Monday, April 18, 2016

Renaissance : Bola Api. (Part 3)

Renaissance : Bola Api. (Part 3)
Tribute to Polaritiè31
Oleh : OccultaLunaePars & StylesForLyf


===
"Situasi darurat, Tuan!" Seorang asisten raja tiba-tiba memasuki ruangan makan Geraldo kecil dan keluarga. "Ada apa?" Tanya sang ayah, sekaligus raja kerajaan Empire itu kebingungan, "Demonia kembali menunjukkan pergerakan, daerah Castlebar dan Sligo di Selatan baru saja mengibarkan bendera putih atas invasi Demonia. Seorang kurir datang kesini sambil membawa surat dari sang raja yang tak akan pernah selesai" Jawab pelayan kerajaaan tersebut.




"Apa katanya!?" Tanya ayah dari Geraldo sambil sedikit berteriak, "Mereka meminta pertolongan, penyelamatan, apapun yang dapat menyelamatkan Kerajaan Castlebar dan Sligo dari kehancuran." Jawab pelayan kerajaan itu, ayah Geraldo pun segera mengambil surat di tangan sang pelayan, beberapa kalimat akhirnya tidak selesai dan tak akan pernah. Mungkin saran, kalimat keputus asaan, atau bahkan cacian, makian kepada Empire yang gagal mencegah invasi Demonia ke daerah tersebut.

"Temani aku." Ibu Geraldo pun mengangguk saat suaminya mengajaknya pergi, menuju pengadilan dimana kondisi Kerajaan Castlebar dan Sligo akan diadili untuk masuk kedalam kerajaan Empire ataupun Demonia. Pengadilan selesai dengan keputusan yang merugikan. Kedua kerajaan itu masuk kedalam daerah kekuasaan Demonia, menambah gejolak kerajaan sekitarnya yang takut akan invasi lainnya dari Demonia, dan Raja maupun Ratu Empire dinyatakan bersalah karena dianggap tidak menjaga daerah kekuasaan dengan baik. Mereka berdua diarak ke alun-alun kota Dublin, lalu digantung dihadapan para penduduk.

Geraldo kecil tidak pernah lagi bertemu dengan kedua orang tuanya saat itu. Pelayan dan tetua yang telah mendapat kabar tentang eksekusi itu hanya menenangkan Geraldo dengan berkata bahwa kedua orang tuanya sedang mengurus urusan super penting, hingga terpaksa pindah kota. Untuk beberapa tahun, kebohongan itu bertahan. Tapi Geraldo tak akan kecil selamanya, bukan ?

Saat Ia sudah dirasa cukup besar oleh para tetua, mereka melantik Geraldo sebagai raja dan Caldha --pacar Geraldo saat itu-- sebagai ratunya. Saat itu pula, mereka memberi tahu segalanya, menggoreskan luka yang besar dan dalam didalam hati sang raja muda. Meninggalkan sebuah lubang yang (mungkin) tak akan pernah tertutup didalam hatinya.

Seketika, Ia bertekuk lutut. Hari yang seharusnya menggembirakan itu justru berubah, tangisnya keras mengisi ruangan singgahsananya, raung-raung tangisannya mengisi langit-langit ruangan, memantul diantara tiang-tiang penyangga batu, tangisnya tak berhenti untuk beberapa saat meskipun Caldha ikut mencoba menenangkannya.
===

"Aldo!" Seru suara lembut Caldha untuk kesekian kalinya. Geraldo pun tersadar dari lamunan dan melihat istrinya itu di depan meja kerjanya. “Apa ?” tanyanya agak terkejut. "Apa kau tidak sarapan ? Anak-anak telah menunggu di meja makan, Indira pun pasti telah membuat makanan yang enak" Jawab Caldha.

Aldo terdiam sejenak. Tak kunjung memberi jawaban, Caldha pun berjalan menghampirinya. Setumpuk kertas berwarna coklat kekuningan dan sebuah cup kecil berisi tinta lengkap dengan sebuah bulu angsa berwarna putih memenuhi meja sang raja.

"Aku menemukannya." Ucap Geraldo pasti, terletak sebuah gulungan dihadapannya dengan pita berwarna merah yang sepertinya baru saja diikat kembali. "Gulungan itu, gulungan perjanjian antara para jaksa dan petinggi kerajaan Demonia terdahulu. Gulungan yang menjadi bukti praktik suap antara mereka dan para pengadil, perjanjian yang membunuh kedua orangtuaku!" Lanjutnya sambil menaikkan nada suaranya,

Caldha tak terlalu kaget. Sejak dulu, Ia sudah menduga bahwa kedua orang tua pacarnya--yang sekarang menjadi suaminya-- itu dibunuh oleh konspirasi para petinggi. Itu suatu hal yang lumrah saat ini. Dunia itu seperti singa, jangan harap ia tak akan membunuhmu hanya karena kau tidak membunuhnya.

Lengang sejenak, kini Caldha menepuk halus bahu Geraldo, memberinya support dan sedikit semangat. Ia tak akan memaksa, jika Aldo menolak lagi ajakan sarapan bersama keluarga kecilnya, Ia akan keluar ruangan, membiarkan suaminya untuk menyendiri sejenak.

Dan Aldo pun menolak. Caldha berjalan gontai keluar ruangan, makan bersama kedua anaknya.

BRAK!! Pintu ruangan khusus itu terbuka, beberapa prajurit membawa sebuah gulungan besar setelah diberi kode dari dalam ruangan untuk masuk kedalam oleh jendralnya.

Ruangan itu (jauh) lebih tenang daripada sebelumnya. Tak ada lagi bunyi pedang yang bertabrakan satu sama lain, tak ada lagi teriakan kesakitan, apalagi suara-suara berbelasungkawa. Ruangan itu senyap, meninggalkan penghuninya dengan diam yang memenuhi ruangan itu.

Tentu saja, semua itu bisa terjadi karena adanya korban. Bukan satu-dua jumlahnya, banyak, belasan bahkan mungkin puluhan raja dan penasihatnya dibantai di ruangan itu. Mereka yang menolak perintah untuk menyerang Irlandia Utara tewas saat itu juga.

Tama mengambil alih kendali semenjak Arum selesai berpidato soal idenya. Kini, semua raja maupun penasihatnya berkumpul di sebuah meja bundar di ruangan itu. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketakutan yang ditutupi.

"Kerajaan Sligo & Castlebar. Siapkan pasukan dan catapultnya. Bawa mereka ke garis utara perbatasan sepanjang 100 km. Kalau perlu, tambah pasukan hingga menutupi garis perbatasan pantai." Ucap Tama sambil membuat sebuah garis di perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.

"Kerajaan Monaghan dan Dundalk, arahkan pemanah kalian kearah utara. Coba susupi daerah perbatasan dengan penyusup, lemahkan sistem pertahanan di perbatasan." Lanjut sang jendral sambil membuat garis lurus dari kerajaan itu kearah atas peta, kedua kerajaan itu merupakan kerajaan paling utara di Irlandia.

"Terakhir, kerajaan Limerick dan Waterford. Kumpulkan persenjataan dan pasukan dari selatan pulau. Aku ingin seluruh gajah dari selatan untuk menghancurkan tembok kerajaan yang ada di Irlandia Utara." Lanjut Tama sambil melingkari daerah selatan pulau mereka.

"Kita tidak akan lama. Ratu memerintahkan penyerangan paling lambat seminggu setelah ini. Kedua faktor utamanya adalah ; Pertama, momentum. Kematian keenam tetua kita menyudutkan Empire. Rumor akan menyebar, dan jika kita menyerang mereka, tidak akan ada kerajaan yang curiga." Tama berhenti sebentar.

"Kedua, Empire tidak akan sempat memperkuat pertahanannya. Perbatasan akan diporak-porandakan oleh gajah dan catapult Irlandia. Prajurit tidak akan menjadi masalah, perkiraanku, kita akan mengalahkan mereka dalam dua jam." Ucap jendral itu tenang dan pasti, matanya menunjukkan keyakinan luar biasa.

"Segera bergegas!" Tutup Tama lalu menyelesaikan rapat itu. Para raja kerajaan kembali ke daerahnya masing-masing, membawa berita baik bagi prajurit dan kecemasan bagi keluarganya. Demonia akan menyulut perang saudara, lagi.

PLUNG!--Hap!--"Yeaa" Ketiga suara tersebut datang berurutan. Layaknya daftar yang tersusun rapih dan baru saja ditekan tombol playnya. Urutan suara yang sama kembali terdengar saat Sekar menjatuhkan makanan ikan seperti yang Yessiè lakukan. Beberapa ekor ikan yang tinggal di kolam kerajaan segera mengerubungi makanan tersebut.

 Urutan suara itu terhenti saat giliran Indira yang memberikan makanan. Ikan-ikan tak seantusias dua giliran sebelumnya. Hanya satu-dua yang memakannya, lalu kembali menyebar di kolam. "Yaah kok.." ucap Indira dengan raut wajah bingung, Caldha yang sedari tadi memerhatikan mereka bertiga hanya tertawa kecil.

"Ikannya kenyang mungkinn, besok-besok aja coba lagi" Hibur Sekar, "Coba lagi, amda belum beruntung" sahut Yessiè sambil tertawa kecil juga seperti Ibunya. Beberapa jam terakhir mereka habiskan di taman belakang kastil kerajaan Empire. Berkebun, bercanda ria, melakukan kegiatan yang menyenangkan seolah tak ada habisnya.

Keceriaan mereka seolah pudar kala langit yang cerah kini mulai berganti menjadi mendung yang teramat sangat.

Awan gelap bergerak lamban di langit. Sesekali suara gemuruh terdengar, angin tak berhembus kencang. Datar. Beberapa helai daun jatuh dari rantingnya, semua terlihat dari jendela ini. Tempat sang raja kerajaan Alliance sedang menenangkan diri.

"Tuan." Sebuah suara yang Ia kenal amat baik terdengar ditelinganya. Anwar lalu menoleh, "Apa uji coba catapult jadi dilaksanakan? Para prajurit sedang bersiap-siap untuk berangkat ke pelabuhan Glasgow" Stevian sedikit membungkuk sambil bertanya pada Anwar.

"Entahlah, Stev. Sepertinya kita harus membatalkan uji coba karena cuaca buruk," Anwar terdiam sebentar. "Lagipula, kita akan mengujicoba sebuah ketapel raksasa seberat 160 kg yang akan melemparkan bola api. Mana ada yang ingin bermain api disaat hujan begini ?" Stevian hanya terdiam.

"Tuan Anwar." Seorang perempuan dalam balutan baju berwarna hijau gelap berlengan panjang dan dilapisi sebuah armor berwarna perak yang menutupi bagian dada hingga pinggangnya itu bergabung dengan kedua pria disana. Dibelakangnya, seorang perempuan lagi yang memiliki rambut kemerahan sebahu dan mengenakan gaun panjang berwarna sama dengan rambutnya itu tak ikut berbicara.

"Haniè dan Ainun. Kalian tampak luar biasa" ucap Stevian dibalas sedikit senyum simpul di kedua perempuan itu. "Pasukan sudah siap." ucap Haniè dengan nada tegas, "Aku ingin ikut dan melihat uji cobanya" lanjut Ainun ceria. Anwar menghela nafas sedikit, "No."

""Tidak" untuk siapa, Tuan ?" "Untuk kalian berdua. Tidak ada uji coba hari ini dan tidak ada yang pergi." Anwar menyambar pertanyaan Ainun. Kedua perempuan itu hanya menunjukkan muka cemberut, Haniè segera mengubah ekspresi mukanya menjadi tegas, bagaimanapun, Ia adalah seorang prajurit militer. "Siap, Tuan." Ia dan Ainun lalu berbalik, pergi.

"Kalau begitu, Tuan. Saya juga permis--" "Tunggu sebentar." Stevian yang sudah berbalik badan segera memaku ditempat kala suara Anwar kini menjadi tinggi. Keringat dingin langsung memenuhi pelipis pria itu. Ia lalu menelan ludah, membetulkan posisi kacamata yang talinya menggantung di telinganya itu. Lalu menengok kearah Anwar.

"Aku baru saja mendapat surat tadi pagi.." Anwar kembali melihat keluar jendelanya. Beberapa rintik air kini mulai turun dan membasahi rumput di pekarangan. Suara gemuruh semakin menggebu-gebu. Ia lalu mengambil sebuah surat di meja didekatnya dan membukanya. Perlahan membalikkan badannya ke Stevian..

"Kita akan melempar sebuah bola api, bukan ?"

"From Demonia, to Empire.

Careful. Our demon that hide for years will rise again. The Demonians people will fight for the good. We'll make the Demonia great again!

Sincerely,


Arumi Demonia."


--To Be Continued--

No comments:

Post a Comment