Monday, October 5, 2015

Maps.

Maps.




Langsung aja. Sebenernya diri ini udah berusaha keras untuk enggak ngepost, tapi memang ada beberapa hal yang sebaiknya tidak ditahan. --,

"Sometimes we have just to let go of someone who matters to us not because we want to, but because we have to, and it's the right things to do. We just can't force anyone to love us. We cannot beg someone to stay when she wants to leave and be with someone else. This is what live is all about. However, the end of love is not the end of life. It should be the beginning of understanding that love lives for a reason and leaves with a lesson. And guess what? Many people can make you happy in your life. There are so many out there. Some do it by walking into your life. Some do it by walking out. " - Polaris, notebadisnotbad.blogspot.com



Kalimat itu didapatkan dari blog salah satu teman, yang dimana bakal merepresentasikan keseluruhan isi post ini.

Kenapa postingan ini dikasih judul Maps ? Itu bakal dijelasin kemudian.

Kita bagaikan dua buah magnet, saling berlawanan di setiap ujungnya, menjauh, dan saling melupakan.

Kita bagai air dan api, mematikan satu sama lain, berbahaya, dan tidak bisa disatukan.

Kita bagaikan Yin dan Yang, berbeda bagaimanapun bentuknya, tak sama dan tak serupa.

Aku merindukan bagaimana kita tertawa, terlepas dari keasliannya. Oh, aku rindu saat kita berbagi pendapat. Aku rindu saat-saat manis dari kehidupan.

Aku pernah berpikir bahwa kita telah memikiki semuanya. Kita, mungkin aku, membuat peta untuk berjalan kedepan, yang menuntun selama perjalanan dalam kehidupan. Tapi semua berubah, aku terjatuh didalam prosesnya, tersandung kerikil kecil yang terlewatkan, kemungkinan yang tidak pernah aku harapkan dan impikan.

Kau tetap berjalan, bahkan melewati rute yang telah ditulis. Entahlah, padahal aku pernah dibelakangmu saat kau ditepi jurang, menjagamu dari kejatuhan, menyelamatkanmu dari kegagalan, membantumu di malam tergelapmu. Dan kini, yang tersisa hanyalah desain, peta tak berarti dengan berbagai catatan kaki yang telah kita buat dalam tawa. Coret-coretan tipis yang berhubungan satu sama lain itu memudar.

Ingatkah kala itu, aku menjaga dan mencoba membantumu, selalu ? Oh, aku pernah bertanya-tanya dimana dirimu kala aku hancur dan rusak sedemikiran rupa. Dan aku tidak menemukanmu dimanapun.

Kalaupun kalimat "Bahagia Selamanya" memang terbukti eksistensinya, aku akan dengan senang hati berada disisimu, selalu. Karena kalimat itu penuh dengan kebohongan, terlalu sulit untuk diterapkan, dan (mungkin) hanya bisa dilakukan dalam dunia dongeng.


Jauh setelah peta ini hancur dan hancur berkeping-keping, garis-garis tipis yang telah kubuat meninggalkan sedikit jejak di kemudian hari. Melupakan bagaimana ia dibuat, menghilangkan harapan awal yang telah dititip oleh kita, awalnya.

Aku terdiam dalam malam. Menatap alam, tenggelam terbawa gumam, mengutuk takdir yang kejam. Karena memang bagian terbaik dari hari adalah malam, aku menikmatinya dalam diam, menghancurkan dinding fantasi yang suram.

Tanpa perlawanan, aku lebih baik merelakkan desain besar yang udah dibuat serumit itu dibanding harus bertekuk lutut dan bersimbah darah, menjual harga diri yang tinggi untuk hal konyol.

Jangan. Lupakan senyummu itu kala kita berjumpa lagi, nanti. Apa yang kau harapkan dari beberapa buah tulang rusuk yang tersisa ?

Tidak ada yang bisa kulakukan saat itu, selain menyesal, tentu. Kau adalah lagu terindah yang pernah aku mainkan, seiring not-not dari partitur itu terlewati, aku tenang dan terbunuh disaat bersamaan, ditertawakan keadaan.

Tenang. Aku sudah terbiasa tersenyum dengan tenang, walau hati ini menangis dan tersayat sedemikian rupa, hanya senyuman yang bisa menutupinya, meski aku tahu ini adalah kebohongan, tapi ini lebih baik dari tidak sama sekali.


Kaulah cerita yang tertulis dengan pasti, selamanya melekat dipikiranku. Tak akan kulupakan, apalagi terlupakan. Untuk selamanya, kau akan tetap tertulis disini, didalam sebuah dunia yang bernama mimpi.

Mimpi, ya. Aku pernah percaya dengan adanya dunia paralel. Mungkin disana, kita sedang bersama. Kendati itu semua hanyalah ilusi, dan sepertinya hanya akan menjadi imajinasi.

Aku mengambil kembali apa yang tersisa dari desain itu. Mencermatinya, mengikuti jalan, berharap menemuimu di salah satu persimpangannya, meskipun hanya sekedar bertatap muka dan berbincang kecil denganmu.

Saat itu, aku tidak siap sama sekali. Aku hanya bisa menatap ke langit-langit dan masih mengingatnya. Seketika, diamku terdengar ke seluruh ruangan kala kesunyian yang dingin datang dan berkuasa. Menggusur ramai dan damai.

Tentu saja, aku tidak menangis, atau meringis. Semua yang aku lakukan adalah usaha untuk mendatangkan apatis. Tapi sayang, yang datang adalah skeptis, diikuti gagalnya rasionalis, aku hanya bisa realistis.

Dulu, aku berdarah, lukanya terlalu dalam, bahkan rasanya tubuh ini kaku, kala itu semua ucapanku terbang bebas diudara, terlupakan, terbawa angin. Lalu kita berpisah, menemui jalan yang berbeda, entah bagaimana, ingatan itu kembali. Haha. Sebaiknya aku segera melupakan memori buruk itu.

Tapi tidak, untuk sejenak, bangunku dipagi hari masih mengingatnya, aku akan dengan senang hati melakukan apapun untuk menggapaimu, lupa dengan semua yang telah terjadi.

Bahkan ketika aku sudah tahu bahwa semua kata yang pernah diucapkan akan menguap ke udara, layaknya potongan-potongan kertas yang tajam dan melayang-layang di langit, sebelum mereka terbawa angin menuju laut, sirna ditengah kegelapan malam, dan terombang-ambing di lautan berombak yang kejam, lalu hilang, untuk selamanya.


Tetaplah berjalan. Walau habis terang disepanjang jalan ini, ambil cahaya disekitarmu dan terangi jalur yang akan kau tempuh. Hingga akhir nanti, cahayamu akan tetap bersinar, mungkin bukan yang tersilau, tapi jadi yang paling konsisten diantara yang lain. Mungkin akan meredup, tapi ia akan lebih tahan lama dibanding yang lain.

Aku pernah hilang, bukan dalam arti harfiah, tentu. Aku mengikuti angin, menyerah dalam ombak di samudra, tersihir indahnya sang bintang kutub utara, Polaris. Aku kehilangan diri sendiri, tanpa butuh persetujuan, kelelahan ini yang membawaku, entah kemana.

Itu dulu.

Bahkan. Jika jembatan penghubung diantara kita berdua memang sudah terbakar habis tak bersisa, aku akan tetap menyimpan namamu sebagai tujuan akhir dari rute yang telah kubuat itu. Dengan atau tanpa izinmu.

Well, enggak banyak yang bisa kuucapkan lagi. Kita sudah cukup indah sekarang, akupun yakin ini rencana lain dari Yang Maha Esa, entah untuk apa. Tuhan maha mengejutkan, bukan ?

Kalaupun dipaksa untuk memberi komentar untuk kejadian tersebut. Kurasa ada satu quote dari sebuah game yang sangat pas, untuk itu.


Eddie Gluskin uses his dying breath to grab Waylon's hand, sadly telling him "We could have been beautiful." Waylon falls down and lands on the ground, causing Eddie to be further impaled on the bar, killing him.


"We could have been beautiful." Terjebak dinding imaji yang sunyi, enggak bisa ngejar dan hanya bisa tertahan disana. Seluruh alam semesta akan mencibir tubuh memalukan ini. Jadi, gitu.

Btw, selamat ulang tahun dan selamat 5 Oktober (lagi).

No comments:

Post a Comment