After Pandora : Blunder. (Part 4)
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Tour mereka hari ini berjalan lebih cepat. Setelah mengunjungi gedung CERN yang sudah dibuat ulang bahkan diperbagus, mereka pulang ke hotel. Tama dan Adi sibuk mempersiapkan banyak hal, sementara sisanya bermain di kolam renang, mengobrol, mengunjungi ruangan gym yang disediakan hotel untuk pengunjung.
Beberapa jam kemudian, ketiga belas orang itu sudah berkumpul di kamar wanita, mereka duduk membentuk lingkaran. "Oke jadi gini." ucap Tama membuka pembicaraan, Adi meletakkan beberapa lembar kertas di karpet lantai kamar.
"Sejak denger semua perkataan si bos CERN itu tadi, gue makin yakin ada semacem project aneh gitu yang lagi dikerjain sama mereka." lanjutnya, "Nah iya Tam bener banget! Orang tadi didepan gedungnya itukan ada patung, nah itu tuh patung Dewa Shiva, dia tuh kek semacem dewa yang tugasnya ngancurin bumi. Tadi itukan patungnya lagi nari kan? Nah dia itu tuh, apa yak, tariannya itu tuh nandain kalo dia lagi ngancurin bumi, pokoknya gitu dehh" kata Stevian.
"Terus juga gedungnya sampe sembilan, maksudnya apaan coba" ujar Arum, "Engga, kalo gedung itu tuh jadi kalo gedung yang satu ada apa-apa, gedung yang lainnya ga kena, rel-rel kereta kapsulnya bakal ditutup, supaya kalo ada masalah tuh gak sampe nyamber kemana-mana, tadi kata Yessika gitu" jelas Hani
"Pokoknya dibalik gedung-gedung itu, gue yakin banget CERN lagi ngerjain project yang bener-bener rahasia banget" ucap Ival yakin. "Kalo rahasia mah emang rahasia Pal, tapi rahasianya itu jahat apa kagak itu doang haha" sahut Adi sambil tertawa kecil.
"Nah lu pada curiga kan ? Gue udah tau dong apa yang lagi dikerjain sama mereka" ucap Tama, semua orang disana menunggu sejenak, Mayor GIGN itu lalu memisahkan beberapa lembar kertas yang berisi artikel-artikel tentang CERN didepannya.
"Jadi CERN itu rumornya lagi bikin semacem mesin berbentuk cincin, tapi bukan mesin dan cincin biasa. Mesin cincin yang besar, bikinnya aja di kedaleman 50-175m dibawah tanah." katanya lagi, yang lain sibuk mendengar sambil membaca artikel-artikel itu.
"Awalnya tuh CERN cuman pengen tau bedanya materi sama anti-materi, kalo dulu kan mereka udah berhasil bikin pistol anti-material, nah sekarang mereka bikin cincin ini buat pisahin materi sama pengikat selnya" kata Tama lalu mengambil nafas, "Maksudnya Tam ? Gangerti sumpah" kata Salma sambil menggeleng kecil.
"Jadi singkatnya tuh CERN ada project buat nemuin partikel apa yang ngebentuk benda, tapi malah kejauhan, sampe akhirnya project itu melenceng jadi project buat bikin mesin waktu sama semacem gerbang buat ke dimensi lain, yang lebih jauh lagi, CERN pengen tau asal usul penciptaan manusia sama alam semesta ini" jelas Adi singkat padat jelas.
"Lah bukannya kalo gitu sama aja nentang Tuhan yak ?" tanya Latriaz, "Tau, kan itu udah dari sananya kita diciptain, ngapain dicari tau" ujar Arum setuju. "Iya yak sama aja kayak nentang Tuhan gitu" kata Anwar dengan wajah serius
"Boom." ucap Aldo tiba-tiba. Semua orang disana melihat kearahnya.
"Kok jadi pada ngeliatin gue gini sih ah jadi malu" ucapnya malu-malu sambil tersipu, tertawa, menunduk, mereka semua tertawa kecil, "Lagian elu tau-tau ngomong "boom" sendirian Do orang mah lagi serius ahaha" kata Bagus.
"Yaudah nih gua serius, itu sebenernya balik lagi ke pemimpin project CERN itu. Tadi Aristo bilang kan kalo dia itu atheist ?" ucap Aldo sambil bertanya basa-basi, yang lain mengangguk, "Jadi itu bisa aja project buat ngelawan Tuhan" jelasnya. "Ohh iya iyaa gua baru ngerti Do emang lu pinter banget dah gila" kata Anwar baru mengerti. Aldo lantas menyipitkan salah satu matanya dan mengangkat kedua alisnya, muka sok sombong yang menyebalkan. "Gayaan yeee" kata Jiwo, mereka kembali tertawa.
"Terus itu, dia rada sensitif gitu dah ama manusia. Kan daritadi dia bilang kalo manusia itu virus dan bumi itu tubuhnya, nah bisa jadi dia juga mau nentang manusia" ucap Ainun, "Kan dia manusia jugaa ah elah kesel gua dengernya" sambar Ipal sambil tertawa kecil, "Oh iya ya, eh iya ya hahaha" Ainun tertawa.
"Nah udah pada tau kan? Maka dari itu gua ngerasa aneh, kok dia mau bagi-bagi gratis seperangkat virtual reality itu ke orang-orang, satu orang satu lagikan kalo perlu" kata Tama, "Jadi nanti, kita kesana, tapi kita gak bakal narik perhatian orang banyak, gue udah bagi kita semua ini jadi empat tim." lanjutnya sambil mengambil lembaran yang terletak dibawah.
"Tim pertama, tugasnya masuk ke hotel itu, jadi tamu terus ngawasin jalannya acara. Yang masuk nanti Gue sama Aldo." Tama mulai membagi tugas, "Tim kedua, tugasnya ngancurin truck-truck yang bawa semua perangkat itu, udah disiapin tas sama isinya. Anwar sama Bagus." lanjutnya.
"Tim ketiga, Jiwo, Stevian, Arum, Salma. Kalian harus bantu tugas tim kedua, caranya, kalian yang ngarahin massa supaya gak ada korban selain truck dan isinya, usahain ya" Jiwo dan Stevian mengangguk kecil, "Tim keempat. Adi, Ival, Ainun, Latriaz, Hanifa. Kalian bakal ke gedung CERN lagi, cari gudang penyimpanannya, ledakin." ucap Tama tegas, Adi merinding kecil.
"Sama satu lagi. Kita semua besok bakal nyamar jadi masyarakat atau pengunjung biasa. Karena kita harusnya gaada di peluncuran itu besok. Kita harusnya lagi di Museum Le Louvre. Jadi tolong banget besok kita berbaur sebisa mungkin ya, kita juga kan gaada hubungan apa-apa lagi sama CERN, justru mereka curiga nanti kalo kita ikut-ikutan" tegas Tama. Yang lain mengangguk.
"Kita semua bakal terhubung lewat walkie talkie kecil ini." Adi gantian menjelaskan, dia mengeluarkan sebuah alat walkie talkie berbentuk seperti headset bluetooth, panjangnya hanya 5 cm dengan setengah lingkaran di bagian ujungnya untuk dicantolkan ke telinga.
"Tim pertama sama tim kedua masing-masing dapet satu, tim ketiga cuman dapet dua, tim keempat cuman dapet dua, mesti dibagi lagi pas ditempatnya." kata Adi, "Semua orang bisa terhubung, karena radius sinyalnya bisa diperpanjang kalo ada tower sutet, masalahnya cuman satu." Adi memotong sejenak,
"Tower yang bisa ngehubungin kita semua secara keseluruhan cuman ada satu di Paris." Adi mengambil selembar kertas yang terletak dibagian bawah.
"Maksudnya gini. Kan kita semua jaraknya jauh, tower nya sebenernya banyak, tapi cuman ada satu yang ada ditengah-tengah tempat kita semua, kalo ini ancur, udah dah" Adi menunjuk salah satu titik, kertas itu adalah peta kota Paris yang sudah diperbesar. Mereka menelan ludah.
"Gue udah usahain minta ke GIGN buat dapetin denah hotel sama jalannya acara, itu nanti gue sama Aldo yang omongin lagi. Anwar sama Bagus juga nanti bakal dijelasin ama Adi soal apa aja isi tas yang bakal mereka bawa. Pada nyamar ya jadi masyarakat biasa, jangan sampe ketauan, soalnya bahaya." tutup Tama. Mereka semua mengangguk kecil, lantas berpencar.
Adi, Bagus dan Anwar membahas satu persatu isi tas kedua orang itu, Tama dan Aldo menguraikan denah hotel, berpikir atas segala kemungkinan yang dapat terjadi, sementara yang lainnya berusaha untuk tidur dan beristirahat. Masih ada hari yang panjang yang telah menanti mereka besok hari.
"Tim ketiga, Jiwo, Stevian, Arum, Salma. Kalian harus bantu tugas tim kedua, caranya, kalian yang ngarahin massa supaya gak ada korban selain truck dan isinya, usahain ya" Jiwo dan Stevian mengangguk kecil, "Tim keempat. Adi, Ival, Ainun, Latriaz, Hanifa. Kalian bakal ke gedung CERN lagi, cari gudang penyimpanannya, ledakin." ucap Tama tegas, Adi merinding kecil.
"Sama satu lagi. Kita semua besok bakal nyamar jadi masyarakat atau pengunjung biasa. Karena kita harusnya gaada di peluncuran itu besok. Kita harusnya lagi di Museum Le Louvre. Jadi tolong banget besok kita berbaur sebisa mungkin ya, kita juga kan gaada hubungan apa-apa lagi sama CERN, justru mereka curiga nanti kalo kita ikut-ikutan" tegas Tama. Yang lain mengangguk.
"Kita semua bakal terhubung lewat walkie talkie kecil ini." Adi gantian menjelaskan, dia mengeluarkan sebuah alat walkie talkie berbentuk seperti headset bluetooth, panjangnya hanya 5 cm dengan setengah lingkaran di bagian ujungnya untuk dicantolkan ke telinga.
"Tim pertama sama tim kedua masing-masing dapet satu, tim ketiga cuman dapet dua, tim keempat cuman dapet dua, mesti dibagi lagi pas ditempatnya." kata Adi, "Semua orang bisa terhubung, karena radius sinyalnya bisa diperpanjang kalo ada tower sutet, masalahnya cuman satu." Adi memotong sejenak,
"Tower yang bisa ngehubungin kita semua secara keseluruhan cuman ada satu di Paris." Adi mengambil selembar kertas yang terletak dibagian bawah.
"Maksudnya gini. Kan kita semua jaraknya jauh, tower nya sebenernya banyak, tapi cuman ada satu yang ada ditengah-tengah tempat kita semua, kalo ini ancur, udah dah" Adi menunjuk salah satu titik, kertas itu adalah peta kota Paris yang sudah diperbesar. Mereka menelan ludah.
"Gue udah usahain minta ke GIGN buat dapetin denah hotel sama jalannya acara, itu nanti gue sama Aldo yang omongin lagi. Anwar sama Bagus juga nanti bakal dijelasin ama Adi soal apa aja isi tas yang bakal mereka bawa. Pada nyamar ya jadi masyarakat biasa, jangan sampe ketauan, soalnya bahaya." tutup Tama. Mereka semua mengangguk kecil, lantas berpencar.
Adi, Bagus dan Anwar membahas satu persatu isi tas kedua orang itu, Tama dan Aldo menguraikan denah hotel, berpikir atas segala kemungkinan yang dapat terjadi, sementara yang lainnya berusaha untuk tidur dan beristirahat. Masih ada hari yang panjang yang telah menanti mereka besok hari.
-----//////-----
Mobil yang dikendarai Ival, Ainun, Adi, Latriaz dan Hanifa berhenti. Adi membuka kaca, menunjukkan tanda pengenal, pun keempat orang lain di dalam mobil itu. Gerbang otomatis lalu dibuka oleh security, mereka kembali ke gedung CERN.
Kelima orang itu lalu turun di lobby gedung Origine, Adi menyerahkan kunci mobil kepada service valet yang disediakan CERN. Mereka semua mengenakan pakaian casual yang tetap elegan, tak terlalu formal tapi tak juga terlalu bebas.
Ipal meletakkan tasnya, lalu berjalan melewati metal detector tanpa halangan, lantas mengambil lagi tasnya yang sudah diperiksa lewat gerbang yang berbeda. Tidak ada senjata, mereka tidak akan menjalankan misi kali ini dengan senjata api, tetapi dengan permainan pikiran.
Kelima orang itu kembali berjalan memasuki pintu kaca otomatis, berjalan kearah resepsionis untuk meminta tanda pengenal sebagai tamu, dan disambut oleh dua orang ilmuwan CERN. Yang satu bertubuh tinggi dengan rambut sebahu sementara yang satu lagi lebih dan mengenakan kacamata bulat di matanya.
"Indira Aulia. Ilmuwan CERN" ucap yang tinggi memperkenalkan diri, "Evri Eriska. Ilmuwan CERN" ikut ilmuwan disebelahnya. Mereka lalu menuju ruang tunggu tamu, dengan meja yang telah dikenal persis oleh Adi, Ainun, Ival, Hani dan Latriaz. "Ini tombolnya dimana dah Dir ?" tanya Evri sambil melihat ke kaki-kaki meja, "Gatau Vrii dibawahnya kali" sahut Indira sambil ikut mencari tombol untuk 'menyalakan' meja itu.
"Mungkin disini." ucap Adi sambil menekan tombol power yang terletak dibagian atas meja, lantas berubah menjadi projector untuk hologram dari kesembilan gedung CERN. "Ooiyaa hahaha" "Gimana si lu Vri ahaha" tawa Evri dan Indira. Hani, Latriaz dan Ainun tertawa kecil sementara Adi dan Ival menyeringai, Tugas mereka akan mudah.
"Bonsoir Madam. La tradition, please." ucap Arum sambil tersenyum pada seorang wanita tua pemilik toko roti di jalan Paris. Ia lalu memberikan sebuah roti baguette kepada Arum yang memberikan uang, "Satu doang nih Rum ?" tanya Salma melirik, "Satu cukup Ma, bagi dua, ini aja udah gede banget" jawabnya. Wanita itu lalu memberikan kembalian uang yang segera disahut oleh Arum, "Merci!". Mereka berpisah, Arum bersama Salma, dan Jiwo bersama Stevian, menyamar diantara kerumunan manusia.
Senja pun semakin matang, semburat kemerahan menghilang sepenuhnya di ufuk timur, langit gelap mencuat. Jalanan menuju hotel tempat grand launching perangkat virtual reality pun semakin ramai. Tidak ada yang aneh dengan peluncuran perangkat elektronik ini, yang membuatnya spesial adalah, seluruh perangkat itu gratis dan akan dibagi-bagikan ke masyarakat oleh pemerintah Perancis dan CERN selaku penyelenggara.
Kedelapan roda truck dengan van trailer yang membawa seluruh perangkat itu sedang dalam perjalanannya, menembus jalanan yang lengang akan kendaraan, ribuan manusia sudah mulai berkumpul di sepanjang jalan raya, menunggu peluncuran yang tinggal belasan menit lagi.
Empat buah mobil polisi mengawal truk sepanjang tujuh meter itu. Kapasitas empat puluh meter kubik di dalamnya menampun semua perangkat virtual reality yang akan dibagikan CERN. Para jurnalis, karyawan, reporter TV, juga elemen masyarakat menyambut truck itu di setiap belokannya.
"Tama, kok ada polisinya Tam ?" tanya Anwar melalui walkie-talkie, "Au nih nyusahin" sahut Bagus. Keduanya sedang mengendarai sebuah motor ninja dengan setelan serba hitam pula, mulai dari helm hingga sepatu, motor Anwar berwarna hitam dengan motif berwarna biru di sekujur motornya, sementara Bagus berwarna kuning.
"Yah gua mana tau" balas Tama, ia dan Aldo sedang menaiki tangga menuju lobby hotel. Mengenakan jas formal hitam dan berpakaian serapih mungkin. Keduanya hanya akan menyamar layaknya investor yang juga menginvestasikan uangnya di CERN. Mereka tidak ingin menarik perhatian, tapi semenjak kedatangannya di Paris beberapa hari lalu, agaknya sulit untuk tidak mendapat perhatian dari media setempat.
"Improvisasi aja" tutup Tama, "Selaw aja War Gus lu pasti bisa." bisik Aldo. Anwar dan Bagus mengangguk kecil, mereka menyalakan motor, lalu mengikuti kebelakang barisan truck itu dalam sebuah persimpangan.
Aldo dan Tama lalu berjalan melewati metal detector, mendaftar ke meja registrasi ulang dengan menuliskan nama, mengisi posisi pekerjaan serta memberi tanda tangan di kolom yang tersedia. Oh lihatlah siapa mereka sekarang ? petugas administrasi berlalu-lalang seolah membiarkan mereka begitu saja, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Atau lihatlah nama-nama lain di meja registrasi itu, direktur, eksekutif, anak perusahaan, sementara jabatan mereka hanyalah 'investor' saja. Tidak ada yang peduli.
Keduanya berjalan menuju ballroom hotel yang disulap menjadi tempat peluncuran perangkat virtual reality itu. Ruangan yang luas itu kini telah dilengkapi sebuah panggung dan projector, pencahayaan sudah siap, dan para tamu undangan sudah duduk ditempatnya masing-masing. Projector di atas panggung sedang menampilkan siaran berita dari salah satu channel televisi swasta. Peluncuran tinggal belasan menit lagi.
"I'm Sekar Adikara from BBC France. Can you see the hype over here !?" Seorang kameramen fokus pada perempuan reporter sekaligus pembawa acara itu. Sekar Adikara. Dibalut sweater berwarna putih dan sebuah topi kupluk berwarna ungu. Ia melaporkan langsung kondisi menjelang peluncuran perangkat yang akan dibagikan secara massal itu.
"Baiklah pemirsa, saya Sekar Adikara melaporkan langsung dari lokasi peluncuran perangkat Virtual Reality yang akan dibagikan secara gratis kepada semua orang nanti. Seperti yang bisa anda lihat dibelakang saya, kondisi disini sudah saaangat ramai." lanjutnya melaporkan. Ia benar. Ratusan bahkan ribuan manusia berkumpul sepanjang jalan yang kini sudah dipasang pembatas dengan trotoarnya. Tunggu. Bisa jadi jutaan manusia.
"Anda bisa lihat sendiri dibelakang saya, mereka telah berada disini untuk menunggu pembagian perangkat Virtual Reality oleh CERN yang tinggal menunggu hitungan jam. Sementara itu saya akan mewawancarai salah seorang pengunjung disini." Sekar lalu berbalik, menarik salah seorang yang berlalu lalang dibelakangnya secara acak, seorang laki-laki, lantas menghadapkannya ke kamera.
"Jiwo Prayudo ?" tanyanya. Laki-laki itu adalah Jiwo Prayudo. Mengenakan setelan casual layaknya masyarakat biasa. Kamera mengarahkan fokus ke dia sekarang. Dia mendapat seluruh perhatian televisi swasta maupun nasional, layar-layar kini menampilkan wajahnya.
"Astaga Jiwo Prayudo, salah satu dari tiga belas orang yang selamat dari tragedi CERN enam bulan lalu!" kaget Sekar tak percaya, orang yang secara acak ia tarik dari kerumunan adalah Jiwo Prayudo, salah seorang survivor dari tragedi naas yang menimpa CERN enam bulan yang lalu itu. Tidak menjadi pertanyaan kenapa ada seorang Jiwo disana, namun yang menjadi pertanyaan adalah, pakaiannya.
Ballroom hotel seketika ramai, para investor tersenyum lebar-lebar, mereka dapat memanfaatkan Jiwo untuk mempromosikan perangkat Virtual Reality yang akan dirilis, namun sebagian lainnya berbisik- bisik, bertanya-tanya kenapa Jiwo tidak bergabung bersama mereka kedalam peluncuran itu. Sementara senyum Aldo dan Tama terlipat, mereka mengusap dada, menghapus keringat dingin di wajah mereka.
...
..
.
.
Jiwo baru saja melakukan sebuah blunder yang besar.
Kelima orang itu lalu turun di lobby gedung Origine, Adi menyerahkan kunci mobil kepada service valet yang disediakan CERN. Mereka semua mengenakan pakaian casual yang tetap elegan, tak terlalu formal tapi tak juga terlalu bebas.
Ipal meletakkan tasnya, lalu berjalan melewati metal detector tanpa halangan, lantas mengambil lagi tasnya yang sudah diperiksa lewat gerbang yang berbeda. Tidak ada senjata, mereka tidak akan menjalankan misi kali ini dengan senjata api, tetapi dengan permainan pikiran.
Kelima orang itu kembali berjalan memasuki pintu kaca otomatis, berjalan kearah resepsionis untuk meminta tanda pengenal sebagai tamu, dan disambut oleh dua orang ilmuwan CERN. Yang satu bertubuh tinggi dengan rambut sebahu sementara yang satu lagi lebih dan mengenakan kacamata bulat di matanya.
"Indira Aulia. Ilmuwan CERN" ucap yang tinggi memperkenalkan diri, "Evri Eriska. Ilmuwan CERN" ikut ilmuwan disebelahnya. Mereka lalu menuju ruang tunggu tamu, dengan meja yang telah dikenal persis oleh Adi, Ainun, Ival, Hani dan Latriaz. "Ini tombolnya dimana dah Dir ?" tanya Evri sambil melihat ke kaki-kaki meja, "Gatau Vrii dibawahnya kali" sahut Indira sambil ikut mencari tombol untuk 'menyalakan' meja itu.
"Mungkin disini." ucap Adi sambil menekan tombol power yang terletak dibagian atas meja, lantas berubah menjadi projector untuk hologram dari kesembilan gedung CERN. "Ooiyaa hahaha" "Gimana si lu Vri ahaha" tawa Evri dan Indira. Hani, Latriaz dan Ainun tertawa kecil sementara Adi dan Ival menyeringai, Tugas mereka akan mudah.
"Bonsoir Madam. La tradition, please." ucap Arum sambil tersenyum pada seorang wanita tua pemilik toko roti di jalan Paris. Ia lalu memberikan sebuah roti baguette kepada Arum yang memberikan uang, "Satu doang nih Rum ?" tanya Salma melirik, "Satu cukup Ma, bagi dua, ini aja udah gede banget" jawabnya. Wanita itu lalu memberikan kembalian uang yang segera disahut oleh Arum, "Merci!". Mereka berpisah, Arum bersama Salma, dan Jiwo bersama Stevian, menyamar diantara kerumunan manusia.
Senja pun semakin matang, semburat kemerahan menghilang sepenuhnya di ufuk timur, langit gelap mencuat. Jalanan menuju hotel tempat grand launching perangkat virtual reality pun semakin ramai. Tidak ada yang aneh dengan peluncuran perangkat elektronik ini, yang membuatnya spesial adalah, seluruh perangkat itu gratis dan akan dibagi-bagikan ke masyarakat oleh pemerintah Perancis dan CERN selaku penyelenggara.
Kedelapan roda truck dengan van trailer yang membawa seluruh perangkat itu sedang dalam perjalanannya, menembus jalanan yang lengang akan kendaraan, ribuan manusia sudah mulai berkumpul di sepanjang jalan raya, menunggu peluncuran yang tinggal belasan menit lagi.
Empat buah mobil polisi mengawal truk sepanjang tujuh meter itu. Kapasitas empat puluh meter kubik di dalamnya menampun semua perangkat virtual reality yang akan dibagikan CERN. Para jurnalis, karyawan, reporter TV, juga elemen masyarakat menyambut truck itu di setiap belokannya.
"Tama, kok ada polisinya Tam ?" tanya Anwar melalui walkie-talkie, "Au nih nyusahin" sahut Bagus. Keduanya sedang mengendarai sebuah motor ninja dengan setelan serba hitam pula, mulai dari helm hingga sepatu, motor Anwar berwarna hitam dengan motif berwarna biru di sekujur motornya, sementara Bagus berwarna kuning.
"Yah gua mana tau" balas Tama, ia dan Aldo sedang menaiki tangga menuju lobby hotel. Mengenakan jas formal hitam dan berpakaian serapih mungkin. Keduanya hanya akan menyamar layaknya investor yang juga menginvestasikan uangnya di CERN. Mereka tidak ingin menarik perhatian, tapi semenjak kedatangannya di Paris beberapa hari lalu, agaknya sulit untuk tidak mendapat perhatian dari media setempat.
"Improvisasi aja" tutup Tama, "Selaw aja War Gus lu pasti bisa." bisik Aldo. Anwar dan Bagus mengangguk kecil, mereka menyalakan motor, lalu mengikuti kebelakang barisan truck itu dalam sebuah persimpangan.
Aldo dan Tama lalu berjalan melewati metal detector, mendaftar ke meja registrasi ulang dengan menuliskan nama, mengisi posisi pekerjaan serta memberi tanda tangan di kolom yang tersedia. Oh lihatlah siapa mereka sekarang ? petugas administrasi berlalu-lalang seolah membiarkan mereka begitu saja, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Atau lihatlah nama-nama lain di meja registrasi itu, direktur, eksekutif, anak perusahaan, sementara jabatan mereka hanyalah 'investor' saja. Tidak ada yang peduli.
Keduanya berjalan menuju ballroom hotel yang disulap menjadi tempat peluncuran perangkat virtual reality itu. Ruangan yang luas itu kini telah dilengkapi sebuah panggung dan projector, pencahayaan sudah siap, dan para tamu undangan sudah duduk ditempatnya masing-masing. Projector di atas panggung sedang menampilkan siaran berita dari salah satu channel televisi swasta. Peluncuran tinggal belasan menit lagi.
"I'm Sekar Adikara from BBC France. Can you see the hype over here !?" Seorang kameramen fokus pada perempuan reporter sekaligus pembawa acara itu. Sekar Adikara. Dibalut sweater berwarna putih dan sebuah topi kupluk berwarna ungu. Ia melaporkan langsung kondisi menjelang peluncuran perangkat yang akan dibagikan secara massal itu.
"Baiklah pemirsa, saya Sekar Adikara melaporkan langsung dari lokasi peluncuran perangkat Virtual Reality yang akan dibagikan secara gratis kepada semua orang nanti. Seperti yang bisa anda lihat dibelakang saya, kondisi disini sudah saaangat ramai." lanjutnya melaporkan. Ia benar. Ratusan bahkan ribuan manusia berkumpul sepanjang jalan yang kini sudah dipasang pembatas dengan trotoarnya. Tunggu. Bisa jadi jutaan manusia.
"Anda bisa lihat sendiri dibelakang saya, mereka telah berada disini untuk menunggu pembagian perangkat Virtual Reality oleh CERN yang tinggal menunggu hitungan jam. Sementara itu saya akan mewawancarai salah seorang pengunjung disini." Sekar lalu berbalik, menarik salah seorang yang berlalu lalang dibelakangnya secara acak, seorang laki-laki, lantas menghadapkannya ke kamera.
"Jiwo Prayudo ?" tanyanya. Laki-laki itu adalah Jiwo Prayudo. Mengenakan setelan casual layaknya masyarakat biasa. Kamera mengarahkan fokus ke dia sekarang. Dia mendapat seluruh perhatian televisi swasta maupun nasional, layar-layar kini menampilkan wajahnya.
"Astaga Jiwo Prayudo, salah satu dari tiga belas orang yang selamat dari tragedi CERN enam bulan lalu!" kaget Sekar tak percaya, orang yang secara acak ia tarik dari kerumunan adalah Jiwo Prayudo, salah seorang survivor dari tragedi naas yang menimpa CERN enam bulan yang lalu itu. Tidak menjadi pertanyaan kenapa ada seorang Jiwo disana, namun yang menjadi pertanyaan adalah, pakaiannya.
Ballroom hotel seketika ramai, para investor tersenyum lebar-lebar, mereka dapat memanfaatkan Jiwo untuk mempromosikan perangkat Virtual Reality yang akan dirilis, namun sebagian lainnya berbisik- bisik, bertanya-tanya kenapa Jiwo tidak bergabung bersama mereka kedalam peluncuran itu. Sementara senyum Aldo dan Tama terlipat, mereka mengusap dada, menghapus keringat dingin di wajah mereka.
...
..
.
.
Jiwo baru saja melakukan sebuah blunder yang besar.
No comments:
Post a Comment