Monday, February 23, 2015

The Killer Paradox, Part 3 : Investigation

The Killer Paradox, Part 3 : Investigation

Tribute to AHL Group 
Oleh : Kanzia Rahman


       “Jendela tertutup, tidak ada tanda-tanda usaha untuk merusaknya” ucap Dimas sambil membuka tirai jendela, “Lihat, sebuah kursi disebelah meja yang ada disebelah kursi korban, kedua kursi ini menghadap pintu seolah menunggu kedatangan seseorang” kata Firhan sambil memperhatikan kursi tersebut



       “Firhan, keluar, cepat !, panggil polisi !” kata Dimas agak membentak, “Kenapa tidak menggunakan telepon ?” tanya Firhan, “Jangan merusak tempat kejadian perkara” jawab Dimas singkat dan dingin, memberi kesan cool pada dirinya
       “Astaga, engkau lagi !” Firhan baru keluar rumah dan mendapati Windu berjalan kerumah Debby, “A, aku kira kalian belum sampai” ucap Windu mengelak, “Ada apa didalam ? Minum teh dan makan biskuit bersama ?” tanya Windu, “Lihat saja sendiri didalam” jawab Firhan singkat lalu berlari mencari kantor polisi terdekat
       “Apa yang kau lakukan ?” Tanya Windu melihat Dimas sedang mengamati mayat itu, “Pembunuhan, pak, tidakkah kau bisa melihat mayat disini ?” jawab Dimas tanpa melihat selirik pun kepada Windu, ia fokus terhadap objeknya. “Sekarang, beritahu aku.. dimana letak keindahan dari mayat ini ? Apa tubuhnya ? Apa ekspresinya yang menjijikan itu ? Ataukah darahnya yang menurutmu bernilai seni ?” Windu bersandar di dinding, menyilangkan tangan didadanya
       “Kau benar.. tidak ada keindahan dari mayat ini.. tapi disini, di ruangan ini, harusnya ada rasa kemanusiaan yang mengalahkan kesombongan tentang kepintaran ! Mr. Windu sadarlah ! Ada seorang mayat disini dan kau masih mau berdebat tentang filosofimu itu !?” Dimas membentak Windu, setengah emosi dengan Windu yang masih bersikeras membuktikan Dimas salah
       “Well well.. nampaknya kau masih ingin membuktikan aku salah.. kau tahu sebuah mitologi Yunani ? Icarus, seorang manusia yang bisa terbang, terbang terlalu tinggi hingga terbakar matahari.. sisi keindahannya, ia bisa terbang, namun dari sisi lain.. arogan menyesakkan hatinya dan menghancurkan dirinya dari dalam.. niatan pamer dalam hatinya berubah menjadi suatu hal yang paling berbahaya untuknya..” ucap Windu sambil mengitari ruangan itu
       “Atau seekor kupu-kupu, lihatlah ia, mengepakkan sayapnya yang indah namun mengakibatkan badai di sisi lainnya.. kau sudah lihat sisi keindahannya ?” lanjut Windu pada Dimas
      “Hentikan semua itu dan katakan padaku, dimana rasa kemanusiaanmu !?”Dimas bangkit, mengambil kerah baju Windu dan mengangkatnya beberapa centimeter dari permukaan. “Ups, maaf, darahku terlalu dingin untuk ini, aku baru saja selesai berasumsi, pikir nak, cara pembunuh itu membunuhnya..” jawab Windu sambil menunjukkan raut muka yang datar, tak takut dengan Dimas, “Turunkan aku dan aku akan menunjukkan kepadamu” lanjutnya.
       “Pertama, lihat tempat ini, dua orang yang sedang bekerja sama memecahkan teka-teki silang, mungkin, lalu noda darah yang berada di antara mulut dan hidung, berarti korban melihat muka sang pembunuh, senjata pembunuhnya tidak ada disini, pasti sudah dibawa kabur, kenapa ? karena sang pembunuh melakukannya dengan spontanitas, dia tidak berpikir untuk membunuh namun sepertinya dia meninggalkan sesuatu, lihatlah bantal yang berada di belakang pintu itu, aku bisa menjamin adanya darah disana..” jelas Windu tenang dan rapih
       Dimas menuju bantal itu, blind spot yang tak terlihat olehnya.. “Bantal ini basah, noda darah, berarti pelaku memukuli wanita ini, lalu menutup mukanya dengan bantal ini agar tidak bisa bernafas. Pembunuhan yang tidak direncanakan, benar ?”  tanya Dimas pada Windu
       “Benar, pembunuhan ini spontan, pelakunya bisa jadi seorang yang pemarah, bisakah kau mengidentifikasi jendela-jendela kamar lain ? Mungkin perkiraanku tentang ‘dua orang yang sedang bekerja sama memecahkan teka-teki silang’ itu salah, lihat lemarinya, ada bekas buka paksa, dan pintu yang tampaknya didobrak, sepertinya jawaban yang paling logis adalah pencurian” jawab Windu tenang, ia mengambil tempat untuk duduk disebelah mayat, berpikir..
       “Benar, ada bekas buka paksa disini, pintu belakang juga menunjukkan tanda-tanda bahwa pintu didobrak, sepertinya memang ada perampok yang masuk dan membunuh wanita ini..” ucap Dimas sekembalinya ia dari pencariannya, Firhan dan polisi setempat datang, mengurusi sisanya
       “Kuharap dia tidak memenuhi otakmu dengan semua ceramahnya itu” kata Firhan pada Dimas, mereka berdua baru keluar dari sebuah supermarket dan membeli beberapa minuman kaleng untuk bersantai di kost mereka, “Entahlah.. orang itu patut diberi gelar professor, aku dibuat diam dan tidak bisa banyak berbicara didepannya” jawab Dimas lemas, ia lalu menenggak minuman kaleng tersebut
       “Besok, Inspektur Ryan akan memanggil kita untuk memberi beberapa kesaksian, jangan sampai kau menjawab pertanyaan mereka dengan filosofi ala Professor itu” ucap Firhan sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, berusaha terlihat kalem
       “Lebih baik kita kembali ke kost, aku yakin yang lain juga sudah pulang, hari pertama di London cukup melelahkan ya” lanjut Firhan, melihat temannya itu diam saja daritadi, mereka berdua diam saja sepanjang jalan pulang, hanya Firhan yang mungkin berbasa-basi dengan warga sana di kereta bawah tanah..
       CKLEK, Dimas membuka pintu rumah besar itu, semua penghuni sedang berkumpul di ruang tengah, duduk diatas sofa dan karpet dibawahnya, televisi yang dinyalakan hanya berupa pemanis, mereka sedang menghibur Debby..
       “Rupanya berita menyebar dengan cepat ya” ucap Firhan kecil, “Debby sedang disini saat ia diberitahukan kabar itu, dan mungkin juga belum kembali ke rumahnya daritadi siang, sebaiknya jangan bahas apapun” lanjut Dimas, mereka berdua bergabung dengan penghuni yang lain
       “Heyy, apa yang terjadi disini ?” tanya Firhan berusaha bergabung, “Ah ini dia, teman-teman kita, Debby baru saja kehilangan ibunya, akan sangat tidak sopan jika aku bercerita tentang ibunya yang sudah meninggal” jawab Recky pada Firhan. Atifa, Tasya, dan Vinna sedang merangkul gadis itu, Dimas pun bergabung dengan mereka
       “Debby, jangan berlarut, sudah waktunya ibumu kembali, ayolah, ambil saja sisi positifnya” ucap Dimas iba namun berusaha menjaga image dengan dingin, “Tapi.. dia yang menyemangatiku agar aku masuk Cambridge, dia yang telah bersamaku selama ini.. kenapa.. kenapa..” ucapan Debby terputus dengan tangisan yang tak bisa ia tahan, “Debby, kamu harus kuat, jangan gini terus dong, inget kenapa kamu memulai untuk masuk Cambridge, inget orang tua kamu udah susah loh masukin kamu kesana” ucap Vinna semanja mungkin pada Debby
       “Jadilah bebas, seperti aku !, kemanapun engkau mau, jadilah laksana seekor burung yang bebas berkeliaran dan tak ada kekangan dari siapapun !” ucap Dimas ceria menghibur Debby, Firhan, Recky dan Iwan terlihat membicarakan sesuatu yang penting
       Malamnya, Debby tertidur, yang lain turun ke lantai 1 pelan-pelan, duduk di meja makan dan melakukan pembicaraan yang sangat rahasia
       “Aku mempunyai foto-foto dari tempat kejadian perkara” kata Dimas sambil mengeluarkan beberapa foto dari amplop besar berwarna coklat muda, “Kau ada di tempat kejadian perkara ?” tanya Recky tiba-tiba, “Lebih dari itu, aku dan Dimas merupakan orang pertama yang melihat mayatnya, dan.. tidak menutup kemungkinan, kita akan kena getahnya” jawab Firhan kalem
       “Kita akan dituduh sebagai pembunuhnya. Ohh sebuah hal yang sangat menyenangkan !” ucap Iwan menyindir, Firhan dan Dimas tidak memberitahukan hal ini daritadi, “Jangan seperti anak kecil, lebih baik kita mencari jawabannya” sahut Tifa sambil mengambil salah satu foto
       “Aku berharap kita semua bekerja sama dalam kasus ini..” ucap Dimas, “Tentu, kita-kita adalah mahasiswa terbaik di London jika disatukan” kata Recky dengan tertawa kecil, “Apa maksudnya ?” tanya Firhan bingung, “Tentu saja, apa maksudmu dengan ‘apa maksudnya ?’ ?, seorang psikolog, matematikawan, ilmuwan, kutu buku, kriptografi, seorang ahli geologis dan deduksian.. kita menjadi sebuah tim sekarang..” jawab Recky dengan senyum tipis terbentuk diwajahnya
      “Vinna seorang psikolog, Tifa belajar banyak dari serial televisi kesukaannya dan mempelajari kriptografi, Tasya sangat menyukai buku dan bisa berlama-lama di perpustakaan, Iwan seorang ilmuwan muda, dan gue, matematikawan yang ahli dalam memecahkan kode. Selain itu, kami punya banyak koneksi, seperti ke kepolisian, rumah sakit, atau para mata-mata.” lanjut Recky
       “Dari apa yang kau lakukan tadi pagi, show-off berupa koordinat Indonesia secara geografis, berarti kau terbiasa dengan hal semacam itu, aku bisa memperkirakan kau adalah seorang ahli geologis muda, sementara Firhan, dia dapat mempermudah dirinya dalam menganalisis dan menyimpulkan suatu masalah, tipikal deduksian yang berpikir rasional.” Tutup Iwan
“Mari kita mulai, tim !” ucap Tifa, setiap orang mengeluarkan kertas dan alat tulis, mereka menganalisa foto-foto yang mereka dapat semalaman, beberapa gelas kopi telah dihabiskan, snack sudah dikeluarkan, semua orang lelah dan tidak mendapatkan hasil yang pasti..
       “Huft..” Tasya menutup bukunya, lalu mengusap-usap matanya, malam sabtu ini telah ia habiskan dengan sejumlah buku yang bisa memberikan informasi terkait pembunuhan ibunya Debby. “Baiklah, kurasa sudah cukup untuk hari ini” kata Firhan menutup notebooknya, “Aku sudah sangat lelah..”kata Tifa lalu meregangkan otot kepalanya
       “Ayo kita rapihkan, takut-takut Debby bangun” ucap Vinna sambil merapihkan alat tulisnya. Tanpa sengaja, salah satu bukunya mengenai membaca emosi orang dari ekspresi terjatuh. “Ah..” Firhan dan Vinna mengambil buku itu berbarengan, keduanya terdiam dan saling bertatapan..
       “Maaf.” Ucap Firhan lalu kembali dengan urusannya, Vinna hanya tersenyum kecil dan menyelesaikan pekerjaannya, Iwan sudah tertidur beberapa jam yang lalu, dia tidak kuat
       Matahari belum muncul, mereka sengaja menyelesaikan pekerjaannya lebih awal, agar Debby tidak tiba-tiba terbangun dan melihat semua ini, mereka akan memberitahu Debby, namun tidak sekarang..
       “BRAK !” Dimas menjatuhkan badannya ke kasur, lalu menyilangkan kedua tangannya dibelakang kepala. ‘Apa yang dilakukan seorang pelajar geologis dalam kasus pembunuhan..’ pikirnya dalam hati, “Sudah hampir pagi ya.. lebih baik aku menutup mata sejenak..” kata Dimas lalu terlelap
Beberapa jam setelah semua orang tertidur, seseorang mengetuk pintu rumah tersebut.
       “TOK TOK TOK” Tifa terpaksa keluar dan membuka pintu tersebut, “Kami dari kepolisian, ingin memanggil kalian semua agar ikut ke kantor polisi terkait dengan pembunuhan salah seorang ibu dari teman kalian, silahkan bergegas untuk merapihkan diri dan ikut kami” ucap polisi tersebut sambil menunjukkan lambangnya
       “Tenang saja, aku mempunyai koneksi ke kepolisian, mereka bisa membantu kita” kata Recky sambil mengedipkan mata kanannya pada yang lain, seakan mengetahui bahwa yang lain juga takut akan interograsi dari pihak kepolisian.
       “Bagaimanapun.. mereka akan mencari kesalahan kita, agar mereka bisa mengira kita mempunyai motif untuk membunuh ibu Debby, huft..” ucap Firhan, para wanita baru turun sesaat setelahnya
       “Setelah ini, aku dan Vinna langsung ke rumah sakit tempat korban diotopsi, Githa dan Agnes telah menunggu disana” kata Tasya seraya mengunci pintu rumah tersebut, sebuah van menunggu mereka, artinya, dua orang petugas dibagian depan dan sisanya dibelakang
       “Aku dibantu Tifa akan mengurus untuk upacara pemakaman” ucap Debby singkat, mereka telah masuk kedalam mobil van, dalam mobil tersebut mulai berjalan menyusuri jalanan London..
       “Tunggu disini dulu, Inspektur akan segera menemui kalian” ucap salah seorang petugas, mereka semua menunggu di ruang tunggu kepolisian terbesar di London, tiga orang berpakaian polisi mendatangi mereka
       “Inspektur Ryan, perkenalkan, ini Ridho dan Ruri” ucap sang Inspektur sambil melakukan handshake pada semua orang disana, ramah adalah kesan pertama yang diberikan olehnya
       “Ini yang kau sebut dengan koneksi ?” tanya Iwan melalui handphonenya, ia ketikkan kata-kata tersebut di memo smartphonenya lalu ia tunjukkan diam-diam pada Recky
       “Begitulah.” Bisik Recky singkat, Iwan menyimpan handphonenya lagi. “Well, aku jamin ini tidak akan lama, Mr. Windu sedang dalam masa intrograsi, sebentar lagi ia akan keluar, Ridho, coba lihat prosesnya” perintah Ryan kepada Ridho yang tanpa basa-basi berjalan meninggalkan mereka
       “Aku turut berduka cita, kematiannya sangat tidak disangka” kata Ryan sambil duduk, yang lain ikut duduk. “Terima kasih, tapi aku perlu buru-buru agar urusan ini cepat selesai” jawab Debby datar pada Ryan, “Jangan tersinggung inspektur, setiap orang ingin mengakhiri urusan ini secepat mungkin” ucap Dimas mendinginkan suasana
       “Baiklah.. kurasa ini saatnya, setiap orang akan diperiksa di tempat yang berbeda-beda, ada alat perekam yang akan merekam setiap pertanyaan dan jawaban, tidak ada senjata didalam sana, santai saja” Ryan berdiri, Windu keluar dari ruang interograsi, ia duduk disana dan satu-persatu dari mereka memasuki ruang intrograsi masing-masing..
       Setelah beberapa jam yang membosankan, mereka selesai. Vinna dan Tasya segera kerumah sakit, sementara Tifa menemani Debby, Dimas dan Firhan pulang ke kost untuk bersiap-siap menuju Emirates Stadium, Recky dan Iwan mengobrol kecil dengan Ridho dan Ruri
       “Kenapa dia tidak pulang daritadi ?” Tanya Recky sambil meminum kopi panasnya dari mesin pembuat kopi disana, “Ia mempunyai alasan lain.. dia menerima sebuah surat ancaman juga, katanya” jawab Ridho cool tanpa melirik sedikitpun, “Debby, apakah ia tidak melihat ayahnya sedikitpun ?” tanya Ruri pada Iwan dan Recky
       “Entah, kenapa ?” tanya Recky kembali, “Ayahnya Debby adalah seorang pemabuk berat, pasti ia telah berkeliaran dan lama tak dirumah, lalu tiba-tiba seorang perampok masuk dan membunuh wanita malang itu” simpul Iwan cepat, menutup pertanyaan Ruri
       “Sebentar, apa yang kau maksud dengan surat ancaman ?” tanya Iwan pada Ridho. “Saat diintrogerasi, Windu berkata bahwa ia juga mendapat surat ancaman, ia pikir itu hanya main-main jadi ia membuangnya sekitar Cambridge tadi siang, tanpa memperhatikannya sedikitpun” jawab Ridho
       “Yang ia ingat hanya, permainan ini akan berlanjut, peluit telah ditiup dan akan ada yang kedua” lanjut Ridho lalu menghabiskan kopi ditangannya. “Tunggu.. berarti.. akan ada kasus kedua ?” Pikir Recky, “Pembunuhan berantai !” tutup Iwan





TO BE CONTINUED

No comments:

Post a Comment