Tuesday, November 24, 2015

Konstelasi Mimpi.

Konstelasi Mimpi.
Oleh : Kanzia Rahman



Kemarin, aku sudah menyampaikan kekesalanku, bukan ?

Jadi kurasa, aku harus mencari solusi dari segala kekesalanku dan kegelisahanku itu. Dibanding berkeluh kesah sepanjang hari dan mengutuk semua orang, aku lalu terdiam dalam malam dan mendapati sebuah waktu luang.



Malam, aku ditemani segelas coklat panas yang setia menemaniku. Gelap langit terlampau pekat, akupun menunggu hujan untuk turun lagi malam ini. Mengingat beberapa minggu sebelum ini, hujan berhasil membangkitkan sedikit memori otakku yang mengajakku untuk mengenang sesuatu, lalu kubuat dan kusampaikan dalam sebuah bentuk tulisan yang berjudul The Ballad Of November Rain.

"Selamat malam, malam. Aku membawa segelas coklat panas lainnya dalam pertemuan kita kali ini. Aku paham benar bagaimana dinginmu itu akan menggelitik sukmaku, jadi aku menghindarinya. Oh iya, jika kamu punya sedikit keresahan yang kamu simpan bulat-bulat dalam butiran air hujan. Turunkan saja mereka semua sekarang, Malam." Tulisku segera setelah terduduk ditempat observasiku biasanya.

Sepertinya malam ingin membuatku nyaman diatas sana. Awan hitam yang sudah tinggi justru perlahan menghilang dan bergeser ke arah selatan. Pemandangan langit yang sedari tadi gelap kini berganti dengan bintang-bintang yang berlomba untuk menarik perhatian mereka yang melihatnya, seolah pamer tentang siapa yang paling indah diantara mereka.

Tapi, kedua bola matamu yang memegang kunci dari seluruh jawaban pertanyaanku adalah bintang yang bersinar paling terang bagi bumiku.

Dalam imajinasiku, menggantungkan mimpi dan harapan dibahu bintang-bintang itu akan sangat memacu inginku untuk menggapainya. Mereka selalu mempunyai ruang untuk segala jenis harap maupun doa bagi manusia yang ingin menitipkan doa dan mimpi sebelum bintang itu terjatuh karena kelebihan beban mimpi.

Dan saat bintang itu terjatuh karena kelebihan beban mimpi. Manusia kecil lalu berharap dan berseri-seri karena bintang jatuh dianggap merupakan salah satu wujud pengabulan doa dan harapan. Ironis sekali, bukan?

Bagiku, ada yang lebih baik dibanding memaksakan beban dan menggantungkan sejuta harapan diatas sana. Bagaimana jika, manusia membuat bintangnya sendiri ? Tempat dimana seluruh harapan dan doanya mendapat ruang sendiri yang lebih privasi dan menyediakan ruang untuk doa maupun harap lain yang dititipkan padanya.

Lalu muncul "Bagaimana ?" lainnya. Bagaimana jika semua umat manusia mempunyai bintangnya sendiri ? Tempat mereka menggantungkan dan meletakkan semua doa serta harap di bintang masing-masing. Aku akan dengan senang hati berada dibawah hamparan bintang-bintang itu tiap malamnya, membaca semua doa dan impian mereka yang tertera pada sisi terang bintang.

Untuk sementara, kurasa imajinasi tersebut terlalu tinggi mengingat manusia hanyalah sebutir pasir (atau bahkan lebih kecil) di seluruh alam semesta. Tapi, tidak ada salahnya untuk bermimpi, bukan ? Bahkan memimpikanmu adalah salah satu impian yang menjadi ilusi nyata bagiku.

Dan itu semua kembali ke masing-masing dari kita. Pilihan kita adalah bermimpi setinggi bintang, atau justru menyelami jurang keputusasaan yang luar biasa dalam, gelap dan berbahaya. Formalitasnya, aku berani bertaruh banyak dari kita yang memilih pilihan pertama. Walau kenyataannya, lebih banyak yang merealisasikan pilihan kedua.

Buktinya sudah kujelaskan dengan -agak sedikit- panjang pada pertengahan postingan sebelumnya. Ekspektasi. Kebiasaan untuk menjatuhkan diri yang cenderung public shaming. Tidakkah itu menyedihkan ? Oh, aku benci semua hal semacam itu yang akan (selalu) hadir mengisi malamku dalam bentuk tulisan. Maaf.

Tapi menurutku, ada yang lebih penting dibanding -tiap hari- memalukkan diri sendiri dengan kata-kata negatif yang tak berarti besar. Masa depan. Bahkan Tuhan pun bersumpah dalam salah satu firmannya (saya seorang muslim). Bahwa manusia yang merugi adalah mereka yang lalai. Salah satunya adalah dalam hal waktu.

Tiap harinya, setiap manusia memiliki waktu yang bisa dibilang cukup. Aku tak akan mengajak kalian untuk bermain hitung-hitungan (karena aku sendiri pun agak kesulitan). Tapi bukankah itu faktanya ? Aku merasa bahwa akan ada saat dalam suatu hari dimana manusia merasa bosan, atau disebut waktu luang

Jika waktu luang itu menghampiriku, aku mempunyai rutinitas untuk menatap ke langit malam dan mengamati bintang ditemani segelas coklat panas. Tapi bagi kebanyakan, waktu luang itu mereka gunakan untuk ber-negatif ria.

Dan aku, lewat kalimat ini secara langsung. Mengajak kalian untuk berpikir lebih kritis dan jauh kedepan. Langkah pertamanya adalah, bermimpi setinggi bintang. Bahkan, membuat bintang sendiri yang bisa dititipkan harapan dan doa oleh orang banyak. Bukankah menyenangkan mempunyai sebuah target yang sangat tinggi untuk dicapai ?

Akan timbul suatu perasaan yang menggebu-gebu untuk mencapai target tersebut. Sebuah tangga muncul dengan sendirinya kala kita merasa dijatuhkan atau terjatuh. Tangga tersebut yang perlahan membawa kita kembali ke jalur awal. Ke jalur kebangkitan, sebuah jalan kebenaran yang disinari cahaya bantuan dari Yang Maha Kuasa.

Karena setiap dari kita mempunyai mimpi. Dan jika mimpi-mimpi itu dianalogikan sebagai bintang, maka kumpulan mimpi itu akan membentuk sebuah konstelasi mimpi. Dimana konstelasi tersebut akan bersinar tiap harinya diatas bumi, menerangi pekatnya gelap malam tanpa menghilangkan citra misterius awan hitam.

Suatu hari nanti. Aku (dan kamu, iya, kamu.) akan menggantikan dan mengambil alih kemudi sebuah kapal laut dengan 250 juta lebih awak. Sebuah kapal laut yang bernama "Indonesia" dengan sebuah bendera sang saka Merah Putih yang berkibar diatasnya. Tentu saja Kapal ini tidak kita kendalikan sendiri, tapi dengan 250 juta orang lainnya yang bekerja sama. 

Pada malam harinya, Kapal Laut ini akan menggunakan Konstelasi Mimpi sebagai tujuan akhirnya. Tidak kehilangan dan tak tentu arah. Layarnya yang besar akan menutup saat Mimpi itu telah dicapai, dan saat itu generasi kita akan menua dan mengalami regenerasi. Indah, bukan ? Menutup mata dengan senyum karena meninggalkan sebuah harta karun yang nasibnya akan dilanjutkan oleh generasi mendatang.

Aku menunggu bintang-bintang lainnya muncul di angkasa ini. Harap-harap cemas dan penantianku akan menghasilkan sesuatu nantinya. Meski aku tak tahu dengan pasti, tapi paling tidak, aku sudah meletakkan bintangku sendiri. Dan aku akan menantikan bintangmu yang (mungkin akan) bersinar paling terang itu. Tunggu aku, dan akan kupastikan bintangku bersandar dan berteduh dibawah cahaya bintangmu. Kamu.





:)

No comments:

Post a Comment