Tuesday, July 26, 2016

Siang dan Sepotong Kenangan. (2/5)

Siang dan Sepotong Kenangan. (2/5)
Oleh : Kanzia Rahman


*Note : POV Fiction. Use your imagination.




Tapi itu semua kejadian satu tahun lalu.

Semua percakapan manis itu. Semua ucapan dan perkataan yang pernah kulemparkan. Semua janji-janji semu. Itu semua terjadi satu tahun lalu. Dan selama itulah aku melepas diri darinya.


Langkahku pelan melewati Metal detector Bandara. Mengikuti prosedur. Meletakkan barang-barang elektronik. Lantas mengambil kembali satu-satunya tas yang kubawa sambil mengucapkan terima kasih ala kadarnya. Formalitas.

Satu tahun lalu. Aku dengan senang hati menelponnya. Sekedar mengabari jam keberangkatan, jam perkiraan sampainya. Lantas bertanya pertanyaan-pertanyaan tak penting, "Sudah makan ?" atau "Sedang apa?" selama berjam-jam. Itu konyol. Haha.

Bagiku itu konyol. Sepasang manusia semesta yang bertanya kabar satu sama lain hingga mereka dihadapkan oleh dua pilihan takdir langit, ditinggalkan atau meninggalkan. Keduanya sama-sama menyakitkan.

Aku melangkah ke ruang tunggu pesawat. Masih ada puluhan menit sebelum pesawatku lepas landas. Dari kejauhan kulihat awan-awan gelap. Tapi layar tak sama sekali menunjukkan pergantian status penerbanganku.

Ah, cuaca gelap ini mengingatkanku pada sesuatu..

-----///////-----

Malam itu dingin. Hujan deras turun mengguyur Ibukota. Petir bergantian menyambar disana-sini. Awan gelap menyala-nyala. Ini hujan badai. Jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil yang bergerak lambat. Para pengendara motor yang merasakan kedinginan disekujur tubuhnya. Mengisi celah-celah sempit antar mobil. Mesin-mesin yang panas. Wajah-wajah yang kelelahan.

Aku sedang memacu motor. Menuju salah satu restoran terkemuka di pusat kota.

Kamu bilang ini penting. Lantas aku bergegas sebisa mungkin. Menutup laptop. Membiarkan salah satu artikel tulisanku itu terputus di paragraf pentingnya. Meraih naskah cerita dan kunci motor. Lalu terburu-buru menuruni tangga. Tidak ada waktu.

Segala yang bisa kudengarkan sepanjang perjalanan hanyalah detak jam yang seolah berbunyi kencang. Persetan dengan suara klakson, derum kendaraan lain, atau bahkan umpatan mereka yang kendaraannya kulewati tanpa permisi.

Dan aku sampai. 15 menit terlambat. Hanya dua kali aku terlambat dalam tiap-tiap janjiku bertemu denganmu. Yang pertama adalah karena paku-paku yang dengan kurang ajarnya menembus ban motorku. Lantas menggembosi bagian dalamnya dan memaksaku menunggu 30 menit untuk membeli ban daru di bengkel dekat situ.

Yang kedua adalah ini. Hujan badai. Petir menyambar. Kendaraan tumpah ruah di jalanan protokol. Aku tak pintar berbohong. Sama sekali tidak. Maka tidak akan kukarang jawaban apapun jika kau akan bertanya, "Kenapa terlambat ?"

Kulepaskan helm. Merapihkan pakaian yang kusut, juga rambut yang acak-acakan. Lalu kubawa tas ini masuk. Naskah cerita pertamaku. Kau memintanya. Genre romance dengan paragraf Justify dan tepat 700 kata tapi harus menarik. Apapun harus kulakukan untukmu, kan ?

Saat itu, hanya itulah yang ada dipikiranku.

Langkahku terhenti di penghujung jalan. Di tepi pintu yang disediakan restoran sebagai pembatas antara bagian belakangnya dan bagian tengah. Kau duduk. Tertawa. Bercanda. Dan didepanmu. Itu siapa ?

Duduklah dulu. Ucapmu. Tapi ini semua jauh dari ekspektasiku. Laki-laki lain -yang entah namanya siapa- itu berbicara perihal jenjang yang lebih serius. Perihal orang tua. Perihal keterpaksaan. Dan semua yang kau lakukan hanya meminta maaf dengan ekspresi menjijikkan itu.

Kuletakkan naskah cerita romance, lalu berkata, "Semoga naskah ini menjadi kisah cerita kalian berdua." dengan tatapan tajam. "Aku belum menulis akhirnya. Kalau tidak salah keduanya menikah--" "Benarkah ?" Kau memutus ucapanku.

"Iya. Tapi rumah mereka mengalami kebakaran. Gas meleduk dan sebagainya. Berakhir buruk tanpa protagonis juga antagonis. Hanya ada dua orang disana." Tutupku tak berbicara banyak.

"Apa kau tidak akan benar-benar menahanku ?" Ucapmu. Tenggorokanku tertahan tak menjawab untuk beberapa saat. Ayolah. Dimana sisi rasionalku selama ini. Dimana letak kecerdasan dan kehebatanmu dalam situasi yang membutuhkan jawaban spontan seperti ini ?

Pikiran dan hatiku benar-benar kacau. Layaknya dinding yang dipenuhi coretan-coretan tanpa arti yang jelas. Vandalisme ? Bukan. Ini sampah. Memenuhi lantas menyesakkan sekujur tubuhku.

Aku belum juga menjawab tapi tak juga diam, lantas kupasang wajah berpikir dengan mulut setengah terbuka sambil menunjukkan gesture yang seolah berkata, "Tunggu sebentar." Baiklah, aku harus bijaksana.

"Tidak. Tidak ada yang akan menahanmu. Aku tidak bisa menahanmu. Juga cuaca buruk seperti ini. Aku tak akan memintamu bertahan. Berulang kali berlutut. Bahkan untuk bertanyapun aku enggan. Tuhan punya hadiah untukku, juga untuk kalian. Takdir langit tak pernah berbohong. Semesta punya jawaban atas segala pertanyaan manusia." Oh Tuhan, apa yang baru saja kuucapkan.

Lantas aku berdiri, membiarkan tubuh serta jiwa raga ini diambil alih oleh sepotong bagian otakku yang sedang berpuisi. Berbalik badan, mengambil arah pulang.

"Kamu adalah sajak terputus-asa yang terpotong malam ini. Tak akan ada lagi hari esok dan kesempatan kedua. Puisi tersedih yang pernah kutulis. Kopi terpahit juga manis yang pernah kutenggak dalam menjalani kehidupan. Selembar foto yang mesinnya rusak sebelum dicetak. Semoga memoriku lantas tak memanggil namamu dalam malam-malam panjang dan sepi lainnya. Namamu kini sudah tenggelam dalam lautan emosiku, juga kenanganku. Tinggalkan dan jangan pernah kembali, karena kau tidak akan menemukan diriku yang sama lagi. Selamat tinggal."

Persetan. Aku tak peduli. Bulir-bulir air satu demi satu berkeluaran dari mataku. Aku berjalan, menuju pintu keluar. Langkahku yang biasanya berwibawa dan tegap kini tak lagi sama. Aku terburu-buru. Tapi tetap dengan sigap menghindar seorang pelayan yang sedang membawa makanan dengan kedua tangannya.

Kunaiki motor. Dan bergegas pulang. Kupacu kendaraan roda dua itu hingga kecepatan maksimalnya. Mataku gelap. Tidak ada kedamaian di hatiku. Hanya ada kerusuhan, kejahatan, dan semua hal buruk lainnya.

-----///////-----

"Maaf!!" Tiba-tiba sebuah suara menyadarkanku dari lamunan panjang. Setumpuk buku jatuh dihadapanku. Berserakan di hadapan kedua kaki panjangku yang memang sedang kuregangkan.

"Aku tidak sengaja." Ucap seorang wanita dihadapanku. Ia membungkuk. Lantas menekuk lutut dan menopang badannya dengan satu kaki sementara tangannya sibuk mengambil dan menyusun buku-buku yang berserakan itu.

Ruang tunggu yang luas ini sempat menatap kearah kami sejenak. Lalu tak memperdulikan seakan hanya angin lewat. Aku duduk di penghujung koridor. Sepi disana. Selalu menyenangkan untuk tak terlalu melihat mencolok.

Aku lalu mengambil buku yang terjatuh hingga kebawah kursi ruang tunggu. Menyerahkan buku itu ke dia. Kepalanya yang menunduk dan rambutnya yang hitam panjang sempurna menutupi wajahnya.

"Kebetulan aku ingin membawa buku-buku ini ke suatu perpustakaan." Rambut hitam panjangnya terurai kala badan yang membungkuk itu kini berdiri tegak dihadapanku. Aku mengangguk kecil. Antara sekedar memberi rasa hormat dan tak peduli. Ia meletakkan buku-buku itu disebelahku. Berjalan menuju ujung koridor. Mesin minuman.

Tapi ceritaku belum berhenti disana.

-----//////-----

Aku membanting tubuhku ke tempat tidur. Melepaskan tas yang berat dari pundak yang penuh lelah. Tempat tidurku bergetar hebat kala tubuhku terhempas keatasnya. 

Tapi aku tak bisa berhenti disana. Aku mencoba menenangkan diri. Menatap ke langit-langit kamar. Lalu mencoba mengenyahkan semua puisi indah yang terbuat dari kamu. 

Laptop kubuka. Lantas bersuara, "Welcome Home!". Sistemnya sudah kuatur sedemikian rupa. Halaman itu masih terbuka. Artikel yang masih pada paragraf vitalnya. Artikel yang sedang dalam paragraf yang mencengkram pembaca.

Aku menghapus keseluruhan paragraf itu. Tak memaksakan diri untuk menulis. Lalu menutup lembar kerjanya. Menulis sajak-sajak frustasi dan kesedihan yang mendalam. Mungkin memang benar kata orang bijak. Kesedihan di tangan yang salah akan berakibat bunuh diri, di tangan yang benar akan menjadi puisi.

Sementara ditanganku menjadi puisi yang membacanya saja seolah ingin bunuh diri.

Aku membiarkan diriku untuk bersedih sendu. Tak bisa melawan. Lebih baik dijadikan tulisan. Berlembar-lembar halaman itu menjadi bukti atas kesedihanku. Aku tidak punya alasan apapun. Juga tak menampik fakta bahwa ini jauh dari ekspektasi. Mengutuk takdir langit yang sedemikian kejam padaku.

Tapi aku berjanji pada semesta. Tidak ada lagi kamu dalam tulisan-tulisanku sejak hari ini. Tidak ada lagi dirimu dalam sajak yang kubuat dimulai dari malam ini. Tidak ada lagi dirimu itu dalam pikiran kosong di langit-langit kamarku sejak hujan berhenti malam ini. Semua itu selesai. Hanya titik. Tanpa koma yang berkepanjangan.

-----//////-----

Dan syukurlah prinsipku itu bertahan. Rupanya aku jauh lebih kuat dibanding tahun lalu. Menyibukkan diri dengan sejuta deadline yang seolah memaksaku untuk tak tertidur tiap malamnya. Menghabiskan malam-malam panjang itu dengan ratusan kata yang memenuhi benakku.

Lihatlah sekarang. Umurku sudah menyentuh dua lusin. Edo terlihat menua dengan guratan yang ada di dahinya tiap kali ia tertawa. Majalah yang memperkerjakanku semakin naik ratingnya. Piagam penghargaan yang dibingkai memenuhi dinding kamarku. Sementara kamu..

Tidak. Tidak ada lagi kamu. Haha.

Suara panggilan tiba-tiba mengagetkanku. Suara itu memanggil para penumpang dengan nomor penerbangan dan maskapainya secara tertentu.

Itu pesawatku. Lantas kuberdiri. Melangkah gontai kearah mesin minuman. Membawa-bawa sebotol kopi dingin sepanjang barisan. Langkahku pelan tapi pasti di garbarata pesawat. Hanya membawa sebuah tas ransel di punggung.

Setelah serentetan baris-berbaris dan prosedurnya. Aku memasuki pesawat itu. Mengikuti sejumlah prosedur sebelum sayap-sayap burung besi itu akhirnya terbang ke udara.

Ini sama seperti satu tahun yang lalu. Garbarata yang sama. Maskapai penerbangan yang sama. Tujuan keberangkatan yang sama. Bedanya, dulu aku sangat-sangat bodoh. Tak juga mematikan telepon demi menyampaikan pesan "aku berangkat" kepadamu. Dulu aku buta, dulu aku diperbudak oleh rasa.

Dan pesawat itupun terbang. Menembus angin diatas awan. Menuju kepulangan.

No comments:

Post a Comment