Friday, July 22, 2016

Pagi di Ujung Cakrawala. (1/5)

Pagi di Ujung Cakrawala. (1/5)
Oleh : Kanzia Rahman

*Note : POV Fiction. Use your imagination.





Semburat Matahari terlihat di Ufuk Timur. Hangat. Sinarnya menembus pepohonan di hutan timur negara kita ini. Daun-daun terlihat silau dari bawah sini. Radiasi Ultraviolet yang terpancar seakan menusuk mata kala aku tak sengaja melihatnya. Sakit. Refleks kutunddukan pandangan, memperbaiki posisi, lalu kembali mencari objek. Objek Fotografi.



Ayolah. Negara ini indah. Daerah timurnya menyimpan banyak pemandangan untuk mereka yang mencarinya.

Aku berjalan diantara pohon-pohon tinggi itu, melihat burung-burung yang hinggap di batangnya. Sarang-sarang burung yang dipenuhi oleh telur. Dedaunan yang satu dua berguguran, kadang tepat di kepalaku.

Langkahku terhenti. Jalan terbentang di hadapanku. Jalan selebar dua tiga meter yang menuju makin dalam ke hutan. Ini objek. Pikirku.

Mungkin benar kata mereka. Ini negeri di ujung sana. Negeri tak tersentuh tangan-tangan manusia yang nakal. Yang cakrawalanya membentang dari sini dan berakhir disini juga. Dunia lain dimana pelangi selalu tampak dimanapun kita berada. Dimana nyanyian burung adalah nada terindah yang pernah ada. Dimana udara yang berhembus selalu sama. Menenangkan.

Ini Dunia di Ujung Cakrawala. Ini semesta baru yang belum dijelajah manusia. Peninggalan sejarah berupa pemandangan alam tak terbatas diantara pepohonan. Ini Ujung Cakrawala dari Semesta.

Akupun membuka tas, menyiapkan tripod, meletakkan kamera serta berbagai alat lainnya. Mengatur fokus dan pencahayaan. Merapihkan batang-batang yang berjatuhan sepanjang jalan. Lalu mulai mengambil gambar.

Cukup lama hingga aku kembali berjalan lagi.

Sunyi. Senyap. Tak banyak suara yang bisa kudengar di hutan. Kebanyakan hanyalah suara kepakan sayap-sayap burung ataupun deru angin yang menyelip diantara pepohonan. Aku belum melihat hewan buas.

Lalu aku berjalan ke bagian yang lebih lebat. Kali ini dengan pohon belasan meter yang menjulang tinggi ke langit. Aku lalu menatap keatas. Kembali menyiapkan peralatan fotografi. Lalu mengambil gambar. Dengan fokus ke dedaunan tertinggi diatas sana.

Pohon-pohon itu seolah membentuk formasi spiral. Mengelilingiku. Bersiap untuk difoto dan disebar ke seluruh penjuru dunia.

15 menit yang melelahkan. Kamera masih mengambil gambar sementara aku duduk disalah satu batang pohon besar yang tumbang disana. Mengambil sebotol air dari tas, lalu menenggaknya perlahan. Segar.

Kamera itu kulepas dari tripod. Melihat gambar-gambar yang tersimpan, hasil hunting pagi ini untuk sesaat. Lalu merapihkan tripod. Memasukkan kaki-kakinya. Lantas memasukkan tiang-tiang itu kedalam tas ranselku.

Langkahku tak lurus sepanjang jalan keluar hutan. Kadang terhenti, kadang tertatih. Kedua tanganku masih memegangi kamera, kepalaku menunduk, melihat-lihat galeri foto hasil hunting, memilah mana yang akan dipajang dan mana yang tidak.

Artikelnya baru akan diterbitkan seminggu lagi.

Menjadi fotografer salah satu majalah bertema flora dan fauna selalu mengajakku keluar kota. Menikmati sejuknya udara pagi ala pegunungan, menelusuri gua-gua yang tak terjamah tangan manusia. Berteman dengan alam.

Dan semua foto-foto itu indah. Sama seperti senyummu.

Hari ketujuh. Dan aku belum melihatmu. Dan aku belum bertemu denganmu. Semua ini pelan-pelan membunuhku. Menyisakan sesak di dada. Ini rindu.

"Hoi!" Teriakku sempurna membangunkan seorang temanku yang tertidur di jeep di luar hutan. Teman, sekaligus pemandu wisata tiap kali aku mengunjungi daerah ini. Ia tahu seluk-beluknya, jalan-jalan sempit dan gangnya yang dipenuhi anak-anak, semua yang kubutuhkan untuk mencari data.

Namanya Edo. Pemuda karang taruna di kota ini. Ia dan teman-temannya berusaha semaksimal mungkin untuk mengekspos kekayaan alam daerahnya. Menjadikan tempat wisata bertema alam dan hanya menambah lampu-lampu pencahayaan untuk mereka yang suka melewati jalan ini di malam hari.

"Kau sudah selesai ?" tanyanya lalu menyalakan Jeep, "Sudah. Pesawatku akan berangkat 4 jam lagi." jawabku lalu meloncat kedalam Jeep. Mobil besar itu menggerum, Edo mengambil jalan memutar, lalu menginjak pedal gasnya. "Dari hotel saja sudah memakan waktu 2 jam menuju Bandara."

Sesampainya di hotel, aku segera berkemas. Merapihkan barang-barang. Edo menunggu dengan mobil lainnya di lobby hotel. "Taksi mahal" ucapnya pendek. Ia tak memberiku batas waktu menunggu, tapi aku tak berlama-lama.

Dalam 10 menit. Aku sudah siap berangkat. Tapi ada yang tertinggal.

Waktu.

Aku tak akan punya waktu cukup untuk menelpon sepanjang perjalanan. Sesampainya di Bandara pun harus menyelesaikan urusan check-in dan sebagainya. Jadi, aku duduk di kursi yang disediakan di balkon kamarku, mencari namamu di daftar kontak, lalu menelponmu. Menekan lambang telepon berwarna hijau itu.

"Halo. Aku rindu." Ucapku membuka percakapan. Dan dia menjawab. Suara itu. Intonasi itu. Nada itu. Gadis itu. Aku benar-benar tak sabar untuk bertemu dengannya. "Aku selalu lupa mengabarimu tujuh hari kebelakang. Ketika ingat, handphone ini habis baterai. Dan begitu seterusnya. Haha. Kamu apa kabar ? Kuharap baik, karena aku disini sedang baik-baik saja."

Ia bercerita banyak pagi itu. Perihal kejadian yang menyenangkan tujuh hari kebelakang, pun yang menyedihkan. Aku bisa membayangkan wajah cerianya saat bercerita melalui suara. Rambut panjangnya yang terurai, kedua bola matanya yang bulat, dan senyum manis yang melekat di bibirnya itu. "Tidak. Ini kebetulan. Kebetulan ada waktu. Dan kebetulan ingat. Hahaha"

Aduh. Bagaimana pula aku mendeskripsikannya ? Sebagai seorang anak kecil yang berlarian sepanjang gang ? Atau justru seorang pemahat yang sedang membuat patung terindahnya ? Entahlah. Pemandangan dari balkonku ini tampaknya tak cocok dengan deskripsinya.

Maksudku, begini. Meskipun aku menulis banyak dan lebih banyak lagi artikel soal keindahan alam. Keindahan wanita itu tak dapat kutuliskan dalam kata-kata, kuterjemahkan dalam huruf-huruf penuh makna. Karena semakinku mencoba mengartikannya, semakin sulitku memaknainya.

"Hari ini aku akan pulang. Pesawatku beberapa jam lagi. Apa kau akan menunggu di Bandara ?" tanyaku yang segera disambar jawaban Iya dengan nada penuh antusias darinya. Akhirnya aku mengucapkannya. Berkata "Pulang" pada Ia yang selalu mengharapkan kedatanganku. Tujuh hari terpanjang dalam hidupku. "Jangan rindu. Tunggu saja kedatanganku nanti. Haha" ucapku sambil berusaha menutupi rasa senang yang meledak itu.

Belum meledak sebenarnya, ia akan meledak beberapa jam lagi. Kala pesawat yang kunaiki mendarat di landasan Bandara Ibu Kota. Saat aku akan bertemu dengannya. Melepas rindu. Bercerita semalaman. Menghangatkan diri dengan dua gelas coklat panas.

"Memang bedanya apa ?" "Jelas beda. Perfeksionis itu mendetail. Perfect itu sempurna. Kamu. Hahaha. Masa kamu gak bisa bedain ?" "Aku kan anak Matematika. Dasar anak sastra. Hahaha" Oh ayolah. Jika hari bisa dirobek, aku ingin melakukannya. Menunggu selama beberapa jam itu menyakitkan. Astaga.

"Ya sudah. Aku berangkat ke Bandara. Nanti kalau sempat kutelfon." tutupku. Edo yang sudah sedari tadi menunggu di lobby bawah tak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun. Ia sedang bercanda dengan pemilik warung kopi kecil di seberang jalan. Lantas membantu memasukkan barang-barang bawaanku kedalam bagasi mobil.

Aku (dengan wajah ceria) mengembalikkan kartu pintu kamar hotel, menjawab riang kalimat "Terima kasih" resepsionisnya dengan senyum hangat. Lalu bergegas memasuki mobil yang telah menyala. Satu-dua lagu kupilih untuk kudengarkan sepanjang perjalanan menuju Bandara.

Dan mobil itupun berangkat

No comments:

Post a Comment