Thursday, October 8, 2015

Illusion(s.)

Illusion(s).



Balik lagi ke blog gue yang isinya absurd setelah beberapa cerpen. Post gue yang inipun gak jauh beda sama Maps. Cuman, gue rasa ada yang sedikit mengganjal di Maps maupun yang tersisa setelah Maps. Gue sendiri enggak tau pasti arti post ini apaan, jadi jangan salahin gue kalo mungkin setelah selesai membaca post ini, kalian akan bertanya-tanya. 😁

Sial. Gue terjebak oleh Ilusi. Dongeng ini sudah berakhir sejak lama, dan lembaran baru juga sudah gue buka, terlepas dari mereka yang memegang peran tak berarti didalam cerita ini. Karena semua itu berujung sunyi yang mencekam, sekaligus kelam.




Dengan kalimat "Pada jaman dahulu", atau "Pada suatu hari", seperti semua pembuka di lagu pengantar tidur atau cerita luar biasa yang melegenda itu. Tapi maaf, cerita yang gue tulis saat itu belum cukup kuat untuk membuatnya melekat dengan predikat "Legenda". Semua yang terjadi itu merupakan fantasi.

Entah salah siapa, mungkin gue bisa mengkambing-hitamkan keadaan yang terjadi begitu saja, atau menuduh waktu yang kejam berlalu tanpa mengingat memori yang indah maupun buruk. Tapi yang jelas, diakhir cerita itu, yang tersisa dari apa yang gue tulis tanpa lelah, hanyalah sepi.

Gue meletakkan apa yang seharusnya tidak diletakkan disana. Hanya sedikit kesalahan, tapi biarlah, karena kesalahan itu enggak selamanya tetap begitu. Dosa yang tidak gue tangisi maupun sesali. Diujung cerita panjang ini, sebuah hikmah besar menanti.

Gue menggenggam tangan sang ilusi, keheningan panjang tergapai segera setelahnya. Gue pernah memintanya untuk membawa diri ini ke tempat yang asli, dimana tidak ada imajinasi dan fantasi. Penolakan yang ia berikan lebih dari kata pasti untuk gue, dan secepat mungkin, gue sadar bahwa ini adalah mimpi.

Malam-malam setelahnya tak berarti, gue yang masih terpaku belum tahu bagaimana cara mengeluarkan diri sendiri dari dinding terkeras yang menghalangi seluruh tubuh ini untuk bergerak. Bak paku yang menempel di dinding, kepalanya masih keluar meski dipukul sekeras apapun, ide dan pikiran gue masih melayang, meski badan terjebak di dinding imaji.

Saat semua lampu telah padam. Perlahan, mata ini terpejam, segala lelah, dendam, kecam bisa gue redam. Sisi binatang yang kejam itupun tertahan kantuk yang mendalam, dan gue harap selamanya begitu.

Dari apa yang telah terjadi, sulit bagi gue membedakan mana ilusi dan mana yang asli. Kabut asap masih menyelimuti seluruh bagian bumi gue yang fana. Yang bisa gue lakukan hanyalah mencari sumber penerangan terbaik untuk mencerahkan daerah yang tertutup oleh kegelapan itu.

Beruntung bagi gue. Beberapa, emm, banyak sih sebenernya(--,) orang yang mau membantu dan mengulurkan tangannya. Gue rasa gak perlu sebut merek, mereka yang telah membantu gue lebih dari yang gue kira adalah jelmaan bantuan-Nya, terima kasih, kalian.

Tapi intinya tetap sama, mereka hanya bisa menerangi jalan yang akan gue tempuh. Sisanya harus gue yang jalanin, terlepas dari kabut asap disepanjang perjalanan. Mungkin beracun, tapi setidaknya, jalanan ini sudah diterangi oleh cahaya-cahaya kebenaran yang datang dari golongan yang benar. Hueheh.

Kabut asap itu masih disana, perih rasanya setiap saat berkedip, sepersekian dari kabut itu masuk ke mata gue dan menghentikan gue. Langkah gue gontai dan berat setelah beberapa lama, sifat keangkuhan dan arogan yang gue punya hilang segera setelah kaki ini lemas tak berdaya, untuk bernafaspun rasanya susah.

Heh. Ilusi (dan ilusi) itu masih disana, menghantui setiap langkah gue menjelang fajar, mengganggu dan mengerikan. Niat gue untuk terus berjalan serasa hancur setiap bertemu dengannya. Yang terparah, ilusi itu dimana-mana, mengikuti setiap langkah gue yang sudah berat.

Harus gue akuin, pertahanan gue roboh, segala yang telah gue kenakan meleleh, gue berhenti didepan dinding imaji disaat asap itu masih mengikuti, sementara para ilusi, sepertinya sudah berlalu dengan senyum tipis yang mungkin jadi yang terakhir dan terlicik baginya.

Enggak ada yang bisa gue lakuin kecuali menunggu lorong yang panjang dan penuh asap ini mereda. Dinding imaji itu semakin menebal kala gue menghitung dengan persis setiap nafas pendek maupun panjang yang gue ambil, oksigen gue menipis.

Tapi gue bersumpah, siapapun engkau yang menjaga cahaya sepanjang malam, matamu adalah bulan bagi perjalanan ini.

Dan cahaya itu tetap disana, menyorotkan lampu terang ke sepanjang lorong yang harus gue tempuh sendiri. Dari balik cahaya yang bersinar, gue bisa mendengar samar ucapan mereka yang telah meletakkan kepercayaan ke pundak ini, mereka yang tak ingin gue kecewakan dan mereka yang tidak ingin melihat gue bersedih.

Mereka yang tak akan gue hancurin hatinya. Mereka yang ada dibelakang punggung ini dan siap menjaga tubuh gue jika terjatuh. Mereka yang luar biasa hebat dalam menuntun amatir ini ke tempat peristirahatannya saat lelah. Kalian sangat-sangat luar biasa, tahukah itu ?. Aku bahkan bisa mencintai kalian semua, jika diizinkan.

Dan gue bangun lagi, setelah mengambil apa yang tersisa dari Maps. Sedikit banyak observasi membantu gue untuk memilih jalan mana yang akan diambil. Walau akhirnya gue akan tetap mengikuti peta itu, dan berharap menemuimu disalah satu persimpangannya, lalu bertatap muka, atau bahkan berbincang kecil.

Perlahan tapi pasti, langkah gontai gue sirna dan berbalik menjadi langkah penuh semangat kala fajar menampakkan dirinya dibalik gunung sana. Oh, mungkin gue akan lupa mengabadikannya karena momen yang terlalu indah. Kabut asap menipis sesaat sebelum menghilang, dan lorong yang baru saja gue lewati kini bercahaya terang.

Tidak mudah, memang. Tapi kalian semua membuatnya mudah. Jalanan panjang ini akan menunjukkan akhirnya, nanti. Karena semua pertanyaan selalu dipasangkan dengan jawaban, untuk mempertemukannya, maka dibutuhkanlah waktu.

Pada saat itu, gue yakin akan ada senyum yang tergambar di wajah kalian. Dan itulah yang selalu ingin gue lihat, meski dari kejauhan, atau terabadikan dalam bingkai dan foto. Karena senyum adalah suatu hal yang relatif. Ia bisa menipu namun bisa berkata jujur, ia bisa menjadi apapun yang ia inginkan, tergantung bagaimana seseorang menginterpresetasikan senyum tersebut.

Dan senyum kalian adalah galaksi yang belum pernah gue capai, meski sangat indah, gue akan senantiasa memandanginya dari kejauhan, bumi kecil yang gue miliki masih terlalu rendah untuk bergabung di setiap senyuman kalian. Nanti, kalau bumi ini sudah memantaskan dirinya, gue akan tinggal disana.

The fairy tales is over. Illusion.

No comments:

Post a Comment