Thursday, November 5, 2015

Kota Mati.

Kota Mati



"Selamat Datang, Kembali" Tulis kata yang tertera pada sebuah banner yang menyambutku kembali ke sebuah kota yang terpencil dalam bumiku. Kota yang mungkin kulupakan, dan hampir saja kuanggap mati.

Malam kemarin, aku telah berdiskusi kecil dengan rasi bintang nan jauh diujung sana, aku juga mengunjungi galaksi terindah untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang menggulung jiwaku dalam diam dan membuat mulut ini bungkam.




Aku melihat ke langit malam yang luas, tanpa sadar musim demi musim berganti, aku sibuk bermain dengan awan yang merangkai mimpi bersamaku. Lalu, aku mencari bintang, mereka bersinar putih penuh harapan, dengan tangan halusnya yang selalu terbuka, mereka menemani dan menerangi gelap malamku. Bintang-bintang itu memanggil semua tawamu untuk terbang ke atas dan meninggalkanku berdua dengan pemandangan langit malam.

Dengan izin dari galaksi terluar dari bumiku, akupun memutuskan untuk kembali, ke sebuah kota dimana mimpi dan harapanku pernah sirna, seluruh pikiranku kacau tak beraturan, dan merusak stabilitas ketajaman otakku. Disaat aku merasa mati, lalu diselamatkan oleh bala bantuan yang datang dari seluruh galaksi.

Langkah pertamaku diterangi cahaya bulan yang menunjukkan sepanjang jalan, seluruh alam semesta menyaksikan detik demi detiknya dan bersiap menangkapku jika aku terjatuh. Haha. Bahkan aku lupa ada kota semacam ini dalam bumiku yang kecil.

Warna seperti menghilang di kota ini, hitam putih dan bayangan dari masa lalu telah membisu, diam dan tak berkata sepatah katapun. Udarapun berubah mengiringi setiap langkah kaki yang kupijakkan, seperti sebuah kisah masa lalu yang kini telah membisu.

Kota ini menjadi saksi bisu dari sebuah cerita yang pernah kutumpahkan disini, sebuah harapan dan impian yang aku pernah jadikan sebuah monumen untuk kugapai dimasa depan. Tempat dimana aku mulai bermimpi, mencurahkan sejuta harapan, berangan-angan dan menjadi pemimpi yang berdamai dengan segala andai.

Sayangnya, disini pula tempat dimana mereka semua berakhir. Tempat dimana aku merelakkan semua hancur, karenamu. Tempat aku mencoba mengubur semua kenangan dalam bentuk apapun yang membawaku kembali ke kota ini.

Namun cuaca tidak bersahabat. Tak lama, hujan turun, dan didalam bumiku, suaramu adalah rintik-rintik hujan yang panjang dan bertahan sepanjang ingatanku. Segera, aku memasuki sebuah gedung yang sudah tua.

Kuakui, aku mencarimu, ke tempat-tempat yang kupastikan kau tidak akan lagi ada disana untuk menungguku. Sebuah tempat dimana aku setuju untuk menguburkan masa laluku, bersamamu. Disana, aku pernah memelukmu, menahanmu agar tak pergi dan bertahan sejenak, menabrak semua yang menghalangiku dari hal yang kubenci, yaitu kepergianmu.

Lalu, matamu -dan senyummu- adalah keindahan yang kubenci, sebab disanalah kau menaruh banyak tanda tanya yang aku hanya bisa menerka-nerka jawabnya, tanpa ada sebuah kepastian dari pertanyaannya. Bahkan mungkin, langitpun tak tahu jawabannya.

Diantara sunyi, kupendam rasa benci untukmu, satu-satunya milikku yang tak pernah aku cari dan tak kuinginkan, meski logika berkata sebaliknya. Ternyata, kita tidak sekuat hujan yang turun malam ini, aku masih disini, mengenang sesuatu yang telah pergi, mengabdi pada sesuatu yang pernah kuanggap abadi.

"Sampai jumpa". Ucapmu padaku malam itu, meski kita sama-sama tahu, setelah ini semua berakhir, tidak ada yang kembali, tak ada yang terulang. Aku dan bayanganku tidak bertengkar tentang siapa yang harus berjalan didepan. Tapi dipunggungmu, sukmaku adalah pena yang tak hentinya menuliskan bait-bait rindu penuh doa.

Tapi aku harus terus berjalan, bukan ? Aku lalu menembus badai hujan, menelusuri kota yang telah mati ini sendirian, tanpa cahaya, dan ditemani kegelapan malam yang dingin dan kejam. Udara dingin menembus tulangku dan menggelitik jiwaku.

"Ini berbahaya" ucap logika, namun hati kecilku berbisik, "Cobalah." Dan disinilah aku sekarang, aku mencoba menghidupkan kembali kota ini yang telah gelap, berdebu, kotor, dan usang. Namun inilah tanggung jawabku sebagai pengurus sekaligus penghuni bumiku sendiri.

Gelap malam tak sepekat tadi saat hujan, kini setidaknya, ada cahaya bulan yang menyinari jalanku, menuju sebuah pembangkit yang akan mengulang kembali kota ini seperti sebelumnya. Jalanku tak lagi gelap, dan arahku tak lagi samar.

Dan aku memutuskan untuk menyalakannya, pembangkit yang telah mati akan kucoba untuk hidup kembali, seburuk apapun pengorbanannya dan sekeras apapun usahanya. Perjalanan yang kulakukan ini akan kupastikan tak sia-sia.

Banyak hal yang kulupakan, salah satunya adalah sisa mimpi-mimpiku yang belum sempat terealisasi. Mereka bertahan di kota ini. Mereka masih ada disana, dalam kumpulan berkas yang terletak rapih dan sudah agak berdebu. Aku mengambilnya, membacanya, dan merasakan rasa optimis yang menjalar ke sekujur tubuhku. 

Aku benar-benar mengambil keputusan untuk meninggalkan prinsip yang pernah kupegang teguh dan menghadapi resiko terburuk yang bisa saja terjadi. Aku akan membiarkan kota ini berbenah dengan sendirinya dan menarik pengunjung untuk datang kedalamnya, bahkan tinggal disini, entah untuk sejenak, atau untuk selamanya. 

Dan pembangkit yang akan menghidupkan seluruh kota mati itu bernama Hati.

No comments:

Post a Comment