Saturday, August 27, 2016

After Pandora : Six months later.. (Part 1)

After Pandora : Six months later.. (Part 1)
Oleh : Kanzia Rahman


Paris, December 2023.

Sebuah pesawat mendarat di bandara internasional Charles de Gaulle. Salju terkikis ban pesawat kala burung baja itu mendaratkan roda-rodanya di lintasan sepanjang empat ribu kilometer itu. Sejumlah orang terlihat mengarahkan moncong pesawat menggunakan lightstick. Butuh beberapa menit hingga pesawat benar-benar mendarat.

Para penumpang lalu turun tak lama kemudian dengan ucapan "terima kasih" dari pramugari maupun pilot pesawat. Sejumlah tangga turun lalu menunggu sebuah bus untuk datang. Langkah kaki mereka pelan tapi pasti. Berhati-hati agar tidak tersandung, apalagi terpeleset.


TAP TAP TAP

Langkah sepatu Geraldo terdengar pasti. Ia menjadi orang pertama yang menuruni pesawat itu, Ival menyusul dibelakangnya, lalu Ainun, dan seterusnya.

"Kita balik lagi kesini.." ucap Geraldo seraya mengambil nafas panjang. "Udah lama gua ga kesini" gumam Ival lalu melihat sekeliling. "Iiihh tunggu dulu Tamaaa" kata Hani saat Tama melepas pegangan tangannya di tangga turun dari pesawat, Tama tertawa kecil, Hani juga tertawa.

Geraldo kini terlihat lebih gagah dari sebelumnya, sebuah sepatu hitam mengkilap, rambutnya yang dirapihkan, postur badannya yang semakin meninggi dan wajahnya yang bersih dari jerawat. Ival pun sama, mengenakan sepasang sepatu hitam dengan strip merah di bagian terluarnya, ia tidak sekanak-kanakan dulu, rambutnya kini berdiri-diri rapih layaknya landak.

Ainun berada disebelah Ival, yang sekarang sudah resmi menjadi pacarnya itu, dengan rambut sebahunya yang dikuncir, kulit putihnya tak berubah sejak kejadian enam bulan lalu. Stevian juga, rambutnya kini jauh lebih rapih dengan sedikit jambul dibagian depan, postur badannya yang tegap dan tingginya yang bertambah jauh dari sebelumnya. Wajah orientalnya makin menjadi meski hanya enam bulan dari kedatangan terakhirnya kesini.

Arum dan Salma tak berubah. Persahabatan mereka masih sama, masih hangat layaknya enam bulan yang lalu, atau bahkan enam tahun yang lalu. Kini mereka terlihat lebih dewasa, keduanya mengenakan hijab, tak ada lagi warna kemerahan di wajah Salma, sementara wajah Arum terlihat lebih berisi di bagian pipinya, sebuah syal melingkari bagian leher perempuan itu.

Bagus dan Anwar pun sama. Kini tubuh atletis mereka makin terbentuk, urat-urat kemerahan di tangan Anwar mudah terlihat bahkan tanpa ia perlu tunjukkan, geraknya lebih gesit. Bagus kini merubah semua lemak tubuhnya menjadi otot, ia bahkan sudah mempunyai 'telur' tiap kali kedua bahu dan lengannya dibengkokkan seperti huruf L.

Adi Andhika tak kalah gagah, postur tubuhnya tegap sempurna, tingginya bertambah, bagian kaki-tangannya pun lebih berisi. Jiwo berubah, tak ada lagi noda-noda hitam di wajahnya. Kulitnya tak sekusam enam bulan yang lalu, raut mukanya kini gagah dengan tatapannya yang dapat membunuh, giginya ? Ia sudah cukup mengenakan kawat gigi untuk merapihkan 'senyum satu gigi' miliknya yang kini telah tiada itu.

Hani dan Tama tak lagi sama. Tama kini berpostur tubuh tegap sempurna dengan dadanya yang busung, satu-dua garis luka terlihat di wajahnya, tapi justru itu yang membuat Hani makin sayang padanya, jabatannya pun kini menjadi Mayor. Sementara Hani, wajahnya tak lagi wajah polos yang selama ini kita kenal, rambut panjangnya masih sama, namun tatapannya telah berbeda.

Keduanya memasuki bulan keenam hubungan mereka. Satu minggu setelah helikopter yang menyelamatkan mereka itu, mereka resmi berpacaran. Tama yang mendapat izin satu minggu cuti tak menyia-nyiakannya. Mengajak sang ilmuwan CERN itu untuk berjalan-jalan, kencan, makan malam dan sebagainya, lalu 'menembak' Hani di sebuah restoran high class dengan setelan formal jas rapih diiringi lagu cinta yang dipesannya. Manis.

Meski dilatari oleh musik indah juga tempat yang cocok, proses tembak-menembak itu tak ada manisnya sama-sekali. "Ayahmu yang menyuruhku menjagamu. Jadi kamu gak bisa nolak aku deh. Hahaha" ucap Tama, Hani tertawa kecil, tersipu malu dengan rona merah di pipi, "Ayoo dong jawab malah ketawa yeu" lanjut Tama, Hani tertawa lagi, lalu mengatakan iya. Lalu apa yang dilakukan Tama ? Berdansa semalam penuh bersama Hanifa, yang resmi menjadi kekasihnya saat itu juga.

Latriaz menjadi yang terakhir menuruni tangga itu diantara mereka. Ia tak berubah banyak, warna kecoklatan dirambutnya semakin terlihat, wajahnya terlihat lebih dewasa, badannya pun lebih berisi. "Ehhh tungguin guaaa" ucapnya lalu terpeleset dari tangga ketiga dari bawah. Pantatnya sukses menggantikan kakinya menuruni tiga anak tangga terakhir hingga menyentuh aspal keras lintasan pacu bandara, seperti bermain perosotan.

"Uuuuuh sakitt" keluhnya dengan mata dipejamkan dan menengadah keatas, ia segera memanjangkan kakinya. Seluruh orang disana tertawa, tak terkecuali kru bandara. Satu-dua mencoba membantunya, tapi tak ia gubris. Satu hal yang tak berubah dari wanita itu, kekonyolan dan sifat kekanak-kanakannya. "Orang mah keren-keren diundang kesini jadi tamu terhormat ini baru dateng aja udah jatoh hahaha" tawa Ival.

Setelah beberapa menit kesakitan untuk Latriaz dan tawa untuk yang lainnya. Mereka semua sudah berdiri tegak, menunggu shuttle bus menuju terminal.

Angin berhembus kencang, menyapa kulit mereka, seolah menyambut kembali kedatangan mereka di bandara itu setelah enam bulan lamanya. Udara dingin mengiringi langkah kaki mereka saat memasuki shuttle bus bandara. Mengantarkan ketiga belas orang itu ke terminal kedatangan. Lalu ke hotel yang sudah dipesan untuk mereka.

Musim dingin di Perancis, salju berjatuhan dengan tempo tak tentu, embun menghiasi kaca-kaca jendela kendaraan maupun kamar-kamar, Pemanas di tiap rumah dinyalakan, mengantarkan suhu hangat ke langit-langit ruangan. Lampu-lampu taman dinyalakan.

"Kita hanya punya waktu dua jam untuk istirahat." ucap Tama seraya menutup pintu kamar hotel, yang laki-laki dan wanita dipisah. "Gue mah ga interview TV Tam jadi lu doang yang punya waktu dua jam" ucap Stevian lalu membanting tubuhnya ke kasur empuk kamar hotel. "Iyaa tuh sama Hani" sahut Jiwo tak digubris

Mereka semua lalu turun ke lantai dasar tak lama kemudian, menikmati makan malam hotel bersama-sama, tertawa, bercanda ria, pertemuan sejak enam bulan lamanya. Terkecuali untuk Ival Ainun dan Tama Hani.

"Lu banyak berubah ya sekarang" kata Latriaz pada Salma, mereka duduk bersama satu meja dengan Arum dan Adi. "Iya elu juga ya" jawab Arum, "Coba kalo waktu itu jadi kita tembak Rum beuhh" sahut Salma tertawa, "Yeu gue juga waktu itu hampir nembak elu anjir" jawab Latriaz tak mau kalah.

Pertemuan kembali itu mereka nikmati dengan sebuah kehangatan. Reuni kecil-kecilan atas keberhasilan, atas taruhan nyawa, juga atas perjuangan mereka bersama-sama di gedung CERN yang kini telah tiada, meski memakan korban tiga orang, tetapi mereka kini sudah melupakannya dan bisa tertawa ria lagi.

Lalu dua jam kemudian. Sebuah mobil datang menjemput Hani dan Tama, menuju sebuah stasiun televisi ternama tak hanya seantero Perancis, juga seluruh dunia.

-----\\\\\\-----

"Kau terlihat gagah hari ini." ucap Hani sambil merapihkan setelan jas formal hitam milik Tama, "Kau juga."jawab Tama sambil tersenyum tipis, pendek tapi tulus. Ia mengenakan sebuah jas hitam formal berdasi sementara pasangannya dibalut gaun merah yang memiliki tali berbentuk huruf X di bagian leher sebagai hiasannya.

"Now" ucap seorang kru panggung, Tama dan Hani mengangguk kecil. Mereka berdua lalu bergandengan tangan sambil berjalan kearah panggung dimana hanya ada dua meja putih panjang dan tiga kursi disana. Yang satunya telah diduduki oleh sang pembawa acara sekaligus host acara tersebut. Seorang wanita dengan rambut sedikit keriting dan kedua bola mata yang membulat.

"Helloo." ucap sang wanita pembawa acara lalu menyalami Hanifa dan Tama dengan sebuah senyum manis, Tama membalasnya, begitupula dengan Hanifa. Mereka berdua lalu kembali duduk, siaran ini sedang ditayangkan langsung melalui channel TV seantero Perancis.

"I'm Sekar Adikara from BBC France. Can you explain what happened in The Pandora Box case ?" tanya sang pembawa acara. "Hi, I'm Hanifa Utami, and i'm here to tell you what happened in The Pandora Box case." ucap Hani,  "I'm Fatah Aryatama. And i'm here to tell you, what happened in The Pandora Box case." lanjut Tama berwibawa. 

Lantas seluruh penonton bertepuk tangan. Mereka akan mendengarkan cerita tentang kasus yang terjadi enam bulan yang lalu itu. Tentang kasus yang melenyapkan gedung badan penelitian nuklir secara ilmiah terbaik di Eropa. Mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi melalui mulut-mulut para manusia semesta yang berhasil selamat dari tragedi itu.

"Jadi.. apa yang sebenarnya terjadi di gedung itu ?" tanya Sekar, ruangan itu hening, menanti jawaban. "Kalau ditanya apa yang sebenarnya terjadi sih.. banyak" ucap Tama lalu memutus sebentar, "Sebut saja kesalahan ilmiah." lanjutnya lagi.

"Oke kesalahan ilmiah, saya suka istilahnya haha" ucap Sekar lalu tersenyum kecil, "Dari Hanifa sendiri.. Bagaimana, perasaan anda saat tragedi itu terjadi ?" tanya Sekar pada Hanifa, "Saya sih campur aduk, ada sedihnya, ada takutnya, ada penasarannya, suka gregetan sendiri" jawab wanita itu.

Tama lalu menjawab sisa pertanyaan sang pembawa acara, dia bercerita bagaimana pasukannya diterjunkan kesana, melawan monster, hingga bagaimana akhirnya dia berhasil keluar dari sana.

"Lalu.. bagaimana ceritanya kalian berdua bisa jadian ?" tanya Sekar sambil tersenyum, "Itu.." Hani tersipu lalu melirik kecil kearah Tama, "Kamu aja yang jelasin deh Tam aku maluu" wanita itu lalu tertawa malu, diikuti tawa penonton. "Hayo gak boleh rahasia-rahasiaan ya disini haha" kata Sekar tertawa kecil melihat kedua orang didepannya itu.

"Jadi gini.." ucap Tama dengan pose tangan yang menjanjikan, lalu memutus, tatapannya serius, tapi ia membiarkan dulu Hani merapihkan posisi duduknya, membiarkan tawa kecil penonton itu terhenti, Sekar pun memberikan tatapan memperhatikan, semua orang disana diam, menunggu penjelasan bagaimana ceritanya rasa itu tumbuh diantara kengerian yang terjadi di gedung CERN.

"Terus, gitu.." tutup mayor itu cengengesan seraya menurunkan tangannya. "Tama mah apaan si" Hani kembali tertawa sambil menunduk, "Baiklah baiklah" ucap Sekar lalu menggeleng-geleng kecil sambil tertawa kecil pula.

Ia kembali melihat naskah, "Apa tadi.." gumam Sekar sambil mencoba mengembalikan fokusnya. "Apa tu jon?" Tiba-tiba Tama memotong sambil tersenyum menggoda ke Sekar, memancing tawa lainnya dari penonton maupun dari Hanifa yang duduk disebelahnya.

Sekar tertawa kecil, "Baiklah, kita sambung nanti setelah jeda." ucapnya menatap kearah kamera. Iklan komersial menggantikan ketiga orang itu di channel BBC France. Sekar beranjak, begitupula Tama dan Hani yang beranjak dari panggung itu, satu-dua penonton pun ke kamar mandi, sisanya sibuk dengan gadget masing-masing.

Tama baru saja menyelesaikan buang airnya. Tangannya kini sedang menekan keran, membasahi tangannya dengan air dan sedikit sabun, lalu mencuci tangannya. Ia lalu mengambil selembar tisu dari tempatnya yang menempel di dinding. Melirik ke kaca, seseorang telah berada di belakangnya.

Awalnya Tama tak memerhatikan orang itu, tapi saat ia keluar dari toilet laki-laki dan menunggu Hani, orang itu mengikutinya.

"Hey Mayor." ucapnya, Tama menoleh. Orang itu mengenakan hoodie berwarna abu-abu dan pakaian berwarna gelap. "Namaku Dwivant, dan aku penonton." ucapnya memperkenalkan diri, "Sesi tanda tangan mah ntar aje jangan sampe ngikutin ke toilet jug--" "Bukan!" Ucapan Tama terhenti oleh bentakan orang itu.

"Kau mungkin tak akan melihat atau mendengar tentang diriku lagi dimana-mana. Jadi, dengar baik-baik." Nada bicara Dwivant serius. "Ada konspirasi milyaran hingga triliunan dolar di kasus Kotak Pandora. Ada perputaran uang yang sangat licin tetapi berjumlah besar. Ada permainan para elite dalam tragedi yang mengerikan itu." Ia memutus.

"Kau tahu apa yang dilakukan Afifat Maulana tiga bulan sebelum tragedi itu terjadi ? Menjual setengah sahamnya pada pemerintah negara-negara maju. Mengasuransikan nasib perusahaan dan seluruh karyawannya atas nama dia. Dan kau tahu apa yang akan terjadi jika perusahaan itu hancur, bukan ?" tanya Dwivant.

"Asuransinya akan membayar sepenuhnya pada pemerintah negara-negara maju, saham akan turun drastis, negara pemilik saham akan rugi besar karena apa yang dimiliki mereka sudah tak berguna lagi, dan siapa yang melihat Afifat ikut menghilang dalam ledakan itu ? Tidak ada. Yang dilihat terakhir oleh pacarmu adalah tubuhnya, tidak ada yang tahu bagaimana lagi nasibnya setelah tembakan itu" lanjut Dwivant tak menunggu jawaban Tama.

"Bagaimana jika aku bilang kalau tembakan Hani tidak mengenai organ tubuhnya ? Kau pasti ingat bagaimana Hani gagal menembak Amel dalam adegan tembak-tembakan itu. Hal yang sama dapat terjadi dua kali." Dwivant memutus.

"Tetapi ada hal yang jauh lebih menarik dan tidak membosankan, mayor." "Apa ?" Tama kali ini penasaran. "Tepat di hari tragedi itu terjadi, sesaat sebelum ledakan di lapangan level 12 itu terjadi. Afifat yang sedang bersama para pemimpin negara maju itu menyebarkan inti proyek Tuhannya."

"Dia menyebarkan proyeksi ilmiahnya, rumus-rumus untuk membuat 'Tuhan' ciptaannya sendiri yang menggabungkan unsur alam dan sedikit--" "Bahasa manusia, tolong." Potong Tama tak mengerti. Dwivant terdiam sejenak.

"Singkatnya, lembaga lainnya telah mengambil alih proyek Tuhan yang kita tidak tahu bentuknya, wujudnya, kekuatannya. Satu-satunya hal yang kita tahu adalah hal itu berbahaya." ucap Dwivant. "Kau tahu apa yang akan terjadi jika negara-negara yang kuat makin kuat sementara yang lemah makin lemah ? Dunia akan berubah. Perang akan terjadi lagi, ekonomi akan mencapai titik terendahnya, perbudakan, pembantaian, pembunuhan, penyiksaan. Hukum rimba."

"Ayo, Tam." Hani keluar dari kamar mandi wanita, Dwivant mengenakan hoodienya dan menjauh dari kedua orang itu. Baru beberapa langkah, dua orang berbadan besar mencegatnya, "Toilet penonton bukan disini!" ucap salah satu dari dua orang itu, "Maaf, mayor." kata yang satunya lagi sambil nyengir kearah Tama.

"Itu orang kenapa Tam?" tanya Hani tapi tak digubris Tama. Keduanya kembali ke panggung, Sekar sudah menunggu, satu-dua segmen terakhir. Tama mencari Dwivant diantara kursi-kursi penonton yang disusun seperti di bioskop itu.

Hasilnya nihil.

Tama dan Hani lalu mendapat pengawalan ketat. Sebuah red carpet disiapkan sepanjang pintu keluar gedung stasiun TV itu. Wartawan dan media tidak diperbolehkan mendekat, hanya boleh mengambil foto dari jarak yang ditentukan.
...
..
.
.
PRAAAANGG!!

Tiba-tiba terdengan bunyi sebuah kaca pecah. Dari lantai belasan gedung itu. Semua orang disana segera menoleh. Sesosok manusia terjatuh dari ketinggian. Hoodie abu-abu dan pakaian serba berwarna gelap. Tama tahu jelas siapa orang itu.

Itu Dwivant yang masih hidup.

BRAAAAAAAKKK!!!

Tubuhnya menghantam tanah. Jaraknya 50 meter dari lokasi red carpet. Darah dimana-mana, bunyi tulang yang patah atau bahkan hancur. Dan hidung yang terlebih dahulu menyentuh tanah.

Itu Dwivant yang telah mati.


-- To Be Continued --

2 comments: