Saturday, April 30, 2016

Riot. (Short POV Story)

Riot. (Short POV Story)
Oleh : Kanzia Rahman



1 May 2021. 22.00 WIB

Aku membuka mata. Mungkin hanya mata sebelah kiri, aku tak dapat merasakan mata kananku, mungkin telah hancur oleh granat, lemparan batu, beling, atau bisa saja tembakan api. Pantas saja, helmku terlempar 20 meter jauhnya dari posisi tubuhku. Aku lalu melirik jam tangan, pukul 22. Rupanya hanya 20 menit aku pingsan.

Aku masih dalam posisi tengkurap, membelakangi awan dan langit. Bahkan asap sisa kericurhan barusan. Rasanya tubuhku runtuh, tak dapat berdiri. Perang antara kubu oposisi dan pemerintah memakan waktu 2 jam. 120 menit terlama dalam hidupku. Batu, granat asap, golok, celurit, bahkan molotov rasanya menjadi objek yang paling sering kulihat dan kuhindari selama 120 menit barusan.

Aku lalu melihat kesekeliling. Tak hanya satu-dua, banyak, belasan, bahkan puluhan manusia terbaring lemah, bahkan mungkin sudah tak ada. Mobil-mobil terguling dan terbakar, beberapa diantaranya masih dilengkapi mayat yang mengisi jok didalamnya, api memercik tak karuan disekitarnya. Begitupula ban-ban yang dibakar, memenuhi pemandangan, menyesakkan dada tiap kali terhirup asapnya.

Tapi mataku fokus ke satu orang, Sesosok manusia yang sedang terbaring, terdiam, membelakangiku. Entah apa yang sedang dipikirkannya, entah benar ia masih hidup atau tidak. tapi sebuah lubang besar menganga sepanjang leher hingga pinggangnya, darah bercucuran keluar dari bagian belakang orang itu.. aku lalu menutup mata sejenak, berdoa kecil untuk kebahagiaannya di akhirat sana. Aku ingat jelas, sebuah tameng kugunakan untuk melindunginya.

Hujan turun. Darah yang tak hentinya bercucuran itu bercampur dengan air hujan, menuju ke lubang respirasi jalanan sentral ibukota negara ini, rupanya hanya satu warna yang mendominasi jalanan dan memenuhi arus air kearah lubang respirasi itu. Semuanya berwarna merah.

"Uhuk!" Tanpa sadar aku terbatuk. Sedikit rasa syukur menjalar, rupanya aku masih dapat terbatuk disaat yang lain sudah tak bisa bernafas. Hanya sejenak, kudengar lagi bunyi derap kaki seseorang berlarian. Entah siapa, bisa jadi petugas medis, atau justru pemberontak oposisi yang ingin menghabiskan tiap nyawa polisi di jalan ini.

GRAP! Lenganku dengan cepat dicengkram oleh seseorang, Ia lalu segera membuka sarung tanganku, meraba-raba pergelangan tanganku, lalu berteriak "Disini masih hidup!" segera setelah menemukan denyut nadiku. Beberapa derap kaki lainnya berlari kearah kami. Tubuhku lalu dibalik, kini aku membelakangi jalanan setelah membelakangi langit. 

Seseorang menekuk salah satu lututnya, lalu menyandarkanku pada lutut itu. Sebuah cahaya yang -sangat teramat- terang menyilaukan mata kiriku. Aku dapat melihat wajah seseorang saat cahaya itu agak berpaling sedikit. Perempuan, hidung mancung dan mata cemas. Tangan kanannya memegang senter dan menyoroti seluruh badanku yang dilengkapi armor dan berbagai perlengkapannya yang berat ini. Tak butuh waktu lama untukku menyimpulkan bahwa Ia adalah seorang petugas medis 

"Gosh..." gumamnya, raut wajahnya terkaget melihat mata kiriku. "Hancur ?" tanya seorang laki-laki yang sedang menopang tubuhku untuk bersandar. Perempuan didepanku itu tak bergeming. Andai aku melihatnya sekalipun 7202 detik yang lalu. Ia dapat menjadi perempuan tercantik yang pernah kulihat.

"Anda pasti bisa bertahan, ayo!" Kalimat itu menjadi penutup setelah beberapa petugas medis lainnya datang sambil membawa tandu, menyuntikkan cairan --entah apa-- yang membuatku segera kehilangan kesadaran. Tandu lalu masuk kedalam ambulance lewat pintu belakangnya, keempat orang yang memegang tandu terlihat sangat berhati-hati. Pintu ambulance lalu menutup, dan aku menutup kedua mataku...
.
.
..
...
30 April 2021. 22.00 WIB

"PEMERINTAH SIAPKAN PASUKAN UNTUK HADAPI OPOSISI PADA MAY DAY" Sebuah running text yang tertera di salah satu channel televisi swasta. Sementara layar utamanya menunjukkan seorang pria yang tertidur di bagian dalam kursi bus dan menggunakan sebuah ikat kepala bertuliskan "Fight against government!" yang ditulis dengan sebuah spidol.

"Santai saja, kubu kita bakal menang" Seorang polisi menepuk bahu kiriku yang terlihat tegang. Aku baru saja sampai di ibukota negara ini setelah beberapa jam perjalanan dari kotaku. Pemerintah pusat 
meminta ratusan personel kepolisian untuk melindungi beberapa jalanan protokol ibukota. Aku dipilih dan segera berangkat.

"Tidurlah, nak. Besok akan menjadi hari yang melelahkan.." lanjut polisi itu sambil menenggak kopinya. Beberapa tumpukan laporan terlihat di mejanya. Mungkin, ia adalah pimpinan di kantor polisi dimana aku dan beberapa rekan dari kawanku sedang beristirahat sebelum terjun ke lapangan esok.
...
..
.
.
1 Mei 2021. 05.00 WIB

"Hey, bangun" Aku membuka mata setelah seseorang menggoyang-goyangkan pundakku. Kedua mata ini lalu kuusap dengan tangan kanan, berusaha menghilangkan bekas tidur di mata barusan. Tak butuh waktu lama untukku bersiap dan mengenakan pakaian lengkap. Begitupula dengan rekan satu kotaku.

Setelah beberapa menit peregangan, kami kembali masuk kedalam. Briefing sejenak. "Kalian akan diletakkan di jalan ini." ucap polisi yang semalam ramah padaku. Benar saja, Ia akan memimpin kami dalam tugas kali ini, "Jalan ini tidak terlalu vital dan tidak terlalu strategis. Hanya semacam jalan peralihan ketika ada kemacetan parah." Lanjutnya, "Tapi bukan berarti kalian bisa lengah" tutupnya. Aku hanya mengangguk kecil.

Pukul 7 tepat. Kami berangkat.

12.00 WIB

GLUK GLUK! Aku menenggak beberapa teguk air mineral yang disediakan. Belum ada laporan pasti, demonstrasi telah berlangsung di jalan-jalan yang diperkirakan. Sejauh ini, tidak ada kesalahan. Massa berdemonstrasi tanpa ricuh, pun polisi yang hanya bersikap tenang.

Sejam kemudian, massa mundur. Tugas sudah selesai, pikirku. Pukul 13, kubu oposisi menarik diri dari jalan-jalan protokol di ibukota. Semakin sore, semakin berkurang. Jalanan masih ditutup.

15.00 WIB

Jalanan yang aku jaga sedari tadi memang tidak ditutup, jalur peralihan berubah menjadi jalur utama untuk beberapa saat demonstrasi. Tepat ketika kami akan pulang. Sebuah mobil pick-up berhenti ditengah jalan, membawa grand piano dan seseorang yang duduk di kursi didepan piano itu.

Piano itu diturunkan beserta orang didepannya. Tepat menghadap kearah pos polisi yang berada di sebelah kiri jalan. Dua orang lalu memasang tanda segitiga merah beberapa meter dari orang itu. Memecah jalanan dengan seseorang yang bermain piano ditengahnya.

"Apa ini ?" Ucapku sebagai yang pertama melihat. Aku tak mengerti banyak soal piano, tapi nada lagu yang dimainkan orang itu bernada sedih, meski enak didengar juga.

17.00 WIB

Masih belum selesai juga. Beberapa televisi swasta segera meliput orang itu. Sang komandan di pos polisi pun nampaknya tak keberatan, selama jalanan tidak macet karenanya. Ia dalam sekejap menjadi terkenal..

19.00 WIB

Iring-iringan mobil besar terlihat akan memasuki jalan yang sedang kami jaga. Sang pria dengan piano itu kini bergantian dengan salah satu orang yang tadi menjaganya. Lagu yang dimainkan pun berbeda. Entah apa, televisi swasta menyiarkan berita itu kemana-mana. Komandan kami bertanggung jawab secara penuh jika ada kemacetan.

20.00 WIB

DUAAARRR!!!!!!
Sebuah mobil tiba-tiba menabrak piano itu. Lengkap dengan ketiga orang yang menjaganya. "Tiarap !!!" Teriak sang komandan kala satu mobil lagi berjalan dengan cepat kearah pos kami. Bom bunuh diri.

DUARRR!!!!
Mobil itu menghantam dinding luar pos. Meninggalkan sebuah lubang besar, mobil-mobil televisi swasta pun habis dibabat oleh rombongan motocross yang mengikuti dibelakang kedua mobil bunuh diri itu.

DOR DOR DOR!!!
3 buah tembakan ke langit menjadi pembuka. Tak butuh waktu lama saat melihat beberapa mobil pick-up dengan sebuah tembakan mesin dibagian belakangnya datang. Menembaki pos polisi, jelas sekali, ingin menghabisi kami.

"Kita harus bertahan sampai bantuan datang!" Teriak sang komandan, membakar semangat kami. Aku segera bangkit, meraih pistolku, dan berusaha menembaki para pemberontak dibalik masker itu. Komandan kami meraih senapan mesin dan keluar pos, beberapa rekanku mengikuti. Baku tembak terjadi antara kami dan pemberontak yang datang bagai badai.

Sebelum aku beranjak keluar, aku terperanjak. Seorang rekanku sedang menulis dibawah meja, sambil sesekali menutup kepalanya dan menunjukkan raut muka takut. "Bro!" Teriakku sambil 
menawarkannya sebuah senjata, "Aku tidak bisa menembak! Tugasku mencatat dan melaporkan!" Jawabnya dengan raut muka ketakutan. Aku mengangguk kecil, "Tuliskan sebuah surat wasiat." tutupku setegas mungkin, ia mengangguk kecil.

21.00 WIB

Pertempuran kini berubah menjadi close range combat, kuantitas para pemberontak belum bertambah, namun terus berkurang. Sebaliknya dengan kami, bantuan datang, dan aku tak sempat menghitung banyaknya nyawa yang tersisa di sekitarku, semua fokus dengan dirinya masing-masing.

Kubu oposisi bersenjatakan celurit, golok, bahkan molotov untuk mengacaukan para penembak dari kubu kami. Kalah jumlah tak membuat mereka ketakutan, lantas mengambil langkah seribu kearah kami. Berusaha melukai, merobek, bahkan menghancurkan organ tubuh kami. Siapa peduli ? Kami pasukan yang siap mati demi negara yang generasi mudanya bahkan melupakan lagu kebangsaannya.

Mobil-mobil terbalik, dunia seakan runtuh sekarang. Suara-suara tembakan yang bising, suara teriakan kesakitan yang menyesakkan hati, dan berbagai suara lainnya. Kurasa telingaku harus segera mendapat perawatan dengan laporan 'Radiasi suara bertubi-tubi'.

21.40 WIB

Itu dia. Gelombang lainnya dari para pemberontak. Derum-derum motocross terdengar dari kejauhan. Diawali dengan dua buah tembakan kembang api kearah darat yang menghantam tanah dan menggoyahkan barikade kami. Banyak motocross dan jeep yang datang setelahnya.

Seorang polisi junior sepertiku sedang kebingungan. "DUAKK !" Komandanku terjatuh, sebuah motocross menerjang dan menghantam helmnya, motocross lainnya datang kearahnya, kali ini aku dengan sigap berlutut disamping sang komandan dan memasang tameng, pengendara motocross itu terpental. Sayup-sayup kudengar teriakan minta tolong lainnya lewat walkie talkie yang menggantung di rompiku. Helmku terpental akibat benturan itu.

Sebuah van besar tak lama datang dan tepat berada satu garis dengannya. "Dengannya" berarti denganku juga. Aku segera melirik jam tanganku. Pukul 21.40. Mungkin ini akan menjadi waktu kematianku..

DUAKKKK!!!! Aku terpental, tak peduli dimana. Tubuhku runtuh, tangan dan kakiku seperti patah, kesadaranku hilang, aku tak dapat bangun lagi.. dan aku menutup kedua mataku..
.
.
..
...
THE END.

No comments:

Post a Comment