Sunday, November 22, 2015

Ekspektasi.

Ekspektasi
Oleh : Kanzia Rahman

"Selamat datang, para pejuang" Tulisan yang tertera pada banner yang menyambutku, dan banyak orang lainnya yang sedang berjalan menuju sebuah persimpangan yang disebut sebagai 'pertempuran harga diri'. Dimana hasil pertempuran nantinya akan menentukan kasta dari standar intelejensi masing-masing peserta.




Hasilnya pun sudah bisa diprediksikan, bagi mereka yang 'diatas' rata-rata akan mendapat kasta tertinggi dan seterusnya. Tak sedikit yang sepertinya hanya menggugurkan formalitas ini. Kurasa aku beruntung dalam pertempuran ini. Tuhan membantuku dalam mencapai kasta yang aku sendiri sempat ragu untuk mendapatkannya.

Masih ada beberapa persimpangan lain sebelum kita berpisah. Sempat berpikir untuk bergabung bersamaku dan menikmati pemandangan dibawah langit malam penuh bintang dan ditemani dua gelas coklat panas ? Aku akan membuka tanganku lebar-lebar dan menyambutmu hangat. Tentu.

Keberuntungan berada dipihakku saat ini, setidaknya untuk beberapa saat, aku berada diatasmu. Tapi aku paham benar sifatmu itu, segera dan secepatnya, kamu akan bersiap untuk berperang lagi di persimpangan kedua. Dan aku, akan berada disitu lagi, menantikanmu dan mengalahkanmu untuk yang kedua kalinya. Hueheh.

Bagi mereka yang benar-benar membaca dan memahami gaya tulisanku, mungkin akan segera paham apa yang kumaksud dengan persimpangan disini. Haha. --,

Minim kesiapan dengan maksimun ekspektasi segera menundukkanku yang penuh beban ini. Ekspektasiku menyentuh dan membelai awan diatas sana, dan disaat bersamaan, kesiapanku menyapa inti bumi terdalam. Kala sang ekspektasi mengunjungi galaksi supernova, kurasa persiapanku hanya setinggi terbangnya pesawat terbang.

Karena sejatinya, ekspektasi adalah akar dari segala penyakit. Aku beritahu sedikit, ketika suatu ekspektasi tak dapat dicapai, maka yang tersisa hanyalah penyesalan dan kekesalan. Belum lagi kecewa mendalam. Dan sebenarnya, yang selama ini manusia lakukan bukanlah meninggalkan-ditinggalkan, tetapi pergi tanpa kembali. Kita dibodohi dan ditipu perasaan, atau bahkan digoda harapan.

Tapi, ada yang tidak kalah jahat dari Ekspektasi. Ia kuberi nama Waktu. Satu-satunya hal paling menyeramkan di dunia ini. Bagiku, ia adalah tsunami yang menyapu bersih tiap kejadian. Peristiwa baik maupun buruk, waktu akan hilang bersamanya. Buruknya waktu, ia kejam untuk memaksa seseorang meninggalkan peristiwa terbaiknya. Tapi baiknya, ia menggusur hari terburuk yang bisa terjadi pada siapapun.

Mungkin aku terlalu menikmati dunia, sementara aku tak sadar bahwa tiap detik demi detik yang kumiliki di dunia ini sedang meleleh, mencair. Jam pasir itupun akan menitikkan pasir terakhirnya suatu saat nanti, yang menandakan kepergianku dari sini. Dunia yang fana ini. Oh iya, ketahuilah peduliku malam ini bisa jadi peduliku yang terakhir kali. Sebelum saat pagi nanti datang, aku telah mengemas rapi hati yang selama ini kutitipkan padamu namun hanya kamu sapa sesekali.

Dan sebagai rasa penyesalanku, kurasa tidak ada yang lebih baik didunia ini dibanding memperbaiki diri, itupun yang sedang aku lakukan. Karena kapanpun, aku bisa saja 'menghilang' dari sini. Bahkan perasaan was-was itu aku rasakan ketika aku menulis kalimat yang sedang kamu baca ini, pembaca.

Menurutku, tidak semua orang melakukan yang sama. Dan itulah yang ingin -atau akan- kusampaikan.

Untuk banyak orang, intelejensi adalah satu-satunya patokan dari seseorang pada suatu kaum untuk dipilih menjadi pemimpinnya. Meski tak tertulis, tapi aku merasakan beban yang berat itu. Sebuah tanggung jawab atas nama Nasionalisme untuk mengubah generasi masa depan menjadi lebih baik.

Setiap pagi, matahari akan muncul dari ufuk timur dan menyinari dunia ini. Dan tiap hari akan selalu begitu, ia akan menjadi cahaya yang membantu manusia kecil ini untuk beraktivitas. Matahari loh ya. Bukan kamu. Bukan.

Maka ketahuilah salah satu rahasiaku (yang kini bukan lagi rahasia), bahwa tiap paginya, langkahku berat untuk menemui mereka. Bagi mereka yang sedikit memperhatikan, kalian akan tahu persis bagaimana dingin dan diamku saat berjalan. Semua itu bukan tanpa alasan, tapi aku memang tidak bisa berlama-lama dengan mereka. Aku lebih baik menyendiri daripada harus mengugurkan formalitas untuk bertemu dengan banyak orang yang bertipikal sama dan sedikit tertawa setelah bertegur sapa.

Aku menolak munafik dengan menyangkal fakta bahwa aku bukanlah salah satu dari mereka. Aku termasuk dalam golongan itu, golongan yang kubenci. Buktinya adalah postingan "Maps" yang kamu bisa baca sendiri, pembaca.

Dan sekarang. Aku sadar, bahwa generasiku belum siap untuk menggantikan kalian. Aku tidak akan berkata bahwa generasi ini 'blablabla' karena aku termasuk kedalamnya. Tapi aku juga tidak ingin menumpahkan seluruh kesalahan itu pada mereka. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mengubahnya.

Kenapa ? Karena generasiku merupakan sasaran empuk media. Mereka (re : media) menggempur habis-habisan pikiran kami agar berpikir pendek, terburu-buru, dan tidak kritis. Tiap harinya, aku bertemu dengan mereka. Mereka yang menolak adanya perubahan dan mencintai kesedihan. Mereka yang setiap malam akan membuat tulisan singkat tentang isi hatinya, mereka yang menyukai kata-kata pembodohan, dan mereka yang mengincar popularitas dibanding kualitas.


Salah satu contohnya yang terparah adalah itu. Mereka mempromosikan seks bebas dengan embel-embel 'berani tanggung jawab'. Globalisasi deras mengalir sementara filteralisasi berjalan lambat. Akhirnya menyebabkan banyak dari kita yang bertindak tanpa berpikir, bahkan sesat pikir. Beruntung bila mereka masih menganggap kalimat-kalimat tersebut hanya lelucon, bagaimana jika mereka membawa hal tersebut kedalam level yang lebih tinggi ?

Akhir-akhir ini, luar biasa banyak akun yang menyuarakan hal serupa, kalimat-kalimat bernada negatif untuk masalah cinta, intensitasnya pun luar biasa deras. Dampaknya, psikologis mereka ( re : remaja) hancur dan menyebabkan mereka semakin lemah dalam menghadapi masalah.

Bukankah menggelikan melihat tiap harinya mereka akan muncul di lini masa, menuliskan kata-kata penuh kesedihan dan kecendrungan untuk dijauhi, lalu bereaksi seakan mereka disakiti sedemikian rupa hanya karena hal konyol. Bahkan mempermainkan kematian seolah kematian hanya berlangsung di dunia. Seperti, "Bagaimana jika aku mati atau sakit ? Apa ada yang menjenguk, bagaimana kabar teman-temanku, apa mereka peduli, apa reaksi mereka, bagaimana followers twitter dan friends LINEku, apa mereka kehilanganku." Dan sejenisnya.

Kenyataan tidak semudah itu. Tapi, kenyataan justru bisa lebih imajinasi, bahkan se-fantasi daripada fantasi.

Kesedihan memang merupakan sifat natural manusia. Aku tidak bisa menyangkal bahwa akupun memiliki rasa itu, sedih. Tapi hakikatnya, kesedihan yang normal adalah kesedihan yang hanya terjadi selama beberapa saat, tidak setiap hari. Dan pada hakikatnya, semua kembali lagi kepada siapa yang mementingkan masa depan dan siapa yang memamerkan ketidaksempurnaan.

Karena menurutku, dibanding berkeluh kesah -dan tenggelam dalam lautan emosi- lebih baik mencari solusinya, bukan ?. Tapi tunggu, sebelum jatuh jauh dalam pencarian solusi, kurasa aku harus memaparkan sebuah alasan dari seluruh kegelisahanku yang sedang kutuangkan dalam bentuk tulisan ini.

Bertahun-tahun dari sekarang, aku bisa mengatakan bahwa aku dan teman-teman yang akan menggantikan kalian semua. Adanya proses regenerasi yang menyebabkannya. Lalu, bagaimana jika hal itu terjadi sementara aku sendiri mengatakan (maaf) bahwa generasi ini belum siap ?

Kegelisahan terbesarku adalah. Aku membayangkan bagaimana bertahun-tahun kedepan, sebuah generasi formalitas yang dewasa (dalam artian lain) lebih awal. Dan jika generasi ini tidak berubah dari sekarang, maka aku takut Kapal Laut ini akan menabrak karang, bahkan tenggelam. :(

Ketika nanti hal itu terjadi. Aku akan berada dibarisan terdepan sebagai orang-orang yang menyesal karena terlambat mengubahnya. Aku akan menyesali semuanya diakhir. Karena tanggung jawab ini berada disemua orang, termasuk dibahuku. The eagle is too heavy.

Tapi, perkataan tanpa perbuatan adalah omong kosong, bukan ? Jadi, akupun mempunyai cara tersendiri yang menopang keseluruhan isi tulisanku dalam bentuk yang lebih immortal. Tentu saja, aku tidak mungkin memaparkannya disini.

Saat kamu, pembaca membaca tulisan ini dan memahaminya, kuharap ada rasa yang sama yang timbul dibenak kalian. Dan tentu saja, aku tidak bisa melakukan hal ini sendirian, kalian tau harus kemana atau lewat apa untuk menghubungiku dan membantu, sekedar memberi dukungan, berpartisipasi, atau bahkan ada sedikit protes ? Silahkan hubungi aku melalui sosial media yang kalian sendiri pasti tahu dengan jelas.



;)

1 comment: