After Pandora : (Un)Faithful. (Part 10)
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
"Kau benar-benar tidak tahu apa yang telah kau lakukan.." Afifat meringis kesakitan, kloningnya tak peduli, "Aku melakukan apa yang kuanggap benar."
Cincin CERN itu berdengung, lantas melengking panjang. Dari dalamnya terdengar suara yang bergemuruh. Semua pertarungan yang berada disana berhenti akibat suara melengking itu. Mereka menutup telinga, beberapa bahkan berlutut.
Afifat berusaha bangkit, kloningnya dengan cepat melayangkan sebuah tendangan kearah perutnya, direktur CERN itu kembali jatuh dengan posisi terbalik. Kloning dirinya lalu menginjak betis kanan Afifat seraya menembak tubuhnya dua kali, DOR DOR!
"Siapa.. Siapa kau sebenarnya.." Suara Afifat tersedak kala ia batuk darah, "Aku ? Aku hanya sisi gelap kalian.." jawab kloningnya itu. "Kami.. kami adalah sisi gelap kalian semua." ucap kloning Ival, "Selama ini kami ada didalam tubuh kalian." lanjut kloning Salma. Mata para kloning mereka itu hitam pekat.
BRAAAK!
Tama dan Anwar menerobos masuk ruangan, mereka hanya berdua dengan darah berlumuran disekujur pakaian perang mereka, darah para Wendigo, bekas peperangan. "Mereka siapa ?" tanya Tama begitu melihat dirinya yang bermata hitam, Anwar tak berkata juga bergeming. Tak ada jawaban. Kedua orang itu melepas helm perang mereka, lantas menjatuhkannya.
Kloning Afifat itu menjetikan jari, para kloning juga Amel dan Fadhil yang telah mati memisahkan diri, lantas berdiri disebelahnya. "Kami telah dikembalikan oleh Aristo, dan kami hanya ingin hidup damai lagi. Di alam sana." ucap kloning Afifat.
"Kalau kalian ingin mengalahkan Aristo, kalian harus kuat." kloning Adi memotong perkatannya, "Juga percaya." lanjutnya. "Aristo punya kekuatan besar, tapi didalamnya, ia lemah. Kenapa ? karena ia tak percaya, dia tak percaya adanya Tuhan, dia tak dapat mempercayai siapapun." kata kloning Afifat.
Para kloning tiba-tiba berlari kearah mereka. Kloning Afifat dibantu Amel menarik Hani, sementara kloning Hani dan Ainun menarik Ainun yang asli. Sisanya menjatuhkan mereka yang bermata putih, menendang perut, menabrak, menghantam mereka dengan kepala, segala cara agar mereka jatuh.
Sepersekian detik kemudian, Ainun sudah berada ditangan kloning dirinya dan kloning Hani, begitu pula Hani yang sudah berada ditangan kloning Afifat dan Amel. Kloning Hani berdiri dibelakang Ainun, tangannya melingkar di leher mantan ilmuwan CERN itu, sementara kloning Ainun mengarahkan moncong pistol kearah dirinya. Hani pun sama, bedanya, yang menodongkan pistol adalah Amel.
Tama dan Ival terkesiap, dalam posisi terjatuh, mereka menggunakan tangan mereka sebagai penyangga. "JANGAN BERGERAK!" teriak kloning Anwar menjaga Stevian, Arum, Salma, Jiwo, Aldo, Latriaz, Adi dan dirinya sendiri, para kloning yang lain pun menempatkan diri disekitar delapan orang itu.
"Kalau kalian bergerak sedikitpun.." Amel memotong, "Bum." lanjutnya seraya melakukan gesture tangan yang menguncup lalu dimekarkan, "Kepala kedua teman kalian ini akan meledak.." tutupnya melakukan ancaman.
Pintu terbuka, Yessika dan Caldha memasuki ruangan, dua orang karyawan CERN yang sangat setia. Keduanya mengenakan jas yang sama saat seperti pertama kali menyambut para 'pahlawan' di kunjungan mereka ke gedung CERN beberapa hari yang lalu. Yessika membawa sebuah kotak besar berwarna merah, Caldha pun sama. Bedanya, Yessika berjalan kearah kloning Afifat sementara Caldha berjalan kearah kloning Anwar.
Yessika berbisik kecil kepada kloning Afifat. "Kalian, bangun. Kita bergerak!" perintah kloning direktur CERN itu setelah Yessika berbisik. Tama dan Ival berdiri, mereka segera meraih tangan pasangan mereka masing-masing. "Manis sekali." ujar kloning Hani tersenyum kecil seraya menggeleng.
Yessika dan kloning Afifat berjalan duluan keluar ruangan, mereka sempat melirik kearah Afifat yang asli, pingsan kehabisan darah di sudut ruangan, lalu diikuti Hani-Tama dan Ival-Ainun. Amel, kloning Hani dan kloning Ainun berjalan mengikuti di paling belakang.
Mereka turun dua level. Lantas memasuki sebuah ruangan lainnya, ruangan itu kosong. Hanya ada empat buah kursi dengan sebuah meja kecil ditengahnya, juga sebuah pengeras suara di langit-langit ruangan, sisanya hanyalah lantai berwarna putih dan dinding yang dicat berwarna sama. Hani, Ainun, Ival dan Tama didudukkan di keempat kursi itu.
Yessika meletakkan kotak itu di meja, Afifat membukanya, lalu mengeluarkan isinya. Keempat orang yang duduk itu tak bisa berkata-kata. Sebuah dinamit. Lengkap dengan kabel-kabelnya yang rumit. Ada sebuah bom peledak dihadapan mereka. Sementara seutas kabel menghubungkan dinamit itu dengan sebuah tombol kecil berwarna merah.
Caldha melakukan hal yang sama. Mengeluarkan bom lalu meletakannya di lantai tepat di hadapan Stevian, Arum, Salma, Aldo, Anwar, Jiwo, Latriaz, dan Adi. "Apa ini ? Kita disuruh meledakkan bom ini sendiri ?" ketus Stevian, "Yagila lu Step masa kita mau bunuh diri" sahut Aldo, sementara yang mengantar bom itu diam saja, tak memberikan jawaban.
"Malam ini bisa menjadi malam terakhir hidup kalian di dunia." Pengeras suara itu berbunyi, "Suara Aristo.." gumam Latriaz. "Masing-masing dari kalian memegang kontrol pemicu ledakan bom atas bom satu sama lain. Bom di hadapan kalian, ditentukan oleh tombol yang berada di teman-teman kalian." lanjut suara itu.
"Kalian adalah bagian dari eksperimen, sebuah eksperimen sosial. Manusia adalah makhluk hidup paling rentan di muka bumi, bukan?" Aristo memotong. "Jika tidak ada salah satu dari kalian yang meledakkan bom hingga tengah malam nanti, maka kedua bom itu akan kuledakkan dari sini. Dari sebuah ruangan dari gedung CERN yang tak kalian periksa karena kalian panik dari monster dibawah itu. Good luck." tutupnya.
"Oh iya satu lagi, aku akan mematikan cincin CERN itu terlebih dahulu, agar situasi imbang." suara Aristo kembali terdengar, cincin besar itu berhenti bergemuruh. "Genesis deactivated." Sebuah suara pemberitahuan berbunyi. "Para kloning, silahkan keruanganku. Sementara sisanya, silahkan berunding." tutup Aristo.
Mereka kini benar-benar sendiri, setidaknya bersama Yessika dan Caldha. Pertaruhan pun dimulai, dan mereka mempertaruhkan nyawa mereka ditangan teman-teman mereka.
"Hani." Ainun memanggil, "Tadi kau bilang bahwa Tuhan tidak pernah bermain dadu dan selalu ada kemungkinan dibalik kemungkinan.." lanjutnya, Hani diam, "Kemungkinan apa yang kita miliki sekarang Han.." suara itu berubah parau.
"Kita harus tetap tenang" ucap Tama, "Kalau kerusuhan terjadi, sama saja kita mengikuti permainan Aristo. Itu yang dia inginkan." lanjutnya. "Kemungkinannya hanyalah membunuh atau dibunuh, Nun.." Hani menjawab pertanyaan (atau pernyataan) Ainun barusan, "Itu hukum rimba Han, kita harus tetap positif pada mereka" Tama menyanggah.
"BERHENTILAH BERSIKAP POSITIF!" teriak Hani keras, lalu menunduk, menangis. "Kau tidak bisa membohongi dirimu sendiri Tama.. kau tak bisa membohongi aku lagi.." tangis perempuan itu pecah. "Aku takut, Tama.. takut akan kemungkinan yang buruk.." air mata bercucuran dari mata Hanifa. Sementara Ainun dan Ival tak banyak bicara, tapi mata mereka mengatakan hal yang sama, ketakutan, kecemasan.
"Hani, Hani.." Tama mengangkat wajah Hani yang menunduk, menatapnya tepat di mata. "Aku tahu kamu takut, tapi bukan hanya kamu. Kita, bahkan mereka yang memegang kendali atas bom ini. Kita semua takut, aku yakin. Tapi kamu harus percaya. Kamu bilang ada kemungkinan dibalik kemungkinan, ingatlah bahwa ada kemungkinan kalau mereka tak akan menekan tombol itu." Tama menenangkan.
Hani terdiam.
Sementara dua level diatas mereka. Belum ada yang berbicara sama sekali.
"Ah gila stress gua mikirinnya" Salma mengeluh, lantas menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangannya. "Bukan lu doang kayaknya Ma" Arum setuju, lalu menutup mukanya dengan telapak tangan mereka. Sementara Stevian dan Adi diam saja, pikirannya terlalu penuh untuk diungkapkan dalam kata-kata. Rumit.
Mereka semua sedang dalam sebuah dilema besar, jauh lebih besar daripada permasalahan tembak-menembak enam bulan lalu. Kini mereka dipisahkan secara berkelompok, dimana tiap-tiap individu memiliki perasaan-perasaan yang berbeda satu sama lainnya. Dimana mereka tidak dapat menjadi subjektif, tapi tidak juga menjadi objektif.
Yang mereka semua tahu, jika tidak ada bom yang diledakkan hingga tengah malam nanti, maka kedua bom itu akan diledakkan oleh Aristo. Yang mereka tahu, hanya ada dua peran sekarang,antara korban dan pelaku, membunuh atau dibunuh. Satu momen rasanya seperti selamanya. Dan yang mereka tahu, hanya butuh waktu hingga salah satu dari mereka membuat keputusannya.
"Kita gak teken aja nih tombolnya ?" Anwar angkat bicara. Perihal bom ini akhirnya menguap ke permukaan, memancing debat. "Sabar War lu kalo teken bomnya sama aja ngebunuh empat orang War" balas Jiwo
"Lima Wo sama temennya dia" ucap Arum menunjuk kearah Caldha, "Tuh lima malahan" sahut Jiwo, "Tapikan sama aja kalo kita ga teken duluan yang ada kita yang mati" kata Salma, "Percaya sih percaya tapi kalo kayak gini kan situasinya beda lagi" lanjutnya.
"Ya sekarang gini aja lo mau bunuh temen lo sendiri ? Temen macem apa lo" sambar Stevian, "Lah sekarang gini Step kalo mereka bunuh kita duluan gimana ? Temen macem apa mereka" balas Salma, "Mereka gak bakal tega Ma" ujar Aldo, "Namanya juga kalo orang kalang kabut gimana sih Do kalo udah panik" balas Salma, lagi.
"Udah sih teken aja. Elah ribet amat. Lagipula korbannya cuman lima, kalo nanti kita yang mati gimana ? Korbannya bakal lebih banyak. Udah teken dah" Arum melempar bola panas, "Nah itu dia Arum bener banget. Ya kan Step ?" Salma setuju, Stevian diam saja.
"Jangan diteken please banget Ma gue mohon jangannn" Latriaz menggeleng, memohon. Hidungnya memerah, matanya berkaca-kaca, tiap kata yang baru saja ia ucapkan itu tulus, "Disana ada dua sahabat gue Ma jangan Ma tolongg" Ia memelas.
"Disana juga ada.. atasan gue.." Adi kini angkat bicara. Ia telah melepas embel-embel pakaian perang yang hanya memberatkannya. Anggota GIGN itu duduk di pinggir ruangan, bersandar pada dinding, melempar koin dan menangkapnya berulang-ulang.
"Kemungkinannya 50-50. Sama kayak uang koin ini." kata Adi lalu berhenti. "Gue juga tadinya gamau astaga" Salma menggeleng kecil, "Tapi kan daripada mereka bunuh kita duluan mending kita yang bunuh mereka"
Adi menunduk, menggeleng kecil, meletakkan koin itu disebelahnya, berserah pada segala kemungkinan. Aldo, Jiwo dan Anwar tak bisa berkata-kata. Sementara tangisan Latriaz semakin kencang, Salma meraih tombol merah itu di genggamannya.
Bebeto melihat kearah bawah, medan perang. Kelima helikopter itu berhenti menembaki para Wendigo. Masalah kesemuanya sama, senjata yang terlampau panas akibat digunakan. "Huft" Iapun bangkit dan meraih sebotol air mineral dari bagian depan helikopter.
"Tentara kita didesak balik!" terdengar suara dari Speaker seraya Ia menenggak air dari botol itu, "Ada salah satu dari mereka yang bukan Wendigo, aku ulangi, bukan Wendi---" DUARRR !!!!
Sebuah helikopter meledak, "Kita harus mundur!" "Tapi para tentara.." Suara dari Speaker itu kini simpang siur. Bebeto beranjak, meletakkan botol air itu, lalu melihat kearah medan perang. Tentaranya sedang didesak balik, mereka kehabisan peluru juga tenaga. Tapi tak hanya itu, Ia melihat lebih fokus..
"Bagus ?" gumamnya melihat seseorang berbadan besar sedang membunuh tentara dibawah tanpa ampun dengan tangan kosong.
"Sekarang gue mau kita untuk nginget semua yang udah kita lakuin sama keempat orang dibawah. Dalam hitungan tiga, gue minta supaya kalian ikhlas, gue juga gamau, tapi ini demi kebaikan kita." Salma menutup mata, menghembuskan nafas panjang.
"3.." ucap Salma.
Air mata keluar dari kedua mata Adi, atasannya, pimpinannya, kaptennya, seseorang yang sudah sangat Ia percayai dan sebaliknya, akan dibunuh tepat didepan matanya oleh tombol merah itu. "Gak.. lu gak bisa lakuin ini.." gumamnya.
Latriaz dalam tangisannya, bangkit dan berlari kearah Afifat. Mengguncang-guncang tubuh direktur CERN itu. "Bangun woy bangun!! Anakmu dalam masalah dan kau cuman tidur saja!" Ia putus asa, dan meluapkannya ke Afifat yang tak kunjung bangun.
"2.." Hitungan kembali mundur.
Salma pun, tanpa sadar, memperlambat hitungannya. Memperpanjang satu detik layaknya selamanya. Tama, Ival, Ainun, dan Hani bukanlah nyawa-nyawa yang pantas dikorbankan, keempat orang itu tak bersalah, tapi mereka berdelapanpun tak bersalah. Tidak. Tidak ada yang salah. Kalaupun ada, salahkan situasi yang membuatnya jadi begini.
Stevian, Aldo, Jiwo dan Anwar menatap dengan mata kosong. Pikiran mereka melayang, pada kejadian enam bulan lalu. Dimana Stevian dan Bagus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Dulu, Stevian punya solusi dimana keuntungan dapat diambil dengan kerugian sekecil mungkin. Tapi sekarang, situasinya berbeda.
Jiwo. Ah, kenangan itu terulang lagi di pikirannya, dimana ia dan Ival menjadi duo yang tak terpatahkan saat mengawal para gadis, mengalahkan monster dengan nama "Subjek 82-96", membuka topeng Afifat. Tapi kini, tak akan ada lagi tawa itu, tak akan ada lagi duo maut itu.
Sementara Aldo dan Anwar. Aldo akan kehilangan temannya yang paling humoris itu, juga sesosok kapten yang memimpin mereka pada kejadian enam bulan lalu. Anwar juga, ia baru saja ditugaskan untuk bersama Tama memimpin sepasukan tentara untuk menyergap para monster, matanya berkaca-kaca.
"1..."
Dalam mata berkaca-kaca dan situasi penuh emosional, Salma mengarahkan jarinya ke tombol merah itu. Tangis mereka hening, tanpa suara, tapi dalam. Anwar beberapa kali mengusap wajahnya, begitupula Aldo. "Ah ga sukaaa" bahkan Stevian pun berteriak. Mereka tidak ingin, tapi mereka harus.
"Good bye.."
"TIDAAAKK!!"
Afifat berusaha bangkit, kloningnya dengan cepat melayangkan sebuah tendangan kearah perutnya, direktur CERN itu kembali jatuh dengan posisi terbalik. Kloning dirinya lalu menginjak betis kanan Afifat seraya menembak tubuhnya dua kali, DOR DOR!
"Siapa.. Siapa kau sebenarnya.." Suara Afifat tersedak kala ia batuk darah, "Aku ? Aku hanya sisi gelap kalian.." jawab kloningnya itu. "Kami.. kami adalah sisi gelap kalian semua." ucap kloning Ival, "Selama ini kami ada didalam tubuh kalian." lanjut kloning Salma. Mata para kloning mereka itu hitam pekat.
BRAAAK!
Tama dan Anwar menerobos masuk ruangan, mereka hanya berdua dengan darah berlumuran disekujur pakaian perang mereka, darah para Wendigo, bekas peperangan. "Mereka siapa ?" tanya Tama begitu melihat dirinya yang bermata hitam, Anwar tak berkata juga bergeming. Tak ada jawaban. Kedua orang itu melepas helm perang mereka, lantas menjatuhkannya.
Kloning Afifat itu menjetikan jari, para kloning juga Amel dan Fadhil yang telah mati memisahkan diri, lantas berdiri disebelahnya. "Kami telah dikembalikan oleh Aristo, dan kami hanya ingin hidup damai lagi. Di alam sana." ucap kloning Afifat.
"Kalau kalian ingin mengalahkan Aristo, kalian harus kuat." kloning Adi memotong perkatannya, "Juga percaya." lanjutnya. "Aristo punya kekuatan besar, tapi didalamnya, ia lemah. Kenapa ? karena ia tak percaya, dia tak percaya adanya Tuhan, dia tak dapat mempercayai siapapun." kata kloning Afifat.
Para kloning tiba-tiba berlari kearah mereka. Kloning Afifat dibantu Amel menarik Hani, sementara kloning Hani dan Ainun menarik Ainun yang asli. Sisanya menjatuhkan mereka yang bermata putih, menendang perut, menabrak, menghantam mereka dengan kepala, segala cara agar mereka jatuh.
Sepersekian detik kemudian, Ainun sudah berada ditangan kloning dirinya dan kloning Hani, begitu pula Hani yang sudah berada ditangan kloning Afifat dan Amel. Kloning Hani berdiri dibelakang Ainun, tangannya melingkar di leher mantan ilmuwan CERN itu, sementara kloning Ainun mengarahkan moncong pistol kearah dirinya. Hani pun sama, bedanya, yang menodongkan pistol adalah Amel.
Tama dan Ival terkesiap, dalam posisi terjatuh, mereka menggunakan tangan mereka sebagai penyangga. "JANGAN BERGERAK!" teriak kloning Anwar menjaga Stevian, Arum, Salma, Jiwo, Aldo, Latriaz, Adi dan dirinya sendiri, para kloning yang lain pun menempatkan diri disekitar delapan orang itu.
"Kalau kalian bergerak sedikitpun.." Amel memotong, "Bum." lanjutnya seraya melakukan gesture tangan yang menguncup lalu dimekarkan, "Kepala kedua teman kalian ini akan meledak.." tutupnya melakukan ancaman.
Pintu terbuka, Yessika dan Caldha memasuki ruangan, dua orang karyawan CERN yang sangat setia. Keduanya mengenakan jas yang sama saat seperti pertama kali menyambut para 'pahlawan' di kunjungan mereka ke gedung CERN beberapa hari yang lalu. Yessika membawa sebuah kotak besar berwarna merah, Caldha pun sama. Bedanya, Yessika berjalan kearah kloning Afifat sementara Caldha berjalan kearah kloning Anwar.
Yessika berbisik kecil kepada kloning Afifat. "Kalian, bangun. Kita bergerak!" perintah kloning direktur CERN itu setelah Yessika berbisik. Tama dan Ival berdiri, mereka segera meraih tangan pasangan mereka masing-masing. "Manis sekali." ujar kloning Hani tersenyum kecil seraya menggeleng.
Yessika dan kloning Afifat berjalan duluan keluar ruangan, mereka sempat melirik kearah Afifat yang asli, pingsan kehabisan darah di sudut ruangan, lalu diikuti Hani-Tama dan Ival-Ainun. Amel, kloning Hani dan kloning Ainun berjalan mengikuti di paling belakang.
Mereka turun dua level. Lantas memasuki sebuah ruangan lainnya, ruangan itu kosong. Hanya ada empat buah kursi dengan sebuah meja kecil ditengahnya, juga sebuah pengeras suara di langit-langit ruangan, sisanya hanyalah lantai berwarna putih dan dinding yang dicat berwarna sama. Hani, Ainun, Ival dan Tama didudukkan di keempat kursi itu.
Yessika meletakkan kotak itu di meja, Afifat membukanya, lalu mengeluarkan isinya. Keempat orang yang duduk itu tak bisa berkata-kata. Sebuah dinamit. Lengkap dengan kabel-kabelnya yang rumit. Ada sebuah bom peledak dihadapan mereka. Sementara seutas kabel menghubungkan dinamit itu dengan sebuah tombol kecil berwarna merah.
Caldha melakukan hal yang sama. Mengeluarkan bom lalu meletakannya di lantai tepat di hadapan Stevian, Arum, Salma, Aldo, Anwar, Jiwo, Latriaz, dan Adi. "Apa ini ? Kita disuruh meledakkan bom ini sendiri ?" ketus Stevian, "Yagila lu Step masa kita mau bunuh diri" sahut Aldo, sementara yang mengantar bom itu diam saja, tak memberikan jawaban.
"Malam ini bisa menjadi malam terakhir hidup kalian di dunia." Pengeras suara itu berbunyi, "Suara Aristo.." gumam Latriaz. "Masing-masing dari kalian memegang kontrol pemicu ledakan bom atas bom satu sama lain. Bom di hadapan kalian, ditentukan oleh tombol yang berada di teman-teman kalian." lanjut suara itu.
"Kalian adalah bagian dari eksperimen, sebuah eksperimen sosial. Manusia adalah makhluk hidup paling rentan di muka bumi, bukan?" Aristo memotong. "Jika tidak ada salah satu dari kalian yang meledakkan bom hingga tengah malam nanti, maka kedua bom itu akan kuledakkan dari sini. Dari sebuah ruangan dari gedung CERN yang tak kalian periksa karena kalian panik dari monster dibawah itu. Good luck." tutupnya.
"Oh iya satu lagi, aku akan mematikan cincin CERN itu terlebih dahulu, agar situasi imbang." suara Aristo kembali terdengar, cincin besar itu berhenti bergemuruh. "Genesis deactivated." Sebuah suara pemberitahuan berbunyi. "Para kloning, silahkan keruanganku. Sementara sisanya, silahkan berunding." tutup Aristo.
Mereka kini benar-benar sendiri, setidaknya bersama Yessika dan Caldha. Pertaruhan pun dimulai, dan mereka mempertaruhkan nyawa mereka ditangan teman-teman mereka.
"Hani." Ainun memanggil, "Tadi kau bilang bahwa Tuhan tidak pernah bermain dadu dan selalu ada kemungkinan dibalik kemungkinan.." lanjutnya, Hani diam, "Kemungkinan apa yang kita miliki sekarang Han.." suara itu berubah parau.
"Kita harus tetap tenang" ucap Tama, "Kalau kerusuhan terjadi, sama saja kita mengikuti permainan Aristo. Itu yang dia inginkan." lanjutnya. "Kemungkinannya hanyalah membunuh atau dibunuh, Nun.." Hani menjawab pertanyaan (atau pernyataan) Ainun barusan, "Itu hukum rimba Han, kita harus tetap positif pada mereka" Tama menyanggah.
"BERHENTILAH BERSIKAP POSITIF!" teriak Hani keras, lalu menunduk, menangis. "Kau tidak bisa membohongi dirimu sendiri Tama.. kau tak bisa membohongi aku lagi.." tangis perempuan itu pecah. "Aku takut, Tama.. takut akan kemungkinan yang buruk.." air mata bercucuran dari mata Hanifa. Sementara Ainun dan Ival tak banyak bicara, tapi mata mereka mengatakan hal yang sama, ketakutan, kecemasan.
"Hani, Hani.." Tama mengangkat wajah Hani yang menunduk, menatapnya tepat di mata. "Aku tahu kamu takut, tapi bukan hanya kamu. Kita, bahkan mereka yang memegang kendali atas bom ini. Kita semua takut, aku yakin. Tapi kamu harus percaya. Kamu bilang ada kemungkinan dibalik kemungkinan, ingatlah bahwa ada kemungkinan kalau mereka tak akan menekan tombol itu." Tama menenangkan.
Hani terdiam.
Sementara dua level diatas mereka. Belum ada yang berbicara sama sekali.
"Ah gila stress gua mikirinnya" Salma mengeluh, lantas menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangannya. "Bukan lu doang kayaknya Ma" Arum setuju, lalu menutup mukanya dengan telapak tangan mereka. Sementara Stevian dan Adi diam saja, pikirannya terlalu penuh untuk diungkapkan dalam kata-kata. Rumit.
Mereka semua sedang dalam sebuah dilema besar, jauh lebih besar daripada permasalahan tembak-menembak enam bulan lalu. Kini mereka dipisahkan secara berkelompok, dimana tiap-tiap individu memiliki perasaan-perasaan yang berbeda satu sama lainnya. Dimana mereka tidak dapat menjadi subjektif, tapi tidak juga menjadi objektif.
Yang mereka semua tahu, jika tidak ada bom yang diledakkan hingga tengah malam nanti, maka kedua bom itu akan diledakkan oleh Aristo. Yang mereka tahu, hanya ada dua peran sekarang,antara korban dan pelaku, membunuh atau dibunuh. Satu momen rasanya seperti selamanya. Dan yang mereka tahu, hanya butuh waktu hingga salah satu dari mereka membuat keputusannya.
"Kita gak teken aja nih tombolnya ?" Anwar angkat bicara. Perihal bom ini akhirnya menguap ke permukaan, memancing debat. "Sabar War lu kalo teken bomnya sama aja ngebunuh empat orang War" balas Jiwo
"Lima Wo sama temennya dia" ucap Arum menunjuk kearah Caldha, "Tuh lima malahan" sahut Jiwo, "Tapikan sama aja kalo kita ga teken duluan yang ada kita yang mati" kata Salma, "Percaya sih percaya tapi kalo kayak gini kan situasinya beda lagi" lanjutnya.
"Ya sekarang gini aja lo mau bunuh temen lo sendiri ? Temen macem apa lo" sambar Stevian, "Lah sekarang gini Step kalo mereka bunuh kita duluan gimana ? Temen macem apa mereka" balas Salma, "Mereka gak bakal tega Ma" ujar Aldo, "Namanya juga kalo orang kalang kabut gimana sih Do kalo udah panik" balas Salma, lagi.
"Udah sih teken aja. Elah ribet amat. Lagipula korbannya cuman lima, kalo nanti kita yang mati gimana ? Korbannya bakal lebih banyak. Udah teken dah" Arum melempar bola panas, "Nah itu dia Arum bener banget. Ya kan Step ?" Salma setuju, Stevian diam saja.
"Jangan diteken please banget Ma gue mohon jangannn" Latriaz menggeleng, memohon. Hidungnya memerah, matanya berkaca-kaca, tiap kata yang baru saja ia ucapkan itu tulus, "Disana ada dua sahabat gue Ma jangan Ma tolongg" Ia memelas.
"Disana juga ada.. atasan gue.." Adi kini angkat bicara. Ia telah melepas embel-embel pakaian perang yang hanya memberatkannya. Anggota GIGN itu duduk di pinggir ruangan, bersandar pada dinding, melempar koin dan menangkapnya berulang-ulang.
"Kemungkinannya 50-50. Sama kayak uang koin ini." kata Adi lalu berhenti. "Gue juga tadinya gamau astaga" Salma menggeleng kecil, "Tapi kan daripada mereka bunuh kita duluan mending kita yang bunuh mereka"
Adi menunduk, menggeleng kecil, meletakkan koin itu disebelahnya, berserah pada segala kemungkinan. Aldo, Jiwo dan Anwar tak bisa berkata-kata. Sementara tangisan Latriaz semakin kencang, Salma meraih tombol merah itu di genggamannya.
Bebeto melihat kearah bawah, medan perang. Kelima helikopter itu berhenti menembaki para Wendigo. Masalah kesemuanya sama, senjata yang terlampau panas akibat digunakan. "Huft" Iapun bangkit dan meraih sebotol air mineral dari bagian depan helikopter.
"Tentara kita didesak balik!" terdengar suara dari Speaker seraya Ia menenggak air dari botol itu, "Ada salah satu dari mereka yang bukan Wendigo, aku ulangi, bukan Wendi---" DUARRR !!!!
Sebuah helikopter meledak, "Kita harus mundur!" "Tapi para tentara.." Suara dari Speaker itu kini simpang siur. Bebeto beranjak, meletakkan botol air itu, lalu melihat kearah medan perang. Tentaranya sedang didesak balik, mereka kehabisan peluru juga tenaga. Tapi tak hanya itu, Ia melihat lebih fokus..
"Bagus ?" gumamnya melihat seseorang berbadan besar sedang membunuh tentara dibawah tanpa ampun dengan tangan kosong.
"Sekarang gue mau kita untuk nginget semua yang udah kita lakuin sama keempat orang dibawah. Dalam hitungan tiga, gue minta supaya kalian ikhlas, gue juga gamau, tapi ini demi kebaikan kita." Salma menutup mata, menghembuskan nafas panjang.
"3.." ucap Salma.
Air mata keluar dari kedua mata Adi, atasannya, pimpinannya, kaptennya, seseorang yang sudah sangat Ia percayai dan sebaliknya, akan dibunuh tepat didepan matanya oleh tombol merah itu. "Gak.. lu gak bisa lakuin ini.." gumamnya.
Latriaz dalam tangisannya, bangkit dan berlari kearah Afifat. Mengguncang-guncang tubuh direktur CERN itu. "Bangun woy bangun!! Anakmu dalam masalah dan kau cuman tidur saja!" Ia putus asa, dan meluapkannya ke Afifat yang tak kunjung bangun.
"2.." Hitungan kembali mundur.
Salma pun, tanpa sadar, memperlambat hitungannya. Memperpanjang satu detik layaknya selamanya. Tama, Ival, Ainun, dan Hani bukanlah nyawa-nyawa yang pantas dikorbankan, keempat orang itu tak bersalah, tapi mereka berdelapanpun tak bersalah. Tidak. Tidak ada yang salah. Kalaupun ada, salahkan situasi yang membuatnya jadi begini.
Stevian, Aldo, Jiwo dan Anwar menatap dengan mata kosong. Pikiran mereka melayang, pada kejadian enam bulan lalu. Dimana Stevian dan Bagus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Dulu, Stevian punya solusi dimana keuntungan dapat diambil dengan kerugian sekecil mungkin. Tapi sekarang, situasinya berbeda.
Jiwo. Ah, kenangan itu terulang lagi di pikirannya, dimana ia dan Ival menjadi duo yang tak terpatahkan saat mengawal para gadis, mengalahkan monster dengan nama "Subjek 82-96", membuka topeng Afifat. Tapi kini, tak akan ada lagi tawa itu, tak akan ada lagi duo maut itu.
Sementara Aldo dan Anwar. Aldo akan kehilangan temannya yang paling humoris itu, juga sesosok kapten yang memimpin mereka pada kejadian enam bulan lalu. Anwar juga, ia baru saja ditugaskan untuk bersama Tama memimpin sepasukan tentara untuk menyergap para monster, matanya berkaca-kaca.
"1..."
Dalam mata berkaca-kaca dan situasi penuh emosional, Salma mengarahkan jarinya ke tombol merah itu. Tangis mereka hening, tanpa suara, tapi dalam. Anwar beberapa kali mengusap wajahnya, begitupula Aldo. "Ah ga sukaaa" bahkan Stevian pun berteriak. Mereka tidak ingin, tapi mereka harus.
"Good bye.."
"TIDAAAKK!!"
-- To Be Continued --
No comments:
Post a Comment