Guardians Of The Universe : Y/N ?. (Part 4)
Tribute to Arsenal Fans Community
Oleh : Kanzia Rahman
Tribute to Arsenal Fans Community
Oleh : Kanzia Rahman
"Hey four seasons. Hack more and more! Wanna play ?"
.
.
Ketiga orang diruangan itu terkesiap. Bagaimana mungkin para peretas terbaik -setidaknya menurut mereka- seantero Nice itu diretas balik ? Siapa yang meretas, dan bagaimana mereka dapat diretas ? Timbul berbagai pertanyaan dibenak mereka.
Namun seluruh pertanyaan itu seakan hilang seketika dari otak mereka.
Namun seluruh pertanyaan itu seakan hilang seketika dari otak mereka.
"Y/N ?" Tulisan itu kini muncul dibawah kalimat diatasnya. Tertulis seperti ada yang mengetikannya, dengan animasi huruf yang muncul satu-persatu. Sama persis seperti saat seseorang sedang menulis di komputer.
"Tunggu apa lagi ? Ketik huruf Y dan kita akan bermain." ucap Tifa sambil tersenyum tipis, "Aku memilih N. Terlalu beresiko" sahut Zaki sambil bersandar ke kursinya dan menyatukan jari-jari tangannya dibagian belakang kepalanya itu.
"Kita imbang. Keputusan ada ditanganmu Kev." ucap Tifa pendek, lalu menyilangkan tangan di dadanya. Zaki melirik kecil kearah Kevin, tak banyak bicara. Sementara sang penentu keputusan itu kini sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan yang terjadi.
Hujan yang turun kini mereda, membuat sedikit ruang untuk cahaya matahari menembus awan-awan gelapnya. Layaknya senter yang memberi penerangan di kegelapan bagian bumi ini. Jalanan penuh dengan orang yang membawa payung, membentuk sebuah spektrum warna jika dilihat dari langit.
10 menit. Status quo.
"10." Tiba-tiba sebuah angka 2 digit itu tertera di layar monitor. Meninggalkan kebingungan di benak ketiga peretas itu.
"9." Satu detik kemudian, mereka tak kebingungan lagi. Kini mereka tahu, itu adalah hitungan mundur.
"8." "Cepatlah!" Bentak Tifa tiba-tiba, "Ayolah, Kev" sahut Zaki kaget. Kevin tak bergeming, matanya kosong.
"7." "Aku tak bisa--" "Apa maksudmu ?" ucap Kevin yang segera dipotong Atifah dalam satu tarikan nafas. "6." "Kita butuh Sukma, dia pasti tahu solusinya" lanjut pria itu. "Tak akan sempat." sahut Zaki dingin.
"5." "Baiklah, Zaki, kau tekan N, dan aku tekan Y. Kita lakukan bersamaan saat keyboard menunjukkan angka 1 " ucap Tifa lalu meletakkan jarinya di huruf Y pada keyboard, Zaki pun melakukan apa yang disuruh oleh perempuan itu. "3."
Zaki mengangguk kecil, tapi ada yang berubah dari layar monitor itu. Hitungan mundurnya berhenti, dan huruf N seakan tereliminasi dari pilihan dengan sebuah garis miring yang menutupi hurufnya. "Y." "Ups! Hihi" ucap Tifa sambil tertawa tipis. Ia telah menekan huruf Y.
"Perempuan selalu menang." katanya. Layar monitor itu kini berubah lagi kata yang tertera disana. Tantangan pertama untuk Four Seasons. Dan mereka, akan menjalankannya.
Atau mereka menyebutnya, game pertama.
Windu menutup layar laptopnya perlahan. Tangan kanannya memegangi segelas coklat panas yang tak sepanas tadi. Lalu membuka layar handphone nya sambil menghabiskan beberapa teguk terakhir dari minumannya. Sebuah pesan. Editor. Undangan. Pesta besar-besaran sang direktur perusahaan penerbit bersama kolega atas kesuksesan mereka.
Ia lalu meletakkan gelas kosong itu, memasukkan laptop kedalam ransel hitamnya yang elegan. Hujan kini sudah sepenuhnya berhenti. Hanya beberapa tetes air dari atap-atap rumah yang masih berjatuhan. Arus sungai Seine dihadapannya tak sederas tadi, mengalir menuju muaranya. Kini sinar mentari tak sehangat tadi.
Windu siap berangkat saat sebuah telepon masuk ke handphone nya.
"Aku sudah membaca pesanmu." Buka Windu pada orang diseberang, "Aku akan segera kirimkan link yang bisa kau baca. Direktur perusahaan kita tampaknya orang yang merepotkan. Bahkan ada dress code formalnya." jawab seseorang di ujung telepon sana.
"Tenang saja. Dimas" balas Windu pendek. Orang diseberang sana bernama Mathias Dimas, editor sekaligus penerbit buku-buku Windu di salah satu perusahaan penerbit buku ternama seantero Perancis. Berperawakan layaknya seorang artis pria, dengan kulit putih, tinggi standar dan wajah menyenangkan. "Baiklah, kau bisa membaca selengkapnya di link yang aku berikan." balas Dimas lalu menutup telepon.
Windu berjalan beberapa langkah, membuka link yang diberikan lewat Dimas lewat pesan yang baru saja masuk. Udara berhembus memenuhi langkahnya, awan-awan putih kini menghiasi langit, seakan mengusir awan gelap dengan cara kasar. Matahari ? Ia bersinar di angkasa, cahayanya sampai di bumi terlepas dari bentuk bumi yang bulat ataupun datar.
Itu bodoh. Tentu saja itu bodoh. Pikir Windu. Ia baru saja membaca perihal teori-teori bumi datar tempo hari, menyaksikan enam buah video yang seolah menguatkan teori itu dan mematahkan kalimat "Bumi itu bulat". Lantas berpikir bahwa semua itu adalah hal yang terkesan dipaksakan, cocoklogi antara satu hal dengan lainnya, menggabungkan hal satu dengan lainnya tanpa melihat ke sisi teori yang lain. Astaga. Itu bodoh.
Windu lalu membaca seksama link itu, 'Astaga pemberitahuan acaranya masih di Facebook, socmed tahun berapa ini' pikirnya. Tapi pengumumannya terbilang lengkap. Ada lokasi, waktu, pengisi acara, semua yang dibutuhkan untuk mengundang seseorang kesana.
Ia lalu menutup handphone, menaiki motornya, lalu memacu kendaraan itu. Meninggalkan daun-daun berterbangan dihempas angin yang bertabrakan dengan motornya.
Kevin, Tifa, dan Zaki sedang serius. Mencatat semua yang dibutuhkan untuk permainan pertama mereka. Tantangan itu 'diterima' oleh mereka bertiga. Kevin mengeprint denah lokasi permainan pertama, membuat beberapa lembar kertas yang segera disusun olehnya. Zaki dan Tifa tak kalah sibuk dengan komputer masing-masing.
Menjelang siang, Amir membawakan makan untuk Danu dan para peretas di lantai atas. Tidak ada satupun dari ketiga orang itu yang menyentuhnya. Kevin pun menghubungi Sukma, menanyakan pukul berapa wanita itu pulang dari kuliah. Tifa memberikan sedikit apresiasi pada Danu, Ia memasukkan semua makanan itu kedalam beberapa tempat makan berbeda, bekal persiapan mereka nanti.
Saat jam terakhir Sukma selesai. Sebuah taxi sudah menunggunya. Ketiga orang itu menjemput satu musim yang tertinggal. Langkah wanita itu pelan tapi pasti menuju mobil, ragu tapi yakin dengan aksi pertamanya.
Dan keempat musimpun lengkap. Taxi itu berjalan menuju lokasi yang sudah ditentukan.
"Kita imbang. Keputusan ada ditanganmu Kev." ucap Tifa pendek, lalu menyilangkan tangan di dadanya. Zaki melirik kecil kearah Kevin, tak banyak bicara. Sementara sang penentu keputusan itu kini sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan yang terjadi.
Hujan yang turun kini mereda, membuat sedikit ruang untuk cahaya matahari menembus awan-awan gelapnya. Layaknya senter yang memberi penerangan di kegelapan bagian bumi ini. Jalanan penuh dengan orang yang membawa payung, membentuk sebuah spektrum warna jika dilihat dari langit.
10 menit. Status quo.
"10." Tiba-tiba sebuah angka 2 digit itu tertera di layar monitor. Meninggalkan kebingungan di benak ketiga peretas itu.
"9." Satu detik kemudian, mereka tak kebingungan lagi. Kini mereka tahu, itu adalah hitungan mundur.
"8." "Cepatlah!" Bentak Tifa tiba-tiba, "Ayolah, Kev" sahut Zaki kaget. Kevin tak bergeming, matanya kosong.
"7." "Aku tak bisa--" "Apa maksudmu ?" ucap Kevin yang segera dipotong Atifah dalam satu tarikan nafas. "6." "Kita butuh Sukma, dia pasti tahu solusinya" lanjut pria itu. "Tak akan sempat." sahut Zaki dingin.
"5." "Baiklah, Zaki, kau tekan N, dan aku tekan Y. Kita lakukan bersamaan saat keyboard menunjukkan angka 1 " ucap Tifa lalu meletakkan jarinya di huruf Y pada keyboard, Zaki pun melakukan apa yang disuruh oleh perempuan itu. "3."
Zaki mengangguk kecil, tapi ada yang berubah dari layar monitor itu. Hitungan mundurnya berhenti, dan huruf N seakan tereliminasi dari pilihan dengan sebuah garis miring yang menutupi hurufnya. "Y." "Ups! Hihi" ucap Tifa sambil tertawa tipis. Ia telah menekan huruf Y.
"Perempuan selalu menang." katanya. Layar monitor itu kini berubah lagi kata yang tertera disana. Tantangan pertama untuk Four Seasons. Dan mereka, akan menjalankannya.
Atau mereka menyebutnya, game pertama.
Windu menutup layar laptopnya perlahan. Tangan kanannya memegangi segelas coklat panas yang tak sepanas tadi. Lalu membuka layar handphone nya sambil menghabiskan beberapa teguk terakhir dari minumannya. Sebuah pesan. Editor. Undangan. Pesta besar-besaran sang direktur perusahaan penerbit bersama kolega atas kesuksesan mereka.
Ia lalu meletakkan gelas kosong itu, memasukkan laptop kedalam ransel hitamnya yang elegan. Hujan kini sudah sepenuhnya berhenti. Hanya beberapa tetes air dari atap-atap rumah yang masih berjatuhan. Arus sungai Seine dihadapannya tak sederas tadi, mengalir menuju muaranya. Kini sinar mentari tak sehangat tadi.
Windu siap berangkat saat sebuah telepon masuk ke handphone nya.
"Aku sudah membaca pesanmu." Buka Windu pada orang diseberang, "Aku akan segera kirimkan link yang bisa kau baca. Direktur perusahaan kita tampaknya orang yang merepotkan. Bahkan ada dress code formalnya." jawab seseorang di ujung telepon sana.
"Tenang saja. Dimas" balas Windu pendek. Orang diseberang sana bernama Mathias Dimas, editor sekaligus penerbit buku-buku Windu di salah satu perusahaan penerbit buku ternama seantero Perancis. Berperawakan layaknya seorang artis pria, dengan kulit putih, tinggi standar dan wajah menyenangkan. "Baiklah, kau bisa membaca selengkapnya di link yang aku berikan." balas Dimas lalu menutup telepon.
Windu berjalan beberapa langkah, membuka link yang diberikan lewat Dimas lewat pesan yang baru saja masuk. Udara berhembus memenuhi langkahnya, awan-awan putih kini menghiasi langit, seakan mengusir awan gelap dengan cara kasar. Matahari ? Ia bersinar di angkasa, cahayanya sampai di bumi terlepas dari bentuk bumi yang bulat ataupun datar.
Itu bodoh. Tentu saja itu bodoh. Pikir Windu. Ia baru saja membaca perihal teori-teori bumi datar tempo hari, menyaksikan enam buah video yang seolah menguatkan teori itu dan mematahkan kalimat "Bumi itu bulat". Lantas berpikir bahwa semua itu adalah hal yang terkesan dipaksakan, cocoklogi antara satu hal dengan lainnya, menggabungkan hal satu dengan lainnya tanpa melihat ke sisi teori yang lain. Astaga. Itu bodoh.
Windu lalu membaca seksama link itu, 'Astaga pemberitahuan acaranya masih di Facebook, socmed tahun berapa ini' pikirnya. Tapi pengumumannya terbilang lengkap. Ada lokasi, waktu, pengisi acara, semua yang dibutuhkan untuk mengundang seseorang kesana.
Ia lalu menutup handphone, menaiki motornya, lalu memacu kendaraan itu. Meninggalkan daun-daun berterbangan dihempas angin yang bertabrakan dengan motornya.
Kevin, Tifa, dan Zaki sedang serius. Mencatat semua yang dibutuhkan untuk permainan pertama mereka. Tantangan itu 'diterima' oleh mereka bertiga. Kevin mengeprint denah lokasi permainan pertama, membuat beberapa lembar kertas yang segera disusun olehnya. Zaki dan Tifa tak kalah sibuk dengan komputer masing-masing.
Menjelang siang, Amir membawakan makan untuk Danu dan para peretas di lantai atas. Tidak ada satupun dari ketiga orang itu yang menyentuhnya. Kevin pun menghubungi Sukma, menanyakan pukul berapa wanita itu pulang dari kuliah. Tifa memberikan sedikit apresiasi pada Danu, Ia memasukkan semua makanan itu kedalam beberapa tempat makan berbeda, bekal persiapan mereka nanti.
Saat jam terakhir Sukma selesai. Sebuah taxi sudah menunggunya. Ketiga orang itu menjemput satu musim yang tertinggal. Langkah wanita itu pelan tapi pasti menuju mobil, ragu tapi yakin dengan aksi pertamanya.
Dan keempat musimpun lengkap. Taxi itu berjalan menuju lokasi yang sudah ditentukan.
-- To Be Continued --
No comments:
Post a Comment