After Pandora : Return (Part 7)
Oleh : Kanzia Rahman
"Daripada ngomongin gituan, gue punya suprise nih." ucap Jiwo memancing rasa penasaran. Semua pertanyaan, kalimat dari yang lain yang mengarah pada kejutan itu tidak dihiraukan oleh Jiwo. "Udahh tunggu ajaa" tutupnya mendiamkan teman-temannya. Van itu meluncur bebas di jalan raya saat terdengar sahut-sahutan sirine mobil polisi kearah gedung kepolisian, tempat asal mereka. Nampaknya para polisi telah sadar bahwa tahanan mereka yang bernilai tinggi itu sudah tak lagi di selnya masing-masing.
Mobil yang dikendarai mereka berhenti di suatu rumah di tepi sungai Seine. Tengah hari. Kedua belas orang itu lalu turun membawa tas dan barang bawaannya masing-masing. "Tunggu, yang pertama masuk harus Hani ama Tama." cegat Jiwo sebelum membuka pintu, yang lain hanya memasang wajah bingung sementara Hani dan Tama melangkah ke depan barisan.
CKLEK..
Tama membuka pintu, lantas melangkahkan kakinya kedalam rumah, disusul Hani kedua, lalu yang lainnya. Jiwo menjadi yang terakhir sekaligus menutup pintu rumah. Kondisi rumah itu usang, tanpa perabotan, dinding-dindingnya menghitam, gelap, hanya ada satu sumber cahaya berupa jendela tanpa kaca di hadapan mereka, jalan menuju ruangan-ruangan lainnya berada di sebelah kiri mereka.
"Ini tempat apaan Wo ?" tanya Ival tapi tak dijawab, mereka lantas -secara perlahan- berjalan dari pintu masuk, menuju ruangan-ruangan lainnya. Tetapi langkah mereka terhenti di sebuah bingkai pintu tanpa pintu itu. Terpaku. Terdiam. Melihat seseorang sedang berdiri di tengah ruangan, menatap kearah jendela lainnya.
"Did you miss me?"
Suara itu. Suara berat itu. Hani kenal jelas suara itu. Suara yang menghantui dalam tiap-tiap mimpi buruknya, menganggu malam-malamnya. Pundaknya jatuh, matanya kosong. Ia tak salah lihat. Bukan. Mereka tak salah lihat. "Afifat !?" Tama segera bereaksi, tangannya dengan cepat ingin meraih pistol di pinggangnya, tetapi orang itu di tengah ruangan menahannya "Tunggu. Tak perlu."
"Tak perlu takut." Afifat menyeringai, "Aristo yang membawaku kembali kesini. Sialan." lanjutnya. "Ah, aku harusnya sedang bersenang-senang bersama Ibumu di surga, Hanifa" ucapnya lagi sambil melihat kearah Hani yang masih terpaku.
"Ayah.." Hani membuka mulutnya, "Maaf aku telah membunuhmu.." Suaranya parau, Tama segera mengusap wanita itu dalam pelukannya, menghentikan tangis yang baru keluar. Afifat mengangguk kecil, memaafkan, lantas tersenyum simpul melihat Tama menangkan Hani. "Ehem." Afifat berdehem, nada suaranya serius.
"Baiklah, tidak ada waktu untuk basa-basi. Aristo sedang membuat sebuah dunia dalam imajinasinya. Kalian sudah tahu cincin itu ? Efeknya banyak." Afifat memotong sejenak, "Cincin itu dapat mempengaruhi atmosfer bumi, menghasilkan getaran tektonik, menentukan pasang surut air laut, bahkan menjadi gerbang antar dimensi." lanjutnya. Bulu kuduk merek merinding.
"Tentu saja bukan cincin jari seperti yang kalian bayangkan. Namanya doang yang 'Cincin', aslinya gerbang gitu, kayak gapura tapi bentuknya segi lima. Lewat cincin itu sama aja pergi dari dimensi kita." Ia kembali memotong sejenak, menelan ludah.
"Tiap-tiap sesuatu yang lewat melalui gerbang antar dimensi itu menghasilkan efek di bumi, entah dengan cara apa, bisa jadi gempa, kenaikan air laut yang tidak wajar, angin tornado. Jangan tanya logika atau ilmiahnya, semua itu terjadi karena mereka melawan hukum alam." lanjutnya. "Kalo lu sendiri pas kesini apa efeknya ?" Adi bertanya.
"Kenaikan air laut, tinggi, bisa mencapai 10 meter. Terus tenang lagi. Nah gue udah coba cari informasi sebanyak mungkin, ada belasan gempa yang terjadi semaleman dari seluruh penjuru bumi. Dari Jepang, Australia, Belanda, Indonesia, Inggris, Rusia, gempa-gempa kecil, tapi jedanya satu jam sekali. Gak ada gempa yang diatur satu jam sekali kalo berdasarkan hukum alam." Afifat menjelaskan panjang lebar.
"Misi kalian sekarang lebih gampang, tutup pintu, gerbang, gapura segi lima, atau cincin itu. Terserah lah sebutannya apa. Terus pulang. Simple kan?" Afifat mengakhiri. "Kalian cuman perlu menyamar, lagi, kayak kemaren pas ngancurin gudang CERN itu. Gampang. Gue ikut bantuin kok." ucapnya, mata mereka berbinar-binar.
"Nah tapi bedanya, cincin itu adanya di tengah-tengah kompleks gedungnya. Gedung Genesis. Gedung yang ada ditengah-tengah tujuh gedung lainnya. Byzen, Ares, Poseidon, Zeus, Origine, Polaris, Hades. Dan untuk nutup gerbang itu, perlu matiin dulu saluran energi yang berasal dari gedung lain, Poseidon, Zeus, Polaris, Hades." Kini Afifat mengeluarkan denah kompleks gedung CERN.
"Jadi kita bakal kebagi jadi dua tim. Satu timnya dua gedung. Nanti kalo udah keempat gedung yang udah gue sebutin diatas, baru kita tutup gerbang antar dimensi itu di gedung Genesis. Bersama-sama. Barengan." Afifat memimpin. "Tunggu-tunggu." Arum memotong, "Cara bedain bencana alam yang asli sama bencana gara-gara gerbang dimensi itu apa ?" tanyanya. Afifat tersenyum kecil, mengeluarkan sebuah kotak sebesar genggaman tangan dari sakunya.
"Pandora Box." Ucapnya. Mereka terkejut, lantas memasang wajah bingung. "Iya. Kotak Pandora." Afifat mengangkat kotak itu lebih tinggi, kotak hitam plastik dengan tulisan-tulisan kecil di sisi-sisinya yang tak terbaca oleh mereka. "Kotak Pandora itu wujudnya bener-bener kotak. Ini. Di hadapan kalian." Afifat membaca wajah-wajah mereka, wajah yang ingin mengambil lalu memainkannya, wajah yang penasaran akan isinya, atau bahkan sekedar wajah ingin tahu.
Afifat membuka kotak itu. Ada komedi putar kecil dengan dua buah kudanya yang seukuran anak buah catur. Satu berwarna putih dan yang satu lagi berwarna kecoklatan, diantara kedua kuda itu sebuah bohlam kecil terletak. Tombol switch on/off berada di bagian luar komedi putar namun didalam kotak itu juga. Kecil. Hanya berupa saklar.
"Begitu bohlamnya menyala, maka itu tandanya sesuatu sedang melewati gerbang antar dimensi." ucap Afifat, yang lain memperhatikan dengan seksama. "Dulu, Hani sering mengeluh soal bohlam ditengahnya yang mati dan memintaku membetulkannya. Tapi aku tak pernah membetulkannya. Sekarang kau paham kan ?" Afifat memberikan kotak itu pada Hani, tersenyum.
"Alat itu udah ada dari dulu ?" Stevian bertanya, "Begitulah. Sensor pada gerbang itu terhubung dengan bohlam ini. Gerbang antar dimensi ini sama persis seperti rancanganku dulu, sensor yang digunakan oleh Aristo pun sama, maka dari itu alat ini masih berfungsi." jawab Afifat. "Ayolah, mainkan kotak itu. Masih berfungsi kok."
Hani melirik kecil, lalu menekan saklarnya ke posisi on. Kedua kuda komidi putar itu bergerak sesuai poros, berotasi, suara khas taman bermain anak-anak pun muncul. Rel kuda pun menyala-nyala mengeluarkan warna yang bermacam-macam, hanya lampu bohlamnya yang tetap mati. Tidak mengeluaran cahaya sedikitpun.
BIP! Bohlam itu berkedip.
"Hah ?" Hani mundur beberapa langkah, hening. "Bohlamnya nyala!" Ucap Stevian cepat, kaget. "Iya gilaa bohlamnya barusan kedip" ujar Salma, Aldo dan Anwar mengangguk setuju, "Ah gua kaga liat mana coba coba" Bagus melewatkannya. Tama segera mengambil kotak itu, mematikannya, mengembalikannya pada Afifat, "Bawa aja." ucapnya pendek.
"Aku sudah menghubungi bala tentara sewaktu-waktu nanti kita butuh bantuan disana. Sekarang kalian istirahatlah dulu." Ucapnya tenang seraya menyimpan kotak yang diserahkan Tama. "Jiwo." Ia memanggil Jiwo, memisahkannya.
"Panggil Sekar kesini, bawa satu kameramen, satu saja. Satu orang editor kalau perlu. Nanti malam kita akan menarik perhatian seluruh warga Paris." ucap Afifat, Jiwo mengangguk. "Ya sudah, sekarang istirahatlah, kerja bagus dalam membebaskan mereka." Jiwo lantas meninggalkan Afifat.
"Lihatlah hiruk pikuk itu.." Afifat bergumam seraya memandang kearah jendela, pemandangan dari seberang sungai Seine. "Lihatlah kenyataan yang terpapar luas di hadapan kita. Bahwa manusia yang menganggap diri mereka sempurna, ternyata adalah yang paling rentan. Manusia yang menganggap bahwa dunia ini sepenuhnya milik mereka, merupakan peradaban terburuk sepanjang sejarah." Dua mobil polisi membelah jalanan di seberang sungai Seine, sirinenya berbunyi keras, mengejar sebuah mobil lainnya di depan mereka yang sedang dalam kecepatan tinggi.
Hujan turun. Afifat melirik kearah Kotak Pandora yang ia letakkan di bibir jendela. Bohlamnya tidak berkedip, aman. Ia lalu menuju salah satu kamar, mengambil sebuah kertas karton berukuran besar, menempelkannya di dinding.
Sementara rintik hujan diluar sana turun semakin deras, Afifat sedang mempersiapkan sesuatu.
Oleh : Kanzia Rahman
"Bangun. Aku disini untuk menyelamatkan kalian."
...
..
.
.
Arum membuka mata sepenuhnya, "Jiwo ?". Sel itu lalu terbuka, "Bantuin gua" Jiwo lalu menyerahkan sebuah pengait besi berisi beberapa kunci yang dikaitkan kesana, Arum membuka pintu sel untuk Stevian, Anwar, Salma dan Aldo, sementara Jiwo membuka pintu sel sisanya. "Kok ?" Aldo memasang wajah bingung, Jiwo mengenakan seragam lengkap kepolisian. Ia lalu melirik kearah dua orang polisi yang terbaring di tepi pintu, keduanya tak bergerak, bahkan yang satu hanya ditutupi pakaian sekiranya.
"Ikutin perintah gue. Gedung kepolisian lagi rame, media, wartawan, dimana-mana. Pas lu pada ditangkep semalem, gue sama Sekar kabur, gue ke apartemen, ambil barang-barang, nah terus tidur di channel TV tempat Sekar kerja, dia pulang kerumahnya." jelas Jiwo singkat, "Kita kabur lewat pintu belakang, udh ada van yang disediain buat kita. Tasnya lu lu pada ada disana." lanjutnya lagi. Yang lain mengangguk.
15 menit kemudian. Van itu berangkat meninggalkan gedung kepolisian. Ada isu yang mengatakan bahwa polisi membawa info baru yang sangat penting, tapi entahlah, semua sibuk pada urusan masing-masing terkait penangkapan mereka, entah itu soal konferensi pers, spekulasi, isu. Semua sibuk dengan semrawutnya masing-masing.
"Semalem kamar apartemen kita diacak-acak gila untung tas lu pada udh gua ambil" ucap Jiwo. "Terus lu ketemu sama Bagus ga Wo ?" tanya Aldo, "Nahh itu dia Do gua ga liat Bagus" jawab Jiwo, yang lain terdiam. "Jasadnya juga ga ketemu-temu dari semalem" gumam Anwar, "Itu pasti ada yang bawa kalo gitu" sahut Tama.
"Daripada ngomongin gituan, gue punya suprise nih." ucap Jiwo memancing rasa penasaran. Semua pertanyaan, kalimat dari yang lain yang mengarah pada kejutan itu tidak dihiraukan oleh Jiwo. "Udahh tunggu ajaa" tutupnya mendiamkan teman-temannya. Van itu meluncur bebas di jalan raya saat terdengar sahut-sahutan sirine mobil polisi kearah gedung kepolisian, tempat asal mereka. Nampaknya para polisi telah sadar bahwa tahanan mereka yang bernilai tinggi itu sudah tak lagi di selnya masing-masing.
Mobil yang dikendarai mereka berhenti di suatu rumah di tepi sungai Seine. Tengah hari. Kedua belas orang itu lalu turun membawa tas dan barang bawaannya masing-masing. "Tunggu, yang pertama masuk harus Hani ama Tama." cegat Jiwo sebelum membuka pintu, yang lain hanya memasang wajah bingung sementara Hani dan Tama melangkah ke depan barisan.
CKLEK..
Tama membuka pintu, lantas melangkahkan kakinya kedalam rumah, disusul Hani kedua, lalu yang lainnya. Jiwo menjadi yang terakhir sekaligus menutup pintu rumah. Kondisi rumah itu usang, tanpa perabotan, dinding-dindingnya menghitam, gelap, hanya ada satu sumber cahaya berupa jendela tanpa kaca di hadapan mereka, jalan menuju ruangan-ruangan lainnya berada di sebelah kiri mereka.
"Ini tempat apaan Wo ?" tanya Ival tapi tak dijawab, mereka lantas -secara perlahan- berjalan dari pintu masuk, menuju ruangan-ruangan lainnya. Tetapi langkah mereka terhenti di sebuah bingkai pintu tanpa pintu itu. Terpaku. Terdiam. Melihat seseorang sedang berdiri di tengah ruangan, menatap kearah jendela lainnya.
"Did you miss me?"
Suara itu. Suara berat itu. Hani kenal jelas suara itu. Suara yang menghantui dalam tiap-tiap mimpi buruknya, menganggu malam-malamnya. Pundaknya jatuh, matanya kosong. Ia tak salah lihat. Bukan. Mereka tak salah lihat. "Afifat !?" Tama segera bereaksi, tangannya dengan cepat ingin meraih pistol di pinggangnya, tetapi orang itu di tengah ruangan menahannya "Tunggu. Tak perlu."
"Tak perlu takut." Afifat menyeringai, "Aristo yang membawaku kembali kesini. Sialan." lanjutnya. "Ah, aku harusnya sedang bersenang-senang bersama Ibumu di surga, Hanifa" ucapnya lagi sambil melihat kearah Hani yang masih terpaku.
"Ayah.." Hani membuka mulutnya, "Maaf aku telah membunuhmu.." Suaranya parau, Tama segera mengusap wanita itu dalam pelukannya, menghentikan tangis yang baru keluar. Afifat mengangguk kecil, memaafkan, lantas tersenyum simpul melihat Tama menangkan Hani. "Ehem." Afifat berdehem, nada suaranya serius.
"Baiklah, tidak ada waktu untuk basa-basi. Aristo sedang membuat sebuah dunia dalam imajinasinya. Kalian sudah tahu cincin itu ? Efeknya banyak." Afifat memotong sejenak, "Cincin itu dapat mempengaruhi atmosfer bumi, menghasilkan getaran tektonik, menentukan pasang surut air laut, bahkan menjadi gerbang antar dimensi." lanjutnya. Bulu kuduk merek merinding.
"Tentu saja bukan cincin jari seperti yang kalian bayangkan. Namanya doang yang 'Cincin', aslinya gerbang gitu, kayak gapura tapi bentuknya segi lima. Lewat cincin itu sama aja pergi dari dimensi kita." Ia kembali memotong sejenak, menelan ludah.
"Tiap-tiap sesuatu yang lewat melalui gerbang antar dimensi itu menghasilkan efek di bumi, entah dengan cara apa, bisa jadi gempa, kenaikan air laut yang tidak wajar, angin tornado. Jangan tanya logika atau ilmiahnya, semua itu terjadi karena mereka melawan hukum alam." lanjutnya. "Kalo lu sendiri pas kesini apa efeknya ?" Adi bertanya.
"Kenaikan air laut, tinggi, bisa mencapai 10 meter. Terus tenang lagi. Nah gue udah coba cari informasi sebanyak mungkin, ada belasan gempa yang terjadi semaleman dari seluruh penjuru bumi. Dari Jepang, Australia, Belanda, Indonesia, Inggris, Rusia, gempa-gempa kecil, tapi jedanya satu jam sekali. Gak ada gempa yang diatur satu jam sekali kalo berdasarkan hukum alam." Afifat menjelaskan panjang lebar.
"Misi kalian sekarang lebih gampang, tutup pintu, gerbang, gapura segi lima, atau cincin itu. Terserah lah sebutannya apa. Terus pulang. Simple kan?" Afifat mengakhiri. "Kalian cuman perlu menyamar, lagi, kayak kemaren pas ngancurin gudang CERN itu. Gampang. Gue ikut bantuin kok." ucapnya, mata mereka berbinar-binar.
"Nah tapi bedanya, cincin itu adanya di tengah-tengah kompleks gedungnya. Gedung Genesis. Gedung yang ada ditengah-tengah tujuh gedung lainnya. Byzen, Ares, Poseidon, Zeus, Origine, Polaris, Hades. Dan untuk nutup gerbang itu, perlu matiin dulu saluran energi yang berasal dari gedung lain, Poseidon, Zeus, Polaris, Hades." Kini Afifat mengeluarkan denah kompleks gedung CERN.
"Jadi kita bakal kebagi jadi dua tim. Satu timnya dua gedung. Nanti kalo udah keempat gedung yang udah gue sebutin diatas, baru kita tutup gerbang antar dimensi itu di gedung Genesis. Bersama-sama. Barengan." Afifat memimpin. "Tunggu-tunggu." Arum memotong, "Cara bedain bencana alam yang asli sama bencana gara-gara gerbang dimensi itu apa ?" tanyanya. Afifat tersenyum kecil, mengeluarkan sebuah kotak sebesar genggaman tangan dari sakunya.
"Pandora Box." Ucapnya. Mereka terkejut, lantas memasang wajah bingung. "Iya. Kotak Pandora." Afifat mengangkat kotak itu lebih tinggi, kotak hitam plastik dengan tulisan-tulisan kecil di sisi-sisinya yang tak terbaca oleh mereka. "Kotak Pandora itu wujudnya bener-bener kotak. Ini. Di hadapan kalian." Afifat membaca wajah-wajah mereka, wajah yang ingin mengambil lalu memainkannya, wajah yang penasaran akan isinya, atau bahkan sekedar wajah ingin tahu.
Afifat membuka kotak itu. Ada komedi putar kecil dengan dua buah kudanya yang seukuran anak buah catur. Satu berwarna putih dan yang satu lagi berwarna kecoklatan, diantara kedua kuda itu sebuah bohlam kecil terletak. Tombol switch on/off berada di bagian luar komedi putar namun didalam kotak itu juga. Kecil. Hanya berupa saklar.
"Begitu bohlamnya menyala, maka itu tandanya sesuatu sedang melewati gerbang antar dimensi." ucap Afifat, yang lain memperhatikan dengan seksama. "Dulu, Hani sering mengeluh soal bohlam ditengahnya yang mati dan memintaku membetulkannya. Tapi aku tak pernah membetulkannya. Sekarang kau paham kan ?" Afifat memberikan kotak itu pada Hani, tersenyum.
"Alat itu udah ada dari dulu ?" Stevian bertanya, "Begitulah. Sensor pada gerbang itu terhubung dengan bohlam ini. Gerbang antar dimensi ini sama persis seperti rancanganku dulu, sensor yang digunakan oleh Aristo pun sama, maka dari itu alat ini masih berfungsi." jawab Afifat. "Ayolah, mainkan kotak itu. Masih berfungsi kok."
Hani melirik kecil, lalu menekan saklarnya ke posisi on. Kedua kuda komidi putar itu bergerak sesuai poros, berotasi, suara khas taman bermain anak-anak pun muncul. Rel kuda pun menyala-nyala mengeluarkan warna yang bermacam-macam, hanya lampu bohlamnya yang tetap mati. Tidak mengeluaran cahaya sedikitpun.
BIP! Bohlam itu berkedip.
"Hah ?" Hani mundur beberapa langkah, hening. "Bohlamnya nyala!" Ucap Stevian cepat, kaget. "Iya gilaa bohlamnya barusan kedip" ujar Salma, Aldo dan Anwar mengangguk setuju, "Ah gua kaga liat mana coba coba" Bagus melewatkannya. Tama segera mengambil kotak itu, mematikannya, mengembalikannya pada Afifat, "Bawa aja." ucapnya pendek.
"Aku sudah menghubungi bala tentara sewaktu-waktu nanti kita butuh bantuan disana. Sekarang kalian istirahatlah dulu." Ucapnya tenang seraya menyimpan kotak yang diserahkan Tama. "Jiwo." Ia memanggil Jiwo, memisahkannya.
"Panggil Sekar kesini, bawa satu kameramen, satu saja. Satu orang editor kalau perlu. Nanti malam kita akan menarik perhatian seluruh warga Paris." ucap Afifat, Jiwo mengangguk. "Ya sudah, sekarang istirahatlah, kerja bagus dalam membebaskan mereka." Jiwo lantas meninggalkan Afifat.
"Lihatlah hiruk pikuk itu.." Afifat bergumam seraya memandang kearah jendela, pemandangan dari seberang sungai Seine. "Lihatlah kenyataan yang terpapar luas di hadapan kita. Bahwa manusia yang menganggap diri mereka sempurna, ternyata adalah yang paling rentan. Manusia yang menganggap bahwa dunia ini sepenuhnya milik mereka, merupakan peradaban terburuk sepanjang sejarah." Dua mobil polisi membelah jalanan di seberang sungai Seine, sirinenya berbunyi keras, mengejar sebuah mobil lainnya di depan mereka yang sedang dalam kecepatan tinggi.
Hujan turun. Afifat melirik kearah Kotak Pandora yang ia letakkan di bibir jendela. Bohlamnya tidak berkedip, aman. Ia lalu menuju salah satu kamar, mengambil sebuah kertas karton berukuran besar, menempelkannya di dinding.
Sementara rintik hujan diluar sana turun semakin deras, Afifat sedang mempersiapkan sesuatu.
-----//////-----
Sudah tiga jam hujan turun, konferensi pers akan diadakan 10 menit lagi, hujan mereda, menyisakan gerimis deras yang membungkus kota yang tak pernah tidur itu. Tapi kini situasinya berbeda, dunia sedang bersedih, mereka baru saja menyaksikan ironi, menjadi saksi dalam penangkapan kesebelas 'pahlawan' mereka yang menghancurkan distribusi truck CERN.
"Bonsoir." Sang kepala kepolisian, Farhan Chandra Oktaviano membuka konferensi pers sore itu. Dua buah projector besar dibelakangnya menampilkan logo kebanggaan kepolisian Perancis. Wartawan dan rekan media telah berkumpul.
"Hari ini kita berkumpul, terkait penangkapan kesebelas orang tersangka utama dalam kasus meledaknya truck CERN pada siang kemarin." Lanjutnya berwibawa, ia lalu berhenti sejenak. "Kesebelas orang itu adalah.." Dua buah layar projector dibelakangnya lalu menampilkan foto-foto mereka. Foto Ainun, Latriaz, Hanifa, Adi dan Ival ditampilkan di layar sebelah kiri, sementara foto Stevian, Tama, Aldo, Salma, Arum dan Anwar ditampilkan di layar sebelah kanan.
Cahaya blitz kamera bersahut-sahutan memfoto sang kepala kepolisian, sementara kamera lainnya mengarahkan fokusnya kearah layar projector, memotret foto-foto kesebelas orang diatas. "Untuk sementara ini, mereka masih ditahan di sel untuk menjalani sidang lanjutan dalam beberapa hari kedepan. Baiklah, ada yang ingin bertanya ?" Farhan lalu melemparkan pandangannya ke segala penjuru.
PAK!
Seseorang menepuk bahunya, ia menoleh. Orang itu lantas berbisik kecil pada Farhan. Lalu tiba-tiba ruangan konferensi heboh.
"Selamat sore, warga dunia." Layar projector itu kini menampilkan Aldo yang sedang duduk di sebuah sofa merah yang panjang dengan background berwarna hitam dibelakangnya. "Kemarin, kami telah melakukan sebuah tindakan besar untuk melindungi dunia yang sangat kita cintai ini." Lanjutnya.
"Kami mendapat laporan bahwa papan iklan di seluruh Paris juga menayangkan hal yang sama Pak!" ucap salah seorang bawahan Farhan, "Temanku di Amerika melihatnya di Times Square. Seluruh layar menayangkan hal yang sama!" lanjut seorang bawahan lainnya.
"Dan kalian tahu sendiri, bahwa kami ditangkap lalu dimasukkan ke penjara." Arum bergabung dan duduk di sebelah kiri Aldo, "Mereka melakukan segala cara untuk menangkap kami. Termasuk menabrak seorang ibu hamil yang sedang menyebrang di salah satu persimpangan Paris." Anwar pun sama, ia duduk di sebelah kanan Aldo.
"HOOOOO!" Ruang konferensi sontak ramai, shock. "Cek ke sel mereka! Segera!" Perintah Farhan pada salah dua bawahan yang segera berlari menuju sel kesebelas orang itu. "BOOOO!" Cemoohan dilayangkan kepada polisi oleh para wartawan dan rekan media. "Hal ini menjadi ramai di internet Pak!" lapor salah satu bawahan Farhan lainnya.
"Apakah mereka bersalah ? Tidak." Salma bergabung lalu duduk disebelah Arum, "Mereka tidak bersalah, atau lebih tepatnya, mereka dibodohi." ucap Adi lalu duduk disebelah Anwar. "Kita pun sama. Kita telah dijebak. We've been framed." Stevian kini duduk disebelah Adi.
"Teman kami, Bagus, dinyatakan menghilang dalam ledakan kemarin." Ainun duduk disebelah Hani. Ival berjalan menuju sofa, duduk disebelah Stevian, "Dalam sulap, kau harus mengembalikan sesuatu yang menghilang untuk mendapatkan tepuk tangan penonton." ucapnya bernada serius.
"Dan kami, akan mengembalikan Bagus untuk kalian." Tama muncul dan berdiri dibelakang sofa itu.
Sorak sorai ramai memenuhi ruangan konferensi, juga seluruh dunia. Wajah mereka penuh kegembiraan menyambut kesebelas orang yang kini hadir di layar-layar gadget mereka. "Video ini telah disebar di YouTube juga Pak" lapor seorang bawahan Farhan lainnya, "Lacak! Lacak sinyal mereka! Lacak persembunyian mereka!" Laporan itu tidak ditanggapi oleh Farhan. "Lihatlah. Dua ratus juta penonton dalam 5 menit." ucap bawahan itu lagi, "Wow" Farhan menoleh.
"Kami tunggu kehadiran kalian di gedung kepolisian malam ini!" Latriaz bergabung dan duduk disebelah Ainun. "Agar lebih aman, sebaiknya kalian menunggu diluar kompleks gedungnya. Dan jangan bawa anak-anak. Kalian akan menjadi saksi hidup atas perubahan sejarah terbesar umat manusia." Hani menjadi orang terakhir yang muncul, ia lantas berdiri di sebelah Tama. "Kami juga meminta bantuan dari kalian, para polisi dan tentara yang terhormat." Tama melanjutkan.
"Tunggu kami!" Ucap mereka bersamaan. Layar projector lalu menampilkan warna hitam polos. Perlahan berubah menjadi layaknya pertarungan semut, hitam dan putih yang berbunyi dengung panjang, static.
-- To Be Continued --
No comments:
Post a Comment