New Miracle.
Oleh : Kanzia Rahman
Oleh : Kanzia Rahman
Langit malam ini cerah, sama seperti malam sebelumnya. Bintang-bintang berkeliaran, saling sikut untuk menjadi yang paling terang di atas sana, dikelilingi oleh beberapa lembar awan kelabu yang bergelantung, malam ini indah.
Setidaknya begitulah pandanganku dan secangkir coklat panas ini.
Malam ini jauh lebih tenang daripada malam-malam sebelumnya, beberapa jam terpanjang yang pernah kualami, ditambah ratusan menit tambahan di keesokan harinya, malam itu menjadi sesak terkuat yang mengisi lorong pikiranku.
There's no miracle this time. |
Krusial ? Sejauh ini iya. Momen-momen penyeleksian untuk masuk ke sekolah favorit di kota tercinta ini. Ada suatu saat dimana aku berharap waktu berhenti berputar, lalu proses seleksi dinyatakan berakhir. Ada.
Atau ada suatu saat dimana jantungku berdebar jauh lebih cepat daripada sebelumnya, di menit-menit akhir proses penyeleksian atau ketika namaku termasuk dalam 20 nama terakhir yang diterima di sekolah itu. Ada.
Tapi hal itu berakhir di siang hari. Tepat ketika dunia seakan runtuh dan waktu berhenti berputar, namaku tak lagi tertulis dalam ratusan orang yang diterima. Tidak ada keajaiban hari ini, maupun kemarin, apalagi hari esok. Harapan itu pupus bersama hembusan angin yang bertiup di bawah sinar matahari terik.
Hanya, kurang beruntung.
Mereka bilang tak apa, kenyataannya ekspektasi berbanding terbalik dengan realita. Mereka bilang keajaiban akan datang, dalam malam-malam sepi di bulan suci, kenyataannya hari itu sunyi. Lalu Tuhan seolah berkata, "Bagaimana suatu hal disebut keajaiban jika kau mengharapkannya ?"
Dan disitulah dimana aku tersadar. Ia punya rencana yang jauh lebih baik dari rencana manusia. Rencana sang pencipta.
Ia sengaja meletakkanku pada sekolah lainnya. Agar aku sadar, bahwa selama ini aku mulai berharap pada standar nilai. Pada angka, pada hasil yang dapat dimanipulasi dan diputar sedemikian rupa, pada keberuntungan, dan pada manusia. Bukan padaNya, yang menciptakan semua itu.
Tidak. Ia mengembalikanku pada jalan yang benar, aku telah salah menggantungkan harapan itu, mengharapkan dan terpikir untuk menghalalkan segala cara. Aku telah salah dalam banyak hal.
Aku melupakan satu hal lagi.
Keajaiban itu tidak terletak di situs sekolah maupun portal online pendidikan kota, tak juga terletak pada angka-angka yang bertengger di papan yang diperbaharui secara berkala, ataupun diatas kertas berkas yang menyimpan banyak rahasia.
Tapi lihat. Keajaiban itu terletak di kaki-kaki mungil sang penjual kue di sore hari, yang mengucap kata terima kasih pada pembelinya. Atau pada pedagang yang berjejer disepanjang jalan di bulan suci ini, yang telah menjemput rezekinya sejak sore hari, lalu tersenyum meski lelah menghinggapi.
Keajaiban itu terletak pada tiap-tiap ayah yang pulang kerja, menemui anak mereka adalah obat dari segala lelah. Keajaiban itu terletak pada ibu, pada senyumnya yang menenangkan, pada tangan halusnya yang hangat. Keajaiban itu terletak disekitar kita.
Atau lihat mereka, para manusia yang terbuang dari masyarakat. Yang mengais makanan dari tempat-tempat sampah kumuh, bahkan tidur didalamnya. Mereka semua adalah cara Tuhan mengatakannya.
Keajaiban itu bernama syukur. Mengucap terima kasih atas apa yang telah kita punya lalu melihat mereka yang dibawah. Sementara aku terus-terusan menatap mereka yang memiliki angka diatasku, Tuhan menundukkan kepalaku, menyadarkanku.
Tuhan menyadarkanku bahwa angka diatas kertas itu bukanlah apa-apa, bahwa akupun pantas untuk mendapat sedikit penghargaan atas semua yang telah dicapai selama ini, atas kerja keras dan pencapaian demi pencapaian.
Begitupula dengan kamu. Iya. Kamu yang sedang membaca tulisan ini. Kamu layak mendapat apa yang kamu kejar dan kamu cintai. Kamu diciptakan sedemikian rupa dan sangat indah. Berhenti menyesuaikan diri pada suatu standar yang dimana mereka tak dapat melihat bagaimana indahnya kamu. Itu bukan standarmu, itu standar mereka. Jangan pernah membiarkan mereka untuk menjelaskan siapa dirimu, mengubahmu, atau bahkan mengubahmu. Bagaimana kamu melihat diri sendiri adalah yang terpenting.
Jadi, jatuh cintalah. Jatuhlah sejatuh-jatuhnya dan sedalam mungkin pada dirimu sendiri. Pada salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan jauh lebih baik dibanding makhluk lainnya di muka bumi ini. Mulailah cintai dirimu sendiri, lupakan segala stigma negatif mereka perihal kamu.
Kamupun adalah keajaiban. Kamu dapat menjadi apapun yang kamu mau, mendapat apapun yang kamu inginkan. Kamu bisa. Dan dalam konteks yang lebih spesifik, kamu keajaibanku. Kamu.
Semesta perfeksionis. Ia memerhatikan tiap detail dari apapun yang ia perhatikan. Menyaksikan dan datang bersama hembusan angin malam, kadang dikawal oleh bintang. Nama itu kini kusandingkan dalam kolom Title di blog ini. Predikatnya sama seperti Bulan Gerimis, Hujan Mimpi, Retak Berpola, atau Kotak Nasi. Nama sebutan penyair yang menurutnya terbaik.
Semestaku kini sedang ramah, berdamai dengan segala cuaca buruk maupun kegagalan. Seisi penghuninya sedang bercengkrama dalam tawa, canda, dan tenggelam dalam lautan obrolan atas nostalgia.
Begitupula dengan aku. Kembali di tempat observasi bersama secangkir coklat panas yang telah menemani selama setahun terakhir. Mengobrol dengan semesta perihal banyak hal, bercerita tentang masa depan dan masa lalu.
Dan aku membisikannya dalam tiupan panjang hembusan angin sang langit malam..
Terima kasih, dan selamat untukmu, diriku.
Semoga kamu jauh lebih baik dibanding kamu yang lama, aku. Dan terima kasih atas semua doa yang telah dikirim, semoga doa itu berbalik pada sang pengirim. Merci Beaucoup!
Satu hal lagi, berhubung post ini dibagikan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Jadi menurutku sekalian saja.
Selamat hari raya Idul Fitri 1437 Hijriah. Mohon maaf akan semua kesalahan, dan semoga kita mendapat berkah kemenangan maupun bertemu dengan Idul Fitri tahun depan.
Selamat selamat, semua!. :)
No comments:
Post a Comment