Tuesday, August 18, 2015

Auld Lang Syne

Auld Lang Syne
Oleh : Kanzia Rahman


Menghadiri upacara bendera adalah kegiatan pertama gue di hari senin ini. Bukan, gue bukan anggota paskibra yang kece-kece itu. Gue termasuk petugas medis yang berjaga di upacara ini. Maklumlah, matahari pagi dapat menjadi panas sekali, terutama pada mereka yang belum sarapan. Jadilah gue dan beberapa temen lainnya mengikuti upacara dan berjaga di belakang barisan yang terdiri dari ratusan orang ini.

Ditengah upacara, gue lihat beberapa murid (yang terpisah-pisah) menunduk dan memegangi kakinya, saat ditanya kenapa, jawabnya cuman "Pegel" dan sejenisnya. Gue yang emang dasarnya gak bisa marah ini terpaksa berkata pada mereka bahwa upacaranya sebentar lagi selesai, padahal gue sendiri belum tau pasti urutannya.



Memperhatikan ratusan murid sekaligus dan memahami apa yang diucapkan oleh pembina upacara bukan hal yang mudah. Terkadang gue terlalu fokus ke murid dan gak mendengar apa yang diucapkan, kadang sebaliknya. 2-3 anak perempuan terpaksa dibawa ke tempat yang teduh belasan menit kemudian.

Yang lainnya keliatan males ngikutin upacara ini, tak heran, beberapa kata-kata mainstream diucapkan seperti "Panas nih!" atau "Lama amat" sering gue denger. Gak ada yang bisa gue lakuin kecuali membantu mendiamkan dan menyuruh mereka untuk fokus kembali ke upacara.

Sampai tiba-tiba lapangan sepi. Bukan dalam keadaan fisik, lapangan yang luas ini dipenuhi ratusan murid. Mereka semua terdiam. Kebingungan juga timbul di benak gue dan segera hilang saat gue tau seorang dirigen maju ke depan barisan yang cukup jauh dari gue, dan mengayunkan tangannya.

Alunan nada muncul, sang bendera pusaka dibuka, lalu diangkat ke puncak tertinggi keatas tiang. Dengan sebuah perintah, semua orang disana langsung mengangkat tangannya dan menghormati bendera merah putih. "Indonesia.. Tanah airku, tanah tumpah darahku.."

Lagu Indonesia Raya berkumandang, ada sebuah perasaan lain yang muncul di pikiran gue yang sudah penuh dengan keluhan adik-adik kelas di depan gue. Keringat bercucuran dengan derasnya, bendera itu perlahan-lahan naik ke ujung tiang, dan berhenti dipucuknya, tepat saat lagu selesai berkumandang.

Diikuti dengan beberapa urutan kegiatan lainnya, upacara selesai kurang lebih pukul 8.20 WIB, gue bisa melihat senyum-senyum yang mengembang segera di muka mereka. Begitupula di muka gue dan temen-temen sesama petugas medis, artinya hari ini berjalan lancar, tanpa ada hal yang tidak diinginkan. Tugas kita hari ini selesai.

Keesokan harinya, tepatnya tadi pagi. Gue baru mendapat pencerahan yang luar biasa dari salah seorang guru gue. Kalau anda membaca postingan ini, terima kasih, Bu.

Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial digantikan dengan pesan-pesan dari seorang guru. Diawali dengan salahnya seorang teman saat menghafal Pancasila, beliau lalu bercerita tentang sejarah. Tak lupa, sebuah quote terkenal dari John F. Kennedy.


DHEG! Semua terdiam disana. Begitupula dengan gue, yang langsung teringat upacara kemarin. Untuk melakukan upacara kemerdekaan aja, banyak sekali orang yang bermalas-malasan dan bahkan bercanda satu sama lain. Disaat para pejuang dulu udah mati-matian sampai tetes darah terakhir untuk berperang dengan penjajah, kita yang mendapat amanat justru bermalas-malasan dan berkeluh kesah.


Satu lagi kalimat yang membuat gue terdiam. Bagaimana bisa kita dikatakan menghormati jasa pahlawan kalau untuk upacara saja malas dan mengeluh ?. Banyak kok jaman sekarang yang sudah lupa pada peristiwa-peristiwa sejarah yang harusnya tidak dilupakan. Kenapa ? Karena dari sana kita akan mengenang jasa para pejuang dulu, yang mati dimedan perang dan dilupakan jaman sekarang. Bahasa istilahnya, auld lang syne. Iya, judul postingan gue yang lagi dibaca ini.

Jika dilihat sekali lagi, rasanya akan sangat-sangat menyedihkan bila nyawa-nyawa pejuang yang dulu rela mati demi bangsa Indonesia, disia-siakan seperti ini oleh pemudanya. Mereka yang sudah berperang dan memenangkannya. Mereka yang kini dilupakan dan hilang. Mereka yang merelakan 1000 mimpi dan pengorbanan yang telah dilakukan, demi rasa nasionalisme yang kini ditinggalkan. 

Mari, kawan. Mulai lagi hari yang baru, kubur dalam-dalam tirani yang menenggelamkan kapal pesiar mewah nan indah bernama Indonesia ini. 

Mari, bersinar layaknya peluru berwarna perak yang membedakan penyihir dan penjahat dari mereka yang baik, yang selalu mengatakan kebenaran. 

Matahari akan terbit dan menampar kita semua, para pemalas.

Apakah ini cara kita memperlakukan pahlawan ? Melupakan dan menghapusnya dari memori otak yang luar biasa besar ini ?

Demi masa lalu kita. Demi darah yang bertumpahan. Demi api perang yang sudah padam. Demi pengorbanan luar biasa yang sudah dilakukan. Demi tangisan mereka dari masa lampau. Demi penderitaan yang sudah dijalani. Demi perjuangan yang telah dilakukan. Ayo kita berjuang lagi, bersama-sama, untuk bersulang di akhir hari dan merayakannya bersama teman-teman dan keluarga. Masih ada jalan yang panjang diluar sana. Jadi, lebih baik kita memulai sekarang, bukan ?

Selamat 17 Agustus yang ke 70 kali. Indonesia.



:)

No comments:

Post a Comment