Sunday, February 14, 2016

The Pandora Box : Kotak Pandora. (Part 10)

The Pandora Box : Pandora Box. (Part 10)
Tribute to Noveolus Genevus-Octopus Doublius
Oleh : Kanzia Rahman


"Perintah adalah perintah, bukan ?" tanya Ainun lalu menghela nafas panjang, melirik kecil kearah kelompoknya yang terdiri dari Anwar, Stevian, dan Aldo. Ia agak sedikit kurang yakin, tapi Tama sudah membagi kelompok seadil mungkin.




Mereka berempat lalu memasuki pintu menuju level 12. Tak terlihat lagi jejak Hani, Amel, Tama, dan Fadhil yang sudah berjalan duluan di depan mereka. Kelompok yang terdiri dari Bagus, Jiwo, Ival, Salma dan Arum menyusul tak lama kemudian. Mengambil jalan yang berbeda dari dua kelompok sebelumnya.

Kelompok Ainun menggunakan Anwar dan Aldo sebagai 'ujung tombak'nya. Keempat orang itu menggunakan formasi berbentuk T dengan kedua orang itu didepan, tepat dibelakang mereka ada Ainun, dan Stevian sebagai orang terakhir dari formasi itu.

BRAK!
Keempat orang itu lalu memasuki sebuah ruangan, didalamnya terdapat sebuah meja dan kursi ala direktur kantoran. Di belakang kursi itu sebuah kertas berukuran sangat besar dengan portret landscape dibingkai di dinding. Pada kertas itu, tertulis banyak nama, sekitar dua ratus lebih nama, dan beberapa nama terakhir tertulis nama mereka.

"212. Dewi Arinanda
213. Salma Salsabil
214. Stevian Khansa
215. Geraldo Alvito
216. Anwar Fajar
217. Muhammad Bagus
218. Jiwo Prayudo
219. Alifya Kholifal"

Tulisan yang tertera di nama-nama terakhir yang tertulis di kertas itu merupakan nama kedelapan mahasiswa Oxford yang memenangkan liburan ke CERN.

"In Honor and Memory of all men and women who sacrificed their lives for science and greater good. May the God with you" Sebuah tulisan lain tertulis diatas daftar nama-nama itu. Ketiga mahasiswa itupun shock, kaget dengan apa yang mereka lihat.

CKLEK.
Stevian menutup pintunya. Anwar dan Aldo yang sedang mengamati daftar nama itupun melihat kearah Ainun, ketiga mahasiswa itu kini menatap tajam satu-satunya ilmuwan sekaligus perempuan di ruangan itu. Tatapan mereka layaknya tatapan seekor hewan yang akan menerkam mangsanya.

Anwar dan Aldo lalu segera meraih kedua tangan Ainun, Stevian menarik kursi yang ada. Sang ilmuwan itu lalu didudukkan disana, sementara ketiga mahasiswa Oxford itu mengelilinginya.

"Jelasin ini." Ucap Anwar tegas, Aldo menyilangkan kedua tangan di dadanya, sementara Stevian diam menunggu penjelasan.

Sementara itu, Hani dan Amel memisahkan diri lagi, Fadhil dan Tama sedang berjuang untuk bisa bernafas esok hari.

"BRAK!!"
Tubuh Fadhil terhempas di dinding, darah tak lama keluar dari mulutnya. Tak jauh berbeda dengan Tama yang makin melemah, tubuhnya dibanting beberapa kali oleh para monster yang menghuni lapangan level 12.

"Gue sama Amel ke ruangan yang ada mesin waktunya dulu yak. Lu ama Fadhil coba ke lapangan yang penuh monster dulu sana" Terngiang di pikirannya ucapan Hani yang keluar dari mulut ilmuwan itu beberapa menit lalu. Sebelum ia dan Fadhil memasuki lapangan 'sakral' ini dan akhirnya menjadi bahan mainan para penghuninya.

"Hah.. hah.." Kesah sang kapten GIGN itu sambil berusaha mengatur nafas. Sebuah luka berbentuk garis panjang melintang dari alis mata kanannya hingga bagian bawah mata kanan Tama, ia terduduk lemas dipinggir lapangan lalu bersandar pada dinding.

Belum sempat ia mengucapkan sepatah katapun, tendangan lainnya datang, diikuti belasan pukulan dan gerakan-gerakan lainnya yang seakan menghancurkan tubuh Tama. Seolah meremukkan tiap tulang yang ada dibadannya, menghancurkan tiap organ yang mengisi rongga-rongga dadanya, membunuhnya perlahan dengan cara siksaan.

"Sialan lo!!" Rupanya Fadhil seolah tak akan pernah kapok. Ia masih melayangkan beberapa pukulan yang bahkan tak tentu arah. Tak ada yang kena. Ia meninju angin dengan kondisi tubuh yang sudah hampir habis pula. Dengan cepat, para monster di lapangan itu merobohkannya, menjatuhkan laki-laki itu.

Tama tak peduli lagi, matanya berkunang-kunang, penglihatannya kabur. Kekuatannya pun habis semuanya, pil painkiller yang tadi seolah bagaikan makanan paling bermanfaat sepanjang masa itupun tak dapat ia temukan, entah habis atau berjatuhan karena tubuhnya yang dilempar kesana-kesini.

Hal terakhir yang dilihatnya adalah monster-monster yang mengerubungi Fadhil, diikuti suara teriakan kesakitan yang samar di telinganya. Kesadarannya pun menipis, matanya perlahan tertutup, nafasnya pun diperlambat, ia lalu kehilangan kesadaran, lagi..

"Harusan lo pada berterima kasih sama gue" ucap Ainun. "Awalnya tuh lu pada mau dijadiin objek buat percobaan 'Proyek Tuhan', karena CERN ternyata butuh objek yang lebih pintar daripada yang udah ada. 200 orang lebih gak cukup buat nyelesain proyek ini, karena otak mereka rata-rata sama." Lanjutnya.

"Ya akhirnya dipilih dah tujuh orang mahasiswa Oxford yang perkiraan awal otaknya lebih superior, tapi yaaa, gitu" gantung Ainun membiarkan ketiga mahasiswa itu berpikir, "Universitas lo pada udah kerjasama sama CERN. Nantinya, Oxford bakal dapet keuntungan berupa ucapan terima kasih karena udah bantu proyek ini, yang ujung-ujungnya bakal dongkrak rating Oxford supaya banyak yang daftar ke sana. Sebagai gantinya, ada mahasiswa Oxford buat jadi objek percobaan, ya harusnya lo pada." tutup Ilmuwan itu.

"Jadi kayak semacem tumbal gitu yak" komen Anwar, sementara Stevian dan Aldo merinding ngeri tak mengucapkan sepatah katapun. "Udah ayok keluar. Gaada kan direkturnya ?" Ainun lalu bangkit, berjalan keluar ruangan diikuti ketiga mahasiswa itu.

CKLEK..
Hani membuka pintu "Project Wormhole". Matanya segera tertuju pada sebuah ruangan satu pintu dengan ukuran kamar ganti ditengah ruangan itu. Dibelakang ruang itu, terdapat beberapa rumus dan pipa yang disambungkan kedalam ruangan tersebut, "Mesin waktu.." gumamnya kecil.

"Mel tunggu bentar" ucap Hani lalu mengambil beberapa gulungan blueprint dari tangan Amel dan berlari kecil ke belakang mesin waktu berbentuk ruangan itu, Amel hanya mengangguk kecil tak menjawab lalu mendekat kearah pintu mesin waktu itu. Sang Ilmuwan mengotak-atik sedikit mesin waktu tersebut untuk beberapa menit, Hani lalu kembali berdiri disebelah Amel.

"Mel, lu mau balik ke masa kecil gak ?" tanya Hani tiba-tiba sambil menutup pintu ruangan itu. Keheningan panjang tercapai segera setelahnya. Hanifa menunggu jawaban yang tak kunjung datang dari mulut Amel, mereka berdua diam tanpa kata..

"Gue udah cukup tenang disini Han. Ngapain lagi ?" tanya Amel balik, Hani diam untuk beberapa menit. "Main Mel, balik ke masa kecil, kita jadi anak polos yang ga tau apa-apa lagi." jawab Hani sambil ceria, Amel hanya terdiam.

"Lu mau nyelamatin ibu lu ya ?" Tanya Amel tiba-tiba. Hanifa segera menatap sahabatnya itu, "Katanya Fadhil sih lu itu mau gunain mesin waktu buat nyembuhin ibu lu. Soalnya kan ibu lu mati gara-gara kekurangan dana buat biaya pengobatannya" lanjutnya.

"Apa aja yang udah lu tau Mel ?" Hani memotong ucapan sahabatnya itu. Ia menunduk dan memasukkan salah satu tangannya ke dalam kantong jasnya, Amel terdiam sesaat lalu melanjutkan perkataannya, "Yaa intinya lu mau balik ke masa lalu buat nolongin ibu lu kan, tapi ga mungkin Han" jawab Amel.

"Kadang, ada beberapa hal yang emang cuman jadi imajinasi. Sebagus dan sebaik apapun itu, kalo Tuhan ga setuju, rencana tetep rencana. Sama kayak ide lu buat kembali ke masa lalu untuk nyelamatin ibu lu, kalo gaada aksi ya tetep aja wacana." tutup Amel sambil memalingkan matanya, mata Hani seketika berubah menjadi tajam, ia menghadap ke Amel, dan..
....
...
..
.
.
.
.

JLEB! CRAAATTT!!!
..
.

Hani menusukkan sebilah pisau yang ia simpan di kantung jasnya ke dada Amel. Ia tak peduli dengan segala persahabatan yang sudah ia jalani. Matanya tak berubah, masih menatap tajam mata sahabatnya. Kaki Amel pun hingga sedikit terangkat karena kencangnya tusukan Hani.

"..."
Amel tak bisa berkata lagi. Tubuhnya dihujami sebuah pisau tajam yang menusuk dadanya, matanya terbelalak kaget, mulutnya memuntahkan darah seketika. Hani memalingkan sedikit wajahnya kala Amel memuntahkan darah untuk yang kedua kalinya..

"Jangan kurang ajar, Mel.." gumam Hani kecil lalu mencabut pisau itu, ia lalu tanpa ampun menendang Amel hingga terduduk ke pinggir ruangan, bersandar ke dinding sambil memegangi lubang yang menganga di bagian dadanya.

Hani lalu berjalan mendekati Amel sekali lagi, ia mengangkat pisaunya tinggi, siap menusukannya ke bagian tengkorak dan menghancurkan otak Amel, dan..
...
..
.

"Kamu sedang stress, Hanifa." Tiba-tiba seseorang membuka pintu dengan tulisan "Project Wormhole" tertempel di pintu itu, ia lalu masuk kedalam ruangan, dan menutup pintunya lagi. Bergabung dengan Hani dan Amel. Hani yang sudah siap menusuk Amel dari atas itupun menarik lagi sebilah pisau yang ia pegang. "Kamu kehilangan kendali, stress, dan akhirnya, begitu." Rupanya orang itu adalah Afifat, ia lalu melirik kecil kearah Amel yang sedang kesakitan.

"Ah, kau selalu muncul di saat yang tidak tepat. Ayah..." Ucap Hani sambil melihat kearah Afifat.

DOR!!
Adi menembakkan flare gun di tangannya sekali lagi. Sebuah helikopter lalu terbang rendah mengikuti asal flare yang ditembakkan. "ATC, this is GIGN Boeing CH-47 Chinook Helicopter for Rescue, flare detected" Ucap pilot helikopter dengan nametag "Rumaldo Bebeto" di dadanya.

"Boeing CH-47 Chinook Helicopter, this is Geneva Control Tower, please remain in position." Balas seorang perempuan dengan nametag "Niquita Kenza" di Tower yang cukup jauh dari posisi mereka. "Geneva Tower Control, remain in position, copy that" balas Bebeto, ia lalu terbang rendah diatas rooftop gedung CERN, "Ladder please!" Teriak Adi, suara baling-baling helikopter menyamarkan suaranya.

"Ladder!" Ucap Bebeto kepada co-pilot disebelahnya. Co-pilot dengan sebuah nametag bertuliskan "Aristo Arius" itu segera beranjak dari kursinya, pergi ke bagian belakang helikopter sepanjang 30m itu. Ia mengambil sebuah gulungan tali dibawah salah satu kursi yang memanjang di helikopter itu, lalu mengikatkannya ke sebuah tiang besi kecil, dan melemparkannya ke bawah.

"Ladder, ready!" Ucap Aristo setengah berteriak kepada Bebeto, melaporkan tangga yang siap digunakan untuk mengevakuasi para survivor dari gedung CERN itu. "Ladies first" ucap Adi sambil membantu Latriaz bangun dari duduknya. Perempuan itu hanya tersenyum kecil dan berkata, "Thank you". Ia lalu menaiki tangga dan duduk manis di dalam helikopter. Adi menyusul tak lama kemudian.

Sementara itu. Tama bangkit lagi, ia bertemu dengan Anwar, Stevian, Aldo, Bagus, Ainun, Salma, Arum, Jiwo dan Ival yang rupanya telah bersatu terlebih dahulu. Ia lalu merogoh-rogoh kantung celananya, menelan sebutir pil painkiller yang secara ajaib muncul di kantung celana dan tersisa disana. Ia meerasakan suatu energi yang kembali muncul di sekujur tubuhnya.

"Mana Hani Amel !?" tanya Ainun tak santai. Wajar, ia menitipkan kedua sahabatnya kepada sang kapten GIGN ini, namun ia hanya bertemu dengan satu dari empat orang yang seharusnya ia temui sedang bersama-sama.

"Itu, mereka.." Tama kebingungan akan jawaban yang akan ia berikan. "Ah ga bener luh!" Bentak Ainun kecil namun serius, ia lalu memberikan tatapan mata sinisnya ke kapten GIGN tersebut. "Sekarang kita kemana lagi ?" tanya Arum mencoba mencairkan suasana, Ival, Jiwo dan Salma hanya diam tanpa kata.

"Kalo gak salah, ada deh ruangan yang belom kita masukin" ucap Anwar sambil berpikir, "Oh iya War, yang ada mesin waktunya itu kan?" tanya Aldo, "Ah iya gue tau! Yang kita diserang itu kan? Tapi gue lupa dimana" sahut Stevian, "Oh yang si direkturnya jelasin tapi kita ga dengerin itu ?" tanya Bagus mendapat tiga buah anggukan dari tiga sahabatnya.

"Maksud lo 'mesin waktu' itu 'Project Wormhole' ?" tanya Ainun menaikkan sebelah alisnya. "Nah nice Ainun!" sambar Aldo, Stevian hanya mengangguk kecil sementara Bagus dan Anwar mengiyakan. 

"Oh kalo itumah gue tau, tapi bukannya mesinnya harusnya ga berfungsi ya?" ucap Ainun sekali lagi dengan ragu, "Gatau, pokoknya pas kita masuk tuh kita dijelasin doang cara kerjanya, ga di ujicoba" jawab Stevian. Sang ilmuwan perempuan itu lalu berpikir kecil, dan memutuskan untuk mencoba pergi ke ruangan itu, diikuti sembilan orang dibelakangnya.

"Rupanya kau masih menganggapku sebagai ayah, gadis kecilku yang malang." Afifat lalu melepas jubah yang ia kenakan. "Aku hampir membayangkanmu sebagai seorang bajingan tua yang lumpuh, sebelum akhirnya aku bertemu lagi denganmu di CERN." ucap Hani.

"I was." Ucap Afifat, "Sebelum akhirnya aku memutuskan kembali ke masa lalu dan mengubah sejarahnya. Apa kamu merasakan beberapa tetes air mataku yang mengenai rambutmu di lift itu ?" Tanya Afifat balik.

"Kamu kira liftnya bocor. Padahal tidak, itu aku, datang dari masa depan dan rupanya dikembalikan oleh waktu diatas lift itu. Aku berdiam diri disana cukup lama hingga kamu dan ketujuh orang lainnya masuk kedalam lift. Saat itulah, aku melihatmu dan mengingat ibumu" jelas sang direktur saat Hani tak menjawab.

"Saat keenam orang itu pertama kalinya bertemu monster ? Sesaat setelah aku dan Ainun bertengkar dimana lift level 6, bukan ?" Tanya Hani ragu, mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu.

"Aku akui, rencanamu luar biasa, Hani. Membunuh Professor Hartono dari Oxford di ujung koridor setelah penjara bawah tanah, lalu mematikan lampunya, dan akhirnya mengeluarkan kedelepan mahasiswa polos itu dengan muka tak bersalah. Aku mengapresiasinya" jawab Afifat lalu tersenyum kecil dan bertepuk tangan sendiri.

"Aku membutuhkan mereka untuk bisa membalaskan dendam Ibu." kata Hani, "Kau pikir siapa yang meledakkan lapangan level 12 dengan bom rakitan dan membuat kekacauan di gedung ini ?" tanya Ilmuwan itu balik.

"Kamu tak berubah. Sifat turunan dari Ibumu yang diam-diam kejam itu rupanya mengubahmu menjadi seperti ini. Aku kagum" kata Afifat. "Tapi kamu tahu siapa yang mematikan lampu di security room saat kamu dan dua temanmu itu mencoba menutup tiap pintu dan jendela gedung ini ? Mengisolasi gedung ini dengan alasan virus ?" Lanjut direktur itu.

"Kau tahu apa yang akan terjadi jika hal itu terjadi ?" Tanya Afifat lalu menatap Hani yang hanya memberikan sebuah gelengan kepala kecil, tanda ketidaktahuannya.

"Semua orang yang masih hidup disini akan dimakan monster. Dua orang mahasiswa Oxford yang bertemu dua pasukan elite GIGN akan dikalahkan subjek 82-96, dan yang paling mengerikan adalah kamu. Basement yang sudah tak ada apa-apa lagi itu akan berubah menjadi neraka, tiap-tiap dari kalian akan membunuh satu sama lain dan memakani dagingnya untuk bertahan hidup. Jika aku tak memutuskan saluran listrik ke security room saat itu, dalam 24 jam kedepan, kamu akan menjadi seorang kanibal." Jawab Afifat panjang.

"Kamupun yang mengancamku dengan sebuah pistol untuk membuat proyek mesin waktu dan partikel 'Tuhan'. Kamu ingin kembali ke masa lalu, menyelamatkan Ibumu sambil menyebarkan obat buat netralisir sisi jahat manusia. Jika semua orang di bumi telah meminum dan melakukan vaksin dengan obat itu, maka kamu adalah satu-satunya orang yang belum dan tidak akan meminum obat itu. Apa yang terjadi jika tidak ada orang yang memiliki sisi jahat ?" Ucap Afifat.

"Kamu akan menguasai dunia. Menguasai mereka, menjadi satu-satunya orang yang bisa berbuat kejahatan sementara masyarakat hanya bisa berkomentar dan tidak berani melawanmu, mereka tidak akan pernah melakukan perlawanan karena sisi jahat dan kejam mereka telah tiada. Kamu bisa saja merampok bank sambil mendapat senyum dari tellernya. Sejarah akan berubah." Tutup sang direktur itu. Hanifa hanya terdiam sambil menunduk.

"Rupanya.. benar.." Amel membuka mulut dengan suara yang terpatah-patah, Hani melirik sinis ilmuwan itu yang kini sedang terduduk lemas dan memegangi dadanya yang terus-terusan mengucurkan darah.

"Tunggu." potong Afifat. "Apa saja yang Fadhil ceritakan kepadamu ? Aku sudah mendengar cukup banyak dari balik pintu itu tadi, menguping pembicaraanmu dan Hani" tanya direktur itu sambil melihat ke ilmuwan itu. "Dia.. dia menemukan.. album fotomu, sekeluarga.. sebelum kamu meninggalkan Hani dan istrimu untuk menderita.." jawab Amel terbata-bata.

"Huh.." Afifat menunduk sedikit.. "I've always assume that love is a dangerous disadvantage. Cinta itu adalah kerugian terbesar yang dimiliki seseorang, bukan, Rizky Amelia ?" Afifat lalu mengeluarkan sebuah pistol dan mengarahkannya kearah Amel, ia menutup sebelah matanya untuk mempertajam akurasi yang ia dapatkan.

"Aku sudah menduga dan mengetahui banyak tentang hubungan rahasiamu itu dengan sang wakil ketua bidang keamanan. Apa kamu pikir aku sebodoh itu memilihmu menjadi ketua sekaligus pemimpin ilmuwan level 1 dari sekian banyak pilihan ?" ucap Afifat lalu meletakkan jari di pelatuknya. Amel sudah kehabisan banyak darah yang terus mengucur dari dada dan mulutnya, matanya pun kini menyipit..

CREK CREK
"Ah ! For godsakee!" Tidak ada peluru yang keluar dari pistol itu. Afifat beberapa kali menekan pelatuknya tapi tak ada satupun peluru yang keluar. Hani lalu tertawa kecil mengejek ayahnya.

"Ayolah, Hanifa! Pelurumu juga habis saat mengancamku untuk melakukan proyek mesin waktu ini, dulu sekali" kata Afifat lalu menjatuhkan pistolnya, berpaling kearah Hani yang sedang tertawa meledek.

Hanifa lalu membuang pisau yang ia pegang sembarang, ia mengambil pistol yang dijatuhkan Afifat, lalu kembali berdiri.

"Kamu tidak menusuknya tepat di jantung, temanmu itu akan mati kehabisan darah" kata Afifat sambil melirik sedikit kearah Amel yang kini sudah menunduk dan membaca doa-doa dalam nafas pendek.

"Harus ada yang mati, bukan ?" tanya Hani, ia melirik sedikit kearah Amel, lalu memalingkan lagi mukanya kearah Afifat.

"Begitupula kamu. Tujuanku adalah membalas dendam ibu, ayah." Hani menodongkan pistolnya kearah Afifat, "Ayolah, kamu tahu bahwa pistol itu kehabisan peluru, bukan?" tanya sang direktur tak gentar menghadapi moncong pistol Hani.

"Siapa bilang ? Pistol ini hanya macet.." Balas Hani mengejek, dan..
...
..
.
.

DOR!!!
Ia menembakkan sebuah peluru kearah Afifat, ayahnya. Sang direktur CERN itupun memegangi bagian perut yang ditembak Hani, lalu terduduk lemas. 

"Kamu menderita, ayah ?" Hani lalu menatap Afifat dalam, ia melempar pistolnya sembarang. "Ini yang aku rasakan bersama Ibu tiap harinya!" Teriak Ilmuwan itu, air mata mulai keluar dari pelupuk matanya..

"Dendam Ibu sudah terbalas, aku akan menyusulnya tak lama lagi. Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu denganku setelah sekalian lama, Ibu?" Hani lalu memungut lagi pistol itu. Meletakkan moncongnya di bawah dagunya sendiri, air matanya bercucuran keluar. Tangisannya semakin keras..

"Keluarga kecil kita akan bahagia lagi di alam sana.. Sambut aku, Ibu." Hani meletakkan jarinya di pelatuk, dan..

BRAKK!!!!
"HANI!" Tama segera mendorong Hani, menjatuhkan perempuan itu sepersekian detik sebelum pistol ditembakkan. Peluru pun memantul liar dan memecahkan dinding kaca yang sekaligus memberi akses kepada mereka untuk dapat melompat keluar dari ruangan itu.

"Tama.. Pergi.. Aku sudah meletakkan sebuah bom anti-material di mesin waktu ini. Ledakannya akan memicu pergesekan antar atom, partikel ruang-waktu akan bersatu, dan gedung ini akan hilang.. Waktumu.. 10 detik.. Tama." ucap Hani sambil melihat jam tangannya.

10.

"Apa yang kamu lakukan !?" tanya Tama lalu menendang pistol itu keluar ruangan, sekaligus membuang pistol itu dari gedung CERN. Ia lalu melihat dua orang yang sedang tergeletak lemas, Amel dan Afifat.

Sementara itu. Helikopter Chinook yang dikirimkan untuk melakukan evakuasi kini sudah terisi dengan Anwar, Jiwo, Bagus, Ival, Stevian, Aldo, Salma, Ainun, dan Arum menyusul Adi dan Latriaz yang sudah terlebih dahulu berada didalamnya.

"Itu ada pistol jatoh ! Coba deketin dah" teriak Aristo sambil menunjuk salah satu dinding kaca yang pecah dan sebuah pistol yang jatuh dari sana tak lama kemudian. Ia lalu menyalakan lampu pencari di helikopter itu. Bebeto membawa helikopter itu mendekat.

9.

"Sudah kubilang, pergi !" Bentak Hani lalu mendorong Tama. Ia melirik kearah jendela yang pecah, seakan memberi kode untuk kapten GIGN itu keluar dari sana. Tama hanya terdiam mendapat dorongan dari ilmuwan itu.

"Hani.. Kau tahu kenapa aku menamai proyek ini Pandora Box ?" Afifat bertanya dengan suara yang dipaksakan. Hani melihat kearah direktur itu dengan raut penasaran.

8.

"Kenapa ? Karena aku sudah membawa kehancuran pada semestamu ?" tanya Hani menebak-nebak pada Afifat yang lalu tersenyum simpul.

Helikopter pun berhasil mendekat, Bebeto dan Aristo mencoba mengoptimalkan posisi tangga helikopter dengan jendela yang pecah, agar siapapun yang keluar dari sana segera meloncat ke tangga itu dan naik helikopter dengan selamat.

7.

"Tama ! Naek sini woy!" Teriak Adi melihat Tama hanya bengong diantara tiga orang di ruangan itu. Salma dan Arum beristirahat, begitupula yang lain. Tama tak menjawab tapi memberikan gesture telapak tangan pada bawahannya itu, tanda untuk menunggu.

"Haha. Bodoh." ucap Afifat lalu tertawa kecil, mengejek Hani yang menunjukkan muka bingung.

6.

"Kamu memang sudah menghancurkan duniaku, semestaku, dengan segala keburukan dan kejahatan yang kamu buat" lanjut direktur itu. "Tapi, kamu masih mempunyai satu hal yang selalu aku titipkan pada dirimu. Harapan. Begitupula di mitologinya, bukan ? Tetaplah menjadi Kotak Pandoraku, Hanifa.. Aku menitipkan harapan dariku dan Ibumu dalam dirimu.." tutup Afifat.

Hanifa terdiam tanpa kata, terbelalak kaget, lalu menunduk. Bulir-buliran air pun keluar lagi dari matanya..

5.

"Dan kamu, aku tidak mengenalmu, tapi sepertinya kamu orang baik. Bawa dia pergi dari sini, aku titipkan dia kepadamu." kata Afifat lalu menunjuk Tama yang mengangguk kecil.

"AMEL!" Teriak Ainun histeris saat melihat tubuh Amel yang sudah tak bergerak lagi, Latriaz segera menarik Ainun dari sesi mengintipnya dari helikopter, lalu menenangkan sang ilmuwan itu.

4.

"Ayo! Kamu sudah dengar kan!?" tanya Tama lalu menarik kedua tangan Hani, mencoba membangunkan ilmuwan itu dari posisi duduknya.

"Percuma, Tama. Tanganku sama seperti tangan lainnya.." Hani lalu memotong ucapannya, "Sudah penuh darah.." lanjut Hani sesenggukan. Tama terdiam sesaat..

3.

"Jangan bodoh ! Masa lalumu itu urusanmu, tapi mulai sekarang, masa depanmu menjadi urusanku juga!. Sekarang berdiri, bangun, dan kita keluar dari sini!" Bentak Tama sambil menatap Hani dalam. Sang ilmuwan itu lalu tak melawan saat kapten GIGN itu mengangkatnya berdiri, mereka berdua kini melihat kearah helikopter yang sudah menunggu.

2.

"Hope.." Tutup Afifat kecil sambil tersenyum simpul lalu menutup mata untuk yang terakhir kalinya, pergi ke tempat peristirahatan terakhirnya. Hani melirik kearah ayahnya yang kini telah tiada itu. Pikirannya penuh dengan segala memori indah keluarga kecilnya dulu, tentang ibunya, tentang foto-foto masa kecilnya, tentang ayahnya, tentang mereka bertiga yang harmonis. Semua itu seakan terekam dalam memori Hani dalam sepersekian detik.

"Saat aku bilang lompat, lompat!" kata Tama, ia lalu menarik Hani, mereka berdua berlari pendek kearah dinding kaca yang telah pecah itu, dan..

1.

"Lompat!" Teriak Tama, Ia memegangi Hani terus, tapi sayang, nampaknya tangga tali itu masih terlalu jauh untuknya, ditambah beban satu orang yang ia pegang. Tangannya tak mampu meraih tali penyambung hidupnya..

GRAP!! 
"Pegang gue Tam !!" Adi menangkap tangan Tama, "Bantu gue woy!" Bentaknya pada siapapun yang mendengarkannya di helikopter. Anwar dan Aldo sigap berada dibelakangnya dan menarik member GIGN itu, diikuti Ival, Bagus, Jiwo, dan Stevian.

0.

DUAR!!!
Sebuah ledakan terdengar dari dalam ruangan. Kedelapan orang itu menarik Tama, memasukkan tubuh sang kapten GIGN bersama ilmuwan itu kedalam helikopter yang segera beranjak dari sana.

"Go go go!" Teriak Adi sambil memotong tali yang terjulai dari helikopter itu. Iapun segera menutup pintunya. Bebeto dan Aristo segera membawa helikopter Chinook itu terbang menjauh.

'Ayah..' pikir Hani saat Adi menutup pintu. Ia melihat Afifat untuk yang terakhir kali dari celah yang tersisa saat pintu helikopter itu ditutup.

Hani merunduk, untuk beberapa saat, ia tertidur. Sementara yang lainnya mengintip gedung CERN yang perlahan menyusut dan seolah menghilang ditelan bumi begitu saja. Semua, semua kenangan, dan apapun yang mereka telah lakukan disana, kini tak ada bekasnya lagi..

...
..
.
.
.

"Hani ?" Hani terbangun, Tama berada didepannya. Tubuhnya kini ditutupi rompi anti-peluru yang tampaknya punya kapten GIGN itu.

"Aku tak dapat menemukan sepatumu." lanjut Tama kecil. Hani lalu melihat kearah kakinya yang hanya ditutupi sebuah kaos kaki, tanpa sepatu. Ia lalu mengingat saat-saat ia meloncat tadi.. "Ah iya, mungkin sepatuku ikut hilang dalam ledakan anti-partikel itu, Tam" jawab Hani lalu merinding, menyadari betapa dekatnya ia dengan kematian.

"Memang agak longgar, mungkin terlepas saat kita berlari tadi dan.. hilang" lanjut Hani mencoba menenangkan Tama yang lalu memberikan sebuah senyum.

"Yaudah, tenangkan dirimu dulu. Istirahatlah." Tama lalu beranjak. Hani melirik ke sekitarnya, semua orang disana tertidur kecuali sang pilot dan co-pilotnya yang sedang berbincang kecil. Tak lama, mata ilmuwan itupun ikut berat, dan ia tertidur..

..
.
.
.

"ATC, this is GIGN Boeing CH-47 Chinook Helicopter for Rescue, we're evacuated thirteen out of the building." ucap Bebeto, "They are Hanifa Utami, Ainun Amallia, Latriaz Pangaistuti, Fatah Aryatama, Adi Andhika, Anwar Fajar, Geraldo Alvito, Muhammad Bagus, Jiwo Prayudo, Alifya Kholifal, Stevian Khansa, Dewi Arinanda, and Salma Salsabil.  We're going home." Tutup Aristo melanjutkan perkataan Bebeto sambil mematikan lampu bagian belakang helikopter, ketiga belas orang yang disebutkan itu tertidur kelelahan.

"Boeing CH-47 Chinook Helicopter, this is Geneva Control Tower, copy that." balas Tower yang masih diisi oleh Kenza, tak banyak penerbangan dilakukan malam hari, tapi salah satu penerbangan yang paling krusial adalah penerbangan ini.

"ATC, this is GIGN Boeing CH-47 Chinook Helicopter. Good night"
...
..
.
.

"Good night."






-- The End(?)--

No comments:

Post a Comment