The Pandora Box : Rendezvous. (Part 8)
Tribute to Noveolus Genevus-Octopus Doublius
Oleh : Kanzia Rahman
Tribute to Noveolus Genevus-Octopus Doublius
Oleh : Kanzia Rahman
"Hani !!" teriak Ainun lalu berlari mengejar sahabatnya itu, tapi semakin jauh larinya, semakin menjauh pula tubuh Hani yang ditarik oleh sesuatu dibelakang tubuh itu.
DUARRR!! Sebuah ledakan terjadi lagi, api menyembur di ujung koridor, ia berlari semakin cepat, sementara bulir-bulir air mengalir dari kedua matanya.. "Inunn !" Teriak Hani, tubuhnya tertarik lebih kencang kedalam api yang membara itu, dan..
"Hani !!!"
.....
...
..
.
.
"Ainun ?" Tanya Amel terbangun akibat teriakan Ainun yang langsung terduduk. Wajah ilmuwan itu pucat dan menunjukkan ekspresi kaget. "Lu kenapa ?" Amel ikut bangkit, ia lalu menyingkap selimut yang menghangatkan tubuhnya dan Ainun, lalu duduk disebelah sahabatnya itu.
"Cuman mimpi buruk Mel" jawab Ainun pelan, ia lalu mengecek jam tangannya, pukul 5 sore. "Kita mau berangkat jam berapa deh ?" tanyanya balik, "Yaa gak lama lagi Nun, yaudah kita bangun duluan aja, siap-siap" jawab Amel, mereka berdua lalu bangkit.
"Gus !" "War !" Keempat mahasiswa Oxford itu bertemu. Mereka lalu melakukan high-five satu sama lain dan bersyukur karena masih sempat dipertemukan. "Itu kenapa Step ?" tanya Aldo melihat tangan kiri Stevian yang mengucurkan darah, "Panjang ceritanya, udah gapapa" jawab Stevian.
Anwar segera merobek sedikit bajunya, lalu mengikatkan robekan itu ke pergelangan tangan kiri Stevian, "Pertolongan pertama Step" ucap Anwar, Stevian hanya diam tanpa kata tapi sedikit mengangguk, keempat orang itu lalu melanjutkan 'tour' mereka.
Keempat mahasiswa itu lalu membuka sebuah pintu yang langsung mempertemukan mereka dengan sebuah tangga. Tinggi mereka dari dataran diujung tangga itu tak jauh, hanya kira-kira 1 meter. Disana terdapat sebuah ruangan yang dibatasi dengan kaca dan sebuah pintu otomatis, disebrangnya dan disekitar mereka adalah dinding berwarna putih polos tanpa hiasan.
TAP TAP TAP.. Mereka menuruni 4 buah anak tangga yang terdapat disana. Anak tangga itu ditutupi sebuah karpet berwarna hitam yang memanjang hingga ujung ruangan.
"Welcome to the world where space and time doesn't exist.." ucap seseorang dengan jubah hitam panjang hingga menyentuh lantai. "Time doesn't exist. It's simply an illusion of our mind, created by our own biological and cultural evolution.." lanjut orang itu membuat keempat mahasiswa Oxford hanya bisa planga-plongo.
Keempat mahasiswa Oxford lalu sampai di dataran dibawah mereka. Sebuah ruangan kaca disebelah kiri mereka diisi oleh seseorang berjubah hitam panjang yang duduk disebuah kursi yang membelakangi mereka dan sebuah meja yang berada didalam ruangan itu. Lukisan bergambar eksekusi mati dengan digantung ala Romawi Kuno terpampang dihadapan orang itu. Dibawah lukisan, ada sebuah microphone yang tersambung dengan seluruh speaker di gedung itu.
"Jangan berdiam diri begitu. Kamu pasti ingin membunuhku, kan ? Seorang ayah bajingan yang meninggalkanmu.." lanjut orang berjubah hitam itu lalu memutar badannya sedikit, ia sedang bermain rubik 3x3 ditangan kanannya.
"Kamu telah menuruni sifat ibumu yang diam-diam berdarah dingin itu ya, rupanya. Aku tak ada pilihan lain selain membunuhmu, atau kau akan menjadi seorang psikopat.." Orang berjubah hitam itu lalu bangkit sepenuhnya, ia masih menghadap belakang dan sepertinya tidak sadar akan kehadiran empat mahasiswa Oxford itu.
"Anak perempuanku tersayang.. Kamu sudah tumbuh besar ya.." Sang pria berjubah hitam mengenakan topengnya, lalu melirik sedikit kebelakang dan melihat keempat mahasiswa Oxford yang sedang terdiam itu.
"Oh! Maaf" ucapnya lalu melepaskan topeng dan meletakkan rubik digenggamannya, "Silahkan masuk" lanjut pria itu ramah. Anwar memimpin Aldo, Stevian, dan Bagus masuk kedalam ruangan. "Aku kira tamu akan mengetuk pintu jika ingin memasuki ruangan pribadi seorang direktur CERN" Pria itu lalu melepaskan jubahnya, mengganti kain hitam panjang itu dengan sebuah jas formal yang cukup elegan.
"Afifat Maulana." Kenalnya ramah terhadap mereka. Sementara keempat mahasiswa itu hanya bisa melirik mata satu sama lain sambil mengirimkan isyarat bahwa inilah orang yang mereka cari-cari..
"Ah, Oxford! Ada apa ? Ingin berdiskusi sedikit tentang anti-material ? Atau hanya ingin mendapat sedikit privilage dari tour kalian ? Haha" katanya tapi tak mendapat jawaban dari keempat mahasiswa itu.
Afifat lalu mengeluarkan sebuah pistol, lalu mengarahkannya ke rubik yang tadi ia mainkan..
"Perkenalkan, penemuan baru CERN, dibuat dari partikel 'Tuhan' yang sedang kami teliti. Anti-Material Gun!" Ucapnya lalu menembakkan pistol yang mengeluarkan air dan membasahi rubik itu, lalu..
POF! Rubik itu hilang tanpa bekas dihadapan mereka, Afifat lalu meletakkan kembali pistol itu didalam sebuah kotak kaca didalam laci meja kerjanya.
"Partikel 'Tuhan' itu ditemukan dan dimanfaatkan untuk menghilangkan rongga" kata Afifat, "Dalam setiap hal. Apapun. Ada sesuatu yang memberi jarak antara satu hal dengan hal yang lain, kekosongan akan suatu material yang berbentuk fisik, sebuah ruang vakum." Lanjut sang direktur itu.
"Sedikit berbelit ya? Singkatnya, partikel ini ditemukan untuk mengikat semua hal material dalam bentuk fisik dan mengubahnya menjadi sebesar Ion, lebih kecil dari sel, bahkan proton maupun elektron" Afifat lalu berdiri dari tempat duduknya, "Apapun yang ditembakkan akan menyusut sebesar zat, bedanya, mereka mati. Sementara kamu, hidup bersama partikel, menjadi bagian dari mereka, bagian terkecil dari suatu penyusun organ" kata direktur itu lalu mengarahkan moncongnya kearah Anwar.
"Tunggu tunggu! bukannya kata mereka, proyek 'Tuhan' itu untuk ngilangin sifat jahat manusia terus disatuin dalem kotak gitu?" tanya Aldo lalu berdiri didepan Anwar, menghalangi tubuh itu dari pistol.
Afifat lalu menarik lagi moncong yang sudah siap mengubah mahasiswa itu menjadi partikel.
"Proyek yang besar membutuhkan modal dan tanggung jawab yang besar.." jawab Afifat, "Sayangnya. Psikologi seorang manusia bukanlah sesuatu yang bisa dipertaruhkan untuk ini, aku tidak mampu mencapai sistem saraf itu dan mengambil sifatnya secara ilmiah, mereka butuh ditempa, bukan dicekoki racun semacam ini.." lanjut direktur CERN itu.
"Sifat manusia adalah satu hal yang tidak dapat diteorikan. Satu-satunya cara agar kamu memahami tentang itu adalah dengan ikut merasakan, bukan berkomentar." ucap Afifat membuat keempat mahasiswa Oxford itu terdiam.
"Mimpi-mimpi tentang kotak Pandora itu tidak bisa aku wujudkan. Aku hanya menyebarkan harapan ke mereka, para ilmuwan kecil yang telah menaruh banyak harap.." Afifat lalu bangkit, "Aku akan tunjukkan satu hal lagi. Kalian tahu time travel ?" Ia melangkah kearah pintu otomatis yang segera terbuka, keempat mahasiswa itu mengikutinya.
DOR DOR DOR! "Sector clear!" Teriak Adi, ia dan Tama baru saja melepaskan timah panas kedua puluh empat mereka. Adi, Tama, Latriaz, Ainun, dan Amel sedang berada di level 11, mereka berpisah dari kelima orang lainnya dan kini seharusnya sedang menuju rooftop, tapi Ainun dan Amel memaksa agar mereka berbelok dulu ke Level 11, mencari sisa-sisa blueprint dari proyek 'Tuhan' yang tersisa di gedung itu.
Namun perubahan itu membawa bencana, level 11 telah berubah menjadi neraka monster yang gelap. Tanpa penerangan, kelima orang itu hanya mengandalkan dua buah senter yang melengkapi senjata api laras panjang Tama dan Adi dan harus siap menghadapi tiap terkaman maupun serangan dari segala arah.
"GRAP!" Tama mengangkat tangan kirinya membentuk siku-siku keatas lalu mengepal. Adi yang mengerti langsung mengarahkan telapak tangan kirinya kepada ketiga ilmuwan yang berada dibelakangnya, "Gesture untuk diem" bisiknya pelan.
Tama lalu membentuk huruf L dengan tangan kirinya dan lengan sebagai bagian datar dari huruf itu. Ia pun menggerakan telapak tangannya sedikit keatas-kebawah, "Nunduk" bisik Adi lagi, kelima orang itu lalu menunduk sedikit dan berjongkok, mereka menunggu instruksi selanjutnya dari sang kapten GIGN, dan..
DOR!! Tama melepaskan sebuah tembakan dengan matanya yang fokus pada scope yang ada di senjata laras panjangnya. "GRRAAAA!!!!" Terdengar suara auman dari jauh, disusul oleh suara benda yang terjatuh tak lama kemudian.
"Smoke !" Teriak Tama pada Adi yang segera melempar smoke grenade, "Go go go!" Sang kapten GIGN itu lalu membentuk sebuah lingkaran dengan telapak tangan dan jari tangan kirinya, lengannya juga membentuk huruf L keatas, ia lalu menaik-turunkan lengan itu, sebuah gesture untuk bergerak cepat.
Kelima orang itu berlari cepat tapi tetap menundukkan kepala mereka, sedikit berjongkok. Adi segera membuka pintu didepan mereka.
BRAK!! Dobrak Adi menggunakan tangan kanannya, mereka segera dihadapkan dengan meja dan bangku yang disusun sedemikian rupa untuk menutupi jalan didepan, sebuah pintu di kiri merekapun terkunci, sementara pintu lainnya disebelah kanan mereka terbuka sedikit. Ada jarak sekitar 5 meter dari mereka dan barikade meja itu.
"Loh kok ?" Adi lalu berjalan perlahan kearah barikade itu sambil mengarahkan senternya ke lantai. "Ini pasti ada yang aneh-aneh nih" ucap Latriaz tak lama kemudian, "Gue sama Amel buruan aja dah, tunggu disini aja. 10 menit deh paling lama, janji." kata Ainun lalu menarik tangan Amel menuju pintu disebelah kanan mereka, pintu itu merupakan akses mereka ke level 11 selain melalui koridor yang dihalangi oleh barikade meja.
Tama lalu maju persis ke belakang barikade meja yang tinggi, Ia lalu melempar sebuah flashbang dan..
"KRA KRA KRA KRA" Dari balik meja itu, mereka mendapat sebuah serangan fajar berupa monster-monster kecil yang hanya setinggi lutut tapi gesit luar biasa, monster itu menyerang dengan gigi-gigi tajamnya yang selalu menggertak, kedua bola mata mereka juga sudah tidak ada ditempatnya, melainkan diganti oleh bola mata hewan seperti ular, kucing, bahkan tikus, situasipun makin mencekam..
Kendati pendek dan kecil, monster-monster itu mempunyai lompatan yang cukup tinggi. Mereka melewati celah dibagian bawah barikade meja itu lalu meloncat. Alhasil, 3 ekor monster berhasil menguasai bagian kepala Adi, mencakar-cakar helm baja member GIGN itu, 4 ekor lainnya menjatuhkan kuda-kuda Adi, ia dikerumuni oleh 7 monster sekarang..
"Cover,-- me! cover--!" Ucapan Tama terputus-putus. Ia dengan gesit menembakkan senjatanya ke segala arah yang ia lihat, mencoba menerapkan prinsip one shot one kill namun gagal, monster-monster itu juga menjatuhkan sang kapten GIGN dan berusaha mengubah tubuh pria itu menjadi tengkorak..
Latriaz yang awalnya panik kini mau tak mau ikut berjuang, ia segera melakukan beberapa gerakan karate dan menyelamatkan Adi dari monster-monster yang mengerubungi pria itu. "Makasih" ucap Adi refleks saat ia dibantu berdiri oleh Latriaz, mereka berdua pun menyelamatkan Tama.
"Mesti kerja sama nih kita" ucap Tama lalu bangkit. Adi mengarahkan senternya sejauh yang ia bisa, masih ada cukup banyak monster sejenis itu yang masih berlarian dan berdatangan kearah mereka..
"Second wave, 10 minutes." tutup Adi lalu mengarahkan senjatanya kebawah, menunggu akan datangnya monster-monster itu. 10 menit yang dijanjikan Ainun akan berubah menjadi sepuluh menit terlama bagi mereka.
"Lu yakin ke level 11 dulu ?" tanya Fadhil pada Hani, kelima orang itu sedang berada di pintu tangga darurat, "Iyaa kan siapa tau aja temen mereka nyarinya sampe ke level 11" jawab Hani lalu membuka pintu itu. Arum, Salma, Ival, dan Jiwo adalah 'mereka' yang dimaksud. Tujuan keenam orang itu kini mencari Anwar, Aldo, Bagus, dan Stevian.
"Siapa tau aja mereka turun lewat tangga satu lagi, tangga darurat tiap lantai kan ada dua" ucap Fadhil, "Ya paling gak kan coba aja dulu" balas Arum tegas. Hani lalu membuka pintu itu, tanpa cahaya, ia segera menyalakan senter dan memimpin jalan.
"Eh gelap banget gila" ucap Jiwo merinding, "Ya kan buat temen-temen lo juga Wo" sahut Fadhil, keempat orang lainnya disana hanya diam tanpa kata. Mereka lalu menelusuri tiap ruangan di level kesebelas dari dua belas level di gedung itu, berharap akan adanya tanda kehidupan dari Anwar, Aldo, Bagus, dan Stevian. Sampai..
BET! Cahaya yang ditembakkan senter Hani menunjukkan adanya pergerakan di ujung lorong, sesuatu yang hitam baru saja memasuki sebuah ruangan di ujung kanan koridor itu. Spontan, keenam orang itu ketakutan.
"Itu apaan.." gumam Salma dengan suara pelan, "Eh yang cowok, majuin dong" perintah Arum sedikit judes melihat Jiwo, Ival dan Fadhil ikut memaku ditempat, "Iya tuh gentle dong" sahut Hani sambil ikut melirik mereka.
"Ayoo Wo" kata Ival lalu bergerak pertama lalu melambatkan langkahnya, Jiwo dan Fadhil mengikuti dan berjalan berdampingan. Ketiga perempuan yang tersisa pun segera membuntuti mereka.
Jiwo lalu menyadari bahwa pintu ruangan di ujung koridor itu terbuka sedikit, siapapun yang masuk kedalamnya rupanya ingin mereka mengikuti petunjuk itu. Tangan kanan Fadhil siaga memegang gagang pedang berat di punggungnya.
BRAK! Jiwo mendobrak pintu itu, Fadhil segera menghujamkan pedangnya ke dalam ruangan, berjaga-jaga jika ada siapapun yang menunggu mereka dibalik pintu yang tertutup. Ival merunduk dan mengambil senter Hani, menembakkan cahayanya ke seluruh penjuru ruangan.
Tiba, tiba seseorang menarik Jiwo dari belakang pintu, menjatuhkan mahasiswa itu dalam satu gerakan. TRANG!! Tebasan Fadhil pun berhasil ditepis olehnya, pedang besar itu terlempar dan jatuh. Mereka berdua patah arang.
Ival segera mengambil celah dengan berusaha menyerang orang misterius itu dari belakang, ia memeluk sang sosok misterius yang ternyata mengenakkan jubah hitam dan sebuah topeng, Hani pun menembakkan cahaya lampunya ke orang itu.
Arum dan Salma mengikuti Hani yang masuk kedalam ruangan, mereka berdua menutup pintu. Kondisi sekarang sangat menguntungkan untuk keenam orang itu, dengan keuntungan berupa jumlah dan kemampuan. Arum, Salma, Hani, Jiwo, Fadhil dan Ival berpikir bahwa mereka sedang berada diatas angin.
"Hani.." gumam sang sosok itu pelan, Jiwo tiba-tiba berdiri dan segera melakukan sebuah tendangan kearah perut orang berjubah hitam itu. "UARGH!" Teriaknya perih. Ival lalu melepaskan pelukannya dan membiarkan orang itu berlutut kesakitan.
"Sekarang buka tuh topeng !!" Bentak Jiwo kesal, tak terima dijatuhkan begitu saja oleh sang sosok itu. "Buka ga buka ga!" Lanjutnya sambil mengambil pedang Fadhil, menodongkannya kearah orang berjubah hitam yang sedang berlutut kesakitan itu.
"GRAAAA! GRAAA!" Dari luar, terdengar suara seseorang berteriak. Ival dan Jiwo pun terdiam, "Wo, itukan yang pernah kita lawan Wo" ucap Ival mengingat suara itu, "Oh iye yang gede banget itu ye?" tanya Jiwo ragu, "Iya yang sama Tama sama Adi" jawab Ival pasti.
BRAK! SET! Dalam satu gerakan, orang berjubah hitam itu melakukan tackle dan menjatuhkan Jiwo untuk kedua kalinya sambil mengambil alih pedang besar itu dari genggaman sang mahasiswa, kini kondisi berbalik, ia menodongkan pedang itu kearah Jiwo.
"Aku bisa membantu." Ucapnya yang ternyata seorang pria lalu menawarkan tangan untuk membantu Jiwo bangkit, mahasiswa itu menepis tangan orang itu lalu bangun sendiri.
BRAK!! Pintu ruangan mereka didobrak, rupanya Ival dan Jiwo benar. Sang monster dengan tubuh besar dan kepala kecil itu berada dihadapan mereka, Arum dan Salma yang terpental segera ditarik oleh Hani ke ujung jauh ruangan. "Subjek 82-96.." gumam ilmuwan level 1 itu dari kejauhan.
"Combo Wooo!" ucap Ival ceria dan bersemangat, ia segera berlari ke celah kaki monster itu, mengalihkan perhatian. Jiwo pun segera meloncat dan..
BUAK!!! Telapak kaki kanan Jiwo dengan sukses mendarat di pipi kiri sang monster. Fadhil dengan gesit ikut menyerang sang monster dengan melayangkan pukulan dua tangan kearah perut besarnya. Orang dengan jubah hitam yang berkata bisa membantu mereka pun segera mengarahkan pedang digenggamannya, lalu berlari sambil mengangkat pedangnya, dan..
ZRAAASHH!!! Kepala monster itu dihujam oleh pedang besar yang menancap di lehernya. Mata pedang yang ditusukkan pun keluar lewat tenggorokan sang monster, tubuh pria berjubah hitam itu tergantung saat pedang itu ditusukkan.
"ARRGG----" Teriak monster itu putus, matanya terbelalak dan mulutnya memuntahkan darah, keempat orang itu sukses melakukan combo terbaik yang pernah dilihat sepanjang sejarah.
"NICE!" Teriak Ival terbawa suasana, Jiwo mengusap keringatnya sementara Fadhil melangkah mundur, orang berjubah hitam itu lalu turun. Tubuh sang monster itu rubuh dan meretakkan beberapa keping lantai dibawahnya. Hani, Arum, dan Salma kembali bergabung bersama mereka.
"Nah sekarang buka topeng lo !" Teriak Jiwo tiba-tiba kepada sang pria berjubah hitam. Orang itu pun perlahan membuka topengnya, dan..
"Afifat Maulana. Direktur CERN" ucapnya..
"Eh ini beneran orang yang kita cari kan?" tanya Stevian memastikan, ia bersama ketiga temannya dan Afifat sedang berada di sebuah ruangan dengan tulisan "Project Wormhole" didepan pintunya. "Iya ini kayaknya dah, coba gue tanya" jawab Aldo.
"Ini adalah mesin waktu, CERN menggunakan teori relativitas Einstein sebagai acuannya. Peraturannya ? Sekali kau masuk kesana, kau tidak bisa kembali lagi" ucap Afifat menjelaskan sebuah mesin yang berbentuk ruangan kecil berbentuk kotak dengan dua buah pintu kecil, dibelakang ruangan kecil itu ada beberapa mesin dan beberapa teori persamaan. Aldo lalu mengangkat tangannya, "Maaf. Apa benar anda Afifat Maulana ?" tanya mahasiswa itu.
"Benar, Afifat Maulana. Direktur besar CERN." jawabnya.
--To Be Continued--
No comments:
Post a Comment