Sunday, September 11, 2016

After Pandora : Origine. (Part 3)

After Pandora : Origine. (Part 3)
Oleh : Kanzia Rahman


DUAARRRR !!!!

Pesawat yang 'dikendarai' Jiwo hancur lebur. "Yaaaa!" teriak Bagus dan Anwar, "Nice War!" kata Aldo. Tulisan "Game Over" lalu muncul di peralatan virtual reality yang menggantung di kepala Jiwo. "Parss lo padaa" katanya sambil melepas seperangkat speaker dan kacamata VRnya. "Sudah ?" tanya Caldha berbasa-basi sambil melepas perangkat itu dari kepala Jiwo.


Aldo, Jiwo, Anwar, Bagus, Ival, Stevian, Tama, Adi, Arum dan Salma sedang berada di sebuah lantai di gedung Origine. Dipandu oleh Caldha, mereka sedang mencoba berbagai permainan dengan fitur Virtual Reality, Adi dan Tama bahkan menggengam pistol buatan dengan sensor virtual, berguling-guling di lantai putih, layaknya dalam misi sungguhan.

"Tama ama Adi lebay dah haha" kata Stevian sambil tertawa kecil, "Biarin napa si Step ah" ketus Arum, "Tau lu Step namanya juga tentara kan butuh hiburan" kata Salma. "Kalian tidak mencobanya ?" tanya Caldha sambil memegang dua buah cardboard VR. Tidak mendapat jawaban.

"Semua fasilitas ini baru akan dijual besok, launching di sebuah hotel Paris. Undangan formal untuk mereka yang mendapat undangan." jelas Caldha, "Bos-bos perusahaan terkenal, direktur, pemimpin dari negara-negara yang mengirim ilmuwannya kesini." Ia berhenti sebentar, "Tapi semua itu sebenarnya kebohongan, Perancis akan tetap mendapat hak paten atas segala alat terbaru ini, lalu kami akan menggratiskan seluruh perangkat ini untuk semua orang, satu orang satu. Membuat jutaan manusia tetap tinggal dirumahnya masing-masing selama berjam-jam untuk bermain dan bermain." tutupnya.

"Boleh tuh cobain" kata Salma, Caldha lalu memberikan salah satu cardboard, "Tinggal pilih permainan atau film seperti apa yang kau mau masuk kedalamnya. Selamat bermain" ucapnya lalu menawarkan satu cardboard yang tersisa pada Arum dan Stevian, "Pegang dulu saja, kuambilkan yang satu lagi." ucapnya lalu memberikan cardboard itu pada Arum.

Sementara Ainun, Yessika, Latriaz, dan Hanifa baru turun dari sebuah kereta kapsul. "Selamat datang di Gedung Veritas" ucap Yessika, tiga buah metal detector dan sebuah pintu kaca otomatis telah menanti mereka. "Alig buat ke gedung-gedungnya aja pake kereta kapsul" kata Latriaz sambil melepas jam tangannya, "Iya keren gila" kata Hanifa setuju, "Jaman kita dulu mah apa atuh haha" Ainun tertawa kecil.

Kesembilan gedung kompleks laboratorium CERN itu dihubungkan oleh jalur kereta kapsul bertingkat yang mengantarkan mereka langsung ke tujuan, lalu ditutupi dengan gaya futuristik sehingga terlihat seperti menara dengan penghubungnya.

"Tidak ada yang tahu pekerjaan di gedung satu dan lainnya" kata Yessika setelah serangkaian pemeriksaan sebelum memasuki gedung, "Diatas jalur kita tadi itu ada jalur lain yang langsung ke gedung Polaris, ada sembilan tingkat jalur kereta. Semua langsung mengarah ke gedung Origine dan delapan gedung lainnya. Pemerintah mempercepat pembangunan ulang gedung CERN sejak enam bulan terakhir." lanjutnya.

Keempat orang itu lalu memasuki sebuah ruangan dengan tiga buah kursi ditengah-tengah dan sebuah meja dengan seperangkat komputer di hadapan tiga kursi. Yessika telah mengganti jasnya menjadi warna hijau, juga mengenakan masker. Sementara Hanifa, Ainun dan Latriaz duduk di ketiga kursi itu.

Yessika berjalan kearah komputer di ujung ruangan. Kursi yang diduduki ketiga orang itu perlahan berubah menjadi ranjang. "Tutup perlahan mata kalian.." ucap Yessika, ketiga orang itu menurut. "Sistem kerjanya mudah. Kalian hanya akan--" "Tidak perlu." Seseorang tiba-tiba masuk ruangan itu.

"Selamat datang kembali, kalian." ucap orang itu, "Silahkan bangun.". Hani, Ainun dan Latriaz duduk di ranjang masing-masing..
...
..
.
.

"Aristo ?" tanya Ainun kaget. Pertanyaannya sekaligus mewakili Hani dan Latriaz. Orang itu adalah Aristo, pilot helikopter yang membantu mengevakuasi mereka dari gedung CERN enam bulan lalu, kini mereka bertemu lagi, dan Aristo mengenakan jas putih berlengan panjang dengan nametag dan logo CERN.

"Ya hahaha" jawab Aristo lalu tertawa lepas. "Sejak nyelametin kalian dari gedung CERN itu gue jadi paham sama manusia dan bumi" ucapnya, "Manusia itu virus dan bumi itu tubuhnya. Mau gimanapun juga planet ini bakalan ancur kalo manusianya gitu-gitu terus" lanjutnya.

"Lu jadi.. Direktur CERN ?" tanya Hani masih setengah tak percaya, "Bukan. Tapi ia memimpin project terbaru CERN." jawab Yessika lalu berjalan kearah Aristo, "Anak buah gue yang bakal ngejawab" kata satu-satunya laki-laki diruangan itu sambil menjentikan jari.

"Direktur CERN masih Afifat Maulana, ayahmu, Han. Waktu itu udah ada rapat besar-besaran untuk milih direktur penggantinya, tapi gaada yang cocok. Belum." kata Yessika, "Jadi sampai sekarang kursi direktur CERN itu kosong, vacuum. Dan buat ngehormatin semua jasa Afifat, selama kursi itu masih kosong, ia masih menjabat." lanjutnya.

"Sudah. Kau bisa menceritakan terlalu banyak." ucap Aristo lalu mengacungkan jari telunjuknya. "Jadi project apa yang lagi lu kerjain sekarang ?" tanya Latriaz, "Maaf. Tapi gue nganggep kalian bukan lagi sebagai ilmuwan CERN sejak enam bulan lalu." jawab Aristo sambil mengangkat bahunya.

"Ada hubungannya sama Pandora Box gak ?" Hanifa bertanya. "Kalian bukan lagi ilmuwan CERN." jawab Aristo singkat, "Ih yaudah biasa aja dong" balas Hanifa sambil cemberut, Aristo tertawa kecil.
"Kalian bisa kembali ke gedung Origine" ucapnya kemudian. Yessika mengangguk kecil, membawa ketiga ilmuwan itu kembali ke gedung awal. Aristo mengikuti dibelakang.

Hanifa, Latriaz, dan Ainun lalu duduk bersebelahan, Aristo duduk di hadapan mereka. Yessika menekan tombol dengan tulisan Origine di dinding berwarna putih. Kereta kapsul lalu melesat cepat menuju gedung awal mereka datang.

Belasan menit kemudian. Kelima orang itu turun dari kereta, menuruni sedikit seri anak tangga, lalu berjalan menuju lobby gedung Origine.

"Tama ?" gumam Hani sambil melihat kearah ruang tunggu, kelima orang itu sedang berjalan ke ruangan itu.  Pintu otomatis terbuka, sudah ada Aldo, Jiwo, Anwar, Bagus, Ival, Stevian, Tama, Adi, Arum, Salma, dan Caldha yang menunggu mereka. "Aristo Arius. Pemimpin sementara CERN" ucap Aristo memperkenalkan diri.

"Caldha, mereka udah diapain aja?" tanya Aristo, "Baru ditunjukkin virtual reality doang" jawab Caldha pendek. "Hahaha bagus" tawa pria pemimpin sementara CERN itu. "Seru, kan ? Kayak masuk ke dunianya langsung." Aristo memotong sebentar, "Now, imagine this."

"Bayangkan sebuah dunia dimana tidak ada manusia yang mengaturnya, sebuah dunia ciptaan kita sendiri. Sebuah dunia yang bisa kita buat sendiri, dimana kita adalah Tuhannya." ucap Aristo. "Lah emang bisa bikin dunia sendiri gitu ?" potong Salma, "Tau. Ngaco aja lu" ketus Arum setuju dengan sahabatnya itu.

"Oh maaf, kalian punya tuhan kalian masing-masing." ucap Aristo, memotong. "Aku seorang Atheist. Tapi jika hal seperti itu benar terwujud, kalian bebas akan tiap-tiap peraturan yang mengekang, kalian adalah Tuhan di dunia kalian masing-masing, di semesta kalian masing-masing." Lanjutnya.

"Begini, beberapa orang tak hebat dalam bermain rahasia. Beberapa lainnya terlalu bodoh untuk hidup, sisanya mungkin tidak bodoh dan pintar dalam rahasia, tapi hidup untuk menjadi budak-budak lembaran kertas yang mengatur hidup kita secara keseluruhan. Uang." "Ya suka-suka mereka lah" ucap Stevian memotong.

"Hahaha, kukira kalian lebih pintar daripada manusia-manusia semacam itu." Aristo berhenti sejenak, "Baiklah. Sebutkan kesalahan-kesalahanku. Kekusaan, serakah, licik, semua kebutuhan itu akan ada dalam dunia baru yang akan kuciptakan. Jadi, maafkan semua kesalahanku, tapi aku sedang mengejar Tuhanku sendiri." tutupnya lalu beranjak.

Yessika dan Caldha mengantar mereka ke pintu masuk. Dua buah mobil sudah menunggu. Ketiga belas orang itu mengucapkan terima kasih lalu masuk kedalam mobil. Kembali ke hotel.

"Dia mengerikan." kata Hani di mobil, "Ngeri apa lu takut gara-gara tadi digituin ama dia Han ?" tanya Latriaz menggoda, "Iih itukan gue cuman nanya" balas Hani lagi. "Lebih dari mengerikan. Dia berbahaya" ucap Tama dari kursi depan. "Dia ambisius, bawa-bawa Tuhan," lanjutnya. "Benci peraturan juga." tambah Adi.

"Tadi Caldha bilang besok ada peluncuran perangkat Virtual Reality di hotel di Paris. Apa kita ga kesana aja?" tanya Adi. "Oh iya seru tuh" sahut Ival dari kursi belakang. "Engga. Kita ga kesana" jawab Tama tegas.

"Hani, sebelum ketemu kita. Dia ngomong apa aja?" tanya Tama tanpa menoleh, "Emm dia bilang kalo manusia itu virus dan bumi itu tubuhnya. Kenapa emang Tam ?" jawab Hani sambil penasaran. "Kalo dugaan gue bener, kalo bener ya. Aristo udah siapin satu skenario paling luar biasa untuk lenyapin umat manusia dari bumi ini." "Hah ??" kata Tama tegas yang segera disambar oleh semua orang di mobil itu.

"Dia bilang kalo manusia itu virus dan bumi itu tubuhnya. Dan dia juga bilang kalo manusia itu blablabla, semua-semua yang jelek. Berarti peluncuran besok ada hubungannya sama umat manusia." jelasnya, "Iya tadi Caldha juga bilang kalo perangkat itu bakal digratiskan ke semua orang, satu orang satu, aligg" sahut Ival.

"Nah digratisin, berarti perangkat itu bakal bikin orang-orang ada dirumahnya, main games terus-terusan, brainless, dan lama-lama jadi manusia yang gak berguna lagi." lanjut Tama, "Nah pas itu baru dia ngejalanin misinya buat lenyapin seluruh umat manusia." Adi mengerti. "Boom." simpul Ainun.

Mobil melesat cepat. Membelah jalanan Paris dalam perjalanannya. Ketiga belas orang itu dalam perjalanan menuju Hotel. Tamu-tamu kehormatan.

"Jadi besok kita kemana Tam ?" Tanya Hani sesampainya di hotel, Adi dan Aldo mengurus kartu pintu kamar, yang lainnya menunggu. "Besok ? Kita gak ke hotel launching perangkat games itu." Tama berheni sejenak,

"Kita potong jalur distribusi perangkatnya."


-- To Be Continued--

No comments:

Post a Comment