Guardian Of The Universe : Tangan. (Part 3)
Tribute to Arsenal Fans Community
Oleh : Kanzia Rahman
Tribute to Arsenal Fans Community
Oleh : Kanzia Rahman
"Kurasa cukup sekian, kawan-kawan." Ucap Rozi lalu bangkit dari tempat duduknya, diikuti Ryan, Recky, Agnes dan Windu. Mereka lalu berjabat tangan satu sama lain dan berjalan keluar ruangan itu, terkecuali Rozi.
Ia duduk di singgahsananya, menekan beberapa angka di layar handphonenya. "Hallo ? IT support ?" ucapnya membuka pembicaraan. Windu menjadi yang terakhir keluar dari ruangan itu. Ryan sudah berjalan dengan tempo cepat menuruni tangga menuju parkir basement, pun begitu Recky.
"Hey, aku sangat suka salah satu bagian dari Polaris." Ucap Agnes tiba-tiba, ia berhenti melangkah, menunggu Windu sampai disebelahnya, lalu kembali berjalan beriringan. "Yang mana ? Well, aku tahu seluruh bagian novelku memang pantas disukai." kata laki-laki itu menyeringai bangga. "Sulap es batu. Aku selalu ingin tahu caranya bagaimana." balas Agnes, "Begitu kau tahu caranya, sulap itu tak menarik lagi." kata Windu sambil tersenyum tipis lalu berjalan meninggalkan Agnes.
Sinar mentari pagi yang terhalang awan mendung masuk melalui kaca-kaca gedung pencakar langit kota Paris. Para penghuni apartemen mulai berkeluaran dan melakukan rutinitasnya di senin pagi yang kelabu ini. Menara Eiffel terlihat begitu gagah. Monumen setinggi 300 meter yang menjulang tinggi ke langit itu merupakan ikon bagi kota Paris dan negaranya.
"Haaaahh.. huh.." Sang kapten kepolisian yang memimpin ibukota negara Perancis itu sedang berada di balkon sebuah kamar di lantai 12 pada salah satu apartemen di Paris. Mulutnya menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya beberapa detik kemudian. "Seorang petugas kepolisian ditemukan meninggal tanpa--" Ia mematikan radio yang membacakan berita pagi ini, lalu menutup matanya damai.
Albert Leonard Jufrey namanya. Berkulit putih dengan badan besar kendati tak kekar. Matanya yang agak sipit dan rambutnya yang tidak-pernah-klimis itu menarik perhatian wanita yang melihatnya, dan mungkin itu juga salah satu alasan mengapa ia sedang bermeditasi disini.
Saat mayoritas orang tidur lebih cepat demi menyambut senin pagi yang tak mengenakkan, Jufrey justru berpesta semalam suntuk pada cafe merangkap bar berbintang yang terletak tak jauh dari apartemen itu.
Kantor-kantor membuka pintu gerbangnya, seolah memanggil karyawan untuk kembali bekerja. Jalanan kini telah ramai dipenuhi pejalan kaki, stasiun kereta bawah tanahpun menjadi lautan manusia. Paris telah bangun. Jufreypun meraih handuk, lalu melangkah perlahan ke arah kamar mandi didalam kamar itu.
"Merde!" ucap Ridwan, Ruri lalu berangkat mengendarai mobil jenis Peugeot 308 yang tersedia, setumpuk laporan di tasnya siap diberangkatkan ke kepolisian pusat. Mobil itu lalu menembus jalanan Paris yang ramai, ia adalah kurir kepolisian setempat.
Ridwan lalu kembali masuk ke pos. Ia duduk menggantikan posisi Ruri, berada dibelakang layar-layar yang menampilkan gambar CCTV dari penjuru kota, mengatur arah kamera dan memerhatikan mereka-mereka para pelanggar.
"Saatnya membuat segelas kopi panas lainnya." gumamnya lalu beranjak menuju alat pembuat kopi di ruangan lainnya, menyiapkan gelas, dan..
"CURRR"
Atifah menuangkan coklat panas kedalam mug ditangan kanannya, lantas meletakkan teko berwarna putih itu saat coklat mencapai tiga perempat gelasnya, dan kembali duduk di hadapan layar komputer. "Kukira kau akan tidur." ucap Zaki, "Memang. Aku hanya akan mendownload ebook yang sudah kubuat daftarnya haha" jawab perempuan itu lalu meletakkan mug ditangan kanannya.
"Astaga Tifa, kau membajak sebuah buku?" tanya Zaki sambil tertawa mengejek, "Memangnya kenapa ?" Tanya Tifa kebingungan, "Ayolah, kita punya akses ke seluruh bank dunia untuk membeli bukumu itu dan kau masih membajak" kata Zaki, Tifa diam sejenak, "Rekeningku. Sekarang." ucapnya.
"Tapi setidaknya aku akan membaca buku ini dulu." "Kau labil, Tifa." celetuk Zaki saat Tifa membawa sebuah buku ditangan kiri dan mug coklat panas itu menuju kamarnya. Pintu berwarna coklat kekuningan itu ia buka dengan tangan kiri seraya jari tengah dan manisnya menjepit novel berjudul Polaris dengan subjudul 'Turbulensi - 3'
Ia lalu meletakkan gelas itu ke meja yang terletak disebelah tempat tidurnya. Menutup pintu, duduk bersandar di tempat tidurnya, memanjangkan kedua kakinya, lalu menyingkap selimut di ujung kasur. Tangan kirinya meraih tirai jendela kamar, membukanya sedikit.
"Hujan, buku, dan coklat. Kombinasi yang berbahaya." gumamnya lalu membuka cover novel itu, "Nah, mesin waktu apa yang membawaku kali ini?" Tifa mulai membaca halaman perhalaman dengan seksama, sesekali menenggak coklat panas di pinggir tempat tidurnya. Ia tenggelam dalam hening..
Satu lantai dibawahnya, Amir sedang meletakkan barang-barang, menggantungkan barang jualan mereka ke sebuah paku di dinding, merapihkan barang di etalase. Sementara Danu menyapu seraya merapihkan posisi kabel-kabel mesin fotocopy maupun printer yang terhubung dengan lima buah unit komputer tak jauh dari sana.
"Pelanggan pertama ?" tanya Amir saat sebuah motor memasuki pekarangan toko mereka. "Sepagi ini.." ucap Danu, sang pengendara motor itu lalu turun, membuka helmnya. "Taruhan kalau itu bukan pelanggan." lanjut sang kakak sambil tersenyum yakin, "Yang kalah menyapu dan membereskan barang sore nanti." tantang adiknya.
CKLEK.. Pintu itupun terbuka, yang tadinya hanya bayang-bayang yang terlihat dari dalam kini berubah menjadi sosok manusia dihadapan mereka. "Kevin." kata Danu lalu tertawa, "Siaal" celetuk Amir lalu ikut tertawa. Sementara Kevin yang baru saja masuk sedang melepaskan sepatunya, "Kalian kenapa ?" tanyanya sambil melewati kakak-adik itu dan berjalan keatas.
Kevin lalu masuk kedalam kamarnya, melepaskan jaket, meraih handuk dan mengeringkan bagian tubuhnya yang terkena air hujan, lalu menyiapkan dua gelas coklat panas.
"Ini." ucapnya sambil meletakkan salah satu coklat panas ke Zaki yang berterimakasih setelahnya, Kevin menyalakan komputernya, berselancar di bagian internet terdalam, masuk kedalam saluran chat yang orang biasa tak pernah masuki, melakukan rutinitas didepan layar.
"Mana Tifa ?" tanya Kevin, Zaki menjawab pendek "Di kamar". Hanya obrolan kecil semacam itu yang terjadi diantara mereka. Sang kapten tim itu lalu meninggalkan komputernya dalam sebuah proses loading, berjalan menuju dapur, membuka salah satu rak lemarinya dan menuangkan sereal kedalam coklat panasnya. Mulutnya mengunyah sereal itu, seraya matanya menatap dalam pada hujan pagi hari diluar sana..
Pemandangan yang sama terlihat dari salah satu cafe di tepian jalan Quai du Louvre. Café Du Pont Neuf adalah tempatnya. Sebuah motor seri BMW R 1200GS terparkir didepan pintu depannya. Sang penulis itu masuk kedalam cafe, memesan segelas hot cappucino untuk dirinya, lalu duduk di sebuah kursi tepat disebelah jendela.
Sambil memandangi sungai Seine yang membentang sepanjang 777 km itu, Windu membuka notebooknya, membaca satu persatu file yang ia tulis dalam waktu tahunan, membuat trilogi novel Polaris berada dalam rak best seller tiap toko buku di Perancis.
Tapi tentu saja itu semua bukan hanya kendalinya seorang diri. Dibelakang layar, banyak tangan telah membantunya, baik yang bersih maupun kotor. Salah satunya adalah Recky Maximilien, ia bilioner yang mengendalikan jalur bisnis di pasaran Paris, menentukan apa yang akan diekspos dan sebaliknya.
Dan Windu adalah teman baiknya. Mereka telah bermain tangan dibelakang layar, mengelabui jutaan mata melalui permainan kotor nan hitam. Bahkan bila perlu, kedua orang itu akan menyingkirkan siapapun yang ada di jalan mereka, dengan cara apapun.
Salah satu korban mereka adalah Uma-Mei, penulis yang juga sedang merintis karirnya. Dan tentu saja, merupakan saingan bisnis Windu sebelum Polaris meledak di pasaran. Demi menjaga keselamatan karir Windu, wanita itu dibunuh. Jasadnya dijadikan bahan percobaan oleh perusahaan farmasi milik Rozi, sahabat mereka juga.
Windu melihat ke salah satu bagian dalam tulisannya,
Ia lalu memegang payung itu dengan erat, wanita itu berjalan melewati jalanan kota Paris yang telah sepi. Alan sadar akan keberadaan Mei-chan yang tengah dalam bahaya.
Sinar mentari pagi yang terhalang awan mendung masuk melalui kaca-kaca gedung pencakar langit kota Paris. Para penghuni apartemen mulai berkeluaran dan melakukan rutinitasnya di senin pagi yang kelabu ini. Menara Eiffel terlihat begitu gagah. Monumen setinggi 300 meter yang menjulang tinggi ke langit itu merupakan ikon bagi kota Paris dan negaranya.
"Haaaahh.. huh.." Sang kapten kepolisian yang memimpin ibukota negara Perancis itu sedang berada di balkon sebuah kamar di lantai 12 pada salah satu apartemen di Paris. Mulutnya menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya beberapa detik kemudian. "Seorang petugas kepolisian ditemukan meninggal tanpa--" Ia mematikan radio yang membacakan berita pagi ini, lalu menutup matanya damai.
Albert Leonard Jufrey namanya. Berkulit putih dengan badan besar kendati tak kekar. Matanya yang agak sipit dan rambutnya yang tidak-pernah-klimis itu menarik perhatian wanita yang melihatnya, dan mungkin itu juga salah satu alasan mengapa ia sedang bermeditasi disini.
Saat mayoritas orang tidur lebih cepat demi menyambut senin pagi yang tak mengenakkan, Jufrey justru berpesta semalam suntuk pada cafe merangkap bar berbintang yang terletak tak jauh dari apartemen itu.
Kantor-kantor membuka pintu gerbangnya, seolah memanggil karyawan untuk kembali bekerja. Jalanan kini telah ramai dipenuhi pejalan kaki, stasiun kereta bawah tanahpun menjadi lautan manusia. Paris telah bangun. Jufreypun meraih handuk, lalu melangkah perlahan ke arah kamar mandi didalam kamar itu.
"Merde!" ucap Ridwan, Ruri lalu berangkat mengendarai mobil jenis Peugeot 308 yang tersedia, setumpuk laporan di tasnya siap diberangkatkan ke kepolisian pusat. Mobil itu lalu menembus jalanan Paris yang ramai, ia adalah kurir kepolisian setempat.
Ridwan lalu kembali masuk ke pos. Ia duduk menggantikan posisi Ruri, berada dibelakang layar-layar yang menampilkan gambar CCTV dari penjuru kota, mengatur arah kamera dan memerhatikan mereka-mereka para pelanggar.
"Saatnya membuat segelas kopi panas lainnya." gumamnya lalu beranjak menuju alat pembuat kopi di ruangan lainnya, menyiapkan gelas, dan..
"CURRR"
Atifah menuangkan coklat panas kedalam mug ditangan kanannya, lantas meletakkan teko berwarna putih itu saat coklat mencapai tiga perempat gelasnya, dan kembali duduk di hadapan layar komputer. "Kukira kau akan tidur." ucap Zaki, "Memang. Aku hanya akan mendownload ebook yang sudah kubuat daftarnya haha" jawab perempuan itu lalu meletakkan mug ditangan kanannya.
"Astaga Tifa, kau membajak sebuah buku?" tanya Zaki sambil tertawa mengejek, "Memangnya kenapa ?" Tanya Tifa kebingungan, "Ayolah, kita punya akses ke seluruh bank dunia untuk membeli bukumu itu dan kau masih membajak" kata Zaki, Tifa diam sejenak, "Rekeningku. Sekarang." ucapnya.
"Tapi setidaknya aku akan membaca buku ini dulu." "Kau labil, Tifa." celetuk Zaki saat Tifa membawa sebuah buku ditangan kiri dan mug coklat panas itu menuju kamarnya. Pintu berwarna coklat kekuningan itu ia buka dengan tangan kiri seraya jari tengah dan manisnya menjepit novel berjudul Polaris dengan subjudul 'Turbulensi - 3'
Ia lalu meletakkan gelas itu ke meja yang terletak disebelah tempat tidurnya. Menutup pintu, duduk bersandar di tempat tidurnya, memanjangkan kedua kakinya, lalu menyingkap selimut di ujung kasur. Tangan kirinya meraih tirai jendela kamar, membukanya sedikit.
"Hujan, buku, dan coklat. Kombinasi yang berbahaya." gumamnya lalu membuka cover novel itu, "Nah, mesin waktu apa yang membawaku kali ini?" Tifa mulai membaca halaman perhalaman dengan seksama, sesekali menenggak coklat panas di pinggir tempat tidurnya. Ia tenggelam dalam hening..
Satu lantai dibawahnya, Amir sedang meletakkan barang-barang, menggantungkan barang jualan mereka ke sebuah paku di dinding, merapihkan barang di etalase. Sementara Danu menyapu seraya merapihkan posisi kabel-kabel mesin fotocopy maupun printer yang terhubung dengan lima buah unit komputer tak jauh dari sana.
"Pelanggan pertama ?" tanya Amir saat sebuah motor memasuki pekarangan toko mereka. "Sepagi ini.." ucap Danu, sang pengendara motor itu lalu turun, membuka helmnya. "Taruhan kalau itu bukan pelanggan." lanjut sang kakak sambil tersenyum yakin, "Yang kalah menyapu dan membereskan barang sore nanti." tantang adiknya.
CKLEK.. Pintu itupun terbuka, yang tadinya hanya bayang-bayang yang terlihat dari dalam kini berubah menjadi sosok manusia dihadapan mereka. "Kevin." kata Danu lalu tertawa, "Siaal" celetuk Amir lalu ikut tertawa. Sementara Kevin yang baru saja masuk sedang melepaskan sepatunya, "Kalian kenapa ?" tanyanya sambil melewati kakak-adik itu dan berjalan keatas.
Kevin lalu masuk kedalam kamarnya, melepaskan jaket, meraih handuk dan mengeringkan bagian tubuhnya yang terkena air hujan, lalu menyiapkan dua gelas coklat panas.
"Ini." ucapnya sambil meletakkan salah satu coklat panas ke Zaki yang berterimakasih setelahnya, Kevin menyalakan komputernya, berselancar di bagian internet terdalam, masuk kedalam saluran chat yang orang biasa tak pernah masuki, melakukan rutinitas didepan layar.
"Mana Tifa ?" tanya Kevin, Zaki menjawab pendek "Di kamar". Hanya obrolan kecil semacam itu yang terjadi diantara mereka. Sang kapten tim itu lalu meninggalkan komputernya dalam sebuah proses loading, berjalan menuju dapur, membuka salah satu rak lemarinya dan menuangkan sereal kedalam coklat panasnya. Mulutnya mengunyah sereal itu, seraya matanya menatap dalam pada hujan pagi hari diluar sana..
Pemandangan yang sama terlihat dari salah satu cafe di tepian jalan Quai du Louvre. Café Du Pont Neuf adalah tempatnya. Sebuah motor seri BMW R 1200GS terparkir didepan pintu depannya. Sang penulis itu masuk kedalam cafe, memesan segelas hot cappucino untuk dirinya, lalu duduk di sebuah kursi tepat disebelah jendela.
Sambil memandangi sungai Seine yang membentang sepanjang 777 km itu, Windu membuka notebooknya, membaca satu persatu file yang ia tulis dalam waktu tahunan, membuat trilogi novel Polaris berada dalam rak best seller tiap toko buku di Perancis.
Tapi tentu saja itu semua bukan hanya kendalinya seorang diri. Dibelakang layar, banyak tangan telah membantunya, baik yang bersih maupun kotor. Salah satunya adalah Recky Maximilien, ia bilioner yang mengendalikan jalur bisnis di pasaran Paris, menentukan apa yang akan diekspos dan sebaliknya.
Dan Windu adalah teman baiknya. Mereka telah bermain tangan dibelakang layar, mengelabui jutaan mata melalui permainan kotor nan hitam. Bahkan bila perlu, kedua orang itu akan menyingkirkan siapapun yang ada di jalan mereka, dengan cara apapun.
Salah satu korban mereka adalah Uma-Mei, penulis yang juga sedang merintis karirnya. Dan tentu saja, merupakan saingan bisnis Windu sebelum Polaris meledak di pasaran. Demi menjaga keselamatan karir Windu, wanita itu dibunuh. Jasadnya dijadikan bahan percobaan oleh perusahaan farmasi milik Rozi, sahabat mereka juga.
Windu melihat ke salah satu bagian dalam tulisannya,
---
"Tangannya tak pernah berhenti bekerja.
Kala hujan turun membasahi bumi
Digenggamnya setongkat kayu dengan penutup diatasnya
Agar ia tak basah, agar ia tak kedinginan.
Kala hujan turun membasahi bumi
Digenggamnya setongkat kayu dengan penutup diatasnya
Agar ia tak basah, agar ia tak kedinginan.
Tangannya tak berhenti bergerak,
Bahkan ketika mereka menangkapnya,
Membekapnya, menculiknya
Membiusnya..
Bahkan ketika mereka menangkapnya,
Membekapnya, menculiknya
Membiusnya..
Tangan itu tak kunjung berhenti,
Dari balik sajak-sajak ini,
Ia meronta, mengacau, menampar
Meminta secercah belas kasih untuk dibebaskan..
Dari balik sajak-sajak ini,
Ia meronta, mengacau, menampar
Meminta secercah belas kasih untuk dibebaskan..
Tangan itu tak juga berhenti, sayang.
Ketika ia sudah didalam tabung kaca,
Dengan selang disekujur tubuhnya,
Dengan tatapan mata penuh amarah dan keputusasaan..
Ketika ia sudah didalam tabung kaca,
Dengan selang disekujur tubuhnya,
Dengan tatapan mata penuh amarah dan keputusasaan..
Tangan itu takkan berhenti.
Hingga ia dibawah tanah nanti,
Terkubur sepi bersama mimpi,
Tangannya akan kembali lagi,
Menebus nyawa dari mereka yang hidup.."
Hingga ia dibawah tanah nanti,
Terkubur sepi bersama mimpi,
Tangannya akan kembali lagi,
Menebus nyawa dari mereka yang hidup.."
---
Atifa terkesima. Matanya membulat kagum akan gaya tulisan sang penulis yang menyihirnya kedalam dunia imajinasi penulis itu. Dalam kekagumannya, ia tak berkata-kata. "Bagian ini sangat nyata.." pikirnya sambil bertanya-tanya.
"Apa mungkin.. Ini..--" "BRAAAK!" Lamunan Tifa terhenti kala pintu kamarnya didobrak Kevin, "Maaf, tapi kau harus melihat ini." ucap Kevin, perempuan itu segera menghabiskan coklatnya, bangun dari tempat tidur lalu berjalan dengan tempo cepat kearah ruangan kerja mereka bertiga.
"Kau yakin kan tidak melakukan kesalahan, Zak !?" tanya Kevin setengah berteriak, "Kevin, aku bersumpah bahwa aku melakukan semuanya dengan baik dan benar." jawab Zaki bernada datar. Tifa ikut penasaran dengan apa yang terjadi. "Lihat itu" kata Kevin pada Tifa.
Layar komputer Kevin menunjukkan sebuah tulisan dengan warna latar hitam,
"Hey four seasons. Hack more and more! Wanna play ?"
..
.
..
.
.
--To Be Continued--
No comments:
Post a Comment