Saturday, August 13, 2016

Rembulan Penghujung Semesta. (4/5)

Rembulan Penghujung Semesta. (4/5)
Oleh : Kanzia Rahman



Malampun tiba. Aku tak bisa menghitung jumlah manusia yang berada disini. Terapung. Bersama-sama. Sendiri, tapi tak sendiri. Tak banyak suara dalam satu jam terakhir sejak senja meninggalkan kita. Gelap total.


Air laut sejauh ini tenang. Tak banyak berubah-ubah. Semua orang disinipun begitu. Tenang. Terdiam. Membisu. Kita hanya bisa menunggu pertolongan datang. Satu-dua perempuan sudah berusaha menyalakan perangkat elektroniknya sedari tadi. Tak banyak yang gagal, bisa dihitung jari. Masalah utamanya bukan pada perangkat elektronik mereka.

Tapi pada sinyal. Pada batang-batang indikator yang berada di pojok kanan (atau kiri) teratas pada layar handphone. Pada kabel tak terlihat yang menjadi tali terakhir kami semua dari jurang kematian. Pada kesempatan terakhir yang menjadi harapan terakhir semua orang disana untuk mengirim sinyal. Untuk setidaknya berkata, "Kami masih hidup."

Aku lalu melirik sekeliling. Kebanyakan penumpang pesawat adalah wanita. Wanita-wanita bergincu merah yang pekat di bibir mereka. Wanita pembohong. Mereka yang membodohi manusia lainnya dibalik kecantikannya, selalu ada kejahatan dibalik wajah-wajah itu.

-----//////-----

Aku terduduk lesu di kursi selasar kamar apartemenku. Segelas coklat panas. Satu-dua lembar kertas. Sebuah pulpen. Dan awan gelap yang menjadi latar pemandanganku kali ini.

"Selamat malam, Semesta." ucapku kecil.

Angin berhembus kencang. Ini bukan lagi angin senja yang kusukai sedari tadi sore. Ini angin malam. Angin dingin yang menembus kulit, menyapa tulang-tulang, lantas bertemu dengan tiap-tiap pembuluh darahmu. Ini dingin.

"Sejatinya, Semesta. Ada banyak sekali hal yang tidak kita ketahui dalam hidup ini. Banyak. Terlampau banyak hingga aku sendiri tak tahu apa saja yang tidak kuketahui." Aku lalu menenggak seteguk kecil dari segelas penuh coklat itu.

"Hello darkness, my old friend." gumamku kecil seraya melangkah ke beranda. Lantas memegang teralis besi yang tingginya sepinggangku. Ucapan itu seolah membuka segel sisi gelapku, membiarkan satu sisi lainnya dari diriku itu keluar, lalu mengacak-acak keseluruhan isi pikiranku.

"Kau sudah puas ?" Oh tolonglah. Jangan hari ini.

"Apa kau sudah merasakan sakitnya ? Sakitnya pengkhianatan. Tajamnya belati yang menusukmu dari belakang." Aku mendengarkanmu, sisi gelapku. "Di belakangmu. Tepat di punggungmu. Seseorang sedang menusukmu dengan sebilah belati tajam. Sedang membuat lubang yang besar. Di hadapan tengkukmu."

"Selama ini mereka melakukannya. Melakukan konspirasi demi konspirasi untuk meninggalkanmu, lantas bertingkah tak peduli dan acuh. Meletakkanmu dalam bagian terbelakang di otak mereka. Mencapmu dengan berbagai label yang tak pernah kamu sadari. Tanpa sepengetahuanmu."

Aku menengadah. Membiarkan berbagai pikiran berkecamuk di otakku. Purnama di ujung sana selalu terlihat indah. Tak peduli segelap apapun malam, sepekat apapun warna hitam yang mendominasi langit, rembulan akan menampakkan dirinya pada pertengahan bulan, juga pertengahan malam.

Tidak ada lagi ucapan dari sisi gelap diriku. Hening sejenak. Aku lantas meraih coklat panas. Menyaksikan gemerlap malam kota ini, menunduk. Dari beranda apartemen, jalanan-jalanan protokol terlihat padat dan akan selalu begitu. Persimpangan lampu merah ? Penuh akan kendaraan roda empat yang diselipi kendaraan roda dua.

Aku tak pernah mengerti perihal berbagai tanda tanya itu. Aku tak pernah mengerti alasan-alasan yang mereka layangkan. Aku tak pernah mengerti soal rasa, aku tak lagi mengerti perihal seluk beluk cinta, juga tiap-tiap permasalahannya.

TUK!.. Setetes air jatuh lantas mengalir cepat dari rambutku. Bercampur dengan segelas coklat panas yang kupegang. Dalam lima detik berikutnya, rintik-rintik air yang berjatuhan semakin banyak.

Dan hujanpun turun. Deras. Menyempurnakan malam kelamku.

"Apa kau melihat setitik bintang diatas ?" Aku lantas kembali menengadah. "Tentu saja kau melihatnya. Tapi, apa kau memerhatikan ?" Itu dia, sisi gelapku kembali. Entah cemoohan dan fakta apa lagi yang akan ia bawakan padaku sekarang. "Apa kau sudah cukup memerhatikan ?" Perhatikan apa ? Pikirku sejenak.

Ah. Bintang itu sendiri. Setitik cahaya putih di langit. Menemani rembulan yang berkali-kali lebih besar daripadanya. Ia begitu berani, begitu ganjil. Disaat sekelompoknya memilih bersembunyi dibalik pekatnya gelap malam, ia menonjol dibanding yang lainnya. Ia bukan genap kebanyakan orang. Ia sang ganjil.

Dibalik awan gelap yang menyelimuti langit malam. Masih ada ribuan. Jutaan. Atau entahlah. Masih banyak bintang lain yang bisa saja memilih untuk menampakkan dirinya, namun mereka tak melakukan itu. Mereka menunggu. Menunggu awan untuk bergerak dengan sendirinya, baru menampakkan diri.

Ini lucu. Takdir langit yang seolah membawa serentetan peristiwa dan manusia. Mempertemukan, lantas memisahkan tak lama kemudian. Sebuah ironis dibalik realita-realita alam semesta. Sebuah cerita yang dirahasiakan para wanita. Keegoisan yang berujung pada satu hal yang tak semestinya ada, sebuah ketidakadilan.

Aku kini duduk. Menyiapkan pena di tangan kanan, lalu mulai menulis.

Aku adalah seorang manusia semesta yang bersenjatakan pena. Tak pandai dalam menerjemahkan hati wanita, apalagi lika-liku didalamnya. Lantas aku menjadi penyair, yang suka memuisikan rasa, mengabadikannya dalam frasa-frasa, lalu menyebarkannya pada dunia.

Wilayah imajinerku bernama mimpi. Fantasi yang membawaku ke level yang jauh lebih tinggi. Membantuku dalam menggambarkan kejadian menggunakan kata-kata dalam hitam & putih lalu mengubahnya menjadi warna-warni didalam imajinasi.

Aku suka warna-warna yang gelap dan kelabu. Tak pernah menyukai suasana yang membiru. Penulis perfeksionis yang selalu menemukan semu dalam sajak-sajak pilu. Lalu berkembang, melesat layaknya peluru. Membenci kata keliru, apalagi bisu.

Retakku berpola. Rentetan kejadian yang selalu berakhiran sama, nasib buruk semesta. Karena siklus kehidupan itu selalu sama, kesialan lalu kejahatan yang diselingi sedikit bahagia. Begitu terus hingga dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Emosi selalu menjadi penghalang profesionalisme penulis. Tapi jika saja semua orang tahu, bahwa penulis adalah juga arsitek. Yang membangun struktur kerajaan imajinasi terbesar didalam pikiran juga sukmanya. Seseorang yang mengetahui sedikit banyak tapi tak mengatakannya, lantas menuliskannya didalam sajak-sajak penuh konotasi penuh arti.

Dan kurasa begitulah kehidupan penulis.

Ketidakadilan ? Itu bahan tulisan kami. Para penyair. Sifatnya memang nonetis. Ironis itu bertebaran dimana-mana. Di gang-gang sempit jalanan kota, sekelompok manusia, hingga ke ruangan-ruangan mereka yang berdasi, yang mempertanggungjawabkan kehidupan satu negara.

Hujan turun semakin deras. Jalanan kini bising oleh suara klakson yang bersahutan di tiap-tiap persimpangan. Kendaraan roda empat maupun roda dua tumpah ruah di jalanan. Kotaku Kotaku.

Tapi setidaknya air hujan pun tahu. Malam ini, tidak hanya ia yang terjatuh bebas dari asalnya. Ia pun tahu, bahwa tetesan air itu keluar dari sepasang pelupuk mata manusia semesta.

-----//////-----

Seseorang menepuk bahuku lembut.

Aku menoleh. Gadis itu telah berada disebelahku lagi. Tanpa permisi, tanpa bertanya. Sudah duduk tenang disebelahku. Tatapannya nanar menatap kearah laut sejauh mata memandang. Raut mukanya lelah, sedih, juga letih. Tapi aku yakin. Tak hanya dia, tetapi juga seluruh orang yang masih berada disini. Mereka masih mempunyai satu hal. Satu kesamaan.

Kesamaan itu bernama harapan. Secercah cahaya putih murni yang berada didalam sukma masing-masing. Setitik harapan untuk tetap hidup, bersama-sama. Lantas pulang kerumah. Menemui sanak saudara, memberi kabar "Aku selamat!" pada mereka yang menanti.

Meskipun sebenarnya kita pun sedang menanti. Menunggu sesuatu yang jauh lebih tak pasti. Dengan kondisi terbaik yang bisa kubayangkan. Kita sedang menunggu, akan adanya kapal yang melihat kita, helikopter, pesawat terbang. Apapun itu. Dan penantian kita lebih menyakitkan.

Lihatlah pandangan dan tatapan mereka, semua sama. Nanar. Letih. Lelah. Tragis? Bisa saja. Aku tak tahu apa yang mereka semua sedang pikirkan. Tapi aku tahu tatapan itu. Tatapan penuh penantian. Tatapan tak pasti. Ada yang kelelahan. Tertidur.

"Aku senang kau selamat." ucapku pendek lalu menurunkan tangan gadis itu dari bahuku. Ia mengangguk, "Akupun." jawabnya pendek. "Aku melihat mereka." katanya. "Mereka siapa?" tanyaku penasaran. "Mereka. Yang gagal selamat dari pesawat. Mereka yang menemui ajal di kursi sang burung besi tadi.."

"Ada dari mereka yang membaca-baca doa, lalu terbakar di kursinya saat pesawat meledak. Ada yang mati dengan tenang. Tanpa suara. Tetapi ada yang berteriak kesakitan, tangannya terbakar, tak bisa melepas seatbelt, lalu mati perlahan di kursi. Ada juga--" "C'est la mort." ucapku memutus ceritanya.

"Begitulah kematian. Tak peduli dengan keadaan, kondisi, status. Ketika ia datang, ia akan menjemputmu dan membawamu." ucapku pendek. Lalu ia terdiam. Akupun terdiam. Tidak banyak kata yang keluar dari mulut dia malam ini, tak sebanyak tadi siang.

Lalu kita semua terdiam dalam samudra keheningan yang dingin.

-----//////-----

Hujan sempat mereda. Lalu kembali deras, meredup, dan deras sekali lagi. Ini derasnya yang kedua.

Penaku sedang menari. Diatas lembar-lembar putih kertas yang sedang dipenuhi oleh tinta hitam ini. Kehidupan ini masih sama. Dentum jam terus berputar, denganmu, ataupun tanpamu. Waktu terus berjalan, mengantarkan tiap manusia ke semestanya di dunia.

Waktu yang berjalan takkan mengulang. Rahasia, akan menyapa tanpa salah. Pada suatu hari yang ditentukan. Dimana mereka dilahirkan, dipertemukan, lalu kembali dipisahkan oleh suatu takdir langit yang dituliskan.

Sang penyair menorehkan garis-garis kehidupan. Garis-garis takdir yang terus berjalan terencana dan dikemas dalam pesan-pesan penuh hikmah dan makna. Seperti semesta yang sedang berputar sesuai ketentuannya, semua hal sudah diatur dalam suatu sistem yang jauh lebih kompleks.

Dan penulis takdir manusia semesta adalah Tuhan.

-----//////-----

"Kamu tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya gadis itu tiba-tiba. Matanya menatapku. Tatapan penuh pengharapan. Aku terpaku. Terdiam. "Aku banyak membaca artikelmu. Ayahku berlangganan majalah flora-fauna itu." lanjutnya, "Kurasa takdir yang membuat aku bisa bertemu denganmu."

Aku terpaku. Terdiam. Disaat kurasa duniaku runtuh ketika seseorang meninggalkanku setahun lalu. Masih ada orang lain yang bertanya-tanya siapa aku sebenarnya. Lantas menganggap bertemu denganku adalah sebuah kehormatan.

Dia telah merubah cara pandangku dalam hidup. Merubah sebagian kecil semesta ini yang aku yakin, akan menuntun pada perubahan-perubahan lainnya. Sebuah efek domino terhadap duniaku yang kecil.

Dia telah menggambar sebuah sketsa. Yang kudapat saat itu juga. Sketsa akan dunia yang lebih jauh, yang lebih tinggi, tetapi tetap merendah. Sketsa perihal semestaku yang berkelana di galaksi warna-warni, tetapi tetap membumi.

"Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Aku takkan meninggalkan, apalagi membiarkan harapan-harapan itu mati. Aku akan disini." jawabku pendek. Ia tersenyum.

Air laut surut, ombak menderu-deru di perbatasan pantai. Rembulan di ujung semesta itu kini bersinar terang. Beberapa dari kami tertidur, Sementara yang lainnya berjaga. Malam ini dingin, juga hangat. Rembulan penghujung semesta menjadi saksi atas harapan-harapan itu.

Kalimat-kalimat penuh pengharapan. Untuk hidup. Untuk terus bertahan hingga Mentari datang nanti.

No comments:

Post a Comment