Fajar di Tepi Samudra. (5/5)
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Rembulan tampak gagah. Hampir semua orang disini sudah terlelap, Gadis ini terlelap di pundakku, damai. Satu-dua lainnya memejamkan mata tapi tak tertidur. Tertunduk lesu, sesekali melihat kearah lautan yang terhampar kemanapun mata memandang.
"Apa kita benar-benar akan mati disini ?" tanya seorang wanita. Tidak ada yang berani menjawab. Semua tenggelam dalam samudara diamnya masing-masing, begitupula denganku. Satu jawaban salah saja akan menghancurkan mentalnya.
Tapi rupanya sama saja. Wanita itu perlahan menangis. Diawali dengan beberapa tetes air mata, lalu diikuti suara tangisan yang memilukan. Isak tangis yang menyesakkan dada. Dua-tiga wanita lalu mencoba menenangkannya, berkata dengan kalimat penuh pengharapan dan motivasi untuk berjuang, menyemangatinya untuk tetap sabar.
Walau sebenarnya mereka terus membohongi diri sendiri.
Aku tahu persis bagaimana rasanya. Jujur saja, sebagai seorang yang realistis. Kata-kata itu terus membunuhmu dari dalam. Saat-saat dimana kamu harus berbohong, dimana kamu harus memalsukan kebenaran sebanyak mungkin. White Lies.
Bahwa sebenarnya kita tahu akan kebenaran. Tetapi berbohong untuk suatu kebaikan. Aku, dan kita semua sama-sama tahu. Kita perlahan-lahan tenggelam disini.
"Memangnya kenapa ?" Tanyamu seraya meminum segelas cappucino kafe ini. "Aku bertanya, kamu harusnya menjawab." ucapku. "Aku bertanya lagi, kenapa namanya selalu ada di chatlist line mu ?" tanyaku sekali lagi.
"Kau yang terlalu curiga" "Ayolah. Apa kau benar-benar sebodoh itu?". Aku lalu menyilangkan kedua tanganku di dada. "Kau juga menuruti ajakannya ke tempat-tempat menyenangkan, meskipun itu bersama teman-temanmu juga. Kau pergi bersamanya saat aku sedang dikejar masa tenggang akan artikelku. Disaat aku sedang sibuk. Disaat aku sedang benar-benar butuh bantuan." Aku berhenti sejenak.
"Tetapi yang kudapat hanyalah nada panjang dari teleponmu. Tak ada suaramu. Tak ada jawaban." Aku menghela nafas. "Kau tahu darimana ?" tanyamu. Aku lalu bersandar, tatapanku mengintimidasi. "Aku punya banyak mata. Aku punya banyak telinga, juga mulut. Aku dimana-mana." ucapku.
"Dia temanku." "Temanku juga. Tapi kamu seharusnya tahu soal batas." Aku dan dia terdiam. Segelas Frappuccino milikku datang. Aku mendiamkannya.
"Kamu hanya harus tahu diri. Itu saja." ucapku pelan. "Kamu terlalu mengekangku!" Tiba-tiba kamu berdiri, mengambil tasmu, lalu berjalan keluar cafe. Aku tentu saja mengikuti, menahan. Tapi kamu berlari-lari kecil ke arah jalan raya, menyetop taksi, lalu pergi.
Aku kembali ke cafe itu. Menenggak frappuccino milikku. Terdiam panjang.
Sudah kubilang kan, aku tak pandai dalam mengartikan rasa, apalagi lika-liku didalamnya. Aku lebih suka memuisikan rasa, menulisnya dalam frasa-frasa. Senjataku pena juga kata-kata, bukan pukulan atau tendangan rasa baja.
Aku lantas membayar, dan pulang ke apartemenku.
"Apa kita benar-benar akan mati disini ?" tanya seorang wanita. Tidak ada yang berani menjawab. Semua tenggelam dalam samudara diamnya masing-masing, begitupula denganku. Satu jawaban salah saja akan menghancurkan mentalnya.
Tapi rupanya sama saja. Wanita itu perlahan menangis. Diawali dengan beberapa tetes air mata, lalu diikuti suara tangisan yang memilukan. Isak tangis yang menyesakkan dada. Dua-tiga wanita lalu mencoba menenangkannya, berkata dengan kalimat penuh pengharapan dan motivasi untuk berjuang, menyemangatinya untuk tetap sabar.
Walau sebenarnya mereka terus membohongi diri sendiri.
Aku tahu persis bagaimana rasanya. Jujur saja, sebagai seorang yang realistis. Kata-kata itu terus membunuhmu dari dalam. Saat-saat dimana kamu harus berbohong, dimana kamu harus memalsukan kebenaran sebanyak mungkin. White Lies.
Bahwa sebenarnya kita tahu akan kebenaran. Tetapi berbohong untuk suatu kebaikan. Aku, dan kita semua sama-sama tahu. Kita perlahan-lahan tenggelam disini.
-----//////-----
"Memangnya kenapa ?" Tanyamu seraya meminum segelas cappucino kafe ini. "Aku bertanya, kamu harusnya menjawab." ucapku. "Aku bertanya lagi, kenapa namanya selalu ada di chatlist line mu ?" tanyaku sekali lagi.
Kau terdiam tak menjawab. Mataku menatapmu, tak tajam, hanya penasaran. "Tidak apa-apa." Jawabmu. "Kau melayaninya berbicara 24/7, lalu menanggapi ucapan selamat malam juga selamat paginya." Aku memutus. "Kau juga menjawab pertanyaan kabarnya darimu, memberi perhatian kecil. Berbincang hangat di malam hari melalui free call. Apa kau tidak curiga akan apapun ?"
"Kau yang terlalu curiga" "Ayolah. Apa kau benar-benar sebodoh itu?". Aku lalu menyilangkan kedua tanganku di dada. "Kau juga menuruti ajakannya ke tempat-tempat menyenangkan, meskipun itu bersama teman-temanmu juga. Kau pergi bersamanya saat aku sedang dikejar masa tenggang akan artikelku. Disaat aku sedang sibuk. Disaat aku sedang benar-benar butuh bantuan." Aku berhenti sejenak.
"Tetapi yang kudapat hanyalah nada panjang dari teleponmu. Tak ada suaramu. Tak ada jawaban." Aku menghela nafas. "Kau tahu darimana ?" tanyamu. Aku lalu bersandar, tatapanku mengintimidasi. "Aku punya banyak mata. Aku punya banyak telinga, juga mulut. Aku dimana-mana." ucapku.
"Dia temanku." "Temanku juga. Tapi kamu seharusnya tahu soal batas." Aku dan dia terdiam. Segelas Frappuccino milikku datang. Aku mendiamkannya.
"Kamu hanya harus tahu diri. Itu saja." ucapku pelan. "Kamu terlalu mengekangku!" Tiba-tiba kamu berdiri, mengambil tasmu, lalu berjalan keluar cafe. Aku tentu saja mengikuti, menahan. Tapi kamu berlari-lari kecil ke arah jalan raya, menyetop taksi, lalu pergi.
Aku kembali ke cafe itu. Menenggak frappuccino milikku. Terdiam panjang.
Sudah kubilang kan, aku tak pandai dalam mengartikan rasa, apalagi lika-liku didalamnya. Aku lebih suka memuisikan rasa, menulisnya dalam frasa-frasa. Senjataku pena juga kata-kata, bukan pukulan atau tendangan rasa baja.
Aku lantas membayar, dan pulang ke apartemenku.
-----//////-----
PLUK!
Kepala gadis itu terjatuh dari bahuku. Aku terbangun, dia terbangun.
"Ah, maaf." Ucapnya seraya mengusap mukanya, "Aku tertidur. Tak apa" sahutku kecil. "Kau sedang menunggu apa?" tanya gadis itu lalu membetulkan posisi duduknya.
"Menunggu fajar, menunggu cahaya kapal untuk menyelamatkanku. Apa lagi?" Jawabku. "Bukan itu. Itu kemauan. Tunggu. Yang kau tunggu, bukan yang kau mau." ucapnya. "Baiklah, aku menunggu jodohku. Haha." Jawabku sambil tertawa kecil, simple.
"Ihh bukan itu pula" Gadis itu ikut tertawa, "Kemauan dan apapun yang kutunggu itu sama saja. Bedanya hanya standar waktunya kan" ucapku, gadis itu mengangguk.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang apa yang kau butuhkan ?" tanyamu sambil melihat kearah langit luas, "Baiklah. Aku butuh keajaiban." jawabku pendek.
-----//////-----
Pukul 3 pagi. Aku masih terjaga. Mataku masih terbuka. Tubuhku masih segar bugar untuk melakukan segala aktivitas.
Tapi tidak dengan pikiranku.
Pikiranku melayang kemana-mana. Tentang pertengkaran aku dan kamu tadi siang di cafe itu. Tentang rasa, tentang kita.
Semua tanda tanya mengalir deras dikepalaku. Jika saja pertanyaan itu berupa air. Mungkin saja mulutku sekarang layaknya air terjun, dan otakku adalah samudranya. Kita belum berbicara lagi.
Kita belum berbicara lagi. Atau mungkin, takkan pernah berbicara lagi ? Kita belum berbicara lagi seperti keseharian yang kita lakukan, layaknya tawa dan canda yang sering menghiasi dinding-dinding keheningan kamarku, atau gema pertanyaan-jawaban yang memantul diantara pilar-pilar hubungan kita.
Kita tak berbicara lagi. Aku tak bisa mengeluarkanmu dari kepalaku, dan terus saja begitu. Tulisanku kosong, isinya hanya kamu. Lantas untuk apa semua ini jika semua hanya berakhir seperti ini ? Ayolah. Aku merasa sia-sia.
Aku membuat segelas coklat panas, membawanya ke beranda kamar. Membiarkan hapeku tergeletak sembarang dimanapun itu dikamar ini. Aku menulis. Dilatarbelakangi koaku yang tak pernah tidur, kertas ini tak kunjung dihiasi oleh tinta pulpenku.
TRIIIING!!
Telpon genggamku berbunyi. Itu kamu.
Keajaiban itu datang.
-----//////-----
"Keajaibanmu datang." ucap gadis itu. Aku menoleh. Secercah cahaya datang dari kejauhan, lalu diiringi bunyi klakson kapal laut yang menggema ke seluruh penjuru lautan
Dua buah sekoci datang menyelamatkan kami. Wanita dan anak-anak didahulukan. Sebuah tangga lalu dijulurkan dari geladak kapal. Beberapa awak menembakkan cahaya senter kearah tangga. Langkahku pelan tapi pasti. Tanpa barang bawaan. Kami semua tersenyum ceria. Tertawa.
Aku dan para survivor lainnya dibawa ke bagian dalam kapal, diberikan makanan, minuman, selimut. Apapun yang kita butuhkan.
Juga diberikan ruangan untuk terlelap.
Juga diberikan ruangan untuk terlelap.
Dan diakhir hari. Setelah kau merasa bahwa kau sudah menanggung seluruh beban itu. Sudah mengangkat dirimu sendiri. Sudah memastikan bahwa dirimu sendiri cukup kuat, mereka akan datang.
Saat malam semakin dingin, saat kamu merasa telah benar-benar sendirian. Maka keajaiban itu akan datang. Mengangkatmu kembali dari kedua lututmu itu. Membangunkanmu lagi, membantumu berdiri dari keterpurukan.
Ah sudahlah, aku tak sempat lagi melihat gadis itu. Tubuhku benar-benar lelah. Aku lantas terlelap dengan nyenyak.
...
..
.
.
.
Pagi menjelang. Aku benar-benar lupa perihal gadis itu hingga aku melihatnya lagi di tepi pantai hari ini. Keluarganya sudah datang menjemputnya dibawah sana. Sementara aku masih berjalan lemas lalu menuruni tangga.
Ia menatapku dalam. Akupun. Ini tatapan yang aku tahu betul. Sebuah tatapan perpisahan. Tatapan yang hangat tapi membunuhku perlahan.
Ia lalu tersenyum kecil. Bibir tipisnya menyungging perlahan. Manis. Sebuah senyuman yang memanggilku, sebuah senyuman penuh misterius yang tak bisa aku artikan. Tulus, dan penuh arti.
Aku terpaku. Ia lalu masuk kedalam mobil putih yang pintunya sudah ia tahan sedari tadi. Kerubungan wartawan TV juga media mengerubungiku seraya aku menuruni tangga dari kapal itu. Mataku liar memindai kemana mobilnya pergi.
Aku tahu betul bahwa itulah perpisahan. Dan aku tak kunjung mengerti soal pertemuan.
Aku belum paham betul soal apa itu perpisahan, juga ucapan selamat tinggal. Aku tak mengerti dimana letak "Selamat" pada selamat tinggal. Atau alasan kenapa kita dipertemukan jika akhirnya dipisahkan. Aku tak mengerti banyak hal perihal semesta. Yang kutahu, semesta selalu punya cara. Tentang perpisahan, tentang pertemuan, juga soal rasa-rasa yang sampai sekarang tidak bisa kujabarkan.
Aku lalu menaiki mobil yang sudah disediakan. Meluncur.
..
.
.
.
.
.
.
.
TRIIIIING!
"Hey, kau masih ingat denganku ?" tanya suara seorang gadis diseberang sana.
"Hey, kau masih ingat denganku ?" tanya suara seorang gadis diseberang sana.
Sudah kubilangkan, semesta selalu punya cara. :)
-- The End --
No comments:
Post a Comment