After Pandora : Welcome back! (Part 2)
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Sinar bulan malam itu cerah. Terang benderang. Kontras dengan warna langit malam yang gelap kelabu, susunan awan besar dan kecil saling mengisi satu sama lain, bergerak lambat mengikuti arah angin. Barisan lampu kota menyala sepanjang jalan raya, pun gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya dari jendela ruangannya masing-masing.
Tama membanting tubuhnya di kasur empuk kamar hotel.
Channel TV ramai membicarakan soal kematian salah satu penonton acara barusan, yang menghadirkan Tama dan Hani sebagai bintang tamunya. Polisi sedang menyelidiki penyebab kematian seseorang yang belakangan namanya diketahui sebagai Dwivant.
Hani membungkam sepanjang malam, tak banyak berkata-kata di kamarnya bersama para wanita. Shock, kaget, atau apalah namanya. Hari pertama sekembalinya ia disini sudah dihancurkan oleh kematian seseorang tepat lima puluh meter jauhnya dari lokasi ia tadi berdiri.
Hani melangkah menuju balkon kamar hotelnya. Matanya mengitari seluruh pemandangan kota. Gedung-gedung pencakar langit, rumah-rumah, jalan raya. Tidak. Tidak ada bintang malam ini. Awan kelabu memenuhi langit. Cuaca dingin menusuk tulang, lantas membuat semua orang menggigil, kedinginan.
Lalu salju kembali turun. Berjatuhan dari langit, lalu hinggap di lampu-lampu jalan, perlahan mencair oleh panasnya bohlam. Udara berhembus tak kencang, tapi juga tak halus. Syukurlah balkon kamar hotel ini dilengkapi oleh penutup berupa balkon dari kamar satu lantai diatas. Salju turun semakin deras.
Bahkan air hujan pun tahu, malam ini, tak hanya ia yang berjatuhan dari asalnya.
Air mata menetes dari pelupuk mata Hanifa. Mengalir dari pipi, lalu jatuh dari ujung dagu. Entahlah. Wanita kadang tak pernah mengerti isi hatinya sendiri.
"Lu kenapa Han ?" tanya Latriaz menjadi yang pertama menyusul langkah Hani menuju balkon. Yang ditanya tak menjawab tapi menenggelamkan mukanya dibalik baju. Satu dua kali menghirup nafas diiringi suara khas tangisan. Latriaz tahu persis apa yang terjadi pada temannya itu.
"Lu kenapa Han" Tanyanya sekali lagi, Hani menggeleng kecil. Arum Salma menyusul ke balkon tak lama kemudian. Mereka semua mencoba menenangkan Hani. "Lah Hani kenapa dah ?" tanya Salma, tak mendapat jawaban juga. Ketiga wanita itu memutusan untuk tak bertanya pertanyaan yang sama.
"Gue keingetan orang tua gue.." ucap Hani pelan, mengusap mata, lalu menarik nafas dalam-dalam. Arum mengelus halus bahu Hani, Salma melirik kearah Latriaz, mereka memilih bungkam daripada salah-salah kata.
Belasan menit kemudian, pintu kamar diketok dari luar. "Bukain wey" ucap suara berat didepan pintu. Tangis Hani mereda. Keempat wanita itu kembali kedalam kamar. Arum menjadi yang terakhir sekaligus menutup pintu akses ke balkon, Latriaz gesit ke pintu kamar, itu suara yang dikenalnya.
Itu suara Tama. Dibelakangnya telah berdiri Adi, Stevian, Aldo, Jiwo, Bagus dan Anwar. Ketujuh laki-laki itu lalu masuk kamar, Latriaz menutup pintunya kembali.
"Ival sama Ainun kemana ?" tanya Adi melihat sekeliling, "Makan dibawah mereka" jawab Salma. Lalu sedikit basa-basi, hingga keheningan datang.
"Jadi gini.." Tama memecah keheningan sejenak setelah beberapa saat, "Gue udah cerita banyak ke yang cowok, jadi tadi ada penonton yang datengin gue, terus.." Mayor GIGN itu menjelaskan banyak, menceritakan kembali tentang Dwivant yang menjadi peniup pluit atas lembaran kasus baru mereka.
"Berarti kita bisa ketemu Afifat lagi dong ?" tanya Latriaz, "Bisa jadi" jawab Tama kecil sambil sedikit mengangkat bahu. "Monster-monsteran itu lagi ?" tanya Arum, "Gatau dah kalo itu" jawab Tama kali ini, ragu untuk mengatakan iya maupun tidak.
Hujan salju mereda, awan gelap kini berganti dengan sinar bulan yang sangat indah di langit. Ival dan Ainun datang tak lama kemudian. Tama terpaksa bercerita lagi soal apa yang didengarnya dari Dwivant, diiringi selingan tawa karena Ival yang beberapa kali melemparkan jokes.
"Eh ntar nyobain kolam renang yang dibawah kuy" ucap Ival, "Yahh gila abis ujan salju gini" sahut Anwar, "Gadulu deh" kata Tama memberikan reaksi serupa. "Yah takut apa takut" tantang Bagus, "Lu aja sana ama keluarga lu Pal" kata Aldo sambil tertawa kecil.
"Y x g kuy" ucap Jiwo dengan gaya kekinian. Semua orang disana segera melihat kearahnya. "Ceburin Jiwo ayooo" Anwar mengompori seraya mengambil kedua kaki Jiwo, "Ehhh ehh ehh gak War gua bercanda warr" katanya panik, Aldo dan Bagus membuka pintu kamar wanita, membuka pintu kamar di sebrangnya, sekaligus membuka pintu kearah balkon.
Jika balkon kamar wanita mengarah ke pemandangan kota, balkon kamar yang ditempati oleh para pria mengarah ke kolam renang. Hotel itu berbentuk huruf U, dan karena kamar yang mereka tempati bersebrangan, berarti arah balkonnya pun saling memunggungi.
Tama dan Adi memegangi kepala serta kedua tangan Jiwo, Anwar berlari membawa-bawa kedua kakinya. "Ahh gua kan bercanda lau mah keparahan sii anaknya" ucapan Jiwo tak dihiraukan, Ival berseru-seru tertawa.
"Warrr kaga Warr sumpah dahh bercanda doang ituu" Jiwo meminta ampun sekali lagi, "Bodo amat lagian si hahaha" ucap Anwar, ia mempercepat langkahnya, tinggal beberapa meter lagi. Adi dan Tama pun sama.
"Ehh udah udahh" ucap Anwar tiba-tiba, ia melepas genggamannya tepat di pinggir teralis balkon, Adi pun mengangguk kecil sambil melepaskan tangannya dari kedua tangan Jiwo. Tapi Tama..
"Yah War udah kelempar.." ucap Tama dengan wajah polos, ia meletakkan kedua tangannya memegangi kepala, seolah menyesal. Semua orang disana sontak melihat kebawah. Itu Jiwo yang sedang terjun dari balkon, kedua matanya menutup, mukanya mengkerut, guratan-guratan terlihat di dahinya.
...
..
.
.
BYUURRR!!!!!! Tubuh itu menghantam air dengan sempurna, menghasilkan cipratan air hingga satu
meter tingginya.
"PARAHHH EEEE BOTAK" Teriak Jiwo dari kolam renang segera setelah kepalanya mencapai permukaan. Suaranya menggema ke seluruh gedung. Tama dan yang lain tertawa terbahak-bahak dari balkon kamar, tak ada yang turun kebawah untuk membantu Jiwo untuk beberapa menit, semua tertawa hingga terpingkal-pingkal.
Dinginnya air kolam jangan ditanya. Hujan salju baru saja berhenti turun belasan menit lalu. Kesemuanya turun untuk 'menyelamatkan' Jiwo beberapa menit kemudian. Tentu saja tidak langsung menariknya naik.
Satu-dua kata teguran dari manajemen hotel melayang kepada mereka semua. "Iya maaf banget Pak ya ini Jiwo emang nih Pak" ucap Anwar, "Tau nih Jiwo nih emang pak" sahut Bagus.
Malam berlalu dengan cepat. Formasi bintang bertebaran di langit atas mereka, awan gelap bergerak menjauh, sinar bulan terlihat bersih sekaligus terang diatas sana. Mereka membicarakan banyak hal sebelum tidur, banyak sekali..
Dan mereka terlelap.
Lalu salju kembali turun. Berjatuhan dari langit, lalu hinggap di lampu-lampu jalan, perlahan mencair oleh panasnya bohlam. Udara berhembus tak kencang, tapi juga tak halus. Syukurlah balkon kamar hotel ini dilengkapi oleh penutup berupa balkon dari kamar satu lantai diatas. Salju turun semakin deras.
Bahkan air hujan pun tahu, malam ini, tak hanya ia yang berjatuhan dari asalnya.
Air mata menetes dari pelupuk mata Hanifa. Mengalir dari pipi, lalu jatuh dari ujung dagu. Entahlah. Wanita kadang tak pernah mengerti isi hatinya sendiri.
"Lu kenapa Han ?" tanya Latriaz menjadi yang pertama menyusul langkah Hani menuju balkon. Yang ditanya tak menjawab tapi menenggelamkan mukanya dibalik baju. Satu dua kali menghirup nafas diiringi suara khas tangisan. Latriaz tahu persis apa yang terjadi pada temannya itu.
"Lu kenapa Han" Tanyanya sekali lagi, Hani menggeleng kecil. Arum Salma menyusul ke balkon tak lama kemudian. Mereka semua mencoba menenangkan Hani. "Lah Hani kenapa dah ?" tanya Salma, tak mendapat jawaban juga. Ketiga wanita itu memutusan untuk tak bertanya pertanyaan yang sama.
"Gue keingetan orang tua gue.." ucap Hani pelan, mengusap mata, lalu menarik nafas dalam-dalam. Arum mengelus halus bahu Hani, Salma melirik kearah Latriaz, mereka memilih bungkam daripada salah-salah kata.
Belasan menit kemudian, pintu kamar diketok dari luar. "Bukain wey" ucap suara berat didepan pintu. Tangis Hani mereda. Keempat wanita itu kembali kedalam kamar. Arum menjadi yang terakhir sekaligus menutup pintu akses ke balkon, Latriaz gesit ke pintu kamar, itu suara yang dikenalnya.
Itu suara Tama. Dibelakangnya telah berdiri Adi, Stevian, Aldo, Jiwo, Bagus dan Anwar. Ketujuh laki-laki itu lalu masuk kamar, Latriaz menutup pintunya kembali.
"Ival sama Ainun kemana ?" tanya Adi melihat sekeliling, "Makan dibawah mereka" jawab Salma. Lalu sedikit basa-basi, hingga keheningan datang.
"Jadi gini.." Tama memecah keheningan sejenak setelah beberapa saat, "Gue udah cerita banyak ke yang cowok, jadi tadi ada penonton yang datengin gue, terus.." Mayor GIGN itu menjelaskan banyak, menceritakan kembali tentang Dwivant yang menjadi peniup pluit atas lembaran kasus baru mereka.
"Berarti kita bisa ketemu Afifat lagi dong ?" tanya Latriaz, "Bisa jadi" jawab Tama kecil sambil sedikit mengangkat bahu. "Monster-monsteran itu lagi ?" tanya Arum, "Gatau dah kalo itu" jawab Tama kali ini, ragu untuk mengatakan iya maupun tidak.
Hujan salju mereda, awan gelap kini berganti dengan sinar bulan yang sangat indah di langit. Ival dan Ainun datang tak lama kemudian. Tama terpaksa bercerita lagi soal apa yang didengarnya dari Dwivant, diiringi selingan tawa karena Ival yang beberapa kali melemparkan jokes.
"Eh ntar nyobain kolam renang yang dibawah kuy" ucap Ival, "Yahh gila abis ujan salju gini" sahut Anwar, "Gadulu deh" kata Tama memberikan reaksi serupa. "Yah takut apa takut" tantang Bagus, "Lu aja sana ama keluarga lu Pal" kata Aldo sambil tertawa kecil.
"Y x g kuy" ucap Jiwo dengan gaya kekinian. Semua orang disana segera melihat kearahnya. "Ceburin Jiwo ayooo" Anwar mengompori seraya mengambil kedua kaki Jiwo, "Ehhh ehh ehh gak War gua bercanda warr" katanya panik, Aldo dan Bagus membuka pintu kamar wanita, membuka pintu kamar di sebrangnya, sekaligus membuka pintu kearah balkon.
Jika balkon kamar wanita mengarah ke pemandangan kota, balkon kamar yang ditempati oleh para pria mengarah ke kolam renang. Hotel itu berbentuk huruf U, dan karena kamar yang mereka tempati bersebrangan, berarti arah balkonnya pun saling memunggungi.
Tama dan Adi memegangi kepala serta kedua tangan Jiwo, Anwar berlari membawa-bawa kedua kakinya. "Ahh gua kan bercanda lau mah keparahan sii anaknya" ucapan Jiwo tak dihiraukan, Ival berseru-seru tertawa.
"Warrr kaga Warr sumpah dahh bercanda doang ituu" Jiwo meminta ampun sekali lagi, "Bodo amat lagian si hahaha" ucap Anwar, ia mempercepat langkahnya, tinggal beberapa meter lagi. Adi dan Tama pun sama.
"Ehh udah udahh" ucap Anwar tiba-tiba, ia melepas genggamannya tepat di pinggir teralis balkon, Adi pun mengangguk kecil sambil melepaskan tangannya dari kedua tangan Jiwo. Tapi Tama..
"Yah War udah kelempar.." ucap Tama dengan wajah polos, ia meletakkan kedua tangannya memegangi kepala, seolah menyesal. Semua orang disana sontak melihat kebawah. Itu Jiwo yang sedang terjun dari balkon, kedua matanya menutup, mukanya mengkerut, guratan-guratan terlihat di dahinya.
...
..
.
.
BYUURRR!!!!!! Tubuh itu menghantam air dengan sempurna, menghasilkan cipratan air hingga satu
meter tingginya.
"PARAHHH EEEE BOTAK" Teriak Jiwo dari kolam renang segera setelah kepalanya mencapai permukaan. Suaranya menggema ke seluruh gedung. Tama dan yang lain tertawa terbahak-bahak dari balkon kamar, tak ada yang turun kebawah untuk membantu Jiwo untuk beberapa menit, semua tertawa hingga terpingkal-pingkal.
Dinginnya air kolam jangan ditanya. Hujan salju baru saja berhenti turun belasan menit lalu. Kesemuanya turun untuk 'menyelamatkan' Jiwo beberapa menit kemudian. Tentu saja tidak langsung menariknya naik.
Satu-dua kata teguran dari manajemen hotel melayang kepada mereka semua. "Iya maaf banget Pak ya ini Jiwo emang nih Pak" ucap Anwar, "Tau nih Jiwo nih emang pak" sahut Bagus.
Malam berlalu dengan cepat. Formasi bintang bertebaran di langit atas mereka, awan gelap bergerak menjauh, sinar bulan terlihat bersih sekaligus terang diatas sana. Mereka membicarakan banyak hal sebelum tidur, banyak sekali..
Dan mereka terlelap.
-----//////-----
Burung berkicauan, lalu terbang berpindah tempat. Pagi itu sejuk, sinar matahari datang diiringi awan di musim dingin, beberapa warga membersihkan cerobong asapnya dari salju, beberapa lainnya membersihkan atap mereka.
Dua buah mobil minivan menembus jalan perkotaan, satu berwarna hitam elegan, satu lagi berwarna krem, kedelapan rodanya bergulir cepat di aspal jalan protokol Paris, lalu lintas lengang, kendaraan mereka berjalan lancar.
Minivan satu diisi oleh Tama, Hani, Ainun, Ival, Adi, Latriaz, dan seorang supir. Sementara minivan yang satu lagi diisi oleh Stevian, Anwar, Geraldo, Bagus, Jiwo, Salma, Arum dan seorang supir lainnya. Kedua supir itu sudah termasuk paket mereka dalam menjadi tamu kehormatan.
Kedua mobil itu sampai di tujuan dalam satu jam. Ketiga belas tamu kehormatan itu turun dari minivan, memasuki sebuah kompleks gedung. Mereka berjalan melewati sebuah taman di sebelah kanan-kiri mereka yang lengkap dengan air mancur mininya, di puncak air mancur terdapat sebuah patung tongkat dengan sayap di pucuknya dan dua buah ular yang dibuat melingkari tongkat itu. Simbol pengobatan, caduceus.
Beberapa langkah kemudian, sebuah patung menyambut mereka. Patung Shiva yang sedang menari, simbol penghancur dan jatuhnya malaikat. Sebuah papan yang ditancapkan di sebelah kiri mendeskripsikan dengan jelas apa makna patung yang disumbangkan oleh pemerintah India itu.
Beberapa langkah berikutnya, mereka sudah kembali di tempat mereka berasal. Gedung CERN, fasilitas ilmiah terbesar yang pernah ada seantero Eropa. Gedung itu kini tidak lagi gedung yang menjulang tinggi ke langit, melainkan kompleks gedung yang memanjang dan membentuk lingkaran dengan sebuah jembatan penghubung diantara gedungnya, layaknya menara kembar Kuala Lumpur, tapi tidak hanya terdiri dua gedung.
"Perasaan pas dulu kita masih kerja disini, belum kayak gini ya Han haha" ucap Ainun sambil tertawa kecil, "Iya gila Nun dulu mah apaan haha" balas Hani sambil tertawa, sementara Latriaz masih melongo melihat gedung CERN yang kini sudah sangat 'berubah' itu.
Mereka menaiki sedikit anak tangga sebelum memasuki lobby gedung, melewati empat orang security dan empat buah metal detector berada sepanjang pintu kaca yang membuka dan menutup otomatis itu. Mereka lalu masuk kedalam lobby gedung. Logo CERN terpampang besar-besar di belakang meja resepsionis, sama persis seperti saat dulu kala, saat Hani menyambut para mahasiswa Oxford itu.
"Ngerasa dejavu ga sih lu Rum ?" tanya Salma, "Iyak Ma! 2, ngerasa kek semacem dejavu gitu" balas Arum. Bagus, Jiwo, Ival, Aldo, Anwar dan Stevian tentu saja mempunyai pengalaman tersendiri dengan lobby yang didesain serupa dengan gedung CERN yang enam bulan lalu itu menghilang.
"Ah, tamu kehormatan kita!" ucap seorang wanita dari sebelah kanan. Wanita itu mengenakan jas berwarna putih dengan nametag disebelah kiri dadanya dan logo CERN disebelah kanan, rambut panjangnya sedikit bergelombang, sebuah tahi lalat menghiasi alisnya, membuat wajahnya semakin manis. Ia lalu berjalan kearah empat belas orang itu, menyalami mereka satu persatu. "Namaku Yessika, ilmuwan CERN" ucapnya memperkenalkan diri, "Kami tak boleh lagi menyebutkan dengan detail bidang apa dan level kami lagi." lanjutnya.
"Dan tiap gedung kini berbeda-beda. Hanya gedung ini yang akan digunakan untuk tour dan promosi untuk klien yang ingin melihat-lihat, juga untuk para pemerintah negara yang mengirim ilmuwannya kesini. Gedung-gedung lainnya hanya boleh dikunjungi oleh yang memiliki pekerjaan disana, dan sedikit orang yang punya otoritas tinggi." jelasnya lagi. Mereka kini berjalan menuju sebuah ruangan di lobby setelah sebelumnya diberikan kartu tanda pengenal oleh dua orang petugas resepsionis.
Pintu kaca otomatis terbuka, ketiga belas orang itu dipersilahkan duduk di sofa yang telah disediakan. Ada beberapa majalah ilmiah di meja di depan sofa mereka duduk, dinding bercat putih dihadapan mereka ditempeli LCD TV yang berwarna serupa. Yessika mengambil empat belas gelas air lalu menghidangkannya kepada mereka.
"Ada sembilan gedung yang membentuk lingkaran kompleks laboratorium CERN." ucap Yessika, meja kaca itu lalu berubah menjadi layar touchscreen, sebuah hologram delapan gedung CERN muncul keatas, kehadapan mereka.
"Gedung-gedung itu adalah Byzen, Genesis, Ares, Poseidon, Zeus, Veritas, Polaris, dan Hades." kata Yessika sambil menekan-nekan layar touch screen, gedung yang ditampilkan hologram pun berubah mengikuti jarinya. "Keren gila" ucap Latriaz sambil menggeleng kecil. "Gedung yang sedang kita pijaki ini namanya Origine" tutup Yessika.
"Itu hologram Wo jangan norak jangan dipencet-pencet" kata Anwar sambil tertawa kecil, Jiwo melirik kecil, "Ya kaga War masa gua--" "Oh" Ival memotong ucapan Jiwo, ia kini terdiam. Yessika memberi jeda.
"Baiklah, tempat yang akan kalian kunjungi beda-beda" kata Yessika, mereka memperhatikan dengan seksama, tidak ada yang peduli dengan LCD TV yang menampilkan informasi tentang CERN itu. "Bukannya kita bareng-bareng gitu ?" tanya Aldo, "Iya tuh setau gua kan kalo tour bareng-bareng" Tama sependapat. "Engg, engga. Ini udah ada jadwalnya." kata Yessika.
"Hanifa, Latriaz dan Ainun. Kalian akan ke laboratorium di gedung Veritas, sementara yang lainnya nanti akan berkeliling di gedung ini." ucap Yessika. "Lah dipisah ?" tanya Ainun tiba-tiba sambil memasang muka bingung, "Yaiyaa kan daritadi Nunn" ucap Salma, "Hah? Apaan dipisah ?" tanya Latriaz, "Ini lagii hahaha" tawa Ival pecah.
"Hanifa, Latriaz dan Ainun. Kalian nanti ke laboratorium di gedung Veritas, tapi yang lainnya berkeliling di gedung ini." Yessika mengulang kalimatnya sekali lagi. Seorang wanita lainnya memasuki ruangan, rambutnya diikat, mengenakan jas putih seperti Yessika dengan nametag dan logo CERN, ia memasukkan kacamata yang ia kenakan kedalam kantong jasnya.
"Caldha, ilmuwan CERN" ucapnya singkat memperkenalkan diri. Yessika lalu berdiri, "Nah nanti yang lain ikutin Caldha buat kelilingnya. Ayo Han, Lat, Nun" ucapnya. Ketiga (mantan) ilmuwan CERN itu berdiri disebelah Yessika, yang lainnya pun ikut berdiri.
Lalu mereka semua keluar ruangan, bersiap mengelilingi gedung CERN (lagi).
Dua buah mobil minivan menembus jalan perkotaan, satu berwarna hitam elegan, satu lagi berwarna krem, kedelapan rodanya bergulir cepat di aspal jalan protokol Paris, lalu lintas lengang, kendaraan mereka berjalan lancar.
Minivan satu diisi oleh Tama, Hani, Ainun, Ival, Adi, Latriaz, dan seorang supir. Sementara minivan yang satu lagi diisi oleh Stevian, Anwar, Geraldo, Bagus, Jiwo, Salma, Arum dan seorang supir lainnya. Kedua supir itu sudah termasuk paket mereka dalam menjadi tamu kehormatan.
Kedua mobil itu sampai di tujuan dalam satu jam. Ketiga belas tamu kehormatan itu turun dari minivan, memasuki sebuah kompleks gedung. Mereka berjalan melewati sebuah taman di sebelah kanan-kiri mereka yang lengkap dengan air mancur mininya, di puncak air mancur terdapat sebuah patung tongkat dengan sayap di pucuknya dan dua buah ular yang dibuat melingkari tongkat itu. Simbol pengobatan, caduceus.
Beberapa langkah kemudian, sebuah patung menyambut mereka. Patung Shiva yang sedang menari, simbol penghancur dan jatuhnya malaikat. Sebuah papan yang ditancapkan di sebelah kiri mendeskripsikan dengan jelas apa makna patung yang disumbangkan oleh pemerintah India itu.
Beberapa langkah berikutnya, mereka sudah kembali di tempat mereka berasal. Gedung CERN, fasilitas ilmiah terbesar yang pernah ada seantero Eropa. Gedung itu kini tidak lagi gedung yang menjulang tinggi ke langit, melainkan kompleks gedung yang memanjang dan membentuk lingkaran dengan sebuah jembatan penghubung diantara gedungnya, layaknya menara kembar Kuala Lumpur, tapi tidak hanya terdiri dua gedung.
"Perasaan pas dulu kita masih kerja disini, belum kayak gini ya Han haha" ucap Ainun sambil tertawa kecil, "Iya gila Nun dulu mah apaan haha" balas Hani sambil tertawa, sementara Latriaz masih melongo melihat gedung CERN yang kini sudah sangat 'berubah' itu.
Mereka menaiki sedikit anak tangga sebelum memasuki lobby gedung, melewati empat orang security dan empat buah metal detector berada sepanjang pintu kaca yang membuka dan menutup otomatis itu. Mereka lalu masuk kedalam lobby gedung. Logo CERN terpampang besar-besar di belakang meja resepsionis, sama persis seperti saat dulu kala, saat Hani menyambut para mahasiswa Oxford itu.
"Ngerasa dejavu ga sih lu Rum ?" tanya Salma, "Iyak Ma! 2, ngerasa kek semacem dejavu gitu" balas Arum. Bagus, Jiwo, Ival, Aldo, Anwar dan Stevian tentu saja mempunyai pengalaman tersendiri dengan lobby yang didesain serupa dengan gedung CERN yang enam bulan lalu itu menghilang.
"Ah, tamu kehormatan kita!" ucap seorang wanita dari sebelah kanan. Wanita itu mengenakan jas berwarna putih dengan nametag disebelah kiri dadanya dan logo CERN disebelah kanan, rambut panjangnya sedikit bergelombang, sebuah tahi lalat menghiasi alisnya, membuat wajahnya semakin manis. Ia lalu berjalan kearah empat belas orang itu, menyalami mereka satu persatu. "Namaku Yessika, ilmuwan CERN" ucapnya memperkenalkan diri, "Kami tak boleh lagi menyebutkan dengan detail bidang apa dan level kami lagi." lanjutnya.
"Dan tiap gedung kini berbeda-beda. Hanya gedung ini yang akan digunakan untuk tour dan promosi untuk klien yang ingin melihat-lihat, juga untuk para pemerintah negara yang mengirim ilmuwannya kesini. Gedung-gedung lainnya hanya boleh dikunjungi oleh yang memiliki pekerjaan disana, dan sedikit orang yang punya otoritas tinggi." jelasnya lagi. Mereka kini berjalan menuju sebuah ruangan di lobby setelah sebelumnya diberikan kartu tanda pengenal oleh dua orang petugas resepsionis.
Pintu kaca otomatis terbuka, ketiga belas orang itu dipersilahkan duduk di sofa yang telah disediakan. Ada beberapa majalah ilmiah di meja di depan sofa mereka duduk, dinding bercat putih dihadapan mereka ditempeli LCD TV yang berwarna serupa. Yessika mengambil empat belas gelas air lalu menghidangkannya kepada mereka.
"Ada sembilan gedung yang membentuk lingkaran kompleks laboratorium CERN." ucap Yessika, meja kaca itu lalu berubah menjadi layar touchscreen, sebuah hologram delapan gedung CERN muncul keatas, kehadapan mereka.
"Gedung-gedung itu adalah Byzen, Genesis, Ares, Poseidon, Zeus, Veritas, Polaris, dan Hades." kata Yessika sambil menekan-nekan layar touch screen, gedung yang ditampilkan hologram pun berubah mengikuti jarinya. "Keren gila" ucap Latriaz sambil menggeleng kecil. "Gedung yang sedang kita pijaki ini namanya Origine" tutup Yessika.
"Itu hologram Wo jangan norak jangan dipencet-pencet" kata Anwar sambil tertawa kecil, Jiwo melirik kecil, "Ya kaga War masa gua--" "Oh" Ival memotong ucapan Jiwo, ia kini terdiam. Yessika memberi jeda.
"Baiklah, tempat yang akan kalian kunjungi beda-beda" kata Yessika, mereka memperhatikan dengan seksama, tidak ada yang peduli dengan LCD TV yang menampilkan informasi tentang CERN itu. "Bukannya kita bareng-bareng gitu ?" tanya Aldo, "Iya tuh setau gua kan kalo tour bareng-bareng" Tama sependapat. "Engg, engga. Ini udah ada jadwalnya." kata Yessika.
"Hanifa, Latriaz dan Ainun. Kalian akan ke laboratorium di gedung Veritas, sementara yang lainnya nanti akan berkeliling di gedung ini." ucap Yessika. "Lah dipisah ?" tanya Ainun tiba-tiba sambil memasang muka bingung, "Yaiyaa kan daritadi Nunn" ucap Salma, "Hah? Apaan dipisah ?" tanya Latriaz, "Ini lagii hahaha" tawa Ival pecah.
"Hanifa, Latriaz dan Ainun. Kalian nanti ke laboratorium di gedung Veritas, tapi yang lainnya berkeliling di gedung ini." Yessika mengulang kalimatnya sekali lagi. Seorang wanita lainnya memasuki ruangan, rambutnya diikat, mengenakan jas putih seperti Yessika dengan nametag dan logo CERN, ia memasukkan kacamata yang ia kenakan kedalam kantong jasnya.
"Caldha, ilmuwan CERN" ucapnya singkat memperkenalkan diri. Yessika lalu berdiri, "Nah nanti yang lain ikutin Caldha buat kelilingnya. Ayo Han, Lat, Nun" ucapnya. Ketiga (mantan) ilmuwan CERN itu berdiri disebelah Yessika, yang lainnya pun ikut berdiri.
Lalu mereka semua keluar ruangan, bersiap mengelilingi gedung CERN (lagi).
-- To Be Continued --
Hurry lah gantung abis
ReplyDelete