sudah terbuka itu, “Dimitri ?” Ia
menoleh, tersenyum. Akupun tersenyum.
..
Pasti akan tersenyum lagi.
The
End.
Penulis adalah seorang
pelajar dari SMA Yaspen Tugu Ibu 1 Depok. Bernama lengkap Muhammad Kanzia
Hibaturrahman, dilahirkan di Jakarta pada 3 Juli 2001. Cerpen ini dibuat dari
tanggal 13 November hingga 20 November 2016.
No comments:
Post a Comment