Saturday, January 23, 2016

The Pandora Box : Amitiè. (Part 6)

The Pandora Box : Amitiè. (Part 6)
Tribute to Noveolus Genevus-Octopus Doublius
Oleh : Kanzia Rahman


DOR!!
.
..
...
....
....

"Aku tidak akan membunuhmu", ucap seseorang dengan jubah hitam itu, ia lalu duduk di salah satu sofa disana, Fadhil duduk dihadapannya.




"Tidak perlu curiga begitu, tanganmu." lanjutnya sambil menyilangkan kaki kanan diatas kaki kirinya, Fadhil lalu mengangkat kedua tangannya, dan meletakkan sebuah gunting yang ia sembunyikan di saku celana.

"Jadi, desas-desus selama ini benar ?" tanya Fadhil mencoba santai, tubuhnya masih menunjukkan rasa hormat dan sedikit kaku. "Benar, aku mempunyai seorang anak.." jawab seseorang dibalik jubah itu, "Apa saja yang sudah diketahui oleh wakil ketua bidang keamanan kita ini ?" tanya orang itu sambil menyindir sedikit jabatan Fadhil.

"Banyak. Aku telah membaca sedikit banyak arsip, dan ternyata ada sebuah rahasia besar yang kamu sembunyikan di gedung ini.." jawab Fadhil, "Hanya perlu sedikit kejelian.. dan semua orang akan tahu lubang besar yang menganga dari cerita panjang ini.." lanjut seseorang dengan jubah itu.

"Kamu yang menyebarkan cerita itu ke internet kan?" tanyanya lagi. Fadhil yang tak memberi jawaban mendapat tatapan tajam dari orang itu, ia hanya sedikit bergeming dan terdiam..

"Peniup peluit penuh rahasia, tiuplah peluit itu sekali lagi, maka semua rahasia itu akan terbongkar" ucap orang itu lalu memegangi topengnya, "Tapi biarlah. Kini, dimana dia ? Anak perempuan yang aku sayangi itu" Orang itu lalu membuka perlahan-lahan topeng yang ia pegang sambil bertanya..

"Anakmu itu sedang bersama dua temannya, aku yakin.. Pak direktur.." jawab Fadhil sambil tercengang. Didepannya, terduduk seorang direktur yang selama ini menjadi misteri tersendiri untuknya. Fadhil lalu mengintip sedikit ke bagian jubah yang tersingkap, nametag "Afifat Maulana" tertera di dada sebelah kanan orang yang sedang duduk dihadapannya itu.

"Mega proyekku. Mesin waktu yang masih menjadi proyek tersembunyi itu, kau ingat ?" tanya Afifat sambil membuka segala kaitan yang menutupi bagian depan baju dari jubahnya, "Aku menggunakannya. Maaf, pukul berapa sekarang ?" lanjut Afifat tak memberi kesempatan Fadhil menjawab.

"Kau menggunakannya ke masa depan atau ke masa lalu ?" ucap Fadhil tak menjawab pertanyaan sang direktur, "Jika aku menjawab dalam 30 menit kedepan akan ada seseorang yang mati, maka aku datang dari mana ?" balas Afifat pintar.

"Masa depan ?" gumam Fadhil, "Jangan berpikir terlalu jauh. Aku hanya datang dari 3 hari kedepan, tapi dalam kurang dari 72 jam pun, gedung ini sudah berubah menjadi neraka." kata Afifat, "Jika sekarang hari senin.. kau dari hari kamis ?" tanya Fadhil berpikir, sang direktur itu hanya mengangguk.

"Jika aku tidak salah, diriku yang satunya sedang berada di level 12 sekarang, menyelesaikan proyek 'Tuhan'-ku. Anakku mungkin kelihatan menentangnya, tapi ada sebuah kebenaran yang aku sembunyikan selama ini, dari siapapun, hanya dia dan aku yang tahu." ucap Afifat. 

"Berarti ada dua direktur, dirimu ada dua ?" tanya Fadhil memastikan, "Yang satu sedang berada di level 12, menebar teror dan membawa kehancuran, yang satu lagi datang dari masa depan untuk mengagalkan kehancuran itu sebelum terjadi." jawab Afifat.

"Tunggu. Berarti, yang di level 12 itu kan kamu juga?" tanya Fadhil memastikan, "Sebelum aku memutuskan untuk kembali ke hari Senin, aku jahat." jawab Afifat singkat.

"Mesti gimana nih War" ucap Aldo, ia lalu menutup pintu ruangan tempat ia dan Anwar tadi beristirahat. Mereka melupakan segala tentang monster mengerikan itu dan memilih untuk mengambil nafas sejenak..

"Kiri apa kanan Do ?" tanya Anwar lalu melihat ke sekitarnya, "Kiri lah War, kalo kanan mah tempat tadi kita abis dikejer-kejer orang jadi-jadian kan" jawab Aldo dengan gesture tangannya, "Kalo kata gue War, mending cari peta gedung aja udah, cari emergency exit-nya, soalnya kalo kita cuman berdua doang juga susah War" lanjut mahasiswa jurusan Bisnis itu, Anwar hanya mengangguk kecil, mereka lalu melanjutkan perjalanan..

"Level 12 ini kayak kantor ya Do" kata Anwar, mereka memasuki sebuah pintu yang melanjutkan ke koridor berikutnya, ruangan disebelah kiri dan kanan mereka dibatasi dengan sebuah dinding kaca dan sebuah pintu otomatis yang transparan. 

"Kayaknya ini level 12 buat data-data monster yang di uji coba deh War" ucap Aldo. Kaca disebelah kanannya menjadi pembatas antara koridor tempat ia berjalan dan sebuah ruangan yang penuh dengan berkas-berkas, cukup banyak juga alat-alat percobaan kimia seperti labu ukur, mikroskop, dan gelas ukur yang berisi cairan-cairan bermacam warna.

Mereka berdua hanya berjalan, tanpa ada rintangan atau monster apapun yang muncul di imajinasi kedua mahasiswa itu. Keadaan level 12 yang penuh dengan bercak darah dan kertas yang berhamburan dimana-mana cukup memberi kesan chaos yang tergambar disana, sekalipun tak ada monster yang menyerang mereka secara tiba-tiba.

"Bosen gini Do kita jalan doang" ucap Anwar setelah 20 menit berjalan tak tentu arah bersama sahabatnya itu, ia dan Aldo telah memasuki tiap ruangan yang bisa dimasuki, namun mereka benar-benar clueless dan tidak mendapat apa yang dicari..

"Yaudah kalo bosen mending turun kuy War lewat lapangan tadi" sahut Aldo, "Yah gila lu Do haha" jawab Anwar. Sejauh ini, mereka baru tahu satu-satunya jalan penghubung antar level 12 dan level dibawahnya adalah lapangan tadi.

"Level 12 tidak sekecil itu" Ucap seseorang tiba-tiba di Speaker yang berada di level 12. Anwar dan Aldo segera mengambil kuda-kuda jika ada serangan mendadak, "Kedua teman kalian itu tidak kurus. Tidak ada yang ingin repot-repot membawanya ke level dibawah, level 12 masih panjang.." lanjut suara di speaker itu.

"Ayolah. Coba kalian berjalan lagi, baru seperempat level kalian telusuri, ada akses lainnya ke level bawah dan kalian baru menemukan satu. Masih banyak pintu yang terkunci, kan?" Tanya seseorang di speaker itu, "Kalian boleh menganggapnya sebagai jebakan. Tapi, kunci untuk ke tigaperempat level lainnya ada di manusia berkepala anjing yang mengejar kalian. Good luck, have fun! Hahaha" tutup suara itu, Anwar dan Aldo saling menatap satu sama lain..

"Lu ngapa liatin gue kayak gitu Do ?" Tanya Anwar lalu mundur sedikit, "Kan biar keliatannya dramatis gitu War kayak di film-film" jawab Aldo polos, "Yehh, orang gue lagi mikir cara buat ngambil kuncinya juga" sahut mahasiswa bertubuh atletik itu.

"Kalo menurut gue War, 'kunci' yang dimaksud itu bukan kunci buat pintu. Jangan lu artiin secara harfiah" kata Aldo, "Gini, kan kita keluar dari lapangan itu bentuknya pertigaan kan. Nah kita langsung lari ke kanan soalnya dari kiri ada si monster, jadi menurut gue, mungkin jalan yang bener itu ke kiri" lanjut Aldo membuat Anwar berpikir.

"Berarti gini Do, kita ke lapangan itu lagi, mancing dua monster yang ngejar kita, terus kunci di salah satu ruangan Do" ide Anwar,  "Elu yakin War ? Kan bisa aja jebakan" ucap Aldo ragu, "Emang kemana lagi Do ?" balas Anwar cepat mendiamkan sahabatnya itu. Ia lalu segera berjalan menuju lapangan penuh monster itu, dan mau tak mau, Aldo mengikuti Anwar..

Sementara dari level 2..

DOR!!

"AAKH !!" Teriak Amel, kepalanya lalu terpental ke belakang. Kelima orang lainnya melihat sedikit darah yang bercampur dengan rambut panjang ilmuwan itu kala kepalanya mengalami rotasi 180% dari menunduk hingga seperti tak bernyawa itu..

"AMEELLL!" Teriak Ainun kaget, suaranya melengking di huruf 'L', ia kehabisan suara akibat menangis terus-menerus. "Temen apaan lo Han !" Bentak Ainun lalu menangis sejadi-jadinya, badan Hani pun ikut gemetaran, ia tak berani menengok kearah Ainun..

"Brrr" Salma dan Arum terpaku ditempat, sementara Latriaz menganga melihat apa yang sudah terjadi.. "Itu beneran ?" tanya Arum tak mengalihkan pandangannya, Salma hanya bisa mengangguk kecil sebagai jawaban "Iya" darinya.

"Nun.. gg..gue... gue bel.. belom.. na.. narik.. pel.. pelatuknya Nun.." tangis Hani, ucapannya bahkan terpatah-patah, "LU BOONG HAN! LU BOONG!!" Balas Ainun teriak lalu mengarahkan moncong pistolnya ke otak Hani, ia penuh amarah dan kekesalan terhadap sahabatnya itu.. 

"Itu Ainun !" Teriak Latriaz, ia ingin menunjuk ilmuwan itu tapi tangannya diikat, Salma dan Arum pun segera melihat kearah yang sama. Ainun hanya butuh satu gerakan di jarinya dan membunuh teman ilmuwannya itu..

"Ah!" Tiba-tiba Ainun menurunkan tangannya, pistol yang sudah siap itupun tak jadi menembakkan timah panas. Tangan ilmuwan itu gemetaran, keringat dingin membanjiri tubuhnya, ia tidak bisa menembak dan membunuh sahabatnya itu..

"Beneran Nun.. hiks.. hiks.." Tangis Hani menjadi sesenggukan. Pakaian kedua ilmuwan itu kini telah penuh dengan air mata, mereka sangat terpukul.

"Giliran kita Rum" bisik Salma kepada Arum. Mahasiswi itupun mengarahkan moncong pistolnya kearah kanan, tempat Latriaz duduk. Tapi orang yang ia incar bukanlah orang yang bodoh, Latriaz segera menyiapkan pistolnya dan bersiap akan tembakan dari kedua mahasiswi Oxford itu.

"Tunggu woy tunggu!" ucap Latriaz mencoba menunda. Sementara Salma menunda tembakannya, Arum tidak mengarahkan pistolnya ke Latriaz, tapi justru ke Ainun yang berada agak jauh dari tempat duduknya.

"Itu apaan !" Teriak Latriaz sambil menunjukkan ekspresi kaget kearah kaki Salma. Fokus mahasiswi Oxford itupun berubah, sang head staff dari CERN Tour itupun mengarahkan moncong pistolnya kearah tubuh besar Salma, dan..

"HAHAHA!" "Acim acoy!" Tiba-tiba, sebuah tawa di speaker terdengar keras, Latriaz pun gagal melakukan tembakannya karena kebiasaannya yang latah, ia justru refleks mengangkat kedua tangannya namun ditahan oleh ikatan di kursi itu, Arum dan Salma tertawa terbahak-bahak.

"Rupanya seseorang telah mengambil keputusannya.. HAHAHA!" Ucap seseorang diujung speaker itu, "Tapi sayangnya.. Aku adalah seseorang yang mudah berubah pikiran, silahkan nikmati seumur hidup kalian terikat dikursi itu, have fun hahaha" tutup suara itu. Kelima perempuan itu lalu bertatapan satu sama lain..

DOR!! Arum menembakkan pistolnya, Salma, Hani dan Latriaz terdiam shock, dan..

PRAAAANG!!!

Dinding kaca yang membatasi mereka berlima pun hancur berkeping-keping, Arum menunjukkan wajah serius dan tatapan tajam kala menembakkan pistolnya itu.

"Eh tunggu dah" kata Adi lalu berhenti menuruni tangga. Tama, Jiwo, dan Ipal segera melihat kearahnya, "Gue kok kayak denger ada suara tembakan ama kaca pecah gitu sih" lanjut pria berkacamata itu, "Hah ? Serius lu ?" Tama segera menanggapi.

Mereka berempat lalu melihat ke sebelah kanan, terdapat sebuah pintu dengan tulisan "LEVEL 2" tertempel disana.

"Yok." kata Tama tegas, ia lalu mengenakan helm dan mengangkat senjata, begitupula Adi. Sementara Jiwo dan Ival mengikuti mereka berdua.

BRAK!! Pintu itupun segera didobrak, mereka berempat mengendap-endap berjalan dan menulusuri tiap ruangan di level 2.

"Dih Rum lo ngapain sih ? Orang disuruhnya nembak orang juga" ketus Salma yang sudah mengarahkan moncong pistolnya ke Latriaz, Arum diam tak menjawab.

"Huwaaa Latriaz gak mau matii!" Tangis Latriaz segera, Salma pun tak kuasa menarik pelatuk pistol itu, ia bisa saja melakukannya dengan cepat dan mengakhiri ketakutan Latriaz, tapi nyalinya tak cukup besar untuk melakukan sebuah tembakan.

"Cepetan mau keluar dari sini gak" hasut Hani tiba-tiba, "Lu diem Han" potong Ainun judes, ia masih kesal terhadap sahabatnya itu. "Rummm gue ga kuat Rum buat nembak" kata Salma memelas, Arum hanya diam dan memperhatikan Amel yang duduk disebelahnya dengan mata tajam.

'Latriaz sorry yak sorry banget nih..' batin Salma, moncong pistol itu mengarah ke kepala Latriaz. Hanya butuh sebuah dorongan, dan..

DUAR !!

Pintu yang berada di sebelah kanan Amel diledakkan. Tama dan Adi lalu merangsak masuk kedalam ruangan, Jiwo dan Ival mengikuti dibelakang mereka.

"Sector clear!" teriak Adi sambil bergerak ala densus 88 yang menggrebek rumah teroris. Tama lalu melihat kearah keenam perempuan itu, begitupula Jiwo dan Ival yang hanya bisa terdiam.

"Bukainnn" kata Ainun manja, Tama lalu bergerak kearah Hani, tangannya menunjukkan gesture 'berpencar' pada Adi, Jiwo, dan Ival. "Jiwo!" "Ipal !" Teriak Salma dan Arum, kedua teman mereka yang dipisahkan semenjak mereka berada dipenjara akhirnya berkumpul lagi.

"Lu ngape ?" tanya Adi lalu berlutut didepan Latriaz, ia lalu meletakkan senjata apinya dan membuka kaca helm full face yang menutupi wajahnya. 'Wah cogan nih' pikir Latriaz sambil memandang Adi yang secara perlahan sedang melepaskan ikatan yang mengikat pergelangan kaki perempuan itu.

"Kok pada nangis gini sih" gumam Tama sambil berlutut juga, ia sedang melepaskan ikatan yang mengikat pergelangan kedua kaki Hani. "Fatah Aryatama, kapten GIGN divisi teroris dan penyanderaan" kenal pria itu sambil berjabat tangan dengan perempuan yang masih duduk dihadapannya, "Hanifa Utami" balas Hani tak sanggup berkata banyak.

Arum yang sudah dilepaskan segera berlari kearah Amel, ia melepaskan semua ikatan yang mengikat ilmuwan itu, lalu melakukan pertolongan pertama secepat mungkin. Salma yang mahasiswi kedokteran beranjak mengikuti temannya itu, sementara Hani, Ainun, dan Latriaz menceritakan semua yang terjadi kepada keempat pria yang baru saja bergabung dengan mereka.

"Gimana dia ?" Ainun meninggalkan Hani dan Latriaz untuk bercerita kepada keempat pria itu, ia berjalan kearah Arum dan Salma. "Dia belom mati" sahut Arum lalu berdiri, mengangkat kepala Amel, "Nih, kalo ditembak dari jarak deket gak mungkin kayak gini kan" Lanjutnya sambil menunjukkan sebuah goresan panjang di jidat ilmuwan itu.

"Tembakan Hani miss, pelurunya cuman bikin goresan disini terus bersarang di dinding" ucap Salma lalu menunjuk sebuah lubang di dinding yang terlihat oleh mereka bertiga dari kejauhan, "Ini antara Amelnya pingsan gara-gara shock, peluru kan timah panas tuh, mungkin aja dia ngerasa panasnya terus keburu stress" kata Arum, "Bahkan mungkin dia lagi mimpi kalo dia udah mati" kata Salma bercanda, Ainun hanya terdiam.

"Suara pistol itu sebenarnya berasal dari speaker, gue juga denger meski gak ada yang menembakkan pistol, makanya gue milih nembak kaca, buat ngetest" ucap Arum, "Lu hampir ngebunuh temen lu itu" tutup Salma lalu melirik kecil kearah Hani yang berjalan kearah mereka.

"Nun, sorry yak.." kata Hani tiba-tiba lalu meletakkan kepalanya di bahu Ainun. "Dia belom mati Han. Dia cuman.. putri tidur" ucap Ainun lalu tersenyum lega setelah mendengar semua penjelasan Salma dan Arum, dua dari empat pria yang berada disana membopong Amel, mereka bersepuluh memilih untuk kembali ke basement.

"Simpan semua ceritaku barusan" ucap Afifat kepada Fadhil. Mereka berdua sedang berada didepan lift yang sudah menunggu, "Aku harus segera ke level 12, mengubah semua kemungkinan terburuk yang bisa terjadi" lanjut sang direktur sambil mengenakan topengnya lagi.

"Terima kasih." Afifat pun menjabat tangan Fadhil, lalu masuk kedalam lift..

TING!


-- To Be Continued--

No comments:

Post a Comment