Saturday, July 30, 2016

Mentari Senja di Angkasa. (3/5)

Mentari Senja di Angkasa. (3/5)
Oleh : Kanzia Rahman


*Note : POV Fiction. Use your imagination.




Aku menatap kosong kearah jendela. Pesawat kini sudah stabil. Tak ada lagi goncangan. Tak ada lagi getaran. Stabil. Statis tapi dinamis. Bergerak mengitari bumi dari satu pulau ke pulau lainnya. Kepulangan.


Setiap kepergian selalu membawa kepulangan. Sejauh apapun, selama apapun. Seseorang lantas akan selalu pulang. Melepas rindu. Bercengkrama dengan kenyamanan semesta dan apapun yang mereka sebut rumah. Entah itu bangunan berharga mahal maupun sepetak kardus di pinggir kali. Sederhana. Bahkan sebuah hati yang dijaga baik-baik oleh pemiliknyapun adalah rumah.

Berbicara soal hati sekaligus rumah. Aku belum menemukan rumah seperti yang dulu lagi. Rumah yang hangat yang akan selalu menyambutku di tiap-tiap kepulangannya. Rumah yang sarat akan senyuman dan dipenuhi canda tawa. Rumah yang kujadikan bintang utara dari semestaku.

Rumah, bintang penunjuk arah, dan penghias semestaku yang gelap ini.

Ketinggian ribuan kaki. Laut sepanjang mata memandang. Seisi pesawat yang hening. Dan sebuah buku. Oh apa lagi jenis fantasi yang kudambakan ? Ini sempurna. Seseorang -yang ternyata adalah gadis yang menjatuhkan buku-bukunya di ruang tunggu tadi- yang duduk disampingku ini sedang tertidur. Ia membuka meja lipat dari kursi depannya. Lantas meletakkan buku-buku itu dihadapannya.

Gadis yang duduk disebelahku itu berambut panjang sebahu. Kedua bola matanya bulat. Bibir tipisnya manis sempurna saat tersenyum ditambah kedua pipi yang merah merona itu. Dahinya yang sedikit berkeringat membuat dirinya terlihat semakin menarik. Beberapa buku tertumpuk rapih disebelah kacamatanya yang bulat bergagang kemerahan. Aku bisa memperkirakan umurnya mungkin satu-dua tahun dibawahku dari postur badannya.

Ia tadi bercerita banyak soal sekolah di pedalaman kota timur itu. Soal buku pinjaman dari perpustakaan universitasnya. Soal rasa kepeduliannya terhadap daerah terluar dari negara ini. Setelah memperkenalkan dirinya sedikit, ia lalu berbicara soal cita-citanya, memajukan pendidikan bangsa. Aku hanya mengangguk kecil.

Maaf. Bukan aku sombong. Aku sebenarnya ingin sekali berkata, "Diamlah.". Sungguh. Aku sedang bersajak dalam hati, menyusun kata perkata supaya mereka menjadi indah. Lantas memaparkannya dalam tulisan-tulisanku. Tapi Ia terus berbicara, satu-dua bertanya, lalu kujawab dengan jawaban yang jauh dari topik. Memecah tawa diantara kita.

Beberapa saat kemudian ia tertidur. Lelap. Setelah duduk bersandar di kursi empuk pesawat ini. Kedua matanya terpejam damai. Sesekali tangannya menyeka rambut panjangnya itu sebelum tertidur. Dan saat itulah aku bisa berdamai dengan segala suara. Hening sempurna. Saatnya menulis puisi dalam sunyi.

Tak lama untukku terlelap. Beberapa lembar kertas puisi yang kubuat diatas awan itu lantas kusimpan dalam tas. Aku melihat kearah gadis berwajah menyenangkan yang sedang terlelap disebelahku itu. Lalu memalingkan wajah kearah jendela. Ini aneh.

Awan gelap terlihat dari kejauhan. Mulutku terus-terusan menguap untuk berpikir. Tak jernih. Mataku berat. Aku hanya ingin tertidur untuk sejen----...

PLUK!
...
..
.
.

Kepala gadis itu terjatuh di bahuku.

Ah aku tak tega. Kututup pendingin udara diatas badannya. Lalu menyelimuti badannya dengan jaketku, meski agak sulit melepaskan jaket dengan kepalanya di bahuku. Baiklah. Ini awkward. Ini jauh dari kata sunyi, sepi, hening seperti semestinya. Ini, astaga, aku sudah lama tak melakukan ini. Menerima lagi kehadiran seorang gadis dalam hidupku.

Aku melirik jam tangan di tangan kiriku. Masih ada cukup waktu untuk tertidur. Matahari bersinar, tapi tak seterik tadi. Perlahan tenggelam, mengubah warna langit menjadi kemerahan secara perlahan. Dan aku tertidur..

-----//////-----

"Hahaha. Aku sudah tahu." Ucapmu sambil tertawa kecil. "Baguslah. Jadi aku tak perlu menjelaskannya dua kali kan." balasku sambil tertawa kecil pula. Kami berdua lalu terdiam sejenak. "Jadi, apa kamu mau ?"

"Mau..." jawabmu malu-malu. Senyum lebar mengembang di wajahku. Itu jawaban yang kutunggu selama ini. Itu. Aku mau. Dan seluruh debar jantung itu meledak saat aku mendengar dua kata itu. Aku. Mau.

"Terima kasih." Ucapku pendek. Tak ada lagi kata. Senyumku kini menipis. "Jadi, kamu mau naik wahana apa lagi ?" Tanyaku sambil melihat sekeliling. "Itu ajaaa" jawabmu sambil menunjuk sebuah wahana berbentuk perahu yang berayun tinggi ke langit. Aku menelan ludah kecil. Bukan. Bukan karena wahananya. Tetapi antriannya yang luar biasa panjang.

Aku sudah menyusun waktu lama untuk ini. Rencana untuk membawanya ke taman bermain Ibukota. Rencana itu disusun seolah ada beberapa teman lain yang ikut.

Sebuah multichat lantas dibuat dari multichat lainnya. Menyusun rencana dalam rencana. Memperkirakan segala kemungkinan yang dapat terjadi, Menyiapkan segala hal yang ada dalam kategori "kemungkinan terburuk"

Tapi akhirnya hari itu datang. Dalam percakapan itu, teman-temanku beradegan seolah tak bisa ikut dalam rencana berpergian ke taman bermain Ibukota. Tentu saja itu adalah bagian dari rencana di percakapan lainnya. Dua orang lainnya mengatakan mundur saat gadis yang kuimpikan itu sudah dalam perjalanan. Tidak ada arah pulang. Hanya dua. Aku, dan kamu.

"Heii" ucapmu mengagetkan, "Kamu kenapa ? Kok bengong sih haha" "Aku lagi bersyukur. "Atas apa ?" "Atas takdir langit yang ternyata menyatukan kita. Hehe" "Haha kamu mah. Ayo kita ke wahana ituu" Kamu tersipu.

"Ladies first." ucapku sambil melambaikan tangan. Kamu lantas meraih tangan kananku. Memegangku erat. Lalu.. menggoyang-goyangkan tanganku ? 

-----//////-----

"BANGUN!" Aku terbangun. Pesawat berguncang hebat. Kepanikan terjadi. Satu persatu tas berjatuhan. Dari jendela kulihat matahari senja yang semakin matang. Tuhan sedang mewarnai. Dan ia sedang menuangkan warna kemerahan di langit. 

Tiba-tiba penutup bagian atasku terbuka. Sebuah masker darurat bergantung di talinya tepat didepan mataku. Saat akan kuraih masker itu. Tangan kananku tertahan oleh sesuatu. Yaitu tangan lainnya. Tangan yang mengenggam, bahkan mencengkram tanganku erat. Tangan yang pemiliknya itu duduk disebelahku.

Aku lalu memandang gadis yang duduk disebelahku itu. Ia sudah bangun. Masker sudah menutupi daerah mulut dan hidungnya. Raut muka menyenangkannya memudar. Tatapan matanya nanar menunjukkan kecemasan yang tinggi. Ia sudah mengenakan kacamatanya lagi.

"Maaf aku lancang membangunkanmu.." ucapnya kelu. Aku lantas meraih masker itu dengan tangan kiriku. Merapihkan talinya ke bagian belakang kepalaku. Lalu bersandar, menutup mataku. Menyerahkan semua pada takdir langit dan semesta.

Di atas awan. Di ketinggian ribuan kaki. Di langit yang berwarna kemerahan. Di hadapan mentari senja yang semakin matang. Saat guncangan itu makin kuat. Saat matahari itu terlihat..

Aku memandangi sang surya yang bersinar itu. Seakan seluruh memoriku bergabung menjadi satu. Kesemuanya. Keluarga. Sahabat. Rekan-rekan. Pasangan. Mereka yang kucintai. Juga pelataran rumahku. Dibawah pohon rindang yang sejuk itu. Tempat-tempat yang biasa ku kunjungi. Atau bahkan hal-hal sederhana yang selalu kuharapkan. Hal-hal sederhana dan kecil yang kucintai. Astaga.

Lampu-lampu berkelap-kelip. Guncangan hebat terjadi tanpa henti. Sejauh mata memandang, hanya laut yang dapat kulihat. Jendela ini dapat menjadi pemandangan terakhirku. Akhir dari segala puisiku. Tulisan-tulisanku. Akhir dari ratusan harapan manusia didalam burung baja yang terbang di udara ini.

Dan dari semua wajah yang kuingat. Wajah gadis ini yang ada disebelahku. Tangan gadis ini yang mengenggam erat tanganku.

Aku tahu dan kita semua sama-sama tahu. Pesawat ini sedang kolapse. Berputar-putar di langit tak menentu. Tak ada lagi wajah kegembiraan dan menyenangkan akan kepulangan. Ini wajah yang bergetar. Wajah yang berpasrah diri. Kulirik wajah gadis disebelahku. Ia kini ikut menutup matanya. Sendu. Air mata berjatuhan dari kelopaknya yang menutup. Keringat bercucuran dari dahinya.

Aku kembali menutup mata. Tidak ada yang bisa kulakukan. Jika memang ini yang harus terjadi. Jika memang ini takdir langit. Jika memang ini akhir dari segalanya. Jika inilah ujungnya..

-----//////-----

"WAAAAA!!!" Rollercoaster itu turun dengan kecepatan tinggi. Udara berhembus menerpa wajahku dan wajahmu. Juga semua orang didalam kereta ini. Kamu mencengkram penutup tubuhmu itu erat. Matamu tertutup. Tak berani melihat.

Rollercoaster itu lalu kembali naik. Dalam sepersekian detik kemudian turun lagi dengan kecepatan yang jauh lebih cepat. Lalu berputar-putar di treknya, berputar full 360 derajat kearah kanan, lalu berputar lagi kearah kiri. Lalu turun sekali lagi dari putaran terakhir. Bliss.

Masih ada satu kali lagi. Rollercoaster ini akan berputar di treknya sekali lagi. Naik-turun beberapa kali lagi. Berputar 720 derajat total sekali lagi.

"Aku sangat senang" gumammu yang terdengar olehku. Lantas kugenggam erat tanganmu itu. Kita tersenyum. Kita. Memandang satu sama lain. Tersenyum penuh arti. Seraya Rollercoaster itu perlahan naik.. 

Lalu dijatuhkan sejatuh-jatuhnya.
..
.
.

"WAAAAAAA!!!"

-----//////-----

BOOOOOMM!!!!

Sebuah ledakan terdengar dari bagian belakang pesawat. Suara angin menderu-deru dari bagian belakangku. Pesawat ini bolong. Pasti. Atau lebih parah, bisa saja bagian ekornya dan seperempat pesawat telah lepas. 

Ini kali keduanya lamunanku terpotong karena kejadian aslinya. Pertama, saat gadis disebelahku ini mencengkram tanganku erat, lantas membangunkanku. Kedua, teriakan dari arah belakang, lalu disusul suara ledakan. Kali kedua. Memori yang sama. Realita yang sama. Dunia macam apa ini.

"Kamu takut gak ?" Tanya gadis disebelahku itu tiba-tiba. Tangan kirinya masih mengenggam tangan kananku, tapi semakin erat. "Apa ?" Aku menoleh. Rambutnya kini diikat. Pipinya merah merona. Wajah itu tak semuram beberapa menit yang lalu.

"Ya. Aku takut." Jawabku jujur. Aku lalu beranjak. Melihat kearah hamparan lautan yang kutahu sebentar lagi akan jatuh ku kesana. Pesawat tak lagi sama. Ledakan demi ledakan terdengar dari arah belakang.

"Aku takut mati.." ucap gadis itu lirih. "Akupun. Tapi aku sudah meninggalkan pesan. Aku tak bisa berkata-kata, lantas kutuliskan itu semua dalam sajak. Mereka akan hidup dari masa ke masa. Denyut nadi mereka terselip diantara kata-kata yang kutulis. Aku sudah menuliskan mereka semua. Mereka akan hidup selamanya." balasku datar. "Juga, kamu." gumamku kecil tak terdengar.

Aku kembali melirik kearah jendela. Kini giliran aku yang mengenggam tangan gadis itu. Perasaan menjaga. Puing-puing pesawat terapung di laut. Mereka yang sudah terjatuh dari pesawat sedang berkumpul. Membentuk lingkaran. Tangan kiriku memegangi seat belt. Aku lantas melirik kearah gadis itu dengan tatapan penuh keyakinan. Bunyi ledakan bergantian dan semakin dekat..

BOOOOMM!!!!

Ledakan itu terjadi tepat dua-tiga kursi dibelakangku. Aku dengan cepat melepas masker oksigen dan melepas seatbelt. Masih mengenggam tangan gadis itu. Aku terpental..

Dan kami terpisah.

Mentari senja terlihat gagah dari kejauhan. Aku terbang bebas dari ketinggian ribuan kaki. Tanpa pengaman, tanpa ada yang menjaga dibawah. Benar-benar terbang. Melayang. Terapung di udara saat telinga ini berdesing kencang. Aku akan jatuh kedalam air..

Astaga, ini indah. Lihatlah sekumpulan burung yang terbang dikejauhan. Seakan menemani mentari senja di penghujung hamparan samudra. Langit merah kekuningan. Cerah ? Kini redup. Awan-awan berjejer layaknya kapas melayang di udara. Dan oh, hai semesta. Rencana apa lagi yang kaupunya untukku kali ini ?

Ini detik-detik cepat, yang terpanjang dalam hidupku.

BLAASSSSSS !!!!!!!

Kepalaku menghujam air terlebih dahulu. Dengan kecepatan tinggi, rambutku menyentuh permukaan air terlebih dahulu sebelum ujung jemari kakiku menyusul sepersekian detik kemudian. Aku segera menyeimbangkan diri. Tanganku gesit mencari sumber udara. Permukaan air.

Dan aku menemukannya. Permukaan air. Aku mencoba berdiri.. Namun kesialan kembali menimpaku.

BRUAKKK!!!!

Sebuah puing pesawat menghajar kepalaku. Tanpa ampun. Sialan. Aku terpental masuk lebih dalam kebawah air. Nafasku kini sesak, kesadaranku berkurang. Mataku seolah penuh oleh jutaan liter air yang memasuki tubuhku.

"DAPATTT !!" Tiba-tiba sebuah tangan menarik kepalaku. Menjambak rambutku. Mengguncang-guncangkan badannya. Membawaku kembali ke kehidupan. Aku hampir melewati batasku. Hampir saja. Lantas kulepas pegangan orang itu. Menarik tangannya untuk beranjak naik ke permukaan air..

"HAH!" Nafasku memburu segera setelah keseluruhan kepalaku dan isinya naik ke permukaan air. Hanya leher hingga jari kakiku yang dibawah air. Kedua tangan kurentangkan. Mengikuti lingkaran manusia.

Rupanya mereka yang menyelamatkanku. Lingkaran manusia itu tampaknya kini membesar. Dengan lebih banyak manusia yang menjadi tali temalinya. Aku lalu berterima kasih, beberapa dari mereka tertawa. Bersyukur karena aku masih hidup bahkan setelah dihantam salah satu potongan kecil puing pesawat.

Gadis itu. Dimana dia? Mataku segera mencari ke seluruh manusia yang melingkar itu. Ada. Syukurlah. Dia sudah berada di ujung sana. Ehm maaf, lingkaran tak berujung. Maksudku, dia sudah ada diseberang sana. Nafasku lega. Terbatuk kecil. Lalu semua sudah seperti sedia kala. Aku baik-baik saja.

Bedanya, kini aku berada ditengah hamparan lautan bersama manusia lainnya dan baru saja terjun bebas dari ketinggian ribuan kaki dari sebuah pesawat komersial.

Senja semakin matang. Matahari perlahan terbenam. Sinar sang surya akan menghilang tak lama lagi. Beberapa dari lingkaran itu melepaskan pegangannya, menarik puing kedalam lingkaran. Lalu mengutamakan wanita itu naik terlebih dahulu.

Cukup banyak. Dan cukup berat. Beberapa dari puing itu masih bertahan. Aku segera menariknya. Dibantu yang lain. Kami mendapat banyak puing sebagai 'daratan' kami. Aku yang mendapat luka memar didahulukan naik oleh para pria di lingkaran itu. Menjadi prioritas utama setelah wanita-wanita yang kedinginan.

Rembulan terlihat dari kejauhan. Langit akan gelap. Tak banyak kata, tak banyak tawa. Mentari Senja yang terbenam sepenuhnya itu menjadi saksi dari banyak hal. Dari cerita-cerita. Dari berbagai macam tawa. Dari pertemuan antara aku dengannya. Sang surya menyaksikan itu semua. Berlatar langit kemerah-kuningan yang beranjak menghilang..

Mentari Senja telah menjadi saksi atas banyak hal di Angkasa.

No comments:

Post a Comment