After Pandora : Siren. (Part 6)
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Awan gelap berkumpul di langit. Bom nuklir Mikro yang meledak di bagian belakang truk itu menghancurkan seluruh isinya, ditengah gempa, truk itu lantas terhempas hingga terbalik dengan roda diatas.
"Mencar mencar!" Teriak Tama, ia dan Aldo segera berlari berlawanan arah. Masyarakat yang tadinya tertata rapih di trotoar jalanan kini berubah menjadi kerusuhan, mereka berlari tak tentu arah, menuju rumah masing-masing, chaos.
Truk yang terbakar itu tak menyisakan apa-apa kecuali dua orang mayat di bagian pengemudinya beberapa menit kemudian. Gempa berhenti. Bensin menetes dari bagian tangki yang terbakar habis, hanya butuh api untuk membakar sekaligus meledakkan truk itu untuk kedua kalinya.
Salma dan Arum sudah bertemu satu sama lain, kebingungan atas apa yang akan mereka lakukan. Satu dua orang menabrak kedua perempuan itu, "Stevian! Stevian!" Salma mencoba menghubungi Stevian, tak ada jawaban.
SREEEETTT!!
Sebuah mobil sedan tiba-tiba melakukan rem mendadak didepan mereka, bahkan bagian belakangnya berbelok sedikit, drift, menghindari Arum dan Salma.
Sebuah mobil sedan tiba-tiba melakukan rem mendadak didepan mereka, bahkan bagian belakangnya berbelok sedikit, drift, menghindari Arum dan Salma.
Pintu dibuka dari dalam, "Masuk gece!" Ucap Stevian, tangannya masih menahan pintu itu. Salma dan Arum sontak masuk kedalam mobil, pintu segera ditutup. "Panik gua jir ketauan" ujar Stevian, "Iya sama gila, untung gua ketemu ama Arum" sahut Salma, "Tau ya hoki banget" kata Arum tertawa kecil.
Aldo dan Tama berada di kursi depan, tak ada waktu untuk mengobrol. Mereka harus mencari Bagus dan Anwar disekitar kerumunan orang. Rawan. Tama menghentikan mobil sembarang, ia dan Aldo beranjak turun dari dua kursi depan mobil, pergi meninggalkan Stevian, Arum dan Salma.
Senyum kecil tersungging di bibir Hani seraya mobil yang mereka tumpangi memasuki jalan raya kota Paris, ia lalu melirik jam. Sudah waktunya.
Indira dan Evri sama sekali tak menyentuh apa-apa semenjak keluar dari gudang CERN, lantai putih pualam menjadi saksi bisu langkah-langkah kaki mereka yang keluar sejenak, lantas kembali untuk membersihkan bekas-bekas tumpahan cairan akibat beberapa labu ukur yang tumpah.
"Nyusahiin aja tuh tamu yak" "Au yak Ind dateng-dateng ke gudang mana numpahin ginian lagi" Evri dan Indira menggerutu, meletakkan pecahan beling sembarang, membersihkan cairan di lantai dengan tangan. Jika saja bos mereka tahu, mereka sudah dipecat.
Belasan menit kemudian, mereka bangkit, keluar dari gudang penyimpanan cairan kimia.
"Eh ini apa deh Vri ?" Indira melirik kearah salah satu box kayu, "Itu ? box yang buat VR kan ?" Evri menjawab, "Lu masa gituan doang gatau si Ind orang gede gitu" "Ihh bukan itunya" Indira memotong kalimat Evri, "Ituan" Ia lalu menunjuk selembar kertas yang terselip di sela-sela sudut box itu. Mereka lalu melihat sekeliling, box-box lainnya juga sudah diselipi kertas-kertas di bagian sudut-sudutnya.
"Pegang Vri ih takut gua haha" Indira cengengesan tak berani, "Jangan ah gaberani gua haha" Evri sama saja. "Yaudah ayo bareng-bareng megangnya" tawar Indira, "Ah lebay lu Dir kertas doang" Evri menurunkan tangan Indira, memegang salah satu kertas.
FRUUUHH
Kertas itu terbakar, satu kertas pertama. Box kayu yang diselipi menyusul terbakar. Begitupula dengan box dan kertas kertas lainnya di gudang itu. Api menyebar secara berantai, asap muncul setelah beberapa saat. Alarm kebakaran berbunyi, sprinkle system atau penyemprot air otomatis di langit-langit pun menyirakan air.
Kebakaran menjalar, asap mengepul kecil, menyisakan abu dari box-box kayu juga perangkat VR yang belum dibagikan. Beberapa petugas keamanan segera menerobos masuk setelah mendengar alarm kebakaran. Evri dan Indira mematung dibawah siraman air dari langit-langit. Gudang itu terbakar tak bersisa setelah beberapa menit, begitupula dengan karir mereka di CERN. Habis.
BRUUUMMM
Mobil yang dikendarai Aldo membelah jalanan kota Paris, disebelahnya ada Tama. Stevian, Salma, Arum dan Anwar yang duduk di kursi belakang tak banyak bicara. Satu-dua tetes air mata, mereka meninggalkan Bagus.
"Ah gila Bagus udah jadi temen gue lama banget" gumam Anwar. Tama menelan ludah sejenak, ia yang memberi keputusan untuk meninggalkan Bagus, "Truknya hampir meledak itu. Bahaya." balasnya singkat. "Yakan tapi seengganya bisa narik mayatnya dulu kek apa kek" ucap Salma "Mayatnya lagikan kek udah mati aja Ma" potong Stevian cepat. "Emang lu berdua ga ngeliat Bagus dimana ?" tanya Arum penasaran, "Tau nih jadi kurang satu kan kita timnya" timpal Stevian, "Au." Sahut Arum, Tama menarik nafas kecil, "Kalian ga disana!" bentaknya.
Truk sudah meledak dua kali dan terbakar beberapa menit yang lalu, api berkobar dimana-mana, puluhan mayat bergelimpangan sepanjang jalan raya sekitaran hotel. Mobil itu hening sekarang, Tama meminta maaf, yang lain tak banyak bicara. Aldo diam seribu kata, fokus pada jalanan didepannya, pada gagang stir di genggaman tangannya.
Sirine bersahut-sahutan di jalanan, mobil-mobil pemadam kebakaran merah berlalu lalang sepanjang jalan, sebagian ke tempat truk yang meledak dan terbakar, sebagian ke kompleks gedung CERN. Bunyi suara baling-baling helikopter terdengar dari langit-langit. Dua, tiga helikopter dikirimkan kepolisian untuk mencari jasad satu orang yang masuk kedalam bagian roda truk yang meledak.
Hasilnya nihil.
DUARRR!!!
Tiba-tiba sebuah ledakan datang dari jalanan didepan mereka, menghancurkan aspal jalan raya, api berkobar. Aldo segera membanting stir, mobil berbelok ke kiri, ia lantas melirik kearah kaca spion, dua buah mobil polisi mengejar mereka dengan kecepatan tinggi, bunyi sirinenya menambah ramai malam itu. Sirine ambulans, pemadam kebakaran, dan mobil polisi yang mengejar mereka, tiga buah sumber sirine, tiga-tiganya harus dihindari.
"Mereka udah tau nih pasti" gumam Anwar, Stevian mengiyakan. "Udah ketauan kalo kita yang ledakin itu ?" tanya Salma, "Iya Ma" Arum singkat menjawab. Keempat raut wajah mereka menunjukkan muka cemas, takut, dan khawatir.
DOR DOR DOR!
Timah panas ditembakkan dari moncong-moncong pistol polisi dibelakang mereka. Mobil yang dikendarai Aldo meliuk-liuk menghindarinya, "Bales Tam" ucap Aldo tanpa melihat, ia fokus pada jalanan panjang didepannya.
Suara baling-baling helikopter terdengar samar, situasi akan jauh lebih buruk daripada ini.
Tama membuka jendela, melihat kearah spion, mengarahkan pistolnya melalui kaca itu. Tanpa pikir panjang Tama menekan pelatuknya, membuat sebuah lubang pada salah satu mobil polisi, mobil itu terhenti. Lumpuh.
"Nice Tam!" teriak Anwar sambil memerhatikan lewat kaca spion tengah. Suaranya segera hilang saat sebuah peluru menembus kaca belakang, menghancurkan kaca spion yang menggantung di bagian atas dashboard mobil. Keempat orang di kursi belakang refleks menunduk.
"Kaget gua gila" kata Anwar masih menunduk. Dua buah peluru menyusul, bersarang di bagian belakang jok Aldo. "Tetap merunduk!" Tama mengomandoi. Hujan peluru datang beberapa detik setelahnya, merobek-robek jok supir dan jok disebelahnya, "Coba itu peluru kapan berhentinya itu" gumam Stevian.
Tama membetulkan posisi duduknya, melirik kearah jendela, ia kini menargetkan orang yang menembak dari dalam mobil polisi yang tersisa, keringat bercucuran di pelipisnya, ia harus memastikan peluru itu tepat sasaran.
"Tembak Tam buruan!" desak Aldo seraya memperlambat gerak mobil dengan dua tujuan. Pertama, untuk membantu Tama mengarahkan pistolnya. Kedua, untuk mempermudah belokan mobil. Ia akan berbelok di persimpangan didepan yang hanya tinggal belasan meter lagi.
PRAAANG!
Kaca spion mobil itu hancur. Tama kehilangan arah moncongnya. Sebuah peluru mengarah ke tangan kiri Tama, tepat mengenai kulitnya, mengoyak daging didalamnya. Ia melempar pistol yang ia pegang, lantas memasukkan tangannya yang sempat mencuat keluar dari mobil.
"Aargh!" Teriak Tama lantas segera merunduk kesakitan. "Tama kenapa tuh" kata Arum, "Ketembak paling Rum" balas Salma, "Eh gua ada pistol deh nih kalo ga salah" ucap Anwar, lalu meletakkan pistol itu di lantai mobil.
"Sini War" Stevian mengambil pistol itu, sekarang semua tembakan dari polisi mengarah ke jok Tama yang teriakannya terdengar hingga mobil mereka, desingan peluru memekakkan telinga Salma dan Arum yang merunduk tepat dibelakang jok tersebut, sementara Anwar merunduk diantara jok dan Stevian merunduk dibelakang jok Aldo.
Stevian lalu duduk tegas, ia mendapat sebuah ruang tembak.
DOR!
Ia menembakkan pistol itu. Sayang, waktunya bersamaan dengan Aldo yang berbelok. Tembakan Stevian meleset. peluru itu melesat tajam menghancurkan kaca salah satu etalase toko pakaian di jalanan Paris, mengenai manekinnya yang rubuh setelahnya.
"Elah lu Do" Stevian mengeluh, "Hahaha maaf Stev gua gatau lu nembak" Aldo tertawa kecil, ratusan meter jauh didepan adalah perlintasan kereta api. Aldo menyeringai, menginjak pedal gas sekencang mungkin.
Satu-dua mobil berhenti mendadak kala Aldo lewat didepannya. Beberapa persimpangan berikutnya dilewati mereka dengan diiringi klakson yang bersahut-sahutan, mengutuk. Tapi siapa peduli ? Toh tidak ada yang mendengarnya juga.
"Sekali lagi nih Stev!" Aldo telah memangkas ratusan meter dari lokasinya tadi, ia kembali memperlambat gerak mobil, puluhan meter kedepan, mereka akan melewati tanjakan pendek sebelum melintasi palang perlintasan kereta api, bunyi khas palang akan ditutup terdengar kencang. Tanah dan bebatuan di rel bergetar, kereta akan lewat sebentar lagi.
Mobil polisi itu kini hanya belasan meter dari mereka. Anwar, Salma dan Arum duduk tegak untuk sejenak, pegal, lantas kembali merunduk saat mereka melihat mobil polisi yang masih mengejar. Stevian tak melakukan hal yang sama, ia menutup sebelah matanya, menambah akurasi, mengarahkan pistol itu ke sasaran yang daritadi ia incar.
"Gas Do!" Teriak Stevian.
Aldo tancap gas, mobil yang mereka tumpangi 'terbang' saat melewati tanjakan pendek itu. Stevian menembakkan pistolnya disaat yang sama, memanfaatkan hukum alam, gravitasi. Peluru yang ia tembakkan melesat menghancurkan kaca depan mobil polisi, juga mata kiri sang pengemudi mobil polisi.
Teriakan polisi itu kalah kencang dengan bunyi kereta api yang melintas, mobil mereka sudah sampai di sisi lainnya, melewati perlintasan. Sementara mobil polisi itu menabrak palang perlintasan, lantas ditabrak oleh kereta api yang lewat.
BUAKK!!!
Bunyinya keras, dan berbahaya. Mobil polisi itu terseret ratusan meter, hancur berkeping-keping, berubah menjadi setumpuk besi rongsokan yang tergeletak begitu saja, pecahannya bertebaran sepanjang rel kereta api, dua mayat yang entah masih bisa teridentifikasi atau tidak bersemayam didalam mobil itu.
"Wuhu!" Teriak Aldo senang, namun kesenangannya hanya sementara. Belasan meter kedepan, puluhan personil polisi sudah menutup jalan itu. Dua buah van hitam berlambang polisi juga menunggu dibelakangnya. Beberapa barikade disediakan, memberi jarak antara personil polisi yang berjaga dengan tempat berhentinya mereka nantinya. Sebuah ranjau darat berbentuk duri-duri tajam sudah menunggu mereka selebar jalan itu. Habis.
DOR DOR!
Dua buah peluru ditembakkan kearah ban mobil mereka, menghentikan geraknya. Personil polisi yang sudah menunggu segera berlari kearah mereka, membuka pintu, membuat mereka berlutut dan memasangkan borgol ke tangan-tangan mereka.
Helikopter datang, menembakkan cahayanya kearah mobil sedan yang sudah kosong itu. Para penumpangnya sudah dibawa polisi dengan tangan diborgol. Aristo mendatangi keenam orang yang tangannya di borgol itu, cahaya helikopter ditembakkan.
"Lihatlah! warga Paris!" Aristo berteriak, seluruh channel tv menayangkan Aristo, kamera-kamera mengarahkan fokusnya juga ke orang yang sama, sembari sesekali bergantian menyorot Aldo, Tama, Stevian, Anwar, Salma, dan Arum.
Adi, Hani, Ainun, Ival dan Latriaz berjalan kearah mereka, dengan tangan yang juga di borgol. Rupanya kelima orang itu sudah terlebih dahulu ditangkap daripada Aldo, Tama, Stevian, Anwar, Salma dan Arum yang sempat melakukan perlawanan.
"Paansi" ucap Ainun judes saat seorang polisi mendorongnya, menyuruhnya berjalan lebih cepat. "Iye iye ah sabar" Ival pun sama, menggerutu saat polisi lain menyuruhnya bergerak lebih cepat. Sementara Latriaz, Adi dan Hani tak banyak bicara. Mengikuti prosedur saja.
"Lihatlah! Mereka yang dulu kalian sebut sebagai pahlawan, kini membelok dan menghancurkan rakyatnya sendiri!" Aristo berteriak lebih kencang. Kini Aldo, Tama, Stevian, Anwar, Salma, Arum, Adi, Hani, Ainun, Ival, dan Latriaz sudah berdiri sejajar.
"CERN telah rugi banyak sekali. Rugi besar! Gudang CERN habis dibakar, distribusi peralatan VR untuk semua umat manusia diledakkan oleh mereka. Kalian tahu dana CERN darimana ? Dari kalian, dari kalian sendiri, penduduk Perancis!" Ketiga belas orang itu diam saja.
"Tapi tunggu, aku ingin bertanya satu hal.." Aristo berjalan kearah Adi, Hani, Ainun, Ival dan Latriaz. "Bagaimana cara kalian membakar gudangku dengan kertas ?" tanyanya. Mereka saling melirik satu sama lain.
"Magic." jawab Ival tegas.
"Bawa mereka!" Aristo marah, para polisi lantas menutup mata mereka dengan sebuah penutup mata. Mengarahkan mereka kedalam van-van polisi. Membawa mereka pergi.
Indira dan Evri sama sekali tak menyentuh apa-apa semenjak keluar dari gudang CERN, lantai putih pualam menjadi saksi bisu langkah-langkah kaki mereka yang keluar sejenak, lantas kembali untuk membersihkan bekas-bekas tumpahan cairan akibat beberapa labu ukur yang tumpah.
"Nyusahiin aja tuh tamu yak" "Au yak Ind dateng-dateng ke gudang mana numpahin ginian lagi" Evri dan Indira menggerutu, meletakkan pecahan beling sembarang, membersihkan cairan di lantai dengan tangan. Jika saja bos mereka tahu, mereka sudah dipecat.
Belasan menit kemudian, mereka bangkit, keluar dari gudang penyimpanan cairan kimia.
"Eh ini apa deh Vri ?" Indira melirik kearah salah satu box kayu, "Itu ? box yang buat VR kan ?" Evri menjawab, "Lu masa gituan doang gatau si Ind orang gede gitu" "Ihh bukan itunya" Indira memotong kalimat Evri, "Ituan" Ia lalu menunjuk selembar kertas yang terselip di sela-sela sudut box itu. Mereka lalu melihat sekeliling, box-box lainnya juga sudah diselipi kertas-kertas di bagian sudut-sudutnya.
"Pegang Vri ih takut gua haha" Indira cengengesan tak berani, "Jangan ah gaberani gua haha" Evri sama saja. "Yaudah ayo bareng-bareng megangnya" tawar Indira, "Ah lebay lu Dir kertas doang" Evri menurunkan tangan Indira, memegang salah satu kertas.
FRUUUHH
Kertas itu terbakar, satu kertas pertama. Box kayu yang diselipi menyusul terbakar. Begitupula dengan box dan kertas kertas lainnya di gudang itu. Api menyebar secara berantai, asap muncul setelah beberapa saat. Alarm kebakaran berbunyi, sprinkle system atau penyemprot air otomatis di langit-langit pun menyirakan air.
Kebakaran menjalar, asap mengepul kecil, menyisakan abu dari box-box kayu juga perangkat VR yang belum dibagikan. Beberapa petugas keamanan segera menerobos masuk setelah mendengar alarm kebakaran. Evri dan Indira mematung dibawah siraman air dari langit-langit. Gudang itu terbakar tak bersisa setelah beberapa menit, begitupula dengan karir mereka di CERN. Habis.
BRUUUMMM
Mobil yang dikendarai Aldo membelah jalanan kota Paris, disebelahnya ada Tama. Stevian, Salma, Arum dan Anwar yang duduk di kursi belakang tak banyak bicara. Satu-dua tetes air mata, mereka meninggalkan Bagus.
"Ah gila Bagus udah jadi temen gue lama banget" gumam Anwar. Tama menelan ludah sejenak, ia yang memberi keputusan untuk meninggalkan Bagus, "Truknya hampir meledak itu. Bahaya." balasnya singkat. "Yakan tapi seengganya bisa narik mayatnya dulu kek apa kek" ucap Salma "Mayatnya lagikan kek udah mati aja Ma" potong Stevian cepat. "Emang lu berdua ga ngeliat Bagus dimana ?" tanya Arum penasaran, "Tau nih jadi kurang satu kan kita timnya" timpal Stevian, "Au." Sahut Arum, Tama menarik nafas kecil, "Kalian ga disana!" bentaknya.
Truk sudah meledak dua kali dan terbakar beberapa menit yang lalu, api berkobar dimana-mana, puluhan mayat bergelimpangan sepanjang jalan raya sekitaran hotel. Mobil itu hening sekarang, Tama meminta maaf, yang lain tak banyak bicara. Aldo diam seribu kata, fokus pada jalanan didepannya, pada gagang stir di genggaman tangannya.
Sirine bersahut-sahutan di jalanan, mobil-mobil pemadam kebakaran merah berlalu lalang sepanjang jalan, sebagian ke tempat truk yang meledak dan terbakar, sebagian ke kompleks gedung CERN. Bunyi suara baling-baling helikopter terdengar dari langit-langit. Dua, tiga helikopter dikirimkan kepolisian untuk mencari jasad satu orang yang masuk kedalam bagian roda truk yang meledak.
Hasilnya nihil.
DUARRR!!!
Tiba-tiba sebuah ledakan datang dari jalanan didepan mereka, menghancurkan aspal jalan raya, api berkobar. Aldo segera membanting stir, mobil berbelok ke kiri, ia lantas melirik kearah kaca spion, dua buah mobil polisi mengejar mereka dengan kecepatan tinggi, bunyi sirinenya menambah ramai malam itu. Sirine ambulans, pemadam kebakaran, dan mobil polisi yang mengejar mereka, tiga buah sumber sirine, tiga-tiganya harus dihindari.
"Mereka udah tau nih pasti" gumam Anwar, Stevian mengiyakan. "Udah ketauan kalo kita yang ledakin itu ?" tanya Salma, "Iya Ma" Arum singkat menjawab. Keempat raut wajah mereka menunjukkan muka cemas, takut, dan khawatir.
DOR DOR DOR!
Timah panas ditembakkan dari moncong-moncong pistol polisi dibelakang mereka. Mobil yang dikendarai Aldo meliuk-liuk menghindarinya, "Bales Tam" ucap Aldo tanpa melihat, ia fokus pada jalanan panjang didepannya.
Suara baling-baling helikopter terdengar samar, situasi akan jauh lebih buruk daripada ini.
Tama membuka jendela, melihat kearah spion, mengarahkan pistolnya melalui kaca itu. Tanpa pikir panjang Tama menekan pelatuknya, membuat sebuah lubang pada salah satu mobil polisi, mobil itu terhenti. Lumpuh.
"Nice Tam!" teriak Anwar sambil memerhatikan lewat kaca spion tengah. Suaranya segera hilang saat sebuah peluru menembus kaca belakang, menghancurkan kaca spion yang menggantung di bagian atas dashboard mobil. Keempat orang di kursi belakang refleks menunduk.
"Kaget gua gila" kata Anwar masih menunduk. Dua buah peluru menyusul, bersarang di bagian belakang jok Aldo. "Tetap merunduk!" Tama mengomandoi. Hujan peluru datang beberapa detik setelahnya, merobek-robek jok supir dan jok disebelahnya, "Coba itu peluru kapan berhentinya itu" gumam Stevian.
Tama membetulkan posisi duduknya, melirik kearah jendela, ia kini menargetkan orang yang menembak dari dalam mobil polisi yang tersisa, keringat bercucuran di pelipisnya, ia harus memastikan peluru itu tepat sasaran.
"Tembak Tam buruan!" desak Aldo seraya memperlambat gerak mobil dengan dua tujuan. Pertama, untuk membantu Tama mengarahkan pistolnya. Kedua, untuk mempermudah belokan mobil. Ia akan berbelok di persimpangan didepan yang hanya tinggal belasan meter lagi.
PRAAANG!
Kaca spion mobil itu hancur. Tama kehilangan arah moncongnya. Sebuah peluru mengarah ke tangan kiri Tama, tepat mengenai kulitnya, mengoyak daging didalamnya. Ia melempar pistol yang ia pegang, lantas memasukkan tangannya yang sempat mencuat keluar dari mobil.
"Aargh!" Teriak Tama lantas segera merunduk kesakitan. "Tama kenapa tuh" kata Arum, "Ketembak paling Rum" balas Salma, "Eh gua ada pistol deh nih kalo ga salah" ucap Anwar, lalu meletakkan pistol itu di lantai mobil.
"Sini War" Stevian mengambil pistol itu, sekarang semua tembakan dari polisi mengarah ke jok Tama yang teriakannya terdengar hingga mobil mereka, desingan peluru memekakkan telinga Salma dan Arum yang merunduk tepat dibelakang jok tersebut, sementara Anwar merunduk diantara jok dan Stevian merunduk dibelakang jok Aldo.
Stevian lalu duduk tegas, ia mendapat sebuah ruang tembak.
DOR!
Ia menembakkan pistol itu. Sayang, waktunya bersamaan dengan Aldo yang berbelok. Tembakan Stevian meleset. peluru itu melesat tajam menghancurkan kaca salah satu etalase toko pakaian di jalanan Paris, mengenai manekinnya yang rubuh setelahnya.
"Elah lu Do" Stevian mengeluh, "Hahaha maaf Stev gua gatau lu nembak" Aldo tertawa kecil, ratusan meter jauh didepan adalah perlintasan kereta api. Aldo menyeringai, menginjak pedal gas sekencang mungkin.
Satu-dua mobil berhenti mendadak kala Aldo lewat didepannya. Beberapa persimpangan berikutnya dilewati mereka dengan diiringi klakson yang bersahut-sahutan, mengutuk. Tapi siapa peduli ? Toh tidak ada yang mendengarnya juga.
"Sekali lagi nih Stev!" Aldo telah memangkas ratusan meter dari lokasinya tadi, ia kembali memperlambat gerak mobil, puluhan meter kedepan, mereka akan melewati tanjakan pendek sebelum melintasi palang perlintasan kereta api, bunyi khas palang akan ditutup terdengar kencang. Tanah dan bebatuan di rel bergetar, kereta akan lewat sebentar lagi.
Mobil polisi itu kini hanya belasan meter dari mereka. Anwar, Salma dan Arum duduk tegak untuk sejenak, pegal, lantas kembali merunduk saat mereka melihat mobil polisi yang masih mengejar. Stevian tak melakukan hal yang sama, ia menutup sebelah matanya, menambah akurasi, mengarahkan pistol itu ke sasaran yang daritadi ia incar.
"Gas Do!" Teriak Stevian.
Aldo tancap gas, mobil yang mereka tumpangi 'terbang' saat melewati tanjakan pendek itu. Stevian menembakkan pistolnya disaat yang sama, memanfaatkan hukum alam, gravitasi. Peluru yang ia tembakkan melesat menghancurkan kaca depan mobil polisi, juga mata kiri sang pengemudi mobil polisi.
Teriakan polisi itu kalah kencang dengan bunyi kereta api yang melintas, mobil mereka sudah sampai di sisi lainnya, melewati perlintasan. Sementara mobil polisi itu menabrak palang perlintasan, lantas ditabrak oleh kereta api yang lewat.
BUAKK!!!
Bunyinya keras, dan berbahaya. Mobil polisi itu terseret ratusan meter, hancur berkeping-keping, berubah menjadi setumpuk besi rongsokan yang tergeletak begitu saja, pecahannya bertebaran sepanjang rel kereta api, dua mayat yang entah masih bisa teridentifikasi atau tidak bersemayam didalam mobil itu.
"Wuhu!" Teriak Aldo senang, namun kesenangannya hanya sementara. Belasan meter kedepan, puluhan personil polisi sudah menutup jalan itu. Dua buah van hitam berlambang polisi juga menunggu dibelakangnya. Beberapa barikade disediakan, memberi jarak antara personil polisi yang berjaga dengan tempat berhentinya mereka nantinya. Sebuah ranjau darat berbentuk duri-duri tajam sudah menunggu mereka selebar jalan itu. Habis.
DOR DOR!
Dua buah peluru ditembakkan kearah ban mobil mereka, menghentikan geraknya. Personil polisi yang sudah menunggu segera berlari kearah mereka, membuka pintu, membuat mereka berlutut dan memasangkan borgol ke tangan-tangan mereka.
Helikopter datang, menembakkan cahayanya kearah mobil sedan yang sudah kosong itu. Para penumpangnya sudah dibawa polisi dengan tangan diborgol. Aristo mendatangi keenam orang yang tangannya di borgol itu, cahaya helikopter ditembakkan.
"Lihatlah! warga Paris!" Aristo berteriak, seluruh channel tv menayangkan Aristo, kamera-kamera mengarahkan fokusnya juga ke orang yang sama, sembari sesekali bergantian menyorot Aldo, Tama, Stevian, Anwar, Salma, dan Arum.
Adi, Hani, Ainun, Ival dan Latriaz berjalan kearah mereka, dengan tangan yang juga di borgol. Rupanya kelima orang itu sudah terlebih dahulu ditangkap daripada Aldo, Tama, Stevian, Anwar, Salma dan Arum yang sempat melakukan perlawanan.
"Paansi" ucap Ainun judes saat seorang polisi mendorongnya, menyuruhnya berjalan lebih cepat. "Iye iye ah sabar" Ival pun sama, menggerutu saat polisi lain menyuruhnya bergerak lebih cepat. Sementara Latriaz, Adi dan Hani tak banyak bicara. Mengikuti prosedur saja.
"Lihatlah! Mereka yang dulu kalian sebut sebagai pahlawan, kini membelok dan menghancurkan rakyatnya sendiri!" Aristo berteriak lebih kencang. Kini Aldo, Tama, Stevian, Anwar, Salma, Arum, Adi, Hani, Ainun, Ival, dan Latriaz sudah berdiri sejajar.
"CERN telah rugi banyak sekali. Rugi besar! Gudang CERN habis dibakar, distribusi peralatan VR untuk semua umat manusia diledakkan oleh mereka. Kalian tahu dana CERN darimana ? Dari kalian, dari kalian sendiri, penduduk Perancis!" Ketiga belas orang itu diam saja.
"Tapi tunggu, aku ingin bertanya satu hal.." Aristo berjalan kearah Adi, Hani, Ainun, Ival dan Latriaz. "Bagaimana cara kalian membakar gudangku dengan kertas ?" tanyanya. Mereka saling melirik satu sama lain.
"Magic." jawab Ival tegas.
"Bawa mereka!" Aristo marah, para polisi lantas menutup mata mereka dengan sebuah penutup mata. Mengarahkan mereka kedalam van-van polisi. Membawa mereka pergi.
-----//////----
"Psst."
..
.
.
"Psst."
..
.
"Hey, Arum, buka matamu." Arum membuka matanya perlahan, berkunang-kunang sejenak.
..
"Bangun. Aku disini untuk menyelamatkan kalian."
--To Be Continued--
No comments:
Post a Comment